Dead Horse Theory di Industri Ayam

Dead Horse Theory di Industri Ayam

Industri perunggasan Indonesia, yang selama ini diposisikan sebagai tulang punggung protein hewani nasional, kini terjebak dalam siklus paradoksal: kapasitas produksi terus membesar, tetapi stabilitas pasar semakin rapuh. Setiap tahun, pemerintah dan industri mengalokasikan sumber daya dalam jumlah masif—mulai dari kuota impor grand parent stock (GPS), subsidi jagung, hingga intervensi operasi pasar—dengan tujuan menjaga harga ayam dan telur. Namun, langkah-langkah tersebut berulang kali berakhir pada pemusnahan sumber daya produktif melalui kebijakan cutting hatching egg (HE) dan afkir dini parent stock (PS).

Dampak finansialnya sangat signifikan. Pada periode April–Mei 2025, pemangkasan 41 juta ekor DOC final stock setara dengan Rp 205 miliar nilai ekonomi hilang (jika 1 DOC dihargai Rp 5.000). Sepanjang 2023, kebijakan serupa menghasilkan pemusnahan 298 juta telur HE dan 8,74 juta ekor PS. Pola ini mencerminkan resource trap: uang, energi, dan logistik dikucurkan untuk menghasilkan produk, hanya untuk dimusnahkan kembali ketika pasar tak mampu menyerapnya.

Isi artikel

Ketergantungan pada ayam ras memperparah kerentanan ini. Pada 2024, populasi ayam ras pedaging mencapai 3,1 miliar ekor dan ayam ras petelur 414 juta ekor, menyumbang lebih dari 80% total produksi daging nasional. Namun, pertumbuhan populasinya stagnan (0,56% per tahun), jauh tertinggal dibandingkan ternak kecil (26,54%) maupun ternak besar (9,33%). Dengan 85% pasokan daging nasional bergantung pada ayam ras, setiap gejolak harga langsung mengancam stabilitas pangan. Harga ayam hidup di tingkat peternak kerap jatuh ke Rp 11.000–Rp 12.000/kg, jauh di bawah harga acuan pemerintah Rp 14.000–Rp 18.000/kg. Peternak kecil menjadi pihak paling rentan, sering terpaksa melakukan afkir dini bukan karena regulasi, tetapi sebagai strategi bertahan.

Sumber paradoks lain datang dari jagung, yang menyumbang 60–65% biaya produksi unggas. Data BPS menunjukkan produksi jagung 2024 mencapai 15,21 juta ton dengan surplus rata-rata ±890 ribu ton/tahun hingga 2028. Namun, industri pakan tetap mengeluhkan harga tinggi dan bahkan masih impor. Masalah utamanya bukan defisit produksi, melainkan ketimpangan struktural: sentra produksi jagung (Lampung, Sulawesi Selatan) jauh dari pusat peternakan (Jawa), rantai pasok dikuasai segelintir korporasi besar, dan Perum Bulog gagal menjalankan fungsi penyangga (penyerapan hanya 22 ribu ton dari target 1 juta ton pada 2025).

Isi artikel

Akibatnya, harga jagung domestik konsisten lebih mahal dibanding negara pesaing. Brasil dan Argentina menjual jagung pada USD 180–200/ton, sementara Indonesia bisa mencapai USD 280–300/ton (Rp 6.500–7.000/kg). Dengan Feed Conversion Ratio (FCR) ayam Indonesia di kisaran 1,6–1,7, biaya per kg bobot hidup tetap lebih mahal. Ini membuat harga karkas ayam Indonesia sulit bersaing di pasar ekspor. Upaya mendorong ekspor ke Jepang, Singapura, atau Timor Leste pun terbentur daya saing harga, terbatasnya RPHU berstandar ekspor, dan ketergantungan berlebih pada pasar domestik yang sudah saturasi.


Industri Ayam dan Dead Horse Theory

Kondisi industri ayam Indonesia hari ini bisa dibaca melalui kacamata dead horse theory: ketika seekor kuda sudah mati, alih-alih mencari kuda baru, orang justru menghabiskan energi untuk terus memukulnya agar tetap berlari. Industri unggas kita persis berada di titik itu. Setiap tahun, pemerintah dan pelaku industri menuangkan dana, logistik, dan kebijakan besar untuk menopang sistem yang secara struktural sudah tidak efisien: memproduksi DOC berlebih lalu dimusnahkan, menyerap jagung dengan subsidi tapi tetap impor, serta mengulang kebijakan afkir dini tanpa memperbaiki hulu (kuota GPS) maupun hilir (akses pasar dan hilirisasi).

Isi artikel

Langkah-langkah ini bukan hanya boros, tetapi juga destruktif. Ratusan miliar rupiah hilang dari pemusnahan sumber daya yang sebenarnya bisa menjadi protein, sementara peternak kecil terus merugi. Lebih parah lagi, resource trap ini membuat Indonesia kehilangan momentum untuk mengembangkan sektor lain yang lebih kompetitif seperti perikanan, udang, dan protein lokal berbasis keunggulan geografis. Jika dipertahankan, industri unggas hanya akan terus berputar dalam lingkaran setan oversupply dan krisis harga, tanpa jalan keluar. Itu sama saja dengan menghidupkan kuda mati, strategi yang jelas tidak akan membawa kita ke tujuan.


Ekonomi Biru: Arah Baru Ketahanan Pangan dan Ekspor

Jika industri unggas kini menghadapi titik jenuh, justru sektor ekonomi biru menawarkan jalan keluar yang lebih prospektif. Indonesia adalah negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, namun kontribusi ekonomi biru terhadap PDB masih relatif kecil dibanding potensinya.

  • Nilai ekspor perikanan Indonesia 2024 mencapai US$ 5,9 miliar, dengan udang menyumbang US$ 1,68 miliar atau 28,2% dari total.
  • Indonesia termasuk 5 besar eksportir udang dunia, bersaing dengan India, Vietnam, dan Ekuador.
  • Konsumsi ikan domestik terus meningkat, mencapai 47,34 kg per kapita per tahun (lebih tinggi dari konsumsi ayam), dan menjadi sumber protein utama di wilayah pesisir.

Namun potensi besar ini masih terhambat oleh infrastruktur yang lemah: rantai dingin (cold chain) belum merata, logistik hasil tangkapan belum efisien, dan risiko penyakit di tambak masih tinggi. Karena risiko budidaya yang tinggi ini, kemitraan vertikal hulu–hilir belum berkembang secara serius di sektor perikanan dan tambak. Investor cenderung berhati-hati, sementara industri pengolahan kesulitan menjamin pasokan bahan baku yang stabil.

Inilah ruang di mana investasi besar, seperti likuiditas Rp 200 triliun yang disiapkan Bank Indonesia, perlu diarahkan. Dana ini bisa dipakai untuk membangun cold chain nasional, hatchery modern, biosecurity tambak, dan layanan mitigasi risiko.

Selain infrastruktur fisik, sektor ini juga membutuhkan infrastruktur data. Budidaya ikan dan udang sangat rentan terhadap kesalahan pencatatan harian (pakan, mortalitas, kualitas air). Tanpa data yang konsisten, risiko sulit dikendalikan. Inovasi digital sederhana seperti pencatatan berbasis WhatsApp, contohnya Naraflow, dapat membantu petambak kecil lebih disiplin, menyediakan data auditable, dan menjadi dasar akses pembiayaan atau asuransi budidaya.

Dengan memadukan investasi keras (cold chain, hatchery) dan investasi lunak (sistem pencatatan digital), sektor ekonomi biru bisa menurunkan risiko budidaya, membuka jalan bagi kemitraan vertikal hulu–hilir, dan pada akhirnya menjadi tulang punggung baru ketahanan pangan sekaligus mesin ekspor berdaya saing global.


Kesimpulan

Industri perunggasan Indonesia telah memasuki fase jenuh: kapasitas besar, tetapi rapuh secara struktur. Pola resource trap berupa oversupply, pemusnahan DOC, subsidi jagung yang tidak efektif, dan harga ayam yang terus jatuh, menunjukkan bahwa mempertahankan status quo hanya memperpanjang siklus destruktif. Dalam kerangka dead horse theory, kita sedang berusaha menghidupkan kuda mati, alih-alih mencari kendaraan baru yang lebih relevan.

Sebaliknya, ekonomi biru menghadirkan peluang nyata. Indonesia memiliki keunggulan geografis, permintaan global yang besar, serta kontribusi ekspor perikanan yang sudah terbukti. Namun, sektor ini belum mampu menarik kemitraan vertikal karena risiko budidaya yang tinggi, mulai dari serangan penyakit di tambak, volatilitas harga pakan, hingga inefisiensi pencatatan. Inilah ruang yang bisa diisi oleh negara dan inovator: menghadirkan cold chain, hatchery modern, biosecurity, asuransi budidaya, serta sistem pencatatan berbasis digital untuk menurunkan risiko dan menciptakan kepastian pasokan.

Isi artikel

Penting untuk menekankan bahwa budidaya udang, meski berisiko tinggi, adalah komoditas paling prospektif bila inovasi diterapkan secara serius. Teknologi sensor kualitas air, biofloc dan probiotik, sistem early warning penyakit, hingga pencatatan digital sederhana berbasis WhatsApp, semuanya dapat menjadi lapisan mitigasi risiko yang membuat investasi di sektor ini lebih menarik. Dengan demikian, risiko yang sebelumnya menghalangi lahirnya kemitraan vertikal bisa ditekan, membuka jalan bagi integrasi hulu–hilir yang berkelanjutan.

Arah kebijakan protein nasional ke depan seharusnya tidak lagi terjebak pada satu komoditas. Ayam tetap penting sebagai penopang domestik, tetapi bukan lagi pusat gravitasi tunggal. Diversifikasi protein berbasis keunggulan lokalikan di pesisir, udang untuk ekspor, telur di dataran rendah, susu dan ruminansia kecil di pedalaman akan membuat ketahanan pangan lebih tangguh, adil, dan berdaya saing global.

Jika likuiditas Rp 200 triliun benar-benar diarahkan untuk membangun ekonomi biru dan protein alternatif, Indonesia tidak hanya keluar dari jebakan unggas, tetapi juga berpeluang menjadi salah satu pusat protein dunia. Inilah momentum untuk membongkar paradigma lama, menaruh inovasi sebagai kunci mitigasi risiko, dan merancang ulang strategi pangan menuju Generasi Emas 2045.

M. Yulianto Wibowo

Technical & Marketing Manager at MSD Animal Health Indonesia

1 bln

Oversupply yang digaungkan setiap tahun sejatinya hanya status semu yang validitasnya lemah kok.

Suka
Balas

jangan lupa bahwa ada masa pemeliharaan yg menyangkut cash flow dalam bisnis dan resiko, broiler dng masa pemeliharaan lebih pendek (28 hari : 1,6 - 1,8 kg), dan harga yg murah akan lbh terjangkau dibandingkan dng udang yg perlu 3 bulan utk panen. Angka stunting perlu protein, hanya mekanisme pasar nya saja yg perlu diperbaiki di poultry, segmentasi pasar diperlukan agar tidak terjadi tarung bebas antara peternak kecil dan pabrikan di pasar becek, pemaen besar ato petinju kelas berat maen nya di modern market dan olahan, mrk punya technologi dan kemampuan, peternak kecil diberikan porsi di pasar becek, insya Allah Permentan 10 , 2024 akan membuka kesempatan 50 : 50 buat peternak kecil berkembang. Udang memang menguntungkan, tapi ayam lebih cepat di hasilkan.

Nathan Oen

Chief AI Officer at PT Lumbung Mandiri Bersama

1 bln

Iya coldchain menarik sekali tuh..apalagi climate makin panas. Ini bener searah dengan Lumbung strategy Lumbung coldchain.

Suka
Balas
Mervin Malau

"Lies cost a lot of money, the truth is priceless".

1 bln

New solutions that could be attempted are to build Protein Exchange Platform, a digital commodities exchange for chicken, fish, eggs, milk, and shrimps. With real-time data, oversupply could be predicted early, price more stable, and small farmers could be connected directly to the big buyers without having to go through a middleman.

Suka
Balas
Rizal Rachims (Halal Supply Chain, Aceh)

Founder – Halal Fishmeal Project | Ethical Export | ESG | Coastal Empowerment | Shariah Impact

1 bln

> Kuncinya sederhana: niat dan keberanian. Tanpa itu, setiap forum hanya akan mengulang solusi lama yang sudah terbukti tidak efektif. Indonesia butuh arah baru dalam ketahanan pangan.

Suka
Balas

Untuk melihat atau menambahkan komentar, silakan login

Artikel lain dari Setiawan G.