2 
Doa Emak 
untuk Asa 
Hidup itu indah... 
ketika aku bersamamu, Emak 
Penerbit 
Nulisbuku.com
3 
Doa Emak untuk Asa 
Oleh: Musa Rustam 
Copyright © 2014 by Musa Rustam 
Penerbit 
Nulisbuku.com 
Desain Sampul: 
Musa Rustam 
Diterbitkan melalui: 
Nulisbuku.com
4 
Buku ini kupersembahkan untuk : 
Emakku adalah Ibu terbaik sedunia, 
terima kasih ‘tuk cinta, kasih sayang 
dan ridhonya.
5 
Ucapan Terima Kasih... 
Ucapan terima kasih kusampaikan kepadaNYA, Segala puji saya panjatkan ke hadirat Allah SWT, berkat pertolongan dan hidayahnya. Kepada wanita pendampingku sosok sangat bermakna yang selalu memberikan dukungan dengan inspirasinya yang luar biasa. Kepada putraku, Muhammad Hafiz Danish Veysa, yang senantiasa menjadi penerang dan pelipur lara dalam hidupku. Kepada orangtuaku, Mak Rinah, Bapak Rustam (Alm), Mama Mahirmani, Papa Adi Sucipto, yang telah memberikan cinta kasih dan dukungan yang sangat luar biasa kepadaku. Kepada Kalak, Para Kabid, Sekretaris, Para Kasie dan rekan-rekan BPBD Provinsi DKI Jakarta, Rekan-rekan Satpol PP Provinsi DKI Jakarta, dosenku di STIA LAN Jakarta dan teman-teman baikku yang telah mendukungku selama ini serta Nulisbuku.com.
6 
”Tidak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput darimu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikanNya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al-Hadiid : 22-23)
7 
Chapter One 
Ia sangat tinggi menjulang, tepat di jantung ibukota negara. Di tengah-tengah Jakarta. Di tengah-tengah peradaban Indonesia. Di tengah-tengah kekaguman kami dari berbagai pelosok nusantara. Seperti permainan kemudi putar yang berputar di pasar malam, membuat tertawa riang anak-anak yang menaikinya, segala yang berada di atasnya pun ikut berputar. Kami pun ikut berkemudi putar. 
Kami tiba di kota ini layaknya lebah yang mendatangi bunga-bunga yang memiliki madu. Terpesona akan cantik dan manisnya yang belum pernah kami lihat sebelumnya. Tubuh dan jiwa kami bergerak bersama alunan kereta api listrik yang membawa kami keluar dari kampung terbiasa dengan banjir pada musim penghujan. Kami semua di tarik ke dalam sebuah bejana yang tak berujung, membawa takdir masing-masing yang tak pernah kami pahami dan mengerti.
8 
Pada bulan Maret 1993, Emak berkata. Tepat 34 tahun keberadaannya. 
“Melihatnya seperti itu, tampaknya ia seperti kesepian dan sendiri. Berdiri tegak menghiasi kota pada siang dan mencoba menyinari pada malam, ia begitu tampak murung” 
Tapi menurutku, justru karena itulah ia begitu di kagumi semua orang. Di ibukota yang terasa hampa ini, saat orang-orang memandang ke atas dan melihat ada bongkahan yang berkilau seperti emas dengan melihatnya berdiri tegak bersinar dengan penuh kehormatan, mereka akan merasakan adanya kekuatan luar biasa, penuh perjuangan sejarah bangsa dan memiliki daya tarik keindahan bagi siapa saja yang melihatnya. 
Wahai anakku, Emak sudah mengalami manis dan getirnya kehidupan-perebutan paksa, pengkhianatan yang tak berujung, kekerasan dari kekejaman-merasakan kekaguman pada keindahan dalam kesendirian dan keterpurukan itu. Kami tidak dapat menahan air mata yang jatuh dari pelipis mata,
9 
kesedihan yang mendalam namun kita harus tetap berputar mengikuti waktu dalam jam, sesuai dengan putaran porosnya, berputar membuat kita harus kuat dan menjalaninya dengan penuh kesabaran. 
Semua orang berdatangan ke tempat ini. Mereka meninggalkan kampung halaman demi sebuah mimpi dan harapan agar dapat berdiri dan tegak, untuk membangun mimpi mereka, yang penuh pengharapan nan suci di Jakarta ini. 
Inilah kisah masa kecilku, bertiga dengan Bapak dan Emak di Jakarta, berjuang bersama mereka yang memiliki persamaan dengan jutaan orang-orang pemimpi yang datang dari kampung halaman. Bapak yang terlupakan dari hingar-bingar dan terhempas dari putaran kemudi putar, aku datang dengan bertahan memiliki tujuan yang sama, namun bingung aku tak bisa berjuang melihat segala keadaan yang terjadi, tapi aku tak dapat pergi kemana-mana. Sedangkan Emak dengan super-kesabarannya, mencoba bertahan yang akhirnya harus berjuang hingga tertidur letih di bantaran kali Ciliwung.
10 
= #=#=#= 
Pagi itu, di dalam sebuah kamar yang mungil dengan pemandangan langsung ke bantaran kali Ciliwung, kami bertiga tidur berdampingan dengan lelap. Banyak orang berkata bahwa mereka tidak terlalu mengingat hal-hal yang terjadi ketika mereka masih kanak-kanak. Namun, berbeda dengan aku, aku masih sangat ingat dan jelas. Aku seakan masih dapat mencium aroma udara yang menghinggapi sekeliling, serta membayangkan hal-hal yang terjadi pada saat itu. Mungkin karena aku hanya memiliki sedikit saja memori yang harus aku ingat dan alami apabila di bandingkan dengan orang lain. 
Ingatan hingga usiaku menginjak umur tiga tahun, tentang Aku, Emak dan Bapak serta seorang adik perempuanku. Ingatan ketika kami harus kehilangan seorang Engkong yang kami cintai telah meninggal dunia tanpa harus aku mengerti, mengapa beliau pergi meninggalkan kami, sehingga dalam ingatanku hanya tersisa sekeping episode tersebut,
11 
saat kami masih memiliki senyum kebahagiaan dan keindahan dalam hidup yang utuh. 
= #=#=#= 
Gubrakkk!! Jeger!! bunyi pintu di dobrak membangunkan tidurku yang lelap. Emak yang tidur di sampingku di atas ranjang besi berwarna biru juga langsung terbangun dan terduduk, termenung kaget. Sudah tengah malam, tak hanya anak-anak, orang dewasa pun tengah terbuai dalam mimpinya yang indah. Bapak pun masih terjaga dengan ketermenungannya yang tak berujung. 
Dari arah pintu terdengar teriakkan seorang laki-laki memanggil nama Emak. Emak langsung berlari menuju depan pintu yang terdapat seorang laki-laki, tetapi dia segera kembali masuk ke kamar dengan wajah ketakutan dan pucat. 
Emak langsung mendekapku sangat erat, seperti induk kucing betina yang memeluk anaknya karena terancam gangguan dari pengganggu. Dia membawaku setengah berlari ke balik almari.
12 
Encang, kakak dari Bapakku, tanpa mengucapkan salam ataupun dengan mengetuk pintu, Encang malah menendangnya. Pintu yang terbuat dari kayu dari beberapa lembar potongan tripleks dan kayu kaso di rekatkan dengan paku ukuran 20 milimeter. Rusak dan ambruk daun engsel yang menyatukannya. Tanpa melepas sandal, Encang bergegas mengejar Bapak yang berlari menghindar, di selingi teriakan Enyak. Seperti pasukan khusus anti teror yang ingin menyergap teroris. Dan hal seperti ini sering terjadi. Entah mengapa, aku tak mengerti mengapa Bapak menjadi sasaran Encang. Aku tak pernah habis berfikir. 
Encang menarik paksa Bapak dari lamunannya yang penuh dengan kekosongan, Aku hanya bisa ketakutan di balik almari dalam dekapan Emak. Bapak sudah terpojok di sudut ruangan, kemudian menarik bungkusan dari plastik yang berwarna hitam, isinya ternyata seekor pecel lele goreng yang baru saja di goreng. Encang kemudian menjejalkan begitu saja ke mulut bapak.
13 
Rupanya Encang ingin memberi oleh-oleh seekor pecel lele untuk adiknya yaitu Bapakku. Seumur hidupku itulah yang pertama, aku melihat Bapak di perlakukan seperti itu, di suapi dengan paksa oleh Encang untuk makan. Encang pemabuk berat. Di bawah pengaruh alkohol dia selalu mengamuk tak beraturan, tak peduli dengan keadaan sekitarnya, siapapun bisa terkena bolgem mentah darinya. 
Pintu rumah kami yang rusak di perbaiki oleh Emak beberapa hari kemudian. Dari pintu yang utuh dan rapih kini di bagian kanan tertutup bahan tripleks yang berbeda dari yang aslinya, seperti membentuk tambalan pintu layaknya ban bocor yang di tambal, sehingga pintu rumah kami tampak aneh. 
Aku sering sekali menangis. Dan ketika aku menangis lama sekali. Bapak hanya bisa melihat dan tersenyum ketika aku menangis dengan terkadang ikut meneteskan air mata juga. Emak selalu mendekapku dengan penuh kehangatan, Emak melarangku menangis, Emak tak ingin aku menjadi
14 
anak yang cengeng, walaupun aku masih berumur tiga tahun. 
Pada suatu pagi, saat Aku bermain di depan televisi, memainkan puzzle bongkar pasang yang terbuat dari kertas karton bergambar ondel-ondel, Bapak duduk di kursi tak jauh dariku dengan masih dalam lamunannya yang kosong, tak memiliki makna apa-apa akan tetapi menyiratkan beban pikirannya yang sangat dalam, dia terkadang meledek aku yang kebingungan tak dapat menyusun puzzle itu. Sesaat aku menangis kaget, karena aku menjatuhkan secangkir teh manis yang ada di meja, praang!! Suara cangkir yang jatuh ke lantai. Tiba-tiba Encang dari kamar sebelah membentak-bentak dan mengangkat- angkat tubuhku yang mungil, lalu melemparku ke ruang yang berlantai dengan tikar hambal. 
Aku di buatnya melayang, tubuhku yang mungil terlempar masuk lorong rumah dengan tikar hambal. Enyak yang menyaksikan kejadian itu berusaha menangkap tubuhku seperti bocah-bocah menangkap bola pada permainan kasti di lapangan.
15 
Emak menceritakan kejadian ini kepadaku di kemudian hari. Mungkin saat itu aku mengalami seperti apa yang di rasakan oleh penerjun parasut yang melompat dari pesawat. Mereka tak akan pernah ingat apapun, apabila suatu ketika parasut yang di terbangkan tidak berfungsi dengan baik, mereka akan terhempas jatuh ke bawah, sehingga menghancurkan mereka tak berkeping. Seandainya saja Enyak gagal menangkapku, mungkin aku akan jatuh dengan terlebih dahulu kepala yang membentur lantai, dan aku akan mengalami depresi yang mendalam. 
Aku juga mempunyai masalah dalam tubuhku. Saat aku mengalami gangguan dalam usus di pencernaanku, Emak membawaku ke Dokter Puskesmas dekat rumah. Di Puskesmas tersebut ada seorang dokter perempuan berkerudung, dan Emak berkali-kali mengatakan bahwa “Dokter itu udah cantik, betul-betul dokter yang bagus, Emak tak tahu kalau dia tak ada, kamu pasti sudah mati”. Setiap kali aku ke sana, dokter itu pasti menyuntik pantatku
16 
dengan sabar. Walaupun begitu, kalaupun selalu di hibur agar aku tidak menangis. Demi menyenangkan mereka, aku menahan dalam hati, tidak menangis dan berpura-pura tidak apa-apa. 
Suatu hari, ketika aku mengalami sakit perut yang sangat meradang dan di bawa ke puskesmas, ternyata saat itu adalah hari libur. Akhirnya Emak membawaku ke klinik swasta yang ada di Jatinegara. Sudah menganggap penyakitku sudah biasa, aku pun menjalani beberapa pemeriksaan, dari mulai suhu tubuh dengan termometer, mataku di senter dengan alat penerang dan perutku di ketuk-ketuk sambil di dengarkan dengan stetoskop, namun aku kemudian menangis dengan sangat kencang dan meraung-raung kesakitan karena dokter itu menyuntikku pada lengan bagian kiri. 
Sakit perutku tak juga kunjung sembuh sehingga keesokan harinya. Emak membawaku kembali ke dokter perempuan berkerudung, yang sudah biasa memeriksaku karena Emak tak tahan melihat penderitaanku yang menyiksa. Bu dokter
17 
malah menegur Emak, “Kenapa Ibu tidak segera membawa kemari anaknya?” dokter berkerudung itu akhirnya duduk di meja kerjanya setelah memeriksaku, setelah itu dia segera menulis surat rujukan ke Rumah Sakit Umum Daerah di Rawamangun dan mengirimkanku ke sana. 
Ternyata aku menderita usus buntu dan kondisiku sepertinya cukup parah, beberapa dokter ahli penyakit dalam berkumpul dan memasuki ruang operasi. Menggunakan seragam serba hijau, dengan tutup kepala berwawna hijau tak luput juga sarung tangan dan masker berwarna hijau. Meskipun aku tidak mengetahui prosedurnya secara mendetail, pertama-tama di lakukan operasi injection cairan semacam enema listrik yang di masukkan melalui anus oleh dokter yang berkacamata. Bahkan bagi orang dewasa pun, langkah ini cukup berat untuk di jalani seorang pasien dewasa. 
Dengan menggunakan radar yang termonitor dalam layar screen berwarna hitam dengan menunjukkan keberadaan enema listrik dalam perut
18 
agar dapat di ketahui. Jika sudah sampai di usus dan enema listrik tersebut terhenti, maka harus di lakukan operasi pembedahan di bagian perut untuk mengeluarkan bagian yang bermasalah di dalam usus. 
Sebelum operasi, Emak mendapat penjelasan dari dokter bahwa jika ususku dipotong, tak tertutup kemungkinan aku akan mengalami beberapa kesulitan dalam kehidupan sehari-hari. 
Dari balik kaca jendela di depan pintu operasi, Emak berdoa agar cairan enema listrik itu tak terhenti. 
“Ya Allah pemilik segala zat, hanya ENGKAU yang maha mengetahui, anakku sedang berjuang untuk melawan penyakitnya, tak ada yang mengizinkan sehelai rambut pun tumbuh hitam indah di kepalanya, termasuk penyakit yang tumbuh pada anakku, kalau boleh meminta pindahkan saja penyakitnya ke tubuhku, aku ikhlas dan ridho. Tukar saja usus anak hamba dengan usus hamba Ya Rab”. 
Sedangkan Bapak, sama halnya ketika saat aku di lahirkan, diam dan termenung di dekat jendela
19 
rumah, tak ada banyak hal yang dapat dia perbuat karena pengaruh tekanan mental yang dia hadapi, Aku lahir di sebuah kamar dengan ukuran 2 X 3 m2 dengan bantuan dukun beranak yang bernama Mak Okih. Sebuah proses sangat luar biasa kala itu, proses persalinan dengan perjuangan seorang ibu antara hidup dan mati dalam melahirkan anak manusia. Tidak ada teknologi yang luar biasa ketika itu, tanpa jarum suntik, tanpa peralatan medik yang canggih, maupun tenaga bidan ataupun dokter, hanya beberapa peralatan sederhana seadanya dengan semangat dan keyakinan yang kuat dari seorang dukun beranak yang sudah lama di geluti secara turun temurun dari orangtuanya terdahulu, begitulah sebuah proses persalinanku. Ibuku di dalam hatinya selalu berzikir sambil memanjatkan doa-doa di dalam perjuangannya ; 
"Ya Allah, peliharalah anakku selama di dalam kandunganku dan sembuhkanlah ia. Sesunggguhnya Engkau Maha Penyembuh, tiada sembuhan melainkan penawarMu, sembuh yang
20 
tiada meninggalkan kesan yang buruk. Ya Allah, lahirkanlah ia dari kandungan ku dengan kelahiran yang mudah dan sejahtera (selamat). Ya Allah, jadikanlah ia sehat sempurna, cedik, berakal dan berilmu serta beramal saleh. Ya Allah, elokkanlah akhlak (perangai)nya, fasihkanlah lidahnya dan perelokkanlah suaranya untuk membaca Al-quran dan Hadis dengan berkat Nabi Muhammad SAW" 
Tepat pukul 00.45 WIB Kamis dini hari, lahir dengan sehat ke dunia, anak yang sangat lucu dan manis, dengan suaranya sangat kencang menangis menandakan kehadirannya. Di dekati seorang laki- laki yang sudah mulai putih rambutnya oleh Mak Okih, lalu di dekatkan telinga sang bayi itu untuk di adzankan, 
“Allahu Akbar....” 
“Allahu Akbar....” 
“Allahu Akbar....” 
Suara adzan itu terdengar berkumandang sangat indah, perasaan haru dan bercampur bahagia tercermin di mata Yusuf sambil menggendong bayi
21 
mungil itu, bapak dari Rustam, karena kala itu Rustam masih kebingungan dan panik melihat Rinah yang sedang lemas dan letih selesai pasca persalinan. Proses persalinan yang panjang di tandai dengan banyaknya berbagai kejadian-kejadian yang sangat memprihatinkan, di karenakan minimnya pengetahuan hingga memperlambat proses persalinan. Bayi dengan berat kira-kira 2.9 kg dengan panjang 48 cm, lahir dengan selamat dan di beri nama Asa tanpa nama panjang ataupun embel-embel yang lain. Nama pemberian dari Sang Engkong. 
Untungnya, radar di dalam perutku berjalan lancar. Cairan enema listrik berhasil membuka bagian yang tersumbat sehingga perutku tak perlu di lakukan pembedahan. Emak menangis syukur dan haru dengan perkembangan tubuhku yang membaik, dengan mengucapkan hamdallah kepada Allah dan sujud syukur. 
Aku masih ingat sekali aroma khas bubur dengan kuah soto ceker ayam yang di buatkan Emak ketika aku sakit merintih menahan sakit. Aku juga
22 
masih mengingat ekspresi wajah Emak yang khawatir dengan penyakitku. Namun, keberadaan Bapak tidak begitu membekas dalam memoryku 
Satu hal lagi yang masih aku ingat dengan jelas, yaitu sosok wajah Bapak saat termenung diam, dan sesaat dia menghampiriku memberikan kepingan puzzle yang membuatku bingung mana yang harus aku isi terlebih dulu, di karenakan gambarnya masih penuh teka-teki untukku. Kemudian memberikan sambil menunjuk dengan tangan kirinya letak kepingan puzzle itu. Sosok Bapak yang tampak itu, begitu baik hati di mataku. 
Inilah hal-hal yang masih tersimpan dengan baik dalam memoryku. Mungkin ada hal-hal yang terhapus. Namun ingatan ini saat Aku, Emak dan Bapak masih ada sebagai keluarga yang utuh. Hanya ini yang terkenang, tidak ada yang lain. 
= #=#=#= 
Aku lahir di Jatinegara di kota Jakarta, di sebuah kampung yang berada dekat dengan tepian
23 
kali Ciliwung. Kampung kami memiliki dua RW yang lumayan padat penduduknya, di kampung kami sudah menjadi langganan setiap tahunnya karena kampung kami terletak di dataran sangat rendah, yang bentuk kampungnya bila di lihat dari atas, serupa tapal kuda di kelilingi oleh sungai Ciliwung sepanjang kampung. Banjir menjadi sudah biasa, kampung yang berdampingan dengan banjir yang sudah di anggap menjadi konsekwensi dari musim hujan yang melanda, ketika di daerah puncak hujan lebat, sekitar delapan sampai dengan sembilan jam kemudian banjir akan menggenangi kampung kami, hingga mencapai kedalaman dua meter. Kami mencoba bertahan dengan banjir menjadi potret tiap tahun musim penghujan di Kampung kami. 
Emak bercerita saat dia masih kecil, Kali Ciliwung bersih dan jernih, airnya pun bisa di minum, selain itu ikannya beragam dan juga banyak bebatuan sehingga kita bocah-bocah kali Ciliwung senang sekali mandi dan bermain di sana bersama teman-teman.
24 
Di seberang kampung kami ada sebuah Dipo Bukitduri yang berdiri sejak zaman Belanda, pada waktu itu sebelum ada lokomotif diesel tempat ini untuk merawat lokomotif uap. Di perkirakan tahun 1955 baru merawat diesel listrik type BB 302 hingga tahun 1975. Kehidupan masyarakat di masa itu mulai di liputi kegairahan aktivitas masyarakat yang menjalankan roda perekonomiannya. Aktivitas jual beli di Pasar Lama Jatinegara atau lebih di kenal dengan Pasar Mester, merupakan pusat ekonomi bagi warga Jatinegara. Pasar Lama Jatinegara mempunyai banyak deretan bangunan di mana dulunya di kenal dengan bangunan Belanda. Di sekitar pasar tersebut juga terdapat pedagang-pedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya, mulai dari pukul tujuh pagi hingga pukul enam sore. Pasar ini sangat ramai pada tanggal-tanggal muda, di mana orang-orang baru saja mendapatkan penghasilannya. 
Ketika aku mulai masuk sekolah dan sudah terbiasa dengan buku pelajaran, Emak sering bercerita tentang perjuangan bangsa kita melawan
25 
penjajah. “Kekejaman tentara Jepang yang menjajah Indonesia, kekejamannya seakan melebihi Belanda. Bukan hanya kerugian di bidang materi, namun juga dari sisi mentalitas dan kehormatan. Sebuah catatan gelap suatu bangsa yang melakukan penjajahan dengan sempurna” 
Setiap aku mendengar cerita itu, meskipun aku masih kecil, tak tahu kenapa kepalan tanganku mengeras, seakan ingin marah dengan negara Belanda dan Jepang, mengapa mereka begitu tega menjajah kami hingga kami pun tersiksa. 
= #=#=#= 
Rumahku berada di dekat dengan Pasar Mester, dan di sekitarnya ada taman bermain. Rumah tersebut adalah bangunan dua lantai terbuat dari bangunan semi permanen yang di bangun oleh Engkong, saat aku belum lahir. Baik Engkong dari pihak Bapak maupun Emak sudah meninggal sehingga aku tidak memiliki bayangan mengenai sosok mereka. Bapak hanya memiliki selembar foto
26 
Engkong ketika Bapak bersama dengan monyet piaraan Engkong di belakang rumah berfoto bersama untuk 17 Agustus-an. 
Di rumah tersebut tinggalah Emak, Bapak, Aku, Enyak, dan Encang Uding, Kakak dari Bapak beserta dua anaknya yaitu ; Mila dan Yadin. Setelah Engkong meninggal sehingga beberapa ruangan rumah di sekat dan di beri kamar mandi untuk di kontrakkan sebagai rumah kontrakan pada beberapa pasangan muda yang baru menikah ataupun mahasiswa yang mengadakan penelitian tentang kampung kami. Para mahasiswa itu baik sekali kepadaku. Mereka sering membelikan kembang gula berwarna pink dan kerak telor kesenanganku. 
Emak mengandung aku setahun setelah dia datang ke rumah ini. Tahun 1984, Emak berumur 19 tahun sedangkan Bapak berumur 2 tahun lebih tua, yang baru ingin menginjak 21 tahun. Bapak yang kelahiran asli Jatinegara bersekolah di STM Listrik Boedi Oetomo, tapi sudah di duga Bapak memang pintar, saat kelas dua STM, Bapak adalah anak
27 
termuda dari empat bersaudara yang memiliki pendidikan paling tinggi di bandingkan dengan kakak-kakaknya. Engkong mengira dengan memasukkan Bapak ke STM akan membentuk Bapak menjadi karakter yang mandiri dan siap bekerja kelak. Tetapi, Engkong mungkin tak sadar bahwa itu bisa berubah dan menjadi fatal “Karena salah bergaul”. 
Setelah masuk STM, Bapak karena kurang pengawasan melakukan berbagai perbuatan buruk dan kekeliruan dalam belajar. Karena sering membolos, tawuran antar pelajar dan berbagai aktivitas negatif yang mungkin terpengaruh temannya di sekolah. 
Bapak sesungguhnya anak yang cerdas dan berbakat dengan kepandaian dalam mereparasi barang-barang elektronik di rumah seperti televisi, kipas angin, mesin pompa air, dan setrika yang rusak, sehingga dapat menambah uang jajannya dari mereparasi barang-barang elektronik milik tetangga.
28 
Semuanya ini bermula dari akibat Bapak belajar ilmu gaib yang di ajak oleh temannya Junaedi yang mempelajari dunia mistik, mereka tidak memahami bahaya yang mengancam, ketika siapa saja yang mencoba menyelami dunia mistik. Bahaya yang paling besar adalah “kegilaan”. Seseorang yang mulanya mencoba belajar ilmu-ilmu gaib, lalu tiba- tiba menjadi tidak waras alias gila. Hal itu karena kini dia tidak dapat membedakan antara dunia gaib dengan dunia nyata, bahkan antara khayalan dan kenyataan menjadi satu baginya. Bapak menjadi anak pendiam, sering menyendiri dan termenung dalam dunianya sendiri. Tak lebih dari tiga kata yang keluar dari mulutnya, yaitu “jangan dekati aku”. Berjuta pertanyaan di lontarkan Engkong kepadanya, apa yang sebenarnya terjadi. 
= #=#=#= Bapak menikah dengan Emak ketika baru lulus, dia belum bekerja hanya berjualan meneruskan
29 
usaha Engkong. Bapak menikah dengan Emak berawal dari perjodohan kedua orangtua mereka, akhirnya di jalani juga dengan rasa penuh cinta dan kasih sayang. Emak lahir di Cipayung, sebuah kampung pinggiran Jakarta. Emak adalah bontot dari sembilan bersaudara, dari keluarga pembuat pengrajin tahu. Emak tidak memiliki pendidikan yang tinggi, dia bersekolah hanya sampai kelas 2 SD, tak banyak aku mengetahui masa lalu sebelum Bapak dan Emak menikah. Yang aku tahu setelah menikah, Bapak dan Emak tinggal bersama dengan Engkong dan yang lain di Jatinegara. Emak tipe orang yang periang, suka tertawa walaupun tersipu malu serta menyenangkan. Dia selalu memperhatikan orang-orang di sekitarnya dan menyukai pekerjaan rumah tangga. Itu terlihat rumah yang rapih dan bersahaja. Seratus delapan puluh derajat berbeda dengan Bapak. Cenderung pendiam, tidak pernah memulai pembicaraan apabila bukan lawan bicaranya yang
30 
memulai. Bapak bukan tipe senang bercanda, sehingga terlalu kaku apabila tertawa. Dia suka melakukan hal-hal di luar orang awam, senang menyendiri dan hanyut dalam dunianya sendiri. Pertemuan dua orang tersebut terjadi pada pesta penikahan. Tidak berapa lama sejak perjodohan kedua orangtua. Hidup bersama mertua, kakak ipar yang arogan dengan istrinya, dan seorang suami yang tak bisa di tebak jalan pikirannya, tidaklah mudah bagi Emak. Baik secara fisik maupun psikis. Banyak tekanan yang terjadi secara bertubi-tubi. Emak melahirkan adik perempuan saat usiaku empat tahun. Beban Emak makin besar. Kami tinggal dalam satu kamar, rumah yang kami tempati memang tidak besar, kami berada di lantai dua dengan ruangan hanya 3 X 4 meter. Ruangan itu cukup bersih walaupun kecil, Bapak hanya diam mengawasi aktivitas kami bertiga. Sesekali adik perempuanku menangis karena buang air kecil ataupun karena haus minta di susui oleh Emak.
31 
Ketika adik perempuanku tertidur lelap, Emak selalu menceritakan setiap malam sosok pemimpin Islam yang menjadi Khalifah kedua, dialah Umar bin Khattab r.a. Umar bin Khattab ini masuk dalam Islam berkat hidayah dari Allah yang pertama, yang kedua berkat doa Rasulullah SAW dan yang ketiga berkat adiknya Fatimah yang terlebih dahulu menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW berkat lantunan ayat suci Al-Qur'an yang di bacanya. 
Emak berkata ketika waktu Rasulullah berdoa kala itu, Emak sambil mengatur nada tinggi rendahnya sesuai dengan konteks cerita, doanya adalah : 
"Semoga Allah memberi kejayaan pada Islam dengan masuknya Umar ke dalam Islam." Dan Allah SWT pun mengabulkan doa tersebut. 
Umar adalah sosok pemimpin teladan yang sangat mengerti kepentingan rakyatnya begitulah kata Emak. Padahal ia sendiri hidup dalam kondisi sangat sederhana. Pada suatu malam, sudah menjadi kebiasaan bahwa Khalifah Umar bin Khattab sering
32 
berkeliling mengunjungi dan menginvestigasi kondisi rakyatnya dari dekat. 
Nah, pada suatu malam itu, ia menjumpai sebuah gubuk kecil yang dari dalam terdengar suara tangis anak-anak. Ia pun mendekat dan mencoba untuk memperhatikan dengan seksama keadaan gubuk itu. Dalam dialog Umar bin Khattab dengan seorang Ibu. Ternyata dalam gubuk itu terlihat seorang ibu yang sedang memasak, dan di kelilingi oleh anak-anaknya yang masih kecil. 
Si ibu berkata kepada anak- anaknya,"Tunggulah...! Sebentar lagi makanannya matang yah „nak!!" 
Sang Khalifah memperhatikan dari luar, si ibu terus menerus menenangkan anak-anaknya dan mengulangi perkataannya bahwa makanan yang di masaknya akan segera matang. 
“Terus gimana lagi Emak!!!” Aku memotong pembicaraan sambil berkerut penuh perhatian dan penasaran dengan cerita yang di bacakan oleh Emak.
33 
Dengan nada sedikit tinggi, menyesuaikan ceritanya, Emak mencoba membuka imajinasiku dalam merasuk settingan plot cerita yang di narasikan Emak. 
“Sang Khalifah menjadi sangat penasaran, karena yang di masak oleh ibu itu tidak kunjung matang, padahal sudah lama dia memasaknya” 
Akhirnya Khalifah Umar memutuskan untuk menemui ibu itu. 
"Mengapa anak-anakmu tidak juga berhenti menangis, Bu..?" tanya Sang Khalifah. 
"Mereka sangat lapar" jawab si ibu. 
"Kenapa tidak cepat engkau berikan makanan yang dimasak dari tadi itu?" tanya Khalifah. 
"Kami tidak ada makanan. Periuk yang dari tadi aku masak hanya berisi batu untuk mendiamkan mereka. Biarlah mereka berfikir bahwa periuk itu berisi makanan, dengan begitu mereka akan berhenti menangis karena kelelahan dan tertidur." jawab si ibu.
34 
Setelah mendengar jawab si ibu, hati sang Khalifah Umar bin Khattab serasa teriris. Kemudian Khalifah bertanya lagi, "Apakah ibu sering berbuat demikian setiap hari?" 
"Iya, saya sudah tidak memiliki keluarga atau pun suami tempat saya bergantung, saya sebatang kara...," jawab si ibu. 
Hati dari sang Khalifah laksana mau copot dari tubuh mendengar penuturan itu, hati terasa teriris-iris oleh sebilah pisau yang tajam. 
"Mengapa ibu tidak meminta pertolongan kepada Khalifah supaya ia dapat menolong dengan bantuan uang dari Baitul Mal?" tanya sang khalifah lagi. 
"Ia telah zalim kepada saya...," jawab si ibu. 
"Zalim....," kata sang khalifah dengan sedihnya. 
"Iya, saya sangat menyesalkan pemerintahannya. Seharusnya ia melihat kondisi rakyatnya. Siapa tahu ada banyak orang yang senasib dengan saya!" kata si ibu.
35 
Khalifah Umar bin Khattab kemudian berdiri dan berkata : 
"Tunggulah sebentar Bu ya. Saya akan segera kembali." 
Bantuan dari Khalifah. Di malam yang semakin larut dan hembusan angin terasa kencang menusuk, Sang Khalifah segera bergegas menuju Baitul Mal di Madinah. Ia segera mengangkat sekarung gandum yang besar di pundaknya, di temani oleh sahabatnya Ibnu Abbas. Sahabatnya membawa minyak samin untuk memasak. Jarak antara Madinah dengan rumah ibu itu terbilang jauh, hingga membuat keringat bercucuran dengan derasnya dari tubuh Umar. Melihat hal ini, Abbas berniat untuk menggantikan Umar untuk mengangkat karung yang di bawanya itu, tapi Umar menolak sambil berkata, 
"Tidak akan aku biarkan engkau membawa dosa-dosaku di akhirat kelak. Biarkan aku bawa karung besar ini karena aku merasa sudah begitu bersalah atas apa yang terjadi pada ibu dan anak- anaknya itu."
36 
Beberapa lama kemudian sampailah Khalifah dan Abbas di gubuk ibu itu. Begitu sekarung gandum dan minyak samin itu di serahkan, bukan main gembiranya mereka. Setelah itu, Umar berpesan agar ibu itu datang menemui Khalifah keesokan harinya untuk mendaftarkan dirinya dan anak-anaknya di Baitul Mal. 
Setelah keesokan harinya, ibu dan anak- anaknya pergi untuk menemui Khalifah. Dan betapa sangat terkejutnya si ibu begitu menyaksikan bahwa lelaki yang telah menolongnya tadi malam adalah Khalifahnya sendiri, Khalifah Umar bin Khattab. 
Segera saja si ibu minta maaf atas kekeliruannya yang telah menilai bahwa khalifahnya zalim terhadapnya. Namun Sang Khalifah tetap mengaku bahwa dirinyalah yang telah bersalah. 
“Nah, itulah kisah pemimpin teladan kita, sahabat Rasulullah SAW, Khalifah Umat Islam yang kedua, Umar bin Khattab. Pelajaran berharga ini harus kamu perhatikan yah „nak, ketika kamu dewasa dan menjadi seorang pemimpin, jangan pernah lupa
37 
dengan kondisi orang-orang sekitarmu, kita masih bersyukur walaupun makan tiga kali sehari dengan menu tempe dan tahu saja, kelak kamu akan menjadi orang besar” 
“Sudah malam, Asa tidur yah!” sambil mencium kening dan mengusap-usap kepalaku. 
= #=#=#= 
Senin pagi itu, aku pertama kali berangkat ke sekolah di antarkan Emak. Kumpulan batang pohon Bambu yang kira-kira berjumlah lima belas batang pohon Bambu di ikat menjadi satu, tersusun rapi seperti permadani membentang menjadi sebuah getek yang membawaku. Emak di sebelahku, memegang erat pergelangan tanganku dengan tangan kanannya yang lembut. Emak seorang perempuan berbadan kurus dan mungil. Wajahnya sekurus badannya, dengan sepasang mata yang bersih di naungi alis tipis. Mukanya selalu mengibarkan senyum ke siapa saja. Kalau keluar rumah selalu menggunakan baju kebaya yang di padu dengan kain atau rok
38 
panjang. Tidak pernah celana panjang. Kepalanya selalu di tutup turban dan di lehernya tergantung selendang. 
Emak tidak pernah menamatkan Sekolah Dasarnya, ia bersekolah hanya sampai kelas dua saja, di karenakan keluarganya masih memiliki pola pikir lama ,bahwa sekolah tidak perlu tinggi–tinggi untuk anak perempuan, karena ujung-ujungnya pasti di dapur juga. Begitulah pemikiran yang masih terbenam sama di beberapa pemikiran orang-orang tua terdahulu, mereka belum mendapatkan virus semangat yang di bawa oleh Ibu Kartini, pentingnya emansipasi wanita bahwa pendidikan itu sangat penting untuk laki-laki maupun perempuan. 
Di antara lima gundukan batang yang tersusun di atas susunan lima belas batang pohon bambu, di sela-sela tengah pada bagian depan di ikat erat menjadi penguat untuk di kendalikan, di ujung tali terikat di atas pohon waru dan di seberang satunya pun demikian terikat dengan pohon yang rindang, di ujung depan berdiri di atas getek yang
39 
diawaki seorang laki-laki yang berkopiah putih, sekuat tenaga menarik getek untuk membawa kami ke seberang. Laki-laki itu adalah seorang bapak tua berwajah penuh kesabaran, Pak Marzuki, sang penarik getek. 
Namun, senyum Pak Zuki adalah senyum yang getir penuh makna, karena terlihat sangat jelas kecemasan wajahnya penuh ketegangan dan keletihan sambil terengah-engah menarik nafas berulang kali. Sesekali menghitung jumlah penumpang yang naik di getek-nya. Ia begitu khawatir sehingga terkadang tak peduli pada peluh yang mengalir deras di lehernya. Bulir-bulir keringat yang bermunculan di seputar keningnya sebagai tanda perjuangan yang harus di kenakannya, membuat wajahnya terlihat semakin letih berbentuk raut kelelahan. 
“Sepuluh orang...sudah sepuluh orang pak...bu...dek...,sudah lewat kapasitas nanti terbalik...” katanya penuh kegusaran pada para penumpang getek-nya. Emak dengan penuh kehati-
40 
hatian menjagaku dari licinnya kumpulan bambu yang aku injak. 
Aku juga merasakan kecemasan. Aku cemas karena melihat aliran air kali Ciliwung sangat deras dan karena beban yang di rasakan Pak Zuki terlihat jelas, beberapa otot-otot yang mulai jelas menonjol di depan mataku. Meskipun beliau begitu tenang pagi ini tapi genggaman tangannya yang melingkari tali tambang kemudi getek, tetap saja tidak dapat aku pungkiri degup jantungku terasa cepat, pertama kalinya aku menyeberang kali, aku tahu beliau sedang tidak gugup ataupun grogi karena hal ini sudah menjadi rutinitas beliau setiap hari, pria berusia lima puluh tahunan itu, seorang buruh serabutan yang beranak banyak dengan penghasilan seadanya. Siang hari bekerja mencari nafkah untuk keluarga dengan menarik getek, mengumpulkan sisa- sisa sampah plastik yang di kumpulkan dari arus membawa sampah di Kali Ciliwung untuk di jual kembali kepada pengepul barang rongsokan dan
41 
ketika malam pun tiba beliau mengajarkan kami mengaji kepada anak-anak seumuranku. 
Getek pun sampai ke seberang, Emak dan aku bergegas perlahan untuk turun melalui jembatan yang terbuat dari bambu di susun empat buah dan di ikat kuat menjuntai hingga menempel ke dasar kali serta mengarah ke dasar pelataran tanah yang agak tinggi dan becek. Kucoba melangkah dengan penuh perhatian dan perlahan, dengan tangan kiri memegang pagar jembatan dari bambu itu sambil di pegangi tangan kananku dengan Emak. Tak tahu kenapa, aku seperti merasa bisa sendiri, tak ingin di pegangi dan di bantu Emak. 
“Emak, Asa bisa kok....gak perlu di pegangin „mak” 
Emak tak sampai hati untuk melepaskan tangannya yang memegangi pergelangan tangan kananku. Tapi Emak pun akhirnya mengabulkan keinginanku, dengan mengalah karena percaya aku merasa bisa untuk menyeberangi jembatan bambu itu tanpa harus di peganginya. Ternyata dewi fortuna
42 
tidak besertaku. Selang hanya beberapa detik saja, waktunya sangat cepat terjadi, tangan kananku di lepas Emak, hanya satu langkah saja dari pegangan Emak, aku terpeleset jatuh masuk ke air kali berwarna kecoklatan penuh dengan sampah yang aliran airnya deras. 
“Astagfirlohalazim, Ya Allah Ya Rabb....anak saya ke cemplung” 
“Tolong...tolong...anak saya kecebur...Pak Zuki tolong.....” 
Teriak Emak yang panik, melihatku yang terpeleset jatuh masuk ke dalam air, sontak semua orang langsung tertuju ke sumber teriakan. Aku panik dengan gerakan yang tidak beraturan vertikal terbawa air memutar-mutar seperti pusaran air, pandangan tidak jelas mana yang harus aku tuju. 
Ekspresi wajah Emak yang panik memerah, seperti ada penyeselan karena telah melepas pergelangan tanganku. Aku belum bisa berenang, hanya berteriak sekencang-kencangnya meminta pertolongan dengan keadaan kadang mengambang
43 
timbul tenggelam, dengan secara refleks aku berusaha agar kepalaku selalu ada di permukaan air untuk memberitahukan keberadaanku sehingga ada yang segera menolongku, arus air yang deras terus membawaku semakin jauh dari Emak. 
Pak Zuki dengan cekatan langsung nyebur ke arahku, dengan gaya front crawl perlahan tapi pasti mengejarku, kedua belah lengan secara bergantian di gerakkan jauh ke depan dengan gerakan mengayuh, sementara kedua belah kaki secara bergantian di cambukkan naik turun ke atas dan ke bawah. Posisi wajah Pak Zuki menghadap ke permukaan air, dengan pernapasannya di lakukan saat lengan di gerakkan ke luar dari air saat tubuhnya menjadi miring dan kepala berpaling ke samping. Sewaktu mengambil napasnya, ia bisa memilih untuk menoleh ke kiri atau ke kanan. Gaya berenangnya bisa membuat tubuhnya melaju lebih cepat di air untuk menjangkauku. Pak Zuki segera menghampiriku, dengan terengah-engah meraihku, aku yang sambil menangis
44 
dan pucat ketakutan, Pak Zuki seperti seorang water rescuer dengan teknik pertolongan korban/evakuasi yang dilakukan di air, kemampuannya menolong untuk memilih dan menentukan kemampuan yang di miliki seorang rescuer, dengan metode yang harus dilakukan untuk menolong harus bisa memilih metode pertolongan yang paling cepat dengan resiko yang kecil. Pengetahuan mengenai bahaya-bahaya ketika berada di air, contohnya : panik, letih, maupun kram karena arus air. 
Akhirnya, aku tersadar dan terbangun. Penglihatan mata dari mulai remang-remang menjadi terang, perlahan aku coba menggerakkan tanganku yang di genggam sama Emak. Air matanya di usap yang ada di pipi kanan dan kiri karena telah melihat aku tersadar dari pingsan. 
“Emak, Asa kenapa?” tanyaku lirih karena masih mencoba mengingat-ngingat apa yang terjadi denganku. 
“ Iya, anakku kamu tadi terjatuh di kali ..sayang “
45 
“Tapi Alhamdulillah kamu enggak apa-apa „kan?” sambil memegang badanku dan memeriksa dari mulai tangan, bahu dan kepala apakah aku memiliki luka, dengan wajah peluh kepanikan. 
“Tapi Alhamdulillah kamu enggak apa-apa „kan?“ lirih di lemparkan pertanyaan lagi untuk meyakinkan kalau aku tidak apa-apa. 
“Alham...dulillah Emak..........alhamdulillah Emak... Asa enggak apa-apa, Asa hanya kaget dan panik, maafkan Asa yah „Mak karena nakal tak mau dipegangi” 
Pak Zuki telah menyelamatkan nyawaku. Di hari pertama dalam sejarah hidup di hari pertamaku berangkat ke sekolah. 
= #=#=#= 
Tak sukar menggambarkan kampungku, karena kampungku adalah kampung yang terkenal dengan banjir di setiap musim penghujan tiba. Dengan kondisi curah hujan yang tinggi dan terus menerus apabila intensitas mencapai 150 mm/hari
46 
baik di hulu bogor maupun di hilir Jakarta, kampungku di pastikan terkena banjir. Aku berasal dari pemukiman kumuh bantaran kali, merupakan permasalahan klasik yang terjadi sejak lama, yang berkembang di kota-kota besar. Permasalahan pemukiman kumuh tetap menjadi masalah dan hambatan utama bagi pengembangan kota. 
Laju perkembangan kota Jakarta yang semakin pesat membuat pemanfaatan lahan yang semakin kompetitif, sedangkan di sisi lain, perkembangan kota menjadi daya tarik urbanisasi yang pada akhirnya menyebabkan tingginya tingkat permintaan akan tempat tinggal di dalam kota. Selain itu, pesatnya perkembangan penduduk perkotaan tersebut yang umumnya berasal dari urbanisasi tidak selalu dapat diimbangi oleh kemampuan pelayanan kota sehingga telah berakibat pada semakin meluasnya lingkungan permukiman kumuh. Kampung yang tak pernah luput dari tempat persinggahan arus urbanisasi.
47 
Aku kelas enam SD tepat tahun 1996, kampungku di landa kebanjiran yang sangat besar. Bahkan Pasar Proyek Jatinegara tempat aku bermain bola ketika malam hari, ikut terkena banjir walau hanya semata kaki. Bapak, Emak dan ketiga adikku sibuk menyelamatkan harta benda kami. Semua tetangga pun sibuk dengan menaikkan barang-barang berharga ke lantai dua rumah mereka. Semua di pusingkan bagaimana agar harta tidak terbawa banjir dan mengharuskan kami untuk mengungsi. Mereka mencoba bertahan dengan segala kemampuan mereka. Air tergenang di mana-mana membuat kampung kami menjadi sebuah kolam renang raksasa dengan air kecoklatan, seperti macam tempat permainan orang-orang dewasa yang lalu lalang dengan berenang. 
Aku mencoba menyikapi segala sesuatunya dengan positif, keadaan serba sulit ini membuat aku kecil mencoba bangkit dari keterpurukan, menjalani kehidupan sebagai pengungsi banjir di jalani dengan senyum dan sabar, dalam wajah kesedihan yang
48 
tercermin mengandung sebuah harapan dan impian, ketika melihat para Fasilitator dari mbak-mbak trauma healling dalam menghibur kami anak-anak korban banjir, mereka menyatakan bahwa semua bencana dan duka itu pasti ada hikmahnya, jadi adik- adik tidak perlu takut, di balik setiap ujian dan bencana, semua itu pasti ada sesuatu yang indah kelak. 
Kucoba merenung dan selalu menanamkan mimpi dan khayalanku, nanti kelak aku dewasa akan menjadi seseorang yang bermanfaat untuk orang lain, mimpi dan hati kecil yang mulia itu lahir dari sebuah keprihatinan akan pengalaman diri sendiri, dengan segala keterbatasan dan kekurangan, aku harus terus berjuang mencoba untuk mencapai mimpi dan harapan dengan selalu belajar dan bekerja keras serta berjualan, suatu saat nanti aku akan menjadi orang yang berguna. 
Aku menjalankan kehidupan yang sangat pahit di karenakan aku adalah anak pertama dengan dua bersaudara yang menjadi tanggungjawabku
49 
kelak, perjuangan itu di mulai dari Aku duduk dibangku kelas 3 SD, aku harus berjualan mengelilingi Kampung Pulo hingga menyeberang kampung dengan bantuan getek. Aku mencoba menjajakan daganganku sambil meneriakkan : 
“Sate ayam ......“ 
”Ucus goreng........” 
“Kepala ayam.......” 
Begitulah teriakanku dengan suaranya yang lantang. 
Aku mencoba menapakkan semangat dan senyumku berusaha membantu Emak. Di karenakan Bapak tidak bisa bekerja memberi nafkah untuk keluarga di karenakan sakit yang tak kunjung sembuh dari kesadarannya, aku pun tak pernah mengerti kenapa Bapak hanya diam dan membisu, pernah aku menanyakan apa yang terjadi sama Bapak dengan Emak. Emak pun hanya terdiam dan menangis. 
Hari demi hari, Aku menapaki setiap jalan becek, dari satu gang ke gang yang lain, masuk kampung keluar kampung berkeliling menjajaki
50 
daganganku, mencoba mencari penghasilan untuk kebutuhan adik-adikku yang masih kecil. Aku mencoba berjuang dengan penuh keyakinan suatu saat nanti aku bisa sukses menjadi seorang prajurit ABRI. Iya, cita-cita yang hampir umum untuk anak laki-laki kala itu, menjadi seorang prajurit gagah dan berani membela negara dan bangsa. 
Sepulang sekolah dengan getek bersama-sama teman menyeberangi kali Ciliwung yang membatasi antara Kampung Pulo dengan Bukitduri. Aku mencoba mandiri tanpa di suruh Emak, aku berinisiatif jualan setiap hari pulang sekolah, dengan berbeda-beda barang yang aku pernah jual, mulai dari makanan berupa sate ayam goreng, putu mayang, tempe goreng dan risol goreng pernah aku jajakan, Aku kecil sangat bahagia, apabila musim banjir pun melanda, di karenakan sekolah menjadi libur. Keuntungannya di bilang lumayan hampir dua kali lipat karena hampir semua orang membeli makanan yang di jajakan, di karenakan semua berasa lapar ketika banjir, karena hampir semua keluarga tidak
51 
bisa memasak karena banjir, sehingga penghasilanku di bilang lumayan karena itu. 
= #=#=#= 
Semua itu berawal dari pernyataan Engkong sebelum meninggal yang di pesankan ke Bapak, kata-kata itu terus terngiang ; 
“Asa...harta Engkong tujuh turunan tidak akan pernah habis-habis di makan semua keluarga hingga tujuh turunan” 
Ingatan masa kecil yang terus di tanamkan sama Engkong melalui Bapak, menjadi cambuk luar biasa, karena hal itu aku sering diejek-ejek sama teman sepermainanku, karena di anggap menjadi anak sial, karena aku adalah anak keturunan delapan. 
“Anak keturunan delapan” 
“Asa anak keturunan delapan, wkwkwk sambil tertawa dan terbahak-bahak semua menertawakan diriku” mereka mengejek berramai- ramai.
52 
“Dasar anak keturunan delapan sih,,,sialkan jadinya keluarga kamu tuh, ayo jangan ditemenin anak sial itu ; si anak keturunan delapan”. 
Sungguh sangat menyedihkan sekali, aku dianggap menjadi anak sial, karena aku keturunan delapan, yang menyebabkan kesulitan ekonomi keluargaku, di karenakan kehadiranku yang membuat semuanya menjadi hancur, tanah yang begitu luas, rumah yang begitu banyak, sampai dengan warung habis tak bersisa, yang ada hanya cerita dan kenangan, semua itu habis dan tanpa bekas. Aku pun tidak mengerti mengapa semua itu terjadi, apakah benar itu memang semua karena penyebabnya karena aku, sungguh luar biasa mata air ku tak terbendung, meratapi begitu malangnya aku, tidak banyak yang mau berteman dengan ku kala itu, karena dianggap menjadi sebuah musibah karena kelahiranku. 
Emaklah yang menjadi penyemangatku dalam membangkitkan semuanya dari keterpurukan mental dan percaya diri yang begitu hancur.
53 
“Asa, yang sabar yah, Emak tahu Asa sedih dengan kelakuan teman-teman Asa, janganlah kamu bersedih, anakku semuanya itu sudah diatur sama Allah SWT, jadi Asa jangan bersedih, suatu saat nanti Asa akan menjadi orang hebat karena kesabaran dan kerja keras Asa dalam menghadapi cobaan hidup ini” 
“Emak hanya bisa mendoakan kelak engkau menjadi orang yang berguna dan orang-orang akan melihat karyamu,dan akan berguna untuk orang lain, ketika kamu tetap sabar dan menjalankan cobaan dari Allah, dan kamu tetap tidak sombong ketika kamu sukses yah „nak”. 
“Percayalah „nak sebuah kesuksesan itu kelak akan kamu raih dengan kerja keras serta doa, dan ketika kamu tersenyum, senyummu akan bermanfaat untuk mereka, jadikanlah masa-masa sulit ini menjadi pembelajaran yang terus kamu ingat, di saat kamu pun ketika di atas, kamu tidak akan pernah sombong, karena kesombongan kamu itu justru akan menghancurkan diri kamu sendiri”
54 
“Emak sangat sayang sekali dengan Asa, terima kasih banyak yah „nak, waktu bermainmu, kamu menjadi berjualan setiap hari demi kebutuhan hidup kita sehari-hari” 
Air mataku tak tahu kenapa menetes deras membasahi tangan Emak, Emak pun sama meneteskan air mata, kami larut dengan air mata sebuah harapan, suatu saat nanti aku yakin menjadi orang yang sukses. Itulah emosi yang menemaniku, sehingga menguatkanku menapaki hidup dengan harapan serta doa dari Emak. 
= #=#=#= 
Aku kembali mengalami sakit perut yang sangat luar biasa seperti dulu, tapi kali ini disertai buang air besar secara terus-menerus. Setelah di bawa ke dokter, dan menjalani pemeriksaan, aku diberitahu tentang sesuatu yang membuat Emak hampir jatuh pingsan. 
“Anak Ibu terkena penyakit disentri”
55 
Penyakit menular. Bahkan dokter dan perawat pun mengatakannya dengan tubuh menegang. Disentri merupakan salah satu jenis diare akut atau timbul mendadak, umumnya banyak di alami anak pada usia balita. Penyakit disentri yakni infeksi kuman Shigella (disentri basiler) dan parasit emtamoeba histolitiyca (disentri amuba). Gejala disentri pada anak biasanya di dahului demam (pada disentri basiler), ada gejala sakit perut ketika BAB dan setelahnya rasa sakit tersebut hilang serta feses berlendir dan berdarah. 
Aku belum paham kenapa penyakit itu dapat merasuki tubuhku yang kecil dan mungil ini. Dari mana mulanya jalur penyebaran penyakit disentri itu. Mereka mengira aku mungkin telah menyantap makanan yang berasal dari jajanan sembarangan yang ada di depan sekolah. 
Penyakit disentri membuatku kembali masuk rumah sakit. Kali ini bukan hanya di rawat dalam ruang perawatan yang ada di kamar kelas 3 nomor 367, akan tetapi aku juga masuk ruang isolasi. Di
56 
bagian isolasi Rumah Sakit Umum Daerah Persahabatan tersebut yang berada di lantai 1, di bagian pojok dari gedung rumah sakit. Emak yang mengkhawatirkanku pun ikut terus menemani. Setiap melihatku gugup dan cemas, dia selalu memberikan suntikan spirit, keberanian, cinta dan kasih sayangnya. Seandainya saat itu tidak di temani, aku mungkin akan menjadi sosok yang pemurung dan hanya pasrah dengan keadaan yang menimpa. 
Seluruh jendelanya berwarna abu-abu dengan dinding tembok warna putih di pasangi palang besi kecil dan saat malam tiba semua pintu dikunci dan di jaga oleh suster perawat jaga. Lantai di bagian isolasi ini berwarna merah. Di bagian lain rumah sakit tersebut, lantainya berwarna hijau. Suster perawat memperingatkan aku agar tidak keluar dari bagian merah. Meskipun pada hari kedua setelah aku dalam perawatan, sakit perut dan diareku yang mulai membaik, dan aku boleh berlarian di lantai berwarna merah, tetap saja aku tak di perbolehkan keluar dari bagian itu.
57 
Tak ada yang menengokku, kecuali Bapak yang di antarkan Enyak membawa pakaian gantiku. Suster perawat datang mengantarnya setelah memberikan beberapa penjelasan tentang peraturan yang ada di rumah sakit, seperti ; jam besuk, larangan yang tidak dan boleh makanan yang aku makan. 
Di atas lorong rumah sakit yang memiliki batasan warna yang berbeda, daerah mana yang boleh di kunjungi oleh keluarga pasien dan yang tidak bisa di akses oleh siapa pun kecuali petugas rumah sakit. 
Bapak seperti biasanya hanya duduk terdiam di bangku yang berada di samping bangsal perawatan, tak banyak kata-kata yang keluar dari mulutnya. Dengan sesekali melihat dan memperhatikan aku yang berbaring di ranjang rumah sakit, dia seakan tak peduli dengan kondisi pada diriku. Dengan satu lilitan selang yang membentang panjang berdiri tegak 120 sentimeter yang menjuntai tabung infus berisi cairan elektrolit sedangkan di ujung satunya tertusuk jarum yang tajam ke lengan kiri berada di telapak tanganku yang mungil.
58 
Saat aku mengira Emak sedang berbicara dengan bapak, ternyata bapak berteriak sangat kencang, penuh histeris dan teka-teki. 
“Jangan dekati aku” 
“Arghhhhhhhhhhhhhhhh” 
“Jangan dekati aku” 
Bapak seperti marah dan berubah menjadi yang kalem terdiam, penuh tenaga meronta-ronta sambil melempar-lempar benda yang ada di sekitarnya, bapak melempar beberapa benda medis ke arah samping persis di sebelahku. Tapi aku tak paham, apa yang Bapak lihat, aku hanya melihat ada bingkai keterangan tentang peraturan yang ada di rumah sakit. Emak mencoba menenangkan Bapak, tapi tenaga Bapak sangat kuat sehingga mendorong Emak jatuh tersungkur di pojok kamar perawatan. 
Aku kaget dan merasa sangat ketakutan. Aku mengira Bapak sedang di rasuki roh jahat atau makhluk halus yang selama ini menghantuinya. Begitulah yang kulihat dari mulai perubahan matanya, teriakan dan tingkahnya yang sangat aneh.
59 
Beberapa perawat dan petugas keamanan rumah sakit segera datang setelah mendengar bunyi kegaduhan yang terjadi di kamar perawatanku. Dan akhirnya Bapak pun terdiam lemas setelah di suntikkan beberapa miligram obat penenang oleh seorang suster perawat, lalu di baringkan di ranjang yang kosong di sebelahku. Emak mencoba menenangkan aku yang menangis ketakutan, sambil mendekapku dengan mencoba memberikan kenyamanan agar aku tenang. Enyak pun turut menenangkan aku. 
Setelah kejadian itu berlalu. Aku mencoba menjalani kehidupan di bagian isolasi dengan perasaan senang. Karena dua minggu kemudian aku di izinkan pulang ke rumah. Namun suster perawat yang berseragam orange dengan tak lupa acesoris topinya pun sama berwarna orange, suster itu berkata ; 
“Apakah kamu benar-benar terkena disentri?” 
“Kami sudah memeriksanya di hasil pemeriksan laboratorium, tetapi...?”
60 
Walaupun aku belum begitu paham pembicaraan antara Emak dan suster perawat, aku tetap merasa senang karena aku akhirnya dapat pulang ke rumah. 
Hal lain yang aku ingat adalah seorang kakak perempuan yang kira-kira berusia 12 tahun, di mana kita sering berbincang ketika kita dalam satu ruang isolasi. Dia sering mengajakku bermain dengan permainan yang sangat menarik hatiku, walaupun perempuan dia pandai sekali merangkai puzzle yang terbuat dari kertas membentuk sebuah gedung kecil yaitu Tokyo Tower, aku sangat berkesan sekali melihat ketelitiannya dalam merangkai potongan puzzle sehigga membentuk satu bangunan Tokyo Tower yang megah. Dia senang sekali dengan bangunan itu. Dia memiliki cita-cita untuk pergi kesana dan kuliah di sana apabila dia sudah besar. Kakak itu setiap hari mengajakku bermain dengan puzzle yang beraneka macam bentuknya, puzzle itu di bawakan oleh Ayahnya. Dia sering sekali bertanya-tanya, penyakit apakah yang di derita
61 
olehku? Akupun tak mengerti apa yang terjadi pada tubuhku, terkadang aku merasa sangat lemah dan tak bergairah akan hidup, akupun tak ingin tahu jawaban yang sebenarnya yang membelenggu tubuhku yang mungil. 
"Doa memang tidak mampu mengembalikan mereka yang kita cinta, tapi mampu memberi kebahagiaan kepada mereka. Doa tidak mampu mengulang waktu, tetapi mampu membuat kesempatan datang kembali. Doa tidak selalu memperbaiki hati yang hancur, tetapi doa mampu mengubahnya menjadi sumber kekuatan dan penenang kalbu" 
Akhirnya aku kembali ke sekolah, aku berubah menjadi periang. Karena aku tak ingin teman-teman mengetahui kalau aku memiliki penyakit. Teman-temanku satu kelas mendapat imunisasi agar mencegah penularan yang di suntikkan di lengan kiri setiap anak, walaupun kami tak mengerti kenapa kami harus di suntik? kami pun tidak begitu peduli dengan hal itu walaupun demikian
62 
imunisasi tetap kami jalani, satu persatu di panggil oleh ibu guru, namanya yang di panggil langsung menuju bangku yang sudah menanti seorang dokter di dampingi perawat, satu-persatu dari kami pun terlihat seperti ketakutan walaupun kami menangis tetap saja imunisasi tetap berjalan, menangis, lalu selesai. 
Emak berjualan di pasar bukitduri, pasar itu berada di seberang kampung kami. Emak berjualan di pasar itu hanya pagi hari. Emak berjualan makanan ringan untuk sarapan pagi, seperti pisang goreng, tempe goreng dan bakwan goreng. Apabila Emak berjualan, aku dan adik perempuanku di asuh oleh Enyak, sebagian besar waktuku di habiskan bersama Enyak. Bukan dengan Bapak, karena dia hanya selalu terdiam di sudut pojok rumah dekat jendela. Bapak saat itu sudah tidak memiliki aktivitas apa-apa kecuali dalam lamunannya yang panjang. 
Manusia aneh seperti Bapak mungkin mengira anak kecil seperti aku hanya layaknya boneka. Sehingga aku hanya di ajak berbicara dan
63 
tertawa sendiri, apapun yang di lakukan tidak akan memberikan respon rangsangan motorik ataupun hanya mematung diam tak berbicara. Mungkin Bapak tak pernah berfikir aku pun dapat berkembang dan tumbuh besar, hati dan pikiranku pun mempengaruhi pola pikir dan pengalaman orangtua yang sangat berpengaruh besar dalam pertumbuhanku. Hubungan Bapak-Asa yang seperti itu membuat Enyak di rumah mencoba memanjakan aku. Enyak sering sekali berkata, “kasihan sekali nasibmu, Asa.”. Enyak sering sekali memancing pembicaraan yang membuatku menjadi sering berfikir. Enyak berkali- kali mengajukan pertanyaan yang sama padaku. 
“Siapa orang yang paling di sayang Asa?” 
“Emak” 
“Lalu siapa lagi?” 
“Tentu saja Enyak” 
“Ehm, iyah betul, betul.” Kata Enyak sambil memelukku dengan hangat. 
Aku pun tak sadar kalau nama Bapak tak masuk dalam daftar orang yang aku sayangi. Itu
64 
bukan karena aku tidak menyukainya. Bukan karena itu, entah mengapa, aku merasa akan jauh lebih baik kalau nama Bapak tidak kusebutkan. Paling tidak itulah kenyataan yang terlihat di depan mata dalam keseharianku. Mungkin hampir semua anak-anak kecil sedunia memasukkan daftar sorang Ayah sebagai urutan nama kedua setelah ibu. Aku pun tak mengerti apakah itu salah ataupun benar. 
= #=#=#=
65 
Chapter Two 
Hubungan antara “Emak dengan Asa” adalah sesuatu yang sangat sederhana. Seandainyapun apabila mereka hidup secara terpisah, dan hampir tak bertemu, hubungan itu takkan pernah berubah. 
Emak bukan saja sosok yang sangat berarti untukku. Akan tetapi Emak adalah sebuah jarum kompas yang mengarahkan aku dalam menjalani kehidupan ini. Walaupun hidup Emak penuh kecemasan, akan tetapi Emak tidak pernah memperlihatkan kecemasannya, seakan merasa berada di tempat yang tidak membuatnya cemas, sesungguhnya rasa cemas itu bertumpuk di dalam hati. Seperti dalam retakan di dinding rumah yang di biarkan dan akhirnya menjadi terbiasa, namun lambat laun akan menggerogoti bangunan rumah tersebut. Retakan seperti itu semestinya membuat malu dan secepatnya harus di tutup. Emak memiliki pandangan lain, menurut Emak apapun cobaannya, ketika pondasi rumah tetap akan membuat berdiri bangunan
66 
rumah sekalipun sudah terendam berminggu-minggu oleh banjir setiap tahun, di basahi hujan yang sangat deras dan terik panas yang membentang menyengat ke seluruh bangunan. Begitupun diri kita. 
“Jati diri yang di bangun oleh seorang anak manusia yang tidak memiliki kesadaran diri, jika di terpa badai akan terempas ke tepi pantai dan menjadi rongsokan sampah yang membentang mengotori keindahan pantai” 
Aku seperti cangkang kerang yang teronggok di pasir, aku lahir dalam kondisi keluarga seperti ini, tidak ada yang bisa memilih ketika keluarga mana kita harus berasal dan ketika aku lahir dalam kondisi yang serba sulit seperti itu, layaknya melihat badai gelombang yang ada di pantai. Aku pun tidak harus merasa sedih atau merasa terpuruk, namun hanya melihat dengan mata yang bersinar penuh titik beku karena dinginnya hidup ini. Mungkin memang aku tidak dapat mengungkapkannya melalui kata-kata, namun aku bersyukur mendapatkan kemampuan untuk membaca skenario sang pencipta tentang
67 
putaran roda kehidupan yang terjadi. Sehingga aku dapat memiliki kemampuan untuk memilih apa yang harus aku lakukan dalam kehidupanku selanjutnya. Hal tersebut merupakan sebuah insting yang di berikan sang pencipta kepada seluruh makhluk di muka bumi ini yang paling lemah sekali pun untuk mempertahankan hidupnya sehingga dapat beradaptasi dengan baik. 
= #=#=#= 
Aku tak pernah merasa memiliki seorang Bapak. Sejak kecil, walaupun kami tinggal bersama, namun aku tak pernah menolak statusnya sebagai seorang Bapak, meskipun itu hal yang wajar. 
Bapak layaknya seperti sebuah balon tiup yang terbuat dari sabun yang terbentuk dari tiupan seorang anak kecil yang bermain di lapangan, balon itu memang indah ketika terbang di angkasa, akan tetapi hanya bertahan dalam hitungan detik saja, begitu juga Bapak memang jasad dan badannya selalu hadir bersama kami, akan tetapi dalam hitungan waktu sesaat saja aku belum pernah
68 
merasakan sebuah kasih sayang dari seorang Bapak. Namun walaupun demikian, meskipun Bapak tidak pasti antara ada dan tiada keberadaan jiwanya dimana. Pada saat-saat tertentu dia akan muncul, lalu aku tersadar keberadaannya sangat berarti dan membuat hatiku sangat tenang. 
Emaklah yang mengisi relung-relung hatiku yang hampa, berterbangan yang membawaku sebagai petualang dan penjelajah dalam menciptakan rute penerbangan arah mana yang harus aku singgahi. Keberadaannya begitu dekat dengannya. Sedikit saja dia menghilang, maka aku akan mencarinya kesana kemari. Dan dia pun akan muncul dengan segera sebelum tangisanku mengering di pipi. Kebersamaan kami membentuk suatu penyatuan seperti jarum jam yang bunyi berdetak beriringan dan seirama. Sehingga keberadaan Emak di sisiku membuatku menjadi manusia yang tenang. 
Suatu ketika ada perayaan maulid Nabi Muhammad SAW yang di isi oleh berbagai ceramah kondang di musholla Al-Awwabiin. Dan tak lupa
69 
juga para panitia mengundang ke semua anak yang tak memiliki ayah dan ibu ataupun lebih dikenal sebagai anak yatim atau anak piatu yang ada di kampungku. Yang di undang melalui Ketua RT dan di umumkan melalui pengeras suara yang ada di Musholla. 
Sesampainya di rumah, aku menanyakan pengumuman itu kepada Emak. Emak bertanya, “Kamu mau ikut, Asa?” 
“Aku enggak mau ikut. Aku enggak mau ikut,” kataku dengan sedih. Mendengar hal itu, Emak mencoba membujukku. 
“Asa tidak perlu malu, datanglah seperti jamaah yang lain, walaupun Asa bukan undangan seperti teman-teman Asa yang lain” 
Aku datang karena seperti biasa, aku shalat di musholla. Aku pun tak mengerti apakah aku termasuk yang ada dalam undangan tersebut atau tidak. Aku seperti biasanya seperti jamaah yang lain. Duduk bersila di barisan kaum bapak-bapak dan dengan anak-anak yang lain. Acaranya sangat meriah
70 
di hadiri begitu banyaknya jamaah sampai membludak di sepanjang jalan yang ada di kampung. Karena kapasitas musholla tidak dapat menampung begitu banyak jamaah. Selesai penceramah bertausiyah, selanjutnya acara yang di tunggu oleh para anak-anak yatim dan piatu. Mereka di panggil satu persatu sesuai nama dan RT mana dia berasal. Di panggil ke depan dekat mimbar diberikan sebuah bingkisan berwarna coklat yang terbuat dari kertas sampul buku yang berisi perlengkapan dan alat tulis sekolah, dengan selembar amplop putih berisi uang sebesar dua puluh ribu rupiah. Sesungguhnya aku pun mengharapkan di panggil, seperti teman-teman yang lain. Selesai Syaipudin adalah nama terakhir di panggil oleh panitia, Pudin panggilannya, anak yatim yang di panggil karena meninggal Bapaknya yang tertabrak kereta ketika mengantar Pudin ke sekolah. 
Aku pun pulang dengan perasaan sedikit kecewa dan sedih. Walaupun aku tak berbicara dengan Emak tentang kesedihanku, tapi Emak telah mengerti apa yang terjadi denganku.
71 
“Sabar yah „nak, insyallah rezeki nanti ada yang lebih dari Allah, memang mungkin itu bukan hak-mu” 
“Iyah, Emak...Asa mengerti kok” sambil senyum mengedipkan mata, memperkuat hati. 
= #=#=#= 
Meskipun bertahun-tahun tinggal di rumah Enyak di Kampung Pulo. Namun aku tetap tak menganggap rumah itu sebagai rumahku sendiri. Bahkan walaupun aku hanya memiliki beberapa ruang untuk menyimpan buku-buku pelajaranku, sekalipun menurut Enyak rumah ini warisan Engkong untuk Bapak, Aku merasa bahwa semua rumah itu hanyalah tempat menumpang. Aku hanya merasa memiliki Emak yang begitu menyayangiku, begitulah hidupnya Asa, sederhananya cara pandang anak kecil yang sangat sederhana. 
“Aku hanya ingin di tempat Emak tinggal” adalah pemikiran yang paling menguatkan hatiku. Aku sering sekali menulis di buku catatan kecil
72 
tentang sesuatu hal sederhana, dari mulai tentang silsilah keluarga, catatan kegiatan sehari-hari, dan perjuangan Emak yang setiap hari membuatku semakin kuat. Emak adalah sosok yang sangat menginspirasiku dalam menjalani hidup ini. Karena saat di minta menulis karangan bertema “Emak”, dengan mudahnya jari-jari kecilku menulis dari mulai sosok Emak yang membuatku paling nyaman saat menulis kehidupan Emak seperti ketika aku menulis, setiap tulisan yang aku tulis seakan mendapatkan kehangatan kasih sayang kembali perasaaan dan mereview keadaan itu. 
Aku tak pernah menyesal dan menganggap salah nasib yang di ciptakan Allah kepadaku. Dengan berbagai persoalan keluarga dan kekurangan kasih sayang seorang Bapak sebagai sesuatu inspirasi di balik kekurangan. Hal itu, kini bagiku tak perlu mengiri dengan keluarga lain. Aku hanya ingin dengan segala cobaan dan rintangan di permasalahan itu tidak di biarkan begitu saja. Bahkan diantara kerabatku, aku lebih memilih hal itu menjadi topik
73 
perbincangan biasa, tak perlu menjadi kata-kata yang penuh keprihatinan dan rasa kasihan. 
= #=#=#= 
Banjir kali ini lumayan sangat besar. Aku dengan suka cita bersama teman-temanku, sibuk berenang di air yang kotor memakai ban bekas. Kami tidak pernah peduli kuman penyakit akan menempel di kulit, berenang dan bermain air sampai kulit kami mengkerut. Walaupun kami harus membersihkan sampah yang berserakan di dalam rumah atau lumpur akibat kemasukan luapan air tak di undang. Bahkan ketika kami harus mengungsi. Kami bersama-sama warga sekampung tidur dalam tenda berramai-ramai, makan bersama dari dapur umum seperti acara perkemahan Pramuka Perjusami (Perkemahan Jumat Sabtu dan Minggu) yang di lakukan di Bumi Perkemahan Cibubur. Wajah orangtua kami mendung seperti langit di bulan Januari atau gerutuan tentang bantuan yang sedikit dari Pemerintah.
74 
Di pengungsian aku bertemu dengan adik Sarah yang berumur delapan tahun, adik Sarah kaki kanannya mendadak lumpuh dan layu. Tidak bisa menyangga tubuhnya lagi. Bahkan untuk dia berjalan pun harus di seret kakinya. Menurut Dokter Puskesmas yang ada di pengungsian, dia terserang penyakit polio. Sejak itu Ia sangat membenci bulan penghujan tiba. Ia tidak bisa berenang di kolam raksasa saat air menggenangi kampung. Dia merasa menjadi beban untuk bapak dan kedua kakak laki- lakinya saat harus mengungsi. Mereka terpaksa harus menggendong atau memapah dalam mengevakuasi dari rumah yang hampir tenggelam. Polio juga yang membuatnya berhenti bersekolah. Dia tidak tahan dengan ejekan dari teman-teman yang menghina kakinya. Setiap pulang sekolah Dia selalu menangis sedih. Bukan kehendaknya, kakinya menjadi lumpuh layu. Apabila boleh meminta, dia pun ingin kakinya normal seperti anak-anak yang lain. Namun takdir berkehendak lain. Dia harus hidup dengan kaki yang harus di seret
75 
jalannya. Kecacatannya menjadi bahan olok-olok yang lucu bagi teman sekolahnya. Walau guru sudah memarahi teman-teman yang doyan menghinanya, mereka tidak jera juga. Saat guru lengah, mereka terus mengejek yang menghancurkan harga diri. Satu-satunya jalan untuk menghentikan penghinaan adalah dengan berhenti sekolah. Untuk mengisi waktu, Dia belajar menjahit pada ibunya yang memang seorang tukang jahit. Aku sangat iba sekali dengan kondisi adik Sarah, Aku mencoba menghiburnya, memberikan semangat agar dia bisa bangkit dari mental yang terpuruk akibat musibah penyakitnya itu. Adik Sarah tak perlu malu apabila harus bertemu dengan orang asing. Walaupun tatapan mereka kasihan ataupun menghina, adik Sarah pun harus terima dengan sabar dan ikhlas. Polio membuatnya menjadi beban Bapak dan kedua kakak laki-lakinya saat banjir datang. Mereka harus menggendong atau mendukung untuk mengevakuasi dari rumah yang hampir tenggelam. Udara dingin dan lembab membuat kaki kanannya
76 
semakin ngilu untuk di gerakkan. Januari, puncaknya musim penghujan sungguh menyiksanya. Aku juga dan teman-teman tak nyaman berada di pengungsian. Bercampur-baur dengan banyak manusia yang beragam watak dan sifatnya membuat kita harus mengontrol emosi dengan seksama. Amarah gampang sekali tersulut. Mungkin karena rasa lelah, capek dan putus asa bercampur- aduk membuat kesabaran makin menipis. Belum lagi makanan di pengungsian yang selalu kurang ataupun telat datang, tidur yang tak bisa nyenyak karena bayi dan anak kecil yang sibuk menangis di malam hari karena kedinginan dan kelaparan, saling berebut menerima bantuan menjadi cerita suram di pengungsian. Bertahan di rumah yang kebanjiran juga bukan pilihan. Saat malam harus bergelap-gelapan karena tidak ada aliran listrik. Karena Kantor PLN Jatinegara sengaja memutus aliran listrik ke daerah yang tergenang banjir agar tidak terjadi korsleting. Tidak ada akses informasi. Tidak bisa kemana-mana
77 
kecuali memakai perahu. Ditambah lagi susahnya mendapatkan bahan makanan untuk mengganjal perut. Betul-betul seperti buah simalakama. Pernah ada kerabat yang datang dari kampung bertanya kepada Emak mengapa kami tidak pindah saja dari kampung ini. "Sudah tahu tiap tahun kebanjiran kenapa tidak pindah ke kampung lain saja yang bebas banjir?" Emak menghela nafas panjang, "Ini Jakarta. Harga tanah di sini lebih tinggi dari harga emas. Harga tanah di daerah yang langganan banjir saja sudah mencekik leher, apalagi di kawasan yang katanya bebas banjir. Kami tetap bertahan disini karena tidak ada pilihan lain!" ujar Emak dengan nada prihatin. Rumah bertingkat dua di kampungku bukan barang mewah tapi lebih sebuah kebutuhan. Untuk menyelamatkan perabotan dan nyawa. Ketika hujan turun dengan deras, Emak dan ketiga adikku sibuk mengangkuti perabotan ke lantai dua. Bersiap-siap
78 
menghadapi banjir yang sewaktu-waktu bisa datang kapan saja. Saat banjir besar Tahun 1996, Aku ingat dengan detail peristiwa yang menjadi latar belakangnya. Banjir hampir menenggelamkan rumahku, air yang masuk tingginya lebih dari dua meter, aku dan Emak beserta adik-adik serta Bapak memilih bertahan di lantai dua...Emak tahu bahwa aku dan adik-adik tidak nyaman berada di pengungsian. Aku dan Emak harus berpuasa. Tidak ada lagi yang bisa di makan dan di minum di rumah ini. Doa- doa terus di panjatkan agar ada cepat datang pertolongan. Sepertinya doaku tertahan di langit, belum juga menampakkan ada hasilnya. Airmata sudah tumpah di pipi. Panik, sedih, kedinginan serta lapar yang mendera membaur jadi satu memunculkan putus asa. Di saat aku hampir kehilangan harapan, Allah mengirimkan pertolongannya. Petugas dari SAR yang menyisir perkampungan menemukan kami
79 
yang lagi meringkuk kedinginan. Suara memanggil dari Toa berwarna krem. “Kepada semua warga agar segera mengungsi karena debit air akan semakin tinggi, demi keselamatan saudara-saudara semua harus kami ungsikan ketempat yang lebih aman” Aku segera mengiyakan ucapan seorang anggota SAR yang tertulis di dadanya yang berwarna orange. “Kami mau mengungsi pak, tolong kami” teriakku bersama-sama keluargaku. Bertahan di rumah yang di kepung banjir bukan karena takut meninggalkan harta benda. Tidak ada barang berharga di rumah ini. Lilin menjadi penerang saat malam tiba. Dingin, lembap dan sepi yang mencekam membuatku terus memeluk erat Emak bersama adik-adikku. Untuk mengisi perut, kami mengandalkan mie instan. Namun ketika minyak tanah dan persediaan air bersih menipis, aku dan Emak menjadi panik. Sementara Bapak hanya terdiam tak pernah mengerti dengan keadaan
80 
sekitarnya, beliau hanya diam dan sesekali tersenyum sendiri, yang tak pernah kita mengerti apa yang terjadi padanya. "Cepat pakai jaket ini dek‟ biar hangat" Ujar seorang petugas yang memakai topi pet berwarna hitam. Dia melepaskan jaket yang di pakainya dan menyerahkannya kepadaku. Di bantu Emak, aku dan adik-adikku serta Bapak langsung mengenakan jaket yang di berikannya. Petugas SAR itu kemudian memapah Emak untuk menaiki perahu karet. Setelah petugas membopongku dan adik-adik ke perahu. "Kenapa kalian tidak mengungsi?" tanyanya. Aku bingung untuk mencari jawaban. Untung Emak cepat mengambil alih menjawab pertanyaannya. "Maunya mengungsi tapi kami pikir banjir tidak akan sebesar ini”. ujar Emak. "Syukurlah kalian di temukan, yang penting sekarang kalian selamat" Petugas dengan penuh rasa syukur. Aku dan Emak serta adik-adik langsung berpelukan dan dihujani ciuman oleh Emak.
81 
= #=#=#= Sifat, watak, karakter dan kepribadian seseorang bukan hanya di bentuk dari keluarga, namun juga oleh faktor lingkungan. Kondisi lingkungan merupakan salah satu pembentuk asal muasal bantaran kali Ciliwung beserta ekosistemnya merupakan pembentukan dari penciptaan yang membentuk seseorang sesuai dengan kondisi tempatnya berasal. Aku yang berasal dari kampung Pulo pun demikian halnya. Di dalam keluarga berawal aku yang condong pendiam, malu-malu ketika di tanya sosok orang yang baru di kenal dan tidak mandiri selalu bergantung sama keberadaan Emak. Namun karena kondisi orangtua, Bapak yang kurang berkomunikasi denganku karena penyakitnya, sehingga aku harus lebih banyak mengenal dan melompat jauh adalah faktor lingkungan yang mengharuskan aku untuk membaur dan bersosialisasi dengan lingkungan tempat tinggalku. Hal itu,
82 
akhirnya yang memberikan begitu banyak perubahan yang terjadi dalam diriku. Di dalam lingkungan pendidikanku di Sekolah Dasar, membuat aku menjadi anak yang aktif dan periang. Di mana aku harus berangkat sekolah sendiri menyeberang kali dengan getek serta menjelajahi jalan raya yang ramai dengan lalu lalang kendaraan, selain itu juga aku harus menaiki kereta listrik untuk mengikuti kegiatan Atletik di lapangan Banteng. Di sekolah, aku terkenal di panggil teman- temen Asa si “Anak kali”. Saat perlombaan pramuka penggalang aku menjadi ketua regu Sinna (Singa Naga). Dengan suaranya yang lantang dan berwibawa aku acap kali memegang barisan dalam regu untuk membangkitkan teman-teman dalam beryel-yel. Demi mengembalikan semangat mereka dan kecerian tim kembali, aku sering sekali melucu ataupun membuat lelucon agar mereka tertawa terbahak-bahak. Tertawa dan tersenyum dengan mereka itu merupakan masa-masa yang terindah
83 
untuk memberikan semangat kebangkitan menjalani hidup ini. Emak tak pernah memarahiku, ia selalu membebaskan aku untuk melakukan apa saja. Setiap pulang sekolah, aku langsung keluar lagi untuk bermain bersama Ajat dan Fadil di pinggiran kali. Bermain bola kasti, main perahu-perahuan yang terbuat dari daun bambu ataupun memancing di pinggiran kali untuk kami makan seperti lindung /belut, ikan sapu-sapu ataupun udang. Suatu saat, ketika pertama kali aku bisa berenang di kali Ciliwung, di atas getek seberang di saat aku sedang melompat-lompat kegirangan karena sudah bisa berenang. Ada yang sengaja mengadukan aku kepada Emak, bahwa aku sedang bermain-main di kali bersama teman-teman yang lain. Sesampainya di rumah Emak menanyakan hal itu. “Apakah benar, Asa bermain-main dan berenang di kali?” Emak menanyakan hal itu dengan penuh kecemasan.
84 
“Benar Emak. Alhamdulillah Emak. Asa sudah bisa berenang sekarang, malahan sampai bisa bulak-balik dari getek kampung kita sampai ke getek seberang” “Alhamdulillah, syukurlah Asa, Emak tenang dan lega, Emak sangat trauma dengan kejadian Asa tercebur waktu awal Asa pertama kali sekolah, tapi sekarang Emak sudah lega apabila Asa sekarang sudah bisa berenang, jadi apabila banjir melanda kampung kita lagi, Asa sudah bisa berenang, dan suatu saat nanti ketika Asa besar kelak dapat membantu orang-orang yang kebanjiran” “Iyah, Emak terima kasih, Asa sayang sama Emak” aku berlari menuju dekapan pelukan Emak. “Asa pikir Emak akan memarahi Asa karena sudah lancang berani bermain-main di kali” “Iyah, Asa. Ketika seorang ibu marah kepada anaknya, bukan hanya sekedar marah, akan tetapi ada alasannya mengapa ada seorang ibu memarahi anaknya, tapi untuk yang satu ini Emak tidak akan marah, malahan Emak bersyukur kepada Allah telah
85 
memberikan kemampuan Asa bisa berenang, Emak pikir Asa akan trauma dengan kali di karenakan Asa pernah tercebur hanyut dalam kali” 
= #=#=#= Rumah Engkong terletak di tengah-tengah kampung Pulo dekat lapangan RW.03. Persis di belakang rumah ada sebuah pohon Belimbing yang memiliki buah yang sangat ranum berwarna kuning dan manis sekali walaupun kadang agak masam tapi sangat segar. Aku bersama sepupuku Nana dan Fachrul sering sekali naik di atasnya ketika sore, mengambil buahnya sambil duduk-duduk mengobrol bertiga di atas pohon, bermain ayunan ataupun terkadang bergelantungan layaknya menirukan seorang Tarzan. Aku memetik buah Belimbing itu untuk aku bawa pulang yang kuberikan buat Nurma, Rysa dan Emak. Dan tak lupa juga Bapakku sangat suka, dia lahap sekali menyantap buah Belimbingnya. Permainan kami saat itu sangat bermacam- macam. Di bawah rindangnya pohon Belimbing
86 
berbagai macam permainan yang kita mainkan. Bermain gundu atau lebih di kenal kelereng itu permainan yang sering kami mainkan, berlomba- lomba meraih siapa yang paling banyak, dialah yang keluar sebagai pemenang. Ataupun bermain bola kasti yang melatih kecepatan mata dengan tangan untuk melatih kekuatan dan berlatih kemampuan fisik kita. Kami sangat menikmati permainan demi permainan yang kita mainkan. Kemenangan dari hasil kerja keras dan kebahagian yang dapat di petik nilai- nilai moral sebuah kejujuran dan kebersamaan selalu tercermin dalam permainan sederhana ini. Walaupun terkadang ada beberapa anak yang mencoba untuk tidak berbuat jujur ataupun curang yang mengundang kemarahan. Tetapi akan kita akhiri dengan elegan ketika semua bersikap jujur dan tidak berbuat curang, karena apabila itu di lakukan di jamin pasti tidak akan ada lagi menemaninya untuk bermain bersama. Di malam hari, Emak membuat persiapan adonan yang terbuat dari tepung terigu dan beberapa bahan yang lain untuk di buat menjadi makanan
87 
gorengan untuk di jual keesokan harinya. Aku terkadang membantu Emak sebisa yang aku mampu. Aroma berbagai macam bahan makanan memenuhi rumah kami. Terlihat di balik selimut, aku melihat adik-adikku yang terlelap menutupi sebagian badan yang menghangatkan tubuhnya. Aku mengamati Emak yang sedang mengaduk-aduk adonan, mencampurkan beberapa bahan kedalam satu wadah baskom. Aku menyukai bunyi ketika Emak sedang mengaduk adonan menggunakan alat yang dari alumunium berbentuk seperti lengkungan batang membentuk lengkungan es krim agak kenyal tapi kuat karena di satukan dengan gagangnya berwarna agak kecoklatan. Perasaan senang sekali apabila melihat perjuangan Emak dalam kesibukkannya yang berarti roda perekonomian keluarga kita akan terus berputar. Walaupun Bapak hanya terdiam sambil mengawasi aktivitas seluruh anggota keluarga, hal ini sesungguhnya sudah membuat kami tenang di bandingkan ketika dia sedang kumat.
88 
Mungkin karena besok pagi aku harus ke sekolah, Emak selalu menyuruhku untuk tidur lebih awal agar besok pagi tidak kesulitan ketika di bangunkan. Emak masih melanjutkan aktivitas pembuatan barang dagangan untuk esok pagi. Suatu hari menjelang sore, Enyak bersama Emak dan adik-adik perempuanku sedang duduk di teras depan rumah yang biasa mereka tempati. Saat itu waktunya untuk shalat Maghrib memang masih agak lama, jadi mereka berkumpul seperti biasa untuk bercengkerama dan mengobrol. Emak mengeluarkan makanan berupa dari adonan tepung terigu yang berbentuk agak bulat dan yang sering sekali aku lihat ketika menonton film Doraemon setiap Minggu pagi di televisi tetangga, iyah memang benar kue dorayaki, makanan kesenangannya si Doraemon. Aku senang sekali, makanan yang ingin sekali aku mencobanya. Aku sering sekali bilang sama Emak. “Emak, Asa ingin sekali makanan kue Dorayaki, seperti yang di makan Doraemon”
89 
“Sabar yah Asa, Insyallah ketika kamu pun bersabar, berusaha dan berdoa kepada Allah, semua keinginan Asa, pasti dikabulkannya?” “Iyah, Emak, tapi Asa maunya makan kue Dorayaki di Tokyo, aku ingin sekali berkunjung kesana untuk belajar dan mengejar impian serta cita- cita Asa” “Enak banget yah „Mak jadi Doraemon bisa kemana-mana dengan pintu ajaibnya, Asa ingin juga seperti Doraemon dapat pergi keliling dunia dengan pintu ajaibnya” Emak tidak pernah mematahkan impianku, dia selalu berkata. Kamu harus terus pelihara mimpimu. Karena sesungguhnya, mimpi itu yang akan memberikan kamu semangat untuk mencapainya. Jangan pernah kamu redupkan api mimpi itu, sesungguhnya mimpi itu yang akan selalu menghangatkan perjuangan di dalam perjalanan hidupmu.
90 
“Ayo semua cobain, makanan kue dorayakinya, masih hangat karena baru di angkat dari oven” Emak sedang menyajikan kue dorayaki. Dalam hitungan menit saja dorayaki langsung habis. Bapak hanya diam menghadap jendela melihat kami yang sedang bercengkerama, bercanda dan mengobrol satu sama lainnya. Bapak hanya membuang makanan dorayaki yang di berikan Emak kepadanya ke arah kucing yang sedang berdiam diri di pojok teras. Entah apa yang di pikirkan Bapak saat itu, padahal sering sekali emak mengajarkan aku jangan pernah membuang-buang makanan percuma di karenakan mubajir, Allah tidak senang dengan makhluknya yang menyia-nyiakan makanan. Aku sempat pernah berfikir, apakah Bapak tidak pernah di ingatkan orangtuanya agar tidak menyia-nyiakan makanannya, begitulah pemikiranku tentang masa kecilku melihat Bapak.
91 
Kampung ini bukanlah kampung kaya penduduknya. Meski demikian, orang-orangnya tidak pelit kepada sesama. Sifat inilah yang menjadi ciri khas yang lahir dan di besarkan dalam kampung ini, termasuk Emak dan saudara-saudaraku. Emak selalu mengajarkanku selalu berbuat baik kepada siapa saja, jangankan kepada manusia sama binatangpun Emak sangat baik, Emak mencontohkan itu dengan memungut anak kucing yang tak berdaya karena tercebur di kali. Di bawa pulang sama Emak untuk dirawat dan di besarkan karena kucingnya sangat lucu. Sampai kadang- kadang Emak merelakan ikan kembung goreng jatahnya di berikan kepada si “cungkring” kucing hitam berbulu yang memiliki matanya yang biru. Sesungguhnya Emak tak pernah memarahiku. Dan hal ini pertama kalinya aku di marahi Emak. Ketika itu umurku sekitaran sebelas tahun. Seorang teman mengejek-ngejek aku dengan pistol airnya dan selain itu juga dia membasahi seluruh bajuku dengan pistol airnya. Aku jengkel dan mengadu ke Emak.
92 
Kemudian aku mengambil pistol air mainannya yang berwarna hijau muda terbuat dari plastik lalu aku sembunyikan di dalam kolong gerobak bubur ayam Bang Somat. “Ooh, jadi ini kejujuran yang Emak ajarkan ke kamu dengan mengambil barang yang bukan hak kamu” dengan membentak dan nada suaranya yang tinggi. Tak ada pembelaan dan penyangkalan dariku, walaupun ada alasannya mengapa aku harus mengambil pistol mainan milik si Jamal itu. 
= #=#=#= Ketika aku masuk SMP, Emak menghadiahiku sebuah jam tangan yang sudah di janjikan, karena Emak menjanjikan apabila aku masuk SMP Negeri, dia akan membelikan aku jam tangan. Aku bersama Emak berjalan kaki kira-kira 1 kilometer dari rumah ke sekolah. Tak banyak anak- anak angkatanku yang bisa masuk negeri. Aku bersyukur dapat meraihnya.
93 
Kini setelah aku beranjak dewasa sering sekali mengenang berbagai kejadian masa lalu. Aku merasa bahwa Emak adalah orang paling hebat sedunia. Dengan segala pengorbanan dan kesabarannya, selalu memberikan yang terbaik kepadaku. Memang aku yakin semua Ibu di dunia ini akan melakukan hal yang sama terhadap anaknya. Sejak saat itu aku sangat menghargai waktu. Aku merasa memiliki ketenangan tersendiri ketika melihat jam tangan. Karena setiap aku melihat jarum jam detik yang berputar mengitari porosnya, hal itu menunjukan keyakinanku terhadap Emak yang selalu memberikan kasih dan sayangnya, yang tak pernah sedetikpun kasih sayang dan perhatiannya selaluku rasakan begitu indah. Beda halnya dengan jam dinding yang di banting oleh Bapak. Ketika jam dinding yang berada di rumah berdentang sangat kencang. Jam dinding berwarna hitam yang memiliki bandul pendulum yang berbentuk lingkaran peninggalan Engkong. Hancur tak berkeping.
94 
“Jgrrrrrrrr” berantakan jatuh di lantai yang hanya berlantai ubin berwarna kuning pucat. Kami pun tak mengerti mengapa begitu marah sekali Bapak ketika jam dinding itu berbunyi, seakan dia marah dengan sesuatu. Dan akhirnya tidak akan ada lagi detak jantung jam dinding itu berbunyi dikarenakan sudah rusak dibanting oleh Bapak. 
= #=#=#= 
Satu-satunya pasar kebanggaan orang Jatinegara telah terbakar. Dan hal ini mengakibatkan perubahan kehidupan dan kondisi orang-orang dewasa di sini yang membawa pengaruh kepada anak-anak di kampung kami. Demikian juga kepada teman- temanku, di mana anak-anak harus merasakan juga kehilangan pekerjaan orangtuanya di karenakan tempat berjualan orangtuanya habis terbakar. Di sekolah kami, ada bantuan dari pemerintah yaitu program Gerakan Nasional Orangtua Asuh (GNOTA), di mana anak-anak yang berasal dari keluarga kurang mampu mendapatkan tunjangan
95 
sosial bersifat santunan untuk membantu meringankan orangtua dengan memberikan berbagai keperluan perlengkapan sekolah. Pak Hutabarat guru walikelas membariskan anak-anak tersebut dan membagikan sumbangan berupa tas yang berisi ; buku, pensil, pulpen, penghapus, dan seragam merah putih dua stel. Alhamdulillah, aku mengucapkan syukur atas rezeki yang di berikannya. Aku pulang dengan perasaan bahagia, kemudian aku memberitahunya kepada Emak sepulang dari sekolah. Emak juga mengucapkan rasa syukur itu. 
“Alhamdulillah Ya Rabb, terima kasih segalanya, semoga rezeki yang di dapatkan Asa hari ini menjadi bekal dan memberikan semangat dalam belajarnya” 
Emak menyatakan kepadaku, Asa harus memanfaatkan kepercayaan dari Allah yang di perantarakannya melalui Pemerintah dengan Program GNOTA di gunakan sebaik-baiknya, karena masih banyak anak-anak di luar sana yang belum mendapatkan kesempatan paket ini dan masih banyak
96 
anak-anak yang belum memiliki kesempatan bersekolah, banyak dari mereka harus mengasong berjualan koran di perempatan jalan, mengelap kaca ataupun mengamen untuk mencari makan sehingga mereka tak dapat memiliki kesempatan untuk bersekolah seperti Asa. 
Suatu ketika, aku bermain bola di lapangan Jenderal Urip Sumoharjo. Aku bersama teman-teman yang sedang asyik bermain bola, di kejutkan karena adanya teriakan dan berhamburan berlarian para pedagang kali lima yang berada di sepanjang jalan depan lapangan Jenderal Urip itu. Aku belum mengerti apa yang membuat para pedagang itu berlarian, kemudian Ajat memberitahukan kepada kita mengapa para pedagang itu berlarian, mereka di kejar para anggota aparat pemerintah daerah yang melarang mereka berjualan karena melanggar Perda Nomor 11 Tahun 1988. 
Pada hari berikutnya, aku menanyakan hal itu kepada emak. Mengapa ada pedagang yang lari terbirit-birit karena di kejar petugas? Menurutnya
97 
berjualan di trotoar itu di larang petugas. Aku sebenarnya berharap emak mengatakan itu salahnya petugas kenapa ada orang yang berjualan kok di larang? 
= #=#=#= 
Pada sore menjelang malam, Adzan Magrib dari Musholla Al Awwabin terdengar sangat menenteramkan hati, saling bersahutan juga terdengar dari kampung sebelah, sehingga satu sama lain yang memberikan ketenangan kampung, anak- anak remaja tanggung bergegas berbondong-bondong mengambil sarung dan kopiah. Ibu-ibu membimbing anaknya untuk ikut serta bersama bapak mereka untuk shalat berjamaah. Termasuk ustad Zuki yang sudah menutup geteknya lebih awal di karenakan untuk memimpin shalat jamaah di Musollah. 
Ajat sudah mengenakan baju koko bersarung dan kopiahnya, muka dan ujung rambutnya juga sudah basah dengan air wudhu yang baru keluar dari
98 
tempat berwudhu. Pribadi unggul tidak akan pernah di telan dan menjadi pengikut zaman, tapi jadi tren setter penentu kecendurangan zaman yang berkarakter kuat. Bapak Marzuki atau kami memanggilnya Ustad Zuki, tidak memiliki selembar ijazah pun, namun beliau bertekad untuk mencerdaskan anak-anak kampung, Ustad Zuki merupakan pelopor tempat pengajian non formal yang di kelola beliau bersama anak-anaknya, mereka sekeluarga bertekad mengobarkan pendidikan Islam yaitu membaca dan menulis Al-Quran dari sejak dini, tanpa imbalan dan bayaran, hanya uang urunan ala kadarnya dari para orangtua. 
Ustad Zuki mengaji terlebih dahulu, lalu di ikuti anak-anak yang lain termasuk aku. 
“Ar rahman allamal bill hussbannn” 
“Ar rahman allamal bill husabbannn!” 
Suara orangtua bertubuh kurus itu dengan lantang. Kayu terbuat dari rotan lurus teracung tinggi ke udara, suaranya menggelegar, sorot matanya berkilat-kilat menikam kami satu persatu. Wajah
99 
serius, alisnya hampir bertemu dan otot gerahamnya bertonjolan, seakan mengerahkan segenap tenaga dalamnya untuk menaklukkan jiwa kami. Sungguh mengingatkan aku kepada karakter tokoh kera sakti mandraguna di film layar TV setiap malam aku tonton. 
Ar Rahman : sepotong ayat yang asing ini kini mulai terdengar. Dalam hitungan beberapa detik saja, kami bagai bayi yang tertidur dalam pangkuan ibu yang menentramkan jiwa. Kami, belasan anak kecil, mengikuti, tidak mau kalah kencang dengan beliau dengan penuh semangat 
“Ar rahman allamal bill hussbannn!” 
Sepenuh jiwa, penuh perhatian, sampai bergemuruh kesebelah rumah tetangga yang mendengar. Bahkan, cicak yang di para-para rumah seakan tertegun diam mendengar lantunan suara anak-anak yang mengaji. 
Tapi kami tahu, mata laki-laki kurus yang sedikit mulai berkerut diwajahnya ini tidak dimuati aura jahat. Walaupun dengan kayu mistar panjang terbuat dari jati. Dia dengan royal membagi energi
100 
positif yang sangat besar dan meletup-letup. Kami tersengat menikmatinya. Seperti sumbu kecil terpercik api, mulai terbakar, membesar, dan menerangi bagaikan jiwa-jiwa kami yang makin menyala. 
Dengan wajah kaku dan terkadang senyum sepuluh senti menyilang terpancar, laki-laki ini hilir mudik di antara barisan meja leckar kami yang duduk bersila beraturan, mengulang-ulang bacaan agar masuk ke jiwa dan dibenamkan dihati. Setiap dia membaca, kami balik membaca dengan kata yang sama, sesuai dengan bacaanya. 
Ayat yang memiliki banyak filosofi dan makna penuh dengan rahasia :“Asmaul husna!” 
Laki-laki ramping ini adalah guru mengajiku yang sangat baik. Wajahnya lonjong kurus, sebagian besar dikuasai keningnya yang lebar dengan mulai adanya beberapa kerutan. Bola matanya yang mulai tertanda keletihan tapi tetap memancarkan sinar pengharapan kecerdasan. Pas sekali dengan gerak kaki dan tangannya yang gesit ke setiap sudut tempat
101 
kami duduk bersila. Sebuah kopiah berwarna putih seperti peci haji menutupi rapi di kepalanya yang penuh menutupi rambutnya. Lipatan celana hitamnya berujung tajam seperti baru saja disetrika. Dengan baju koko berwarna putih. Tanpa alas kaki dengan berjalan setiap dia berjalan di atas hamparan tikar yang terbuat dari lipatan daun. 
= #=#=#= 
Di kota ini, keluarga yang mendapatkan tunjangan sosial dari masyarakat sekitar bersifat sukarela atau yang tidak, mereka yang berbeda kondisi ekonominya, hal ini sangat terlihat berbeda dari kehidupan sehari-hari. Antara kondisi kaum yang berekonomi menengah atas dengan kaum yang ekonomi kebawah. 
Seperti halnya para kaum elite borjuis ataupun istilah kami menyebutnya ”orang gedongan” memiliki rumah yang besar, halamannya yang sangat luas, dengan berbagai macam perabotan yang mewah beserta di lingkungan kompleks yang
102 
sangat teratur di jaga oleh para petugas keamanan lingkungan secara mandiri. 
Berbeda yang ada di lingkungan kami, dengan memiliki kamar mandi di dalam rumah beserta WC- nya hal ini sudah di anggap mewah. Selain itu juga apabila diantara sudah memiliki televisi dianggap orang mampu yang ada di kampung kami. 
Televisi merupakan barang mewah di kampung kami. Hanya beberapa rumah saja yang memiliki televisi. Seperti halnya aku yang hanya bisa nonton televisi di rumah tetangga. Aku ingat betul ketika berumur 6 tahun, aku di sunat dengan ikut serta “sunatan massal” yang ada di Kwitang deket pasar Senen. Sungguh bahagia rahasianya karena aku tidak bisa tidur karena masih berasa sakit di sekitar luka yang di sunat. Aku di izinkan oleh Ayahnya Tomy yang memiliki rumah gedong itu karena halamanya luas ada pohon jambunya, aku bisa nonton film sambil memegang sarung agar tidak terkena luka dibagian yang telah di sunat.
103 
Bagi orang mampu ataupun ekonomi lemah. Yang namanya sunatan itu wajib untuk anak laki-laki karena sudah menjadi perintah agama termasuk aku harus menjalaninya dengan sabar dan ikhlas. Jika orang yang berkecukupan untuk anak-anaknya pasti ada syukuran dalam merayakan sunatan anaknya. Dengan mengundang banyak tamu dari tetangga maupun kerabat keluarga yang datang untuk memberikan selamat dan doa. Selain itu juga ketika sebelum di sunat. Calon “pengantin sunat” panggilan yang lazim di bawa keliling kampung dengan iring- iringan musik gambang kromong yang di arak berkeliling. Tak lupa juga bunyi petasan menggelegar ke seantero kampung. 
“Asa jadi anak yang pintar dan soleh yah!” 
“Emak berharap Asa menjadi penerang keluarga ini, selalu bersabar dalam menjalani segala cobaan dan selalu bersyukur ketika apapun rezeki kesehatan dan kebersamaan kita sekeluarga selalu”
104 
Ketika luka sunatku belum sembuh benar. Aku di kagetkan dengan suara pecahan piring dan kaca lemari yang pecah. Lemari kaca berwarna kecoklatan yang terbuat dari kayu jati, kaca bagian kiri pecah berserakan ke lantai karena di lempar piring oleh Encang. Sungguh tragis dan lukaku makin terasa perih menusuk kulitku yang tegang dikarenakan detak jantung yang ketakutan melihat berbagai kejadian menegangkan. Aku tak tahu kenapa Encang begitu marah dengan istrinya ; aku biasa memanggilnya dengan sebutan „Mak Kani. Mukanya merah lebam dan hampir membiru di sekujur wajahnya yang mulai membengkak dibagian pipi kiri. Di bibir bagian kiri keluar darah segar yang menetes perlahan. Kami hanya terdiam ketakutan, tidak satupun yang berani melawan kezaliman ini. Kami manusia-manusia lemah yang hanya bisa terdiam dan menerima segala kondisi ini dengan tak berani berbuat ataupun berontak dengan kondisi ini. 
Emak mendekapku dengan keras. Sambil menjaga luka sunat yang belum sembuh. Adikku
105 
Nurma dan Rysa pun ketakutan sangat sambil menutup mulut dan kupingnya agar tidak terdengar dengan kegaduhan yang terjadi. 
Ingin sekali rasa di hati ini untuk pergi jauh dari rumah ini. Di mana memiliki tempat yang nyaman, dimana tidak ada pihak yang mengeksploitasi dan dianiaya, karena tidak akan ada kondisi yang menang ataupun kalah, siapupun di antara kami yang melawan akan menghancurkan keluarga ini semakin hancur dan berantakan. Encang merupakan sosok laki-laki yang sangat arogan, semua keputusan dan omongannya adalah sesuatu yang wajib diikuti dan dijalankan bagi siapa saja diantara anggota keluarga yang melawan ataupun membantah, dia tidak segan-segan untuk menghujamkan kepalan dan tonjokan yang sangat merusak badan kita hingga membiru. „Mak Kani, anak-anaknya ; Yadin dan Mila, Bapak, Emak dan Akupun tak luput dari terjangan kekerasannya. 
Emak tak kuasa untuk membawa kami pergi, di karenakan kondisi Bapak yang membuatnya
106 
bingung. Ketika Emak mengajak pergi bersama-sama aku, Nurma dan Rysa ingin meninggalkan rumah. Emak tidak tega untuk pergi di karenakan kondisi Bapak yang memposisikan serba salah dengan kondisinya. Karena Bapak merupakan belahan jiwanya, sekaligus Bapak dari anak-anak yang sudah menjadi tanggungjawabnya sebagai istri untuk selalu menemani segala apapun kondisi yang dialami sang suami. 
= #=#=#= 
Sifat dan karakter kepribadian orang bukan hanya dibentuk oleh keluarga, namun juga oleh faktor lingkungan. Aku yang berada di kampung Pulo. Dengan Jumlah orang betawi di kampung kami hampir delapan puluh persen dari total populasinya. Yang turun temurun beranak-pinak akan tetapi berbagai macam membaur membentuk komunitas kampung dari berasal berbagai daerah seperti ; sunda, madura, padang, ambon dan jawa membaur menjadi satu. Bisa saja kami yang lebih dulu menempati
107 
kampung pulo ini dari siapapun. Engkong Haji, Engkong Yusuf dan Engkong Ishak serta engkong- engkong yang lainnya, seluruhnya itu adalah penduduk asli yang menempati sepertiga kampung. Bukti bahwa nenek moyang mereka telah lama sekali berada di kampung pulo. Komunitas ini selalu rendah hati dan pekerja keras. Meskipun mereka orang asli. Mereka senantiasa memelihara adat istiadatnya. Jakarta merupakan ibukota dari Indonesia bukan hanya terkenal dengan Monas dan kerak telornya, akan tetapi juga dengan banjir yang sering kali mampir di setiap musim penghujan tiba. Menurut catatan sejarah Jakarta, pernah banjir besar melanda, itu terjadi pada tahun 1621, 1654, 1725 dan yang paling besar terjadi pada tahun 1918. Padahal kala itu ruang hijau di Jakarta lebih luas dari saat ini. Salah satu penyebab banjir di Jakarta pada tahun 1918 adalah pembabatan hutan di Puncak yang dijadikan perkebunan teh oleh VOC. Alhasil Jakarta mengalami banjir yang sangat besar dan bahkan menelan banyak korban jiwa.
108 
= #=#=#= 
Dari kampung Pulo kurang lebih satu kilometer aliran kali Ciliwung yang melintas akan bermuara di Pintu Air Manggarai. Arsitek The Flood Gates of Manggarai – yakni Pintu Air Manggarai, menurut sejarah perjuangan Jakarta telah mencatatnya untuk mengatasi banjir, yang kiprah dan peranannya saat dia ditugaskan oleh Departement Waterstaat untuk memimpin "Tim Penyusun Rencana Pencegahan Banjir" secara terpadu yang meliputi seluruh kota wilayah Batavia yang saat itu baru seluas 2.500 Hektar. Penugasan itu diterimanya di mulai ketika Kota Batavia di tahun 1918 terendam banjir mengakibatkan yang merenggut banyak korban jiwa. Setelah mempelajari dengan seksama dari berbagai aspek penyebab banjir, H. Van Breen dan Tim penyusun strategi pencegahan banjir yang dinilai cukup spektakuler saat itu. Tak dapat disangkal, prinsip-prinsip pencegahan banjir itu lalu dijadikan acuan pemerintah dalam mengatasi banjir di Jakarta.
109 
Konsep Van Breen dan kawan-kawan sebenarnya sangat sederhana, namun mereka perlu perhitungan cermat dan pelaksanaannya butuh biaya tinggi. Substansinya adalah dengan mengendalikan aliran air dari hulu sungai dan membatasi volume air masuk ke kota. Karena itu, perlu dibangun saluran kolektor di pinggir selatan kota untuk menampung limpahan air, dan selanjutnya dialirkan ke laut melalui tepian barat kota. Saluran kolektor yang dibangun itu kini dikenal sebagai "Banjir Kanal" yang memotong Kota Jakarta dari Pintu Air Manggarai bermuara di kawasan Muara Angke. Dengan penetapan Manggarai sebagai titik awal, karena saat itu wilayah ini merupakan batas selatan kota yang relatif aman dari gangguan banjir, sehingga memudahkan sistem pengendalian aliran air di saat musim hujan. Banjir Kanal itu mulai dibangun sejak tahun 1922. Dikerjakan bertahap yakni dari Pintu Air Manggarai menuju Barat, memotong Sungai Cideng, Sungai Krukut, Sungai Grogol, terus ke Muara Angke. Untuk mengatur debit aliran air ke
110 
dalam kota, banjir kanal dilengkapi beberapa "Pintu Air", antara lain, Pintu Air Manggarai (untuk mengatur debit Kali Ciliwung Lama) dan Pintu Air Karet (untuk membersihkan Kali Krukut Lama dan Kali Cideng Bawah dan terus ke Muara Baru). Dengan adanya Banjir Kanal, beban sungai di utara saluran kolektor relatif terkendali. Karena itu, alur- alur tersebut, serta beberapa kanal yang dibangun kemudian, dimanfaatkan sebagai sistem makro drainase kota guna mengatasi genangan air di dalam kota. Dalam menyusun konsep H. Van Breen dan kawan-kawan, mereka menyadari bahwa banjir yang selalu mengancam Jakarta tak akan teratasi jika hanya memperbaiki sistem tata air di dalam kota. Karena itu pencegahan di daerah hulu pun harus dikelola secara terpadu. Oleh karena itu, untuk mengendalikan aliran di daerah hulu perlu dibangun beberapa bendungan untuk penampungan sementara, sebelum itu air dialirkan ke hilir. Sebagai implementasi dari rencana pencegahan di daerah
111 
hulu, dibangunlah dua bendungan yakni: Bendungan Katulampa di Ciawi, dan Bendungan Empang di hulu Sungai Cisadane. 
= #=#=#=
112 
Chapter Three 
Manusia mempunyai potensi tak berbatas yang belum di kembangkan. Bahkan setiap orang belum menampakkan kemampuan tersebut sehingga belum di pergunakan seperempat maupun separuh kemampuannya. Setiap pribadi akan mencoba keluar dari lingkungan rumahnya, lalu mengembara untuk berpetualang dalam menguji kemampuan dan potensinya, serta juga semangat dan bakatnya. Seperti halnya Emak selalu berpesan di setiap kesempatan agar aku selalu kuat, inilah pesan yang selalu menemaniku. 
Pesan Emak untuk Asa ; 
Biarkanlah waktu terus berjalan 
Tetaplah jadi anak manusia yang mulia, apapun dan kapanpun yang menghadang 
Janganlah engkau galau dengan alang rintang yang menghadang 
Karena sesungguhnya itu semua hanyalah cobaan silih berganti 
Jadilah manusia pemberani melawan rasa takut yang menghampiri
113 
Karena niat suci dan murni adalah bekalmu yang sejati 
Janganlah pandang benci musuhmu yang menghadang 
Karena sejatinya apabila kamu mengetahui, sesungguhnya keberadaan musuhmu 
Merupakan ujian yang membentuk karakter dan kepribadianmu 
Takkan ada yang abadi segala suka dan duka 
Takkan kekal segala kebahagiaan dan kesulitan 
Berjuanglah, berkarya dan ciptakan sekreatif mungkin mimpimu 
Gapailah setinggi-tinggi impianmu dan wujudkan menjadi nyata bagimu 
Maka ada lima keutamaan untukmu ; 
Motivasi yang tak akan pernah padam, selalu memperkaya imajinasi khasanah kehidupan, menggerakkan kekuatan yang maha dahsyat, bekerja dengan penuh tujuan serta selalu meluaskan ilmu. 
Manusia mulai mempertanyakan apakah ada kebahagiaan di ujung jalan yang mulai ditempuhnya. Kemampuan manusia mungkin bisa membuatnya sukses, namun belum tentu, hal itu membuat mereka bahagia.
114 
Begitu manusia mulai merubah cara berfikir mereka. Ketika memiliki potensi yang belum dipergunakan secara maksimal, mereka mengembangkan dengan berbagai cara dan inovasinya, sehingga dengan cara kreatif dan inovatif dapat bertahan serta bersaing dengan positif. Mencoba merubah cara pandang dan cara hidup yang lebih efektif serta elegan dibandingkan cara hidup zaman dahulu kala. Dimana peradaban dan teknologi kian membuat hidup makin lebih hidup. 
= #=#=#= 
Seperti mencari seuntai cincin yang tercebur di dalam kali karena kecebur milik Bu Ana yang tidak sengaja terjatuh waktu menaiki getek Pak Zuki, sesuatu yang bernama impian dan kebahagian sebenarnya sangat dekat dengan kita, akan tetapi karena tertutup alang rintang dan cobaan menjadikan hal itu tak semudah yang di bayangkan. 
Apakah setiap orang akan berusaha menjalaninya dengan sabar dan melewati segalanya
115 
dengan bijak? Semua bergantung sikap dan keyakinan kita yang menentukan berhasil atau tidaknya kita menjalaninya. 
Mimpi dan kebahagian berada didalam keluarga yang harmonis sesuai dengan fungsinya, tapi bukan kebahagiaan yang semu belaka. Keluarga bukan hanya sesuatu yang kasat mata, hal itu merupakan suatu struktur organisasi terkecil dalam kehidupan ini, ketika salah satu peranan saja tidak menjalankan fungsinya dengan baik, hal ini akan mempengaruhi putaran roda kehidupan dalam keluarga tersebut. 
Seperti di dalam hubungan sepasang keluarga Merpati yang berada didalam sangkarnya di atas pohon, ketika burung Merpati di dalam rumahtangganya saling bekerjasama antara merpati jantan dan betina untuk menjaga, merawat dan memberikan makan anak-anaknya sebelum dewasa dan dapat hidup mandiri.
116 
Begitu halnya dengan manusia, ketika terjadi didalam keluargaku. Aku mencoba memahami, walaupun kadangkala aku sukar untuk mengerti. 
= #=#=#= 
Seperti berbagai hal yang dapat berubah, sekian menit segala sesuatu dapat merubah segalanya. Aku pun mulai banyak belajar dan memahami banyak hal yang menimpaku. Belajar dan bermain Basketball. Walaupun aku tidak menjadi paling nomor satu dalam menshooting ke dalam keranjang di lapangan Basketball. Akan tetapi disekolahku, aku menjadi bintang juara dikelas, peringkat satu dari kelas satu sampai dengan kelas tiga. 
Tak ada yang istimewa didalam lingkungan sekolahku di SMPN 33 Jakarta, kecuali bangunan tinggi yang menjulang di depan sekolahku diseberang kali, walaupun bangunan tua itu terlihat agak suram dan menyeramkan akan tetapi bangunan itu pastinya
117 
memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi. Seperti layaknya diriku kenapa, 
Jakarta terletak pada posisi 6012 Lintang Selatan dan 106048 Bujur Timur dan berbatasan dengan 2 provinsi lain yaitu Provinsi Jawa Barat di sebelah Selatan dan Timur serta Provinsi Banten di sebelah Barat. Sementara di sebelah Utara Jakarta merupakan bentangan pantai sepanjang ± 35 KM dari Barat hingga Timur yang berbatasan dengan Laut Jawa dan menjadi tempat bermuaranya sungai dan kanal yang mengalir melintasi Jakarta. Secara keseluruhan luas wilayah Jakarta terdiri atas wilayah daratan seluas 662,33 km2 dan wilayah lautan seluas 6.977,5 km2 dengan 110 pulau di Kepulauan Seribu 
Satu-satunya kota di Indonesia yang dihuni para pendatang dari berbagai suku bangsa, termasuk keturunan etnis asing, adalah Jakarta. Mereka datang dari berbagai daerah di Nusantara dan mancanegara sejak abad ke-16, ketika kongsi dagang Belanda VOC berkuasa di Batavia.
118 
Ketika itu daya tarik Jakarta adalah pelabuhan Sunda Kelapa yang merupakan bandar niaga kerajaan Padjajaran. Sunda Kelapa berada di mulut sungai Ciliwung. Pelabuhan tersebut menjadi persinggahan untuk mengambil air minum kapal-kapal niaga asing. Waktu itu air Ciliwung sangat bersih. 
Pada masa itu Jakarta menjadi wilayah bawahan kesultanan Banten. Jakarta direbut dari kerajaan Pajajaran pada 1527 dipimpin oleh Pangeran Jayakarta. Pada awalnya kawasan ini tidak berpenghuni. Rawa, hutan, dan hewan liar masih banyak terdapat di kawasan ini. Sekarang masih teridentifikasi lewat nama-nama jalan yang menggunakan Rawa (misalnya Rawaterate dan Rawakebo), Hutan (misalnya Utan Kayu dan Utan Panjang), dan Kebun (misalnya Kebon Jati dan Kebon Pala). 
Keadaan berubah ketika VOC menguasai daerah ini dan diberi nama Batavia. Pembangunan mulai dilakukan oleh Gubernur Jenderal JP Coen. Sejak itu Batavia dibangun menjadi kota administrasi
119 
pemerintahan VOC. Pembangunan Batavia oleh Coen didukung dana dari kalangan pengusaha Cina. Dana pembangunan kota dikoordinasi oleh Souw Beng Kong (So Bing Kong). Dia dikenal sebagai pedagang kaya dan akrab dengan para pembesar kesultanan di Banten dan Jawa sebelum kedatangan VOC. Kelak Kong menjadi Kapiten Cina di Batavia. Jauh sebelum kedatangan Belanda masyarakat keturunan Cina sudah menetap di Batavia dan berperan sebagai penghubung dengan dunia luar untuk perdagangan. 
Untuk membangun kota, Coen mendatangkan 1.000 tenaga asal Makao pada 1619. Pada 1621 didatangkan 800 orang Banda. Mereka dimukimkan dekat pelabuhan Sunda Kelapa. Tempat bermukimnya orang Banda dikenal sebagai Kampung Bandan dan merupakan kampung etnis pertama di Batavia. Setelah itu VOC mendatangkan orang-orang Bali, Manggarai, Bugis, Makassar, Tambora, dan Melayu. Kesemuanya mendapat pemukiman dan diberi nama sesuai tempat asal.
120 
Pembangunan Batavia berkembang pesat mirip kota-kota di Eropa. Maka kemudian Batavia mendapat julukan “Ratu Asia” atau “Kota Eropa di Asia”. Batavia menjadi ramai sebagai kota niaga terbesar di Asia Tenggara sejak abad ke-17. Hal ini tentu saja menjadi daya tarik para pendatang dari Timur Tengah, India, dan Asia Timur. Batavia mulai mengalami proses pembauran masyarakat majemuk yang terintegrasi dari perpaduan berbagai latar belakang budaya dan keyakinan. Para pendatang tetap memelihara budayanya untuk mempertahankan jati diri mereka. Proses akulturasi di Batavia semarak dengan dialek bahasa Melayu pasar sebagai komunikasi pergaulan. 
Setiap kali banjir melanda Jakarta, orang selalu menghubungkannya dengan Sungai Ciliwung dan anak-anak sungainya. Sungai-sungai di Jakarta memang sudah dianggap merupakan tempat pembuangan sampah yang paling murah. Tanpa peduli dampaknya, pembuangan sampah terus saja
121 
terjadi, meskipun pada 1996 lalu ketika aku kelas 6 SD, Jakarta pernah mengalami pula banjir hebat. 
Namun berbeda dengan keadaan pada masa kini, pada masa lampau Ciliwung merupakan sumber kehidupan utama masyarakat karena berbagai aktivitas dilakukan di sini. Mulai dari keperluan rumah tangga sehari-hari hingga jalur perdagangan internasional. Ciliwung mulai berperan sejak zaman purba, ketika manusia prasejarah menghuni Jakarta. Puncaknya, pada abad ke-15 dan ke-16 pelabuhan Sunda Kelapa di muara Ciliwung, telah dikenal luas oleh pedagang-pedagang seantero Nusantara dan internasional. Orang-orang Belanda yang datang paling awal antara lain menulis, “Kota ini dibangun seperti kebanyakan kota-kota di Pulau Jawa. Sebuah sungai indah, berair jernih dan bersih, mengalir di tengah kota” (Hikayat Jakarta, 1988). Itulah Ciliwung pada awalnya. 
Pelabuhan Sunda Kelapa dikatakan ramai didatangi pedagang, meskipun terbujur sepanjang satu atau dua kilometer di atas potongan-potongan
122 
tanah sempit. Namun setelah dibersihkan, Ciliwung menjadi lebar. Hal ini memungkinkan sepuluh buah kapal dagang dengan kapasitas sampai 100 ton, dapat masuk dan berlabuh dengan aman di Sunda Kelapa. 
Air Ciliwung waktu itu mengalir bebas, tidak berlumpur, dan tenang. Meskipun gempa-gempa besar sempat mengacaukan aliran pembuangan air, Ciliwung tidak seberapa tercemar. Karena itu banyak kapten kapal masih singgah untuk mengambil air segar yang cukup baik, untuk diisikan ke dalam botol-botol dan guci-guci mereka. 
Sejak kedatangan bangsa Belanda, maka Batavia (nama pengganti Sunda Kelapa) dibangun seperti tata letak kota-kota di Belanda, yakni berupa tembok kota, parit, dan berderet-deret rumah. Dengan demikian, menurut Jean-Baptiste Tavernier sebagaimana dikutip van Gorkom, Ciliwung memiliki air yang paling bersih dan paling baik di dunia (Persekutuan Aneh, 1988). Tidak berlebihan kalau ketika itu Batavia mendapat julukan “Ratu dari Timur”. Banyak orang asing yang datang, tak segan-
123 
segan memberikan sanjungan yang tinggi kepada Batavia. Bahkan menyamakannya dengan negara- negara di Eropa. 
Pada saat dibangun Belanda, kota Batavia berbentuk bujur sangkar dengan panjang kira-kira 2.250 meter dan lebar 1.500 meter. Kota ini terbelah oleh Ciliwung menjadi dua bagian yang hampir sama besar. Masing-masing bagian dipotong lagi oleh parit-parit yang saling sejajar dan saling simpang. Sejumlah jalan juga dibangun sehingga penampang kota berpola kisi-kisi. Pola seperti inilah yang dipandang mampu melawan amukan air di kala laut pasang dan banjir di dalam kota karena air akan saling berpencar ke segala penjuru. Saat ini kota tersebut berada di wilayah Kota Tua Jakarta. 
Tidak disangka-sangka, pada 1699 Gunung Salak di Jawa Barat meletus. Erupsinya sungguh berdampak sangat besar. Karena itu iklim Batavia menjadi buruk, kabut menggelantung rendah dan beracun, parit-parit tercemar, dan penyakit-penyakit aneh bermunculan. Batavia pun berganti julukan
124 
menjadi “Kuburan dari Timur”, bukan lagi “Ratu dari Timur”. Sejak itu, Ciliwung mulai kotor. 
Seperti halnya pemerintahan zaman sekarang, dulu pun banyak pihak saling tuding terhadap bencana ekologi tersebut. Mereka bukannya memasalahkan kebijakan Kompeni atau VOC sendiri, tetapi justru cenderung menuding pendahulu- pendahulunya. Mereka dinilai salah karena telah membangun kota dengan menyontoh kota gaya Belanda. “Batavia adalah kota bercorak tropis. Berbeda jauh dengan Belanda yang memiliki empat musim,” begitu kira-kira kata para penentang. 
Sebagian lagi menduga, bencana ekologi itu disebabkan oleh kepadatan penduduk. Batavia memang semula dirancang sebagai kota dagang. Karenanya, banyak pendatang kemudian menetap secara permanen di sini. Sebagai kota dagang, tentu Batavia mempunyai magnet kuat. 
Segera, lingkungan alam Batavia mengalami perubahan fundamental setelah berbagai daerah di sekitarnya dibersihkan dari hutan-hutannya untuk
125 
membudidayakan tanaman tebu. Ternyata, budidaya itu juga mencemari air dan menanduskan tanah. Apalagi berbagai pabrik gula sangat membutuhkan kayu bakar yang demikian banyak jumlahnya. Karena terletak di dekat sungai, maka pabrik-pabrik gula itu ikut menyokong pencemaran air bersih di Batavia, sekaligus mengurangi daerah resapan air. 
Pada tahun 1701 terungkap bahwa daerah hulu Ciliwung sampai hilir di tanah perkebunan gula telah bersih ditebangi. Sebagai daerah yang terletak di tepi laut, tentu saja Batavia sering kali kena getahnya. Kalau sekarang Jakarta hampir selalu mendapat “banjir kiriman” dari Bogor, dulu “lumpur kiriman” dari Cirebon bertimbun di parit-parit kota Batavia setiap tahunnya. 
Pada awal abad ke-19 Batavia tidak lagi merupakan benteng kuat dan kota berdinding tembok. Karenanya, pada awal abad ke-20 Batavia sudah menjadi kota yang berkembang dengan penduduk berjumlah 100.000 orang. Bahkan dalam beberapa tahun saja penduduk kota sudah meningkat menjadi
126 
500.000 orang. Adanya nama-nama tempat yang berawalan hutan, kebon, dan rawa setidaknya menunjukkan dulu Jakarta merupakan kawasan terbuka. Sayang, kini sudah berubah menjadi kawasan tertutup (tempat hunian). 
Begitu pula adanya wilayah yang berawalan kampung. Dulu istilah kampung mengacu pada sederetan daerah permukiman orang-orang pribumi yang terletak jauh di luar jalan-jalan aspal. Dibandingkan kota, memang fasilitas di kampung tidak lengkap. Sanitasi di kampung tidak bagus karena banyak warga membuang hajat dan sampah sembarangan di parit atau got. Dalam musim hujan banyak kampung kebanjiran, meskipun air banjir itu tidak dalam dan kotor. Baru kemudian ketika jumlah penduduk semakin meningkat, air kali sekaligus air banjir menjadi sangat kotor. Siklus banjir tahunan selalu berulang pada musim penghujan tiba. Memang, kota-kota di negara maju saja sering kali tidak berdaya menghadapi bencana alam. Mudah- mudahan kita mengambil hikmahnya bahwa semakin
127 
tertutupnya daerah resapan air, maka banjir semakin besar. Begitu pula semakin buruknya sanitasi. Sanitasi terburuk umumnya terjadi pada daerah bantaran sungai. Semakin banyaknya pendatang tentu semakin banyaknya permukiman warga sekaligus sampah yang dibuang ke kali. Sudah jelas, perilaku warga yang demikian perlu diubah sehingga banjir yang mungkin terjadi lagi bisa diminimalisasi.
128 
Chapter Four 
Di alam semesta begitu banyak kisah cinta dan kasih sayang, namun tak ada yang dapat mengalahkan keindahan kisah cinta dan kasih sayang seorang Emak kepada anaknya. 
Ketika ada perpisahan antara orangtua dan anak adalah sesungguhnya hanya badan saja yang terpisah, akan tetapi perasaan dan ikatan bathinnya selalu terikat kuat tak dapat dipisahkan hanya dengan jarak. 
Ada begitu banyaknya perasaan di dunia, namun tidak ada yang menyerupai perasaan emak pada anaknya. Saat kita masih kanak-kanak, kita belum mengerti hal itu. 
Ketika doa Emak, perjuangan yang meneteskan air mata demi Asa, 
Ketika cinta Emak, menguatkan alang rintang pada Asa
129 
Memang betul, ada jarak antara impian dan kenyataan, maka kamu bisa perkecil jarak antara keduanya setiap hari dengan langkah pasti. Kita tidak akan dapat menambah usia kehidupan kita, tapi kita bisa tambahkan kehidupan dalam umur kita, dengan memberikan manfaat sebanyak mungkin orang di sekeliling kita. Tiada doa yang paling indah selain ungkapan syukur kepada Allah. Tiada tangisan yang paling indah selain cucuran airmata taubat kepada Allah. Terima kasih Ya Allah, engkau beri anak yang soleh dan solehah sehingga telah mempertemukan kami kembali dengan penuh keberkahan. Terima kasih Ya Allah, atas segala nikmat dan karuniaMU, Terima kasih Ya Allah, atas segala kesempatan, kesehatan dan usia yang Engkau berikan sampai hari ini.
130 
Chapter Five 
Memasuki bulan juni, dimana para pemuda tanggung yang baru lulus dari sekolah menengah atas ataupun siapapun mereka yang ingin berjuang dari berbagai penjuru di Indonesia berlomba-lomba memenuhi Jakarta seperti air hujan yang menghujani kota pada bulan Januari. Seolah membanjiri seluruh kampung kota Jakarta dikarenakan curah hujan yang sangat tinggi mencari sebuah pengharapan berpindah menuju pulau pemimpi yang indah dan penuh masa depan yang cerah. Para pemuda dengan segala harapan dan ketidakpastiannya, yang merasa akan merubah menjadi sosok baru ketika ke Jakarta. 
Ternyata, mereka hanya sampai seperti di sebuah kubangan lumpur penuh dengan berbagai kotoran dan sangat berbau. 
Jakarta adalah kubangan itu. Semua berkumpul menjadi satu, ber 
Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata berkisar 7 meter di atas
131 
permukaan laut. Namun, sekitar 40% dari wilayah Provinsi DKI Jakarta berupa dataran yang permukaan tanahnya berada 1-1,5 meter di bawah muka laut pasang. 
Secara hidrologis khususnya mengenai air permukaan, terdapat 13 sungai yang mengalir membelah Jakarta. Kondisi sungai ini sangat memprihatinkan dengan tingkat sedimentasi dan pengangkutan sampah yang tinggi. Akibatnya, jika hujan tinggi terjadi di hulu, permukaan air sungai dengan cepat meluap, yang pada gilirannya akan mengancam daerah rendah di Jakarta terutama daerah Jakarta Utara. Perawatan sungai terutama pengerukan mulut sungai dan pengurangan pembuangan sampah ke sungai akan membantu menjaga kapasitas debit sungai. Selain itu, Jakarta juga memiliki 2 kanal besar, yaitu Kanal Banjir Barat dan Kanal Banjir Timur. Sungai-sungai dan kanal tersebut dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Antara lain digunakan untuk usaha perkotaan, air baku untuk air minum, perikanan dan lain-lain. Fungsi utama dari
132 
jaringan sungai dan kanal tersebut adalah sebagai sarana drainase. 
Secara geologis, seluruh dataran terdiri dari endapan pleistocene yang terdapat pada ± 50 m di bawah permukaan tanah. Bagian selatan terdiri atas lapisan alluvial, sedang dataran rendah pantai merentang ke bagian pedalaman sekitar 10 km. Di bawahnya terdapat lapisan endapan yang lebih tua yang tidak tampak pada permukaan tanah karena tertimbun seluruhnya oleh endapan alluvium. 
Di wilayah pesisir Jakarta juga terdapat pantai yang melintang dari timur ke barat dengan ketinggian pantai berkisar antara 0 - 5 m dari muka air laut dengan lebar 7 km di sekitar Jakarta dan 17 - 40 km pada dataran delta. Bagian Barat Teluk Jakarta sebagian besar merupakan pantai berlumpur, sedangkan ke arah Timur merupakan pantai berpasir. Namun kecenderungan yang terjadi selama beberapa dekade adalah garis pantai itu juga mengalami perubahan yang diakibatkan oleh aktifitas manusia, antara lain pembangunan di depan garis pantai atau
133 
penambangan pasir. Perubahan garis pantai oleh faktor alam terutama berupa penambahan pantai oleh sedimentasi. Abrasi terjadi di beberapa lokasi di Pantai Utara Jakarta bagian Timur. 
= #=#=#= 
Dengan segala kesederhanaan, maka tragedi banjir besar yang melanda kampung merupakan sebuah drama cobaan yang bukan karena alasan sang Khalik dalam memberikan banjir. Kampung itu demikian porak ponda berantakan dengan berbagai lumpur, bau merusak tatanan sosial yang ada dengan menambah luka didada. 
Namun kali ini berbeda, mendung bergelayut murung dilangit Jakarta, siap menumpahkan murka di kampung itu karena dua warganya semakin lama kehilangan kewarasannya sehingga kelangsungan hidupnya terancam. 
Sore itu gumpalan–gumpalan awan hitam bergulung-gulung bergerak di atas kepala kami yang
134 
tinggal di sepanyang bantaran Sungai Ciliwung yang membelah kota Jakarta. Kami berdiri mendongak- dongak keatas melihat gumpalan-gumpalan awan hitam yang terus bergerak dan membuat langit Jakarta lebih cepat gelap dari hari-hari biasanya. Awan itu terus bergerak bagaikan ribuan pasukan berjubah hitam yang hendakberangkat ke medan perang dari arah hulu sungai menuju ke arah Teluk Jakarta. Kami berdiri tegak berderet–deret di tepi sungai, seperti sedang menyaksikan sebuah arak- arakan di langit. 
BERSAMBUNG 
(DAPATKAN SEGERA NOVELNYA 
“DOA EMAK UNTUK ASA”)
135
136 
Puisi Asa untuk Emak 
Emak… 
Malam tadi telah kupanjangkan doaku… 
Telah kukhusukkan untukmu Emak… 
Mungkin Allah memberi mahabah-Nya.. 
Sehingga hatiku terasa akrab dengan-Nya… 
Emak… 
Saat semua tak ada dan tak bisa… 
Tak harus kucari pelukanmu… 
Tak harus ku tunggu doa-doamu… 
Bahkan bentangan bumi serasa tak berarti… 
Emak… 
Kehangatan kasih sayangmu itu selalu nyata terasa… 
Mengalir dan terasa deras… 
Emak… 
Detik-detik waktu membuatku rindu akan rahimmu… 
Tak perlu nada yang berlebihan 
Irama jantung itu begitu indah dan dirindui 
Dipelukmu ku bisa kembali merasakannya… 
Emak... 
Bulan dan langit yang ku tatap tadi malam… 
Adalah bulan yang sama dengan yang diatas rumah kita… 
Emak... 
Aku telah biaskan kasih dan rindu ini pada langit
137 
Emak... 
Telah ku titipkan salamku untukmu pada bulan dan bintang… 
Dan kubisikkan pada hembusan angin… 
Terimakasih Emak… 
Untuk pahit getir yang kau tempuh untukku 
Begitu tegas waktu menyita masa… 
Mengambil cerita-cerita… 
Mengemasnya menjadi kenangan-kenangan… 
Jari-jari lentik ku sekarang hanya sempat bermain dengan leher pena saja… 
Mengukir ilmu, formula alam ataupun cerita hati… 
Emak... 
Karena Emak… 
Aku ada… 
Emak… 
Semua tak akan lahir tanpamu… 
Emak… 
Rindu dan doa terbaik selalu untukmu…
138 
Musa Rustam 
Biodata Penulis 
Musa Rustam, lahir di Jakarta. Yang di panggil oleh teman-temannya sebagai “anak kali”. Lahir dari keluarga yang kurang mampu tidak mengecilkan hatinya untuk selalu berjuang dan bermimpi, ia amat menggemari ilmu komputer yang dipelajari secara otodidak, menjadi seorang PNS adalah cita-cita Emaknya, mencoba menyebarkan virus pegawaipreneur lewat tulisannya. 
Penulis multitalenta ini, pendiri DEEP OF TEEN Corporate, sebuah perusahaan pembuatan Merchandise & Souvenir Unik. Pegawai Negeri Sipil yang sehari-hari bertugas di Kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi DKI Jakarta. 
Menjadi anggota komunitas bisnis Pandu Wirausaha dan Komunitas Tangan Diatas/TDA Jakarta Selatan serta beberapa Komunitas Fotografer. Mulai membuka bisnis DEEP OF TEEN pada 5 November 2010, menjadi Supplier Trans Studio Februari 2011.
139 
Mulai mendapatkan beberapa penghargaan dalam bisnis yaitu ; 
 Sebagai Finalis Wirausaha Muda Mandiri Regional Jabodetabek kategori Industri Kreatif dari Bank Mandiri tahun 2011. 
 Sebagai Finalis Indigo Fellowship kategori Web Application dari PT. Telkom Indonesia tahun 2011. 
 Sebagai Pemenang Kategori Kewirausahaan dalam International Youth Muslim Creation dari International Muslim Summit Student di ITB pada Juli 2012. 
 Juara 3 Lomba Inovasi Bisnis tingkat Nasional dari Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia pada November 2012. 
 Juara 2 Apresiasi Astra Socio Enterpreneur tahun 2012 dari PT. Astra International. 
 4 besar Esai Terbaik Kompetisi Esai Nasional Gebyar Pemuda Indonesia tahun 2013 di Universitas Gajah Mada Yogyakarta. 
Beberapa buku yang sudah di terbitkan secara self publishing melalui nulisbuku.com antara lain; Meraup Ratusan Juta Rupiah dari Bisnis Narsis, Traveller Photography Anti Teler, dan Menjadi Pegawaipreneur Sukses. 
Menjadi pembicara dan motivator menjadi kekuatan yang diyakini memperkaya kehidupan manusia dalam beraktivitas dan ini menjadi hobi yang akan selalu menginspirasinya !! 
Penulis dapat dikontak di Twitter @musajkcc
140 
Doa Emak untuk Asa 
Sesungguhnya hidup itu memang indah dan sederhana.... setidaknya itulah yang kurasakan dalam dekapan Emak yang selalu hangat. 
Kisah perjuangan seorang Emak dalam mewujudkan impian Asa 
Dengan berbagai cobaan dan 
rintangan hidup yang membelenggu siksa 
Mulai dari pahit getir, kekejaman dan kekerasan kehidupan ibukota 
Kini telah di ijabah dengan titik sinar kehidupan yang menderu 
Karena kesabaran dan keikhlasan yang tak pernah Asa 
Allah memberikan karunia di balik cobaan dan rintangan 
Asa kecil tak pernah jauh dari Emak yang mengasuhnya dengan penuh kasih sayang dan cinta seorang diri. Namun, saat beranjak dewasa, karena tuntutan keadaan yang mengharuskan Asa untuk berjuang pergi meninggalkan Emak dan hidup berdikari di negeri orang. 
Kehidupan yang keras kota Jakarta, lahir serba minim tak pernah mengecilkan asanya untuk menggapai asa karena kekuatan Doa Emak yang menghilangkan siksa. 
Sampai ketika musibah itu hadir menjemputnya..... 
“Ketika doa Emak, perjuangan yang meneteskan air mata demi Asa, 
Ketika cinta Emak, menguatkan alang rintang pada Asa”.

Doa emak untuk asa

  • 2.
    2 Doa Emak untuk Asa Hidup itu indah... ketika aku bersamamu, Emak Penerbit Nulisbuku.com
  • 3.
    3 Doa Emakuntuk Asa Oleh: Musa Rustam Copyright © 2014 by Musa Rustam Penerbit Nulisbuku.com Desain Sampul: Musa Rustam Diterbitkan melalui: Nulisbuku.com
  • 4.
    4 Buku inikupersembahkan untuk : Emakku adalah Ibu terbaik sedunia, terima kasih ‘tuk cinta, kasih sayang dan ridhonya.
  • 5.
    5 Ucapan TerimaKasih... Ucapan terima kasih kusampaikan kepadaNYA, Segala puji saya panjatkan ke hadirat Allah SWT, berkat pertolongan dan hidayahnya. Kepada wanita pendampingku sosok sangat bermakna yang selalu memberikan dukungan dengan inspirasinya yang luar biasa. Kepada putraku, Muhammad Hafiz Danish Veysa, yang senantiasa menjadi penerang dan pelipur lara dalam hidupku. Kepada orangtuaku, Mak Rinah, Bapak Rustam (Alm), Mama Mahirmani, Papa Adi Sucipto, yang telah memberikan cinta kasih dan dukungan yang sangat luar biasa kepadaku. Kepada Kalak, Para Kabid, Sekretaris, Para Kasie dan rekan-rekan BPBD Provinsi DKI Jakarta, Rekan-rekan Satpol PP Provinsi DKI Jakarta, dosenku di STIA LAN Jakarta dan teman-teman baikku yang telah mendukungku selama ini serta Nulisbuku.com.
  • 6.
    6 ”Tidak adasuatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput darimu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikanNya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al-Hadiid : 22-23)
  • 7.
    7 Chapter One Ia sangat tinggi menjulang, tepat di jantung ibukota negara. Di tengah-tengah Jakarta. Di tengah-tengah peradaban Indonesia. Di tengah-tengah kekaguman kami dari berbagai pelosok nusantara. Seperti permainan kemudi putar yang berputar di pasar malam, membuat tertawa riang anak-anak yang menaikinya, segala yang berada di atasnya pun ikut berputar. Kami pun ikut berkemudi putar. Kami tiba di kota ini layaknya lebah yang mendatangi bunga-bunga yang memiliki madu. Terpesona akan cantik dan manisnya yang belum pernah kami lihat sebelumnya. Tubuh dan jiwa kami bergerak bersama alunan kereta api listrik yang membawa kami keluar dari kampung terbiasa dengan banjir pada musim penghujan. Kami semua di tarik ke dalam sebuah bejana yang tak berujung, membawa takdir masing-masing yang tak pernah kami pahami dan mengerti.
  • 8.
    8 Pada bulanMaret 1993, Emak berkata. Tepat 34 tahun keberadaannya. “Melihatnya seperti itu, tampaknya ia seperti kesepian dan sendiri. Berdiri tegak menghiasi kota pada siang dan mencoba menyinari pada malam, ia begitu tampak murung” Tapi menurutku, justru karena itulah ia begitu di kagumi semua orang. Di ibukota yang terasa hampa ini, saat orang-orang memandang ke atas dan melihat ada bongkahan yang berkilau seperti emas dengan melihatnya berdiri tegak bersinar dengan penuh kehormatan, mereka akan merasakan adanya kekuatan luar biasa, penuh perjuangan sejarah bangsa dan memiliki daya tarik keindahan bagi siapa saja yang melihatnya. Wahai anakku, Emak sudah mengalami manis dan getirnya kehidupan-perebutan paksa, pengkhianatan yang tak berujung, kekerasan dari kekejaman-merasakan kekaguman pada keindahan dalam kesendirian dan keterpurukan itu. Kami tidak dapat menahan air mata yang jatuh dari pelipis mata,
  • 9.
    9 kesedihan yangmendalam namun kita harus tetap berputar mengikuti waktu dalam jam, sesuai dengan putaran porosnya, berputar membuat kita harus kuat dan menjalaninya dengan penuh kesabaran. Semua orang berdatangan ke tempat ini. Mereka meninggalkan kampung halaman demi sebuah mimpi dan harapan agar dapat berdiri dan tegak, untuk membangun mimpi mereka, yang penuh pengharapan nan suci di Jakarta ini. Inilah kisah masa kecilku, bertiga dengan Bapak dan Emak di Jakarta, berjuang bersama mereka yang memiliki persamaan dengan jutaan orang-orang pemimpi yang datang dari kampung halaman. Bapak yang terlupakan dari hingar-bingar dan terhempas dari putaran kemudi putar, aku datang dengan bertahan memiliki tujuan yang sama, namun bingung aku tak bisa berjuang melihat segala keadaan yang terjadi, tapi aku tak dapat pergi kemana-mana. Sedangkan Emak dengan super-kesabarannya, mencoba bertahan yang akhirnya harus berjuang hingga tertidur letih di bantaran kali Ciliwung.
  • 10.
    10 = #=#=#= Pagi itu, di dalam sebuah kamar yang mungil dengan pemandangan langsung ke bantaran kali Ciliwung, kami bertiga tidur berdampingan dengan lelap. Banyak orang berkata bahwa mereka tidak terlalu mengingat hal-hal yang terjadi ketika mereka masih kanak-kanak. Namun, berbeda dengan aku, aku masih sangat ingat dan jelas. Aku seakan masih dapat mencium aroma udara yang menghinggapi sekeliling, serta membayangkan hal-hal yang terjadi pada saat itu. Mungkin karena aku hanya memiliki sedikit saja memori yang harus aku ingat dan alami apabila di bandingkan dengan orang lain. Ingatan hingga usiaku menginjak umur tiga tahun, tentang Aku, Emak dan Bapak serta seorang adik perempuanku. Ingatan ketika kami harus kehilangan seorang Engkong yang kami cintai telah meninggal dunia tanpa harus aku mengerti, mengapa beliau pergi meninggalkan kami, sehingga dalam ingatanku hanya tersisa sekeping episode tersebut,
  • 11.
    11 saat kamimasih memiliki senyum kebahagiaan dan keindahan dalam hidup yang utuh. = #=#=#= Gubrakkk!! Jeger!! bunyi pintu di dobrak membangunkan tidurku yang lelap. Emak yang tidur di sampingku di atas ranjang besi berwarna biru juga langsung terbangun dan terduduk, termenung kaget. Sudah tengah malam, tak hanya anak-anak, orang dewasa pun tengah terbuai dalam mimpinya yang indah. Bapak pun masih terjaga dengan ketermenungannya yang tak berujung. Dari arah pintu terdengar teriakkan seorang laki-laki memanggil nama Emak. Emak langsung berlari menuju depan pintu yang terdapat seorang laki-laki, tetapi dia segera kembali masuk ke kamar dengan wajah ketakutan dan pucat. Emak langsung mendekapku sangat erat, seperti induk kucing betina yang memeluk anaknya karena terancam gangguan dari pengganggu. Dia membawaku setengah berlari ke balik almari.
  • 12.
    12 Encang, kakakdari Bapakku, tanpa mengucapkan salam ataupun dengan mengetuk pintu, Encang malah menendangnya. Pintu yang terbuat dari kayu dari beberapa lembar potongan tripleks dan kayu kaso di rekatkan dengan paku ukuran 20 milimeter. Rusak dan ambruk daun engsel yang menyatukannya. Tanpa melepas sandal, Encang bergegas mengejar Bapak yang berlari menghindar, di selingi teriakan Enyak. Seperti pasukan khusus anti teror yang ingin menyergap teroris. Dan hal seperti ini sering terjadi. Entah mengapa, aku tak mengerti mengapa Bapak menjadi sasaran Encang. Aku tak pernah habis berfikir. Encang menarik paksa Bapak dari lamunannya yang penuh dengan kekosongan, Aku hanya bisa ketakutan di balik almari dalam dekapan Emak. Bapak sudah terpojok di sudut ruangan, kemudian menarik bungkusan dari plastik yang berwarna hitam, isinya ternyata seekor pecel lele goreng yang baru saja di goreng. Encang kemudian menjejalkan begitu saja ke mulut bapak.
  • 13.
    13 Rupanya Encangingin memberi oleh-oleh seekor pecel lele untuk adiknya yaitu Bapakku. Seumur hidupku itulah yang pertama, aku melihat Bapak di perlakukan seperti itu, di suapi dengan paksa oleh Encang untuk makan. Encang pemabuk berat. Di bawah pengaruh alkohol dia selalu mengamuk tak beraturan, tak peduli dengan keadaan sekitarnya, siapapun bisa terkena bolgem mentah darinya. Pintu rumah kami yang rusak di perbaiki oleh Emak beberapa hari kemudian. Dari pintu yang utuh dan rapih kini di bagian kanan tertutup bahan tripleks yang berbeda dari yang aslinya, seperti membentuk tambalan pintu layaknya ban bocor yang di tambal, sehingga pintu rumah kami tampak aneh. Aku sering sekali menangis. Dan ketika aku menangis lama sekali. Bapak hanya bisa melihat dan tersenyum ketika aku menangis dengan terkadang ikut meneteskan air mata juga. Emak selalu mendekapku dengan penuh kehangatan, Emak melarangku menangis, Emak tak ingin aku menjadi
  • 14.
    14 anak yangcengeng, walaupun aku masih berumur tiga tahun. Pada suatu pagi, saat Aku bermain di depan televisi, memainkan puzzle bongkar pasang yang terbuat dari kertas karton bergambar ondel-ondel, Bapak duduk di kursi tak jauh dariku dengan masih dalam lamunannya yang kosong, tak memiliki makna apa-apa akan tetapi menyiratkan beban pikirannya yang sangat dalam, dia terkadang meledek aku yang kebingungan tak dapat menyusun puzzle itu. Sesaat aku menangis kaget, karena aku menjatuhkan secangkir teh manis yang ada di meja, praang!! Suara cangkir yang jatuh ke lantai. Tiba-tiba Encang dari kamar sebelah membentak-bentak dan mengangkat- angkat tubuhku yang mungil, lalu melemparku ke ruang yang berlantai dengan tikar hambal. Aku di buatnya melayang, tubuhku yang mungil terlempar masuk lorong rumah dengan tikar hambal. Enyak yang menyaksikan kejadian itu berusaha menangkap tubuhku seperti bocah-bocah menangkap bola pada permainan kasti di lapangan.
  • 15.
    15 Emak menceritakankejadian ini kepadaku di kemudian hari. Mungkin saat itu aku mengalami seperti apa yang di rasakan oleh penerjun parasut yang melompat dari pesawat. Mereka tak akan pernah ingat apapun, apabila suatu ketika parasut yang di terbangkan tidak berfungsi dengan baik, mereka akan terhempas jatuh ke bawah, sehingga menghancurkan mereka tak berkeping. Seandainya saja Enyak gagal menangkapku, mungkin aku akan jatuh dengan terlebih dahulu kepala yang membentur lantai, dan aku akan mengalami depresi yang mendalam. Aku juga mempunyai masalah dalam tubuhku. Saat aku mengalami gangguan dalam usus di pencernaanku, Emak membawaku ke Dokter Puskesmas dekat rumah. Di Puskesmas tersebut ada seorang dokter perempuan berkerudung, dan Emak berkali-kali mengatakan bahwa “Dokter itu udah cantik, betul-betul dokter yang bagus, Emak tak tahu kalau dia tak ada, kamu pasti sudah mati”. Setiap kali aku ke sana, dokter itu pasti menyuntik pantatku
  • 16.
    16 dengan sabar.Walaupun begitu, kalaupun selalu di hibur agar aku tidak menangis. Demi menyenangkan mereka, aku menahan dalam hati, tidak menangis dan berpura-pura tidak apa-apa. Suatu hari, ketika aku mengalami sakit perut yang sangat meradang dan di bawa ke puskesmas, ternyata saat itu adalah hari libur. Akhirnya Emak membawaku ke klinik swasta yang ada di Jatinegara. Sudah menganggap penyakitku sudah biasa, aku pun menjalani beberapa pemeriksaan, dari mulai suhu tubuh dengan termometer, mataku di senter dengan alat penerang dan perutku di ketuk-ketuk sambil di dengarkan dengan stetoskop, namun aku kemudian menangis dengan sangat kencang dan meraung-raung kesakitan karena dokter itu menyuntikku pada lengan bagian kiri. Sakit perutku tak juga kunjung sembuh sehingga keesokan harinya. Emak membawaku kembali ke dokter perempuan berkerudung, yang sudah biasa memeriksaku karena Emak tak tahan melihat penderitaanku yang menyiksa. Bu dokter
  • 17.
    17 malah menegurEmak, “Kenapa Ibu tidak segera membawa kemari anaknya?” dokter berkerudung itu akhirnya duduk di meja kerjanya setelah memeriksaku, setelah itu dia segera menulis surat rujukan ke Rumah Sakit Umum Daerah di Rawamangun dan mengirimkanku ke sana. Ternyata aku menderita usus buntu dan kondisiku sepertinya cukup parah, beberapa dokter ahli penyakit dalam berkumpul dan memasuki ruang operasi. Menggunakan seragam serba hijau, dengan tutup kepala berwawna hijau tak luput juga sarung tangan dan masker berwarna hijau. Meskipun aku tidak mengetahui prosedurnya secara mendetail, pertama-tama di lakukan operasi injection cairan semacam enema listrik yang di masukkan melalui anus oleh dokter yang berkacamata. Bahkan bagi orang dewasa pun, langkah ini cukup berat untuk di jalani seorang pasien dewasa. Dengan menggunakan radar yang termonitor dalam layar screen berwarna hitam dengan menunjukkan keberadaan enema listrik dalam perut
  • 18.
    18 agar dapatdi ketahui. Jika sudah sampai di usus dan enema listrik tersebut terhenti, maka harus di lakukan operasi pembedahan di bagian perut untuk mengeluarkan bagian yang bermasalah di dalam usus. Sebelum operasi, Emak mendapat penjelasan dari dokter bahwa jika ususku dipotong, tak tertutup kemungkinan aku akan mengalami beberapa kesulitan dalam kehidupan sehari-hari. Dari balik kaca jendela di depan pintu operasi, Emak berdoa agar cairan enema listrik itu tak terhenti. “Ya Allah pemilik segala zat, hanya ENGKAU yang maha mengetahui, anakku sedang berjuang untuk melawan penyakitnya, tak ada yang mengizinkan sehelai rambut pun tumbuh hitam indah di kepalanya, termasuk penyakit yang tumbuh pada anakku, kalau boleh meminta pindahkan saja penyakitnya ke tubuhku, aku ikhlas dan ridho. Tukar saja usus anak hamba dengan usus hamba Ya Rab”. Sedangkan Bapak, sama halnya ketika saat aku di lahirkan, diam dan termenung di dekat jendela
  • 19.
    19 rumah, takada banyak hal yang dapat dia perbuat karena pengaruh tekanan mental yang dia hadapi, Aku lahir di sebuah kamar dengan ukuran 2 X 3 m2 dengan bantuan dukun beranak yang bernama Mak Okih. Sebuah proses sangat luar biasa kala itu, proses persalinan dengan perjuangan seorang ibu antara hidup dan mati dalam melahirkan anak manusia. Tidak ada teknologi yang luar biasa ketika itu, tanpa jarum suntik, tanpa peralatan medik yang canggih, maupun tenaga bidan ataupun dokter, hanya beberapa peralatan sederhana seadanya dengan semangat dan keyakinan yang kuat dari seorang dukun beranak yang sudah lama di geluti secara turun temurun dari orangtuanya terdahulu, begitulah sebuah proses persalinanku. Ibuku di dalam hatinya selalu berzikir sambil memanjatkan doa-doa di dalam perjuangannya ; "Ya Allah, peliharalah anakku selama di dalam kandunganku dan sembuhkanlah ia. Sesunggguhnya Engkau Maha Penyembuh, tiada sembuhan melainkan penawarMu, sembuh yang
  • 20.
    20 tiada meninggalkankesan yang buruk. Ya Allah, lahirkanlah ia dari kandungan ku dengan kelahiran yang mudah dan sejahtera (selamat). Ya Allah, jadikanlah ia sehat sempurna, cedik, berakal dan berilmu serta beramal saleh. Ya Allah, elokkanlah akhlak (perangai)nya, fasihkanlah lidahnya dan perelokkanlah suaranya untuk membaca Al-quran dan Hadis dengan berkat Nabi Muhammad SAW" Tepat pukul 00.45 WIB Kamis dini hari, lahir dengan sehat ke dunia, anak yang sangat lucu dan manis, dengan suaranya sangat kencang menangis menandakan kehadirannya. Di dekati seorang laki- laki yang sudah mulai putih rambutnya oleh Mak Okih, lalu di dekatkan telinga sang bayi itu untuk di adzankan, “Allahu Akbar....” “Allahu Akbar....” “Allahu Akbar....” Suara adzan itu terdengar berkumandang sangat indah, perasaan haru dan bercampur bahagia tercermin di mata Yusuf sambil menggendong bayi
  • 21.
    21 mungil itu,bapak dari Rustam, karena kala itu Rustam masih kebingungan dan panik melihat Rinah yang sedang lemas dan letih selesai pasca persalinan. Proses persalinan yang panjang di tandai dengan banyaknya berbagai kejadian-kejadian yang sangat memprihatinkan, di karenakan minimnya pengetahuan hingga memperlambat proses persalinan. Bayi dengan berat kira-kira 2.9 kg dengan panjang 48 cm, lahir dengan selamat dan di beri nama Asa tanpa nama panjang ataupun embel-embel yang lain. Nama pemberian dari Sang Engkong. Untungnya, radar di dalam perutku berjalan lancar. Cairan enema listrik berhasil membuka bagian yang tersumbat sehingga perutku tak perlu di lakukan pembedahan. Emak menangis syukur dan haru dengan perkembangan tubuhku yang membaik, dengan mengucapkan hamdallah kepada Allah dan sujud syukur. Aku masih ingat sekali aroma khas bubur dengan kuah soto ceker ayam yang di buatkan Emak ketika aku sakit merintih menahan sakit. Aku juga
  • 22.
    22 masih mengingatekspresi wajah Emak yang khawatir dengan penyakitku. Namun, keberadaan Bapak tidak begitu membekas dalam memoryku Satu hal lagi yang masih aku ingat dengan jelas, yaitu sosok wajah Bapak saat termenung diam, dan sesaat dia menghampiriku memberikan kepingan puzzle yang membuatku bingung mana yang harus aku isi terlebih dulu, di karenakan gambarnya masih penuh teka-teki untukku. Kemudian memberikan sambil menunjuk dengan tangan kirinya letak kepingan puzzle itu. Sosok Bapak yang tampak itu, begitu baik hati di mataku. Inilah hal-hal yang masih tersimpan dengan baik dalam memoryku. Mungkin ada hal-hal yang terhapus. Namun ingatan ini saat Aku, Emak dan Bapak masih ada sebagai keluarga yang utuh. Hanya ini yang terkenang, tidak ada yang lain. = #=#=#= Aku lahir di Jatinegara di kota Jakarta, di sebuah kampung yang berada dekat dengan tepian
  • 23.
    23 kali Ciliwung.Kampung kami memiliki dua RW yang lumayan padat penduduknya, di kampung kami sudah menjadi langganan setiap tahunnya karena kampung kami terletak di dataran sangat rendah, yang bentuk kampungnya bila di lihat dari atas, serupa tapal kuda di kelilingi oleh sungai Ciliwung sepanjang kampung. Banjir menjadi sudah biasa, kampung yang berdampingan dengan banjir yang sudah di anggap menjadi konsekwensi dari musim hujan yang melanda, ketika di daerah puncak hujan lebat, sekitar delapan sampai dengan sembilan jam kemudian banjir akan menggenangi kampung kami, hingga mencapai kedalaman dua meter. Kami mencoba bertahan dengan banjir menjadi potret tiap tahun musim penghujan di Kampung kami. Emak bercerita saat dia masih kecil, Kali Ciliwung bersih dan jernih, airnya pun bisa di minum, selain itu ikannya beragam dan juga banyak bebatuan sehingga kita bocah-bocah kali Ciliwung senang sekali mandi dan bermain di sana bersama teman-teman.
  • 24.
    24 Di seberangkampung kami ada sebuah Dipo Bukitduri yang berdiri sejak zaman Belanda, pada waktu itu sebelum ada lokomotif diesel tempat ini untuk merawat lokomotif uap. Di perkirakan tahun 1955 baru merawat diesel listrik type BB 302 hingga tahun 1975. Kehidupan masyarakat di masa itu mulai di liputi kegairahan aktivitas masyarakat yang menjalankan roda perekonomiannya. Aktivitas jual beli di Pasar Lama Jatinegara atau lebih di kenal dengan Pasar Mester, merupakan pusat ekonomi bagi warga Jatinegara. Pasar Lama Jatinegara mempunyai banyak deretan bangunan di mana dulunya di kenal dengan bangunan Belanda. Di sekitar pasar tersebut juga terdapat pedagang-pedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya, mulai dari pukul tujuh pagi hingga pukul enam sore. Pasar ini sangat ramai pada tanggal-tanggal muda, di mana orang-orang baru saja mendapatkan penghasilannya. Ketika aku mulai masuk sekolah dan sudah terbiasa dengan buku pelajaran, Emak sering bercerita tentang perjuangan bangsa kita melawan
  • 25.
    25 penjajah. “Kekejamantentara Jepang yang menjajah Indonesia, kekejamannya seakan melebihi Belanda. Bukan hanya kerugian di bidang materi, namun juga dari sisi mentalitas dan kehormatan. Sebuah catatan gelap suatu bangsa yang melakukan penjajahan dengan sempurna” Setiap aku mendengar cerita itu, meskipun aku masih kecil, tak tahu kenapa kepalan tanganku mengeras, seakan ingin marah dengan negara Belanda dan Jepang, mengapa mereka begitu tega menjajah kami hingga kami pun tersiksa. = #=#=#= Rumahku berada di dekat dengan Pasar Mester, dan di sekitarnya ada taman bermain. Rumah tersebut adalah bangunan dua lantai terbuat dari bangunan semi permanen yang di bangun oleh Engkong, saat aku belum lahir. Baik Engkong dari pihak Bapak maupun Emak sudah meninggal sehingga aku tidak memiliki bayangan mengenai sosok mereka. Bapak hanya memiliki selembar foto
  • 26.
    26 Engkong ketikaBapak bersama dengan monyet piaraan Engkong di belakang rumah berfoto bersama untuk 17 Agustus-an. Di rumah tersebut tinggalah Emak, Bapak, Aku, Enyak, dan Encang Uding, Kakak dari Bapak beserta dua anaknya yaitu ; Mila dan Yadin. Setelah Engkong meninggal sehingga beberapa ruangan rumah di sekat dan di beri kamar mandi untuk di kontrakkan sebagai rumah kontrakan pada beberapa pasangan muda yang baru menikah ataupun mahasiswa yang mengadakan penelitian tentang kampung kami. Para mahasiswa itu baik sekali kepadaku. Mereka sering membelikan kembang gula berwarna pink dan kerak telor kesenanganku. Emak mengandung aku setahun setelah dia datang ke rumah ini. Tahun 1984, Emak berumur 19 tahun sedangkan Bapak berumur 2 tahun lebih tua, yang baru ingin menginjak 21 tahun. Bapak yang kelahiran asli Jatinegara bersekolah di STM Listrik Boedi Oetomo, tapi sudah di duga Bapak memang pintar, saat kelas dua STM, Bapak adalah anak
  • 27.
    27 termuda dariempat bersaudara yang memiliki pendidikan paling tinggi di bandingkan dengan kakak-kakaknya. Engkong mengira dengan memasukkan Bapak ke STM akan membentuk Bapak menjadi karakter yang mandiri dan siap bekerja kelak. Tetapi, Engkong mungkin tak sadar bahwa itu bisa berubah dan menjadi fatal “Karena salah bergaul”. Setelah masuk STM, Bapak karena kurang pengawasan melakukan berbagai perbuatan buruk dan kekeliruan dalam belajar. Karena sering membolos, tawuran antar pelajar dan berbagai aktivitas negatif yang mungkin terpengaruh temannya di sekolah. Bapak sesungguhnya anak yang cerdas dan berbakat dengan kepandaian dalam mereparasi barang-barang elektronik di rumah seperti televisi, kipas angin, mesin pompa air, dan setrika yang rusak, sehingga dapat menambah uang jajannya dari mereparasi barang-barang elektronik milik tetangga.
  • 28.
    28 Semuanya inibermula dari akibat Bapak belajar ilmu gaib yang di ajak oleh temannya Junaedi yang mempelajari dunia mistik, mereka tidak memahami bahaya yang mengancam, ketika siapa saja yang mencoba menyelami dunia mistik. Bahaya yang paling besar adalah “kegilaan”. Seseorang yang mulanya mencoba belajar ilmu-ilmu gaib, lalu tiba- tiba menjadi tidak waras alias gila. Hal itu karena kini dia tidak dapat membedakan antara dunia gaib dengan dunia nyata, bahkan antara khayalan dan kenyataan menjadi satu baginya. Bapak menjadi anak pendiam, sering menyendiri dan termenung dalam dunianya sendiri. Tak lebih dari tiga kata yang keluar dari mulutnya, yaitu “jangan dekati aku”. Berjuta pertanyaan di lontarkan Engkong kepadanya, apa yang sebenarnya terjadi. = #=#=#= Bapak menikah dengan Emak ketika baru lulus, dia belum bekerja hanya berjualan meneruskan
  • 29.
    29 usaha Engkong.Bapak menikah dengan Emak berawal dari perjodohan kedua orangtua mereka, akhirnya di jalani juga dengan rasa penuh cinta dan kasih sayang. Emak lahir di Cipayung, sebuah kampung pinggiran Jakarta. Emak adalah bontot dari sembilan bersaudara, dari keluarga pembuat pengrajin tahu. Emak tidak memiliki pendidikan yang tinggi, dia bersekolah hanya sampai kelas 2 SD, tak banyak aku mengetahui masa lalu sebelum Bapak dan Emak menikah. Yang aku tahu setelah menikah, Bapak dan Emak tinggal bersama dengan Engkong dan yang lain di Jatinegara. Emak tipe orang yang periang, suka tertawa walaupun tersipu malu serta menyenangkan. Dia selalu memperhatikan orang-orang di sekitarnya dan menyukai pekerjaan rumah tangga. Itu terlihat rumah yang rapih dan bersahaja. Seratus delapan puluh derajat berbeda dengan Bapak. Cenderung pendiam, tidak pernah memulai pembicaraan apabila bukan lawan bicaranya yang
  • 30.
    30 memulai. Bapakbukan tipe senang bercanda, sehingga terlalu kaku apabila tertawa. Dia suka melakukan hal-hal di luar orang awam, senang menyendiri dan hanyut dalam dunianya sendiri. Pertemuan dua orang tersebut terjadi pada pesta penikahan. Tidak berapa lama sejak perjodohan kedua orangtua. Hidup bersama mertua, kakak ipar yang arogan dengan istrinya, dan seorang suami yang tak bisa di tebak jalan pikirannya, tidaklah mudah bagi Emak. Baik secara fisik maupun psikis. Banyak tekanan yang terjadi secara bertubi-tubi. Emak melahirkan adik perempuan saat usiaku empat tahun. Beban Emak makin besar. Kami tinggal dalam satu kamar, rumah yang kami tempati memang tidak besar, kami berada di lantai dua dengan ruangan hanya 3 X 4 meter. Ruangan itu cukup bersih walaupun kecil, Bapak hanya diam mengawasi aktivitas kami bertiga. Sesekali adik perempuanku menangis karena buang air kecil ataupun karena haus minta di susui oleh Emak.
  • 31.
    31 Ketika adikperempuanku tertidur lelap, Emak selalu menceritakan setiap malam sosok pemimpin Islam yang menjadi Khalifah kedua, dialah Umar bin Khattab r.a. Umar bin Khattab ini masuk dalam Islam berkat hidayah dari Allah yang pertama, yang kedua berkat doa Rasulullah SAW dan yang ketiga berkat adiknya Fatimah yang terlebih dahulu menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW berkat lantunan ayat suci Al-Qur'an yang di bacanya. Emak berkata ketika waktu Rasulullah berdoa kala itu, Emak sambil mengatur nada tinggi rendahnya sesuai dengan konteks cerita, doanya adalah : "Semoga Allah memberi kejayaan pada Islam dengan masuknya Umar ke dalam Islam." Dan Allah SWT pun mengabulkan doa tersebut. Umar adalah sosok pemimpin teladan yang sangat mengerti kepentingan rakyatnya begitulah kata Emak. Padahal ia sendiri hidup dalam kondisi sangat sederhana. Pada suatu malam, sudah menjadi kebiasaan bahwa Khalifah Umar bin Khattab sering
  • 32.
    32 berkeliling mengunjungidan menginvestigasi kondisi rakyatnya dari dekat. Nah, pada suatu malam itu, ia menjumpai sebuah gubuk kecil yang dari dalam terdengar suara tangis anak-anak. Ia pun mendekat dan mencoba untuk memperhatikan dengan seksama keadaan gubuk itu. Dalam dialog Umar bin Khattab dengan seorang Ibu. Ternyata dalam gubuk itu terlihat seorang ibu yang sedang memasak, dan di kelilingi oleh anak-anaknya yang masih kecil. Si ibu berkata kepada anak- anaknya,"Tunggulah...! Sebentar lagi makanannya matang yah „nak!!" Sang Khalifah memperhatikan dari luar, si ibu terus menerus menenangkan anak-anaknya dan mengulangi perkataannya bahwa makanan yang di masaknya akan segera matang. “Terus gimana lagi Emak!!!” Aku memotong pembicaraan sambil berkerut penuh perhatian dan penasaran dengan cerita yang di bacakan oleh Emak.
  • 33.
    33 Dengan nadasedikit tinggi, menyesuaikan ceritanya, Emak mencoba membuka imajinasiku dalam merasuk settingan plot cerita yang di narasikan Emak. “Sang Khalifah menjadi sangat penasaran, karena yang di masak oleh ibu itu tidak kunjung matang, padahal sudah lama dia memasaknya” Akhirnya Khalifah Umar memutuskan untuk menemui ibu itu. "Mengapa anak-anakmu tidak juga berhenti menangis, Bu..?" tanya Sang Khalifah. "Mereka sangat lapar" jawab si ibu. "Kenapa tidak cepat engkau berikan makanan yang dimasak dari tadi itu?" tanya Khalifah. "Kami tidak ada makanan. Periuk yang dari tadi aku masak hanya berisi batu untuk mendiamkan mereka. Biarlah mereka berfikir bahwa periuk itu berisi makanan, dengan begitu mereka akan berhenti menangis karena kelelahan dan tertidur." jawab si ibu.
  • 34.
    34 Setelah mendengarjawab si ibu, hati sang Khalifah Umar bin Khattab serasa teriris. Kemudian Khalifah bertanya lagi, "Apakah ibu sering berbuat demikian setiap hari?" "Iya, saya sudah tidak memiliki keluarga atau pun suami tempat saya bergantung, saya sebatang kara...," jawab si ibu. Hati dari sang Khalifah laksana mau copot dari tubuh mendengar penuturan itu, hati terasa teriris-iris oleh sebilah pisau yang tajam. "Mengapa ibu tidak meminta pertolongan kepada Khalifah supaya ia dapat menolong dengan bantuan uang dari Baitul Mal?" tanya sang khalifah lagi. "Ia telah zalim kepada saya...," jawab si ibu. "Zalim....," kata sang khalifah dengan sedihnya. "Iya, saya sangat menyesalkan pemerintahannya. Seharusnya ia melihat kondisi rakyatnya. Siapa tahu ada banyak orang yang senasib dengan saya!" kata si ibu.
  • 35.
    35 Khalifah Umarbin Khattab kemudian berdiri dan berkata : "Tunggulah sebentar Bu ya. Saya akan segera kembali." Bantuan dari Khalifah. Di malam yang semakin larut dan hembusan angin terasa kencang menusuk, Sang Khalifah segera bergegas menuju Baitul Mal di Madinah. Ia segera mengangkat sekarung gandum yang besar di pundaknya, di temani oleh sahabatnya Ibnu Abbas. Sahabatnya membawa minyak samin untuk memasak. Jarak antara Madinah dengan rumah ibu itu terbilang jauh, hingga membuat keringat bercucuran dengan derasnya dari tubuh Umar. Melihat hal ini, Abbas berniat untuk menggantikan Umar untuk mengangkat karung yang di bawanya itu, tapi Umar menolak sambil berkata, "Tidak akan aku biarkan engkau membawa dosa-dosaku di akhirat kelak. Biarkan aku bawa karung besar ini karena aku merasa sudah begitu bersalah atas apa yang terjadi pada ibu dan anak- anaknya itu."
  • 36.
    36 Beberapa lamakemudian sampailah Khalifah dan Abbas di gubuk ibu itu. Begitu sekarung gandum dan minyak samin itu di serahkan, bukan main gembiranya mereka. Setelah itu, Umar berpesan agar ibu itu datang menemui Khalifah keesokan harinya untuk mendaftarkan dirinya dan anak-anaknya di Baitul Mal. Setelah keesokan harinya, ibu dan anak- anaknya pergi untuk menemui Khalifah. Dan betapa sangat terkejutnya si ibu begitu menyaksikan bahwa lelaki yang telah menolongnya tadi malam adalah Khalifahnya sendiri, Khalifah Umar bin Khattab. Segera saja si ibu minta maaf atas kekeliruannya yang telah menilai bahwa khalifahnya zalim terhadapnya. Namun Sang Khalifah tetap mengaku bahwa dirinyalah yang telah bersalah. “Nah, itulah kisah pemimpin teladan kita, sahabat Rasulullah SAW, Khalifah Umat Islam yang kedua, Umar bin Khattab. Pelajaran berharga ini harus kamu perhatikan yah „nak, ketika kamu dewasa dan menjadi seorang pemimpin, jangan pernah lupa
  • 37.
    37 dengan kondisiorang-orang sekitarmu, kita masih bersyukur walaupun makan tiga kali sehari dengan menu tempe dan tahu saja, kelak kamu akan menjadi orang besar” “Sudah malam, Asa tidur yah!” sambil mencium kening dan mengusap-usap kepalaku. = #=#=#= Senin pagi itu, aku pertama kali berangkat ke sekolah di antarkan Emak. Kumpulan batang pohon Bambu yang kira-kira berjumlah lima belas batang pohon Bambu di ikat menjadi satu, tersusun rapi seperti permadani membentang menjadi sebuah getek yang membawaku. Emak di sebelahku, memegang erat pergelangan tanganku dengan tangan kanannya yang lembut. Emak seorang perempuan berbadan kurus dan mungil. Wajahnya sekurus badannya, dengan sepasang mata yang bersih di naungi alis tipis. Mukanya selalu mengibarkan senyum ke siapa saja. Kalau keluar rumah selalu menggunakan baju kebaya yang di padu dengan kain atau rok
  • 38.
    38 panjang. Tidakpernah celana panjang. Kepalanya selalu di tutup turban dan di lehernya tergantung selendang. Emak tidak pernah menamatkan Sekolah Dasarnya, ia bersekolah hanya sampai kelas dua saja, di karenakan keluarganya masih memiliki pola pikir lama ,bahwa sekolah tidak perlu tinggi–tinggi untuk anak perempuan, karena ujung-ujungnya pasti di dapur juga. Begitulah pemikiran yang masih terbenam sama di beberapa pemikiran orang-orang tua terdahulu, mereka belum mendapatkan virus semangat yang di bawa oleh Ibu Kartini, pentingnya emansipasi wanita bahwa pendidikan itu sangat penting untuk laki-laki maupun perempuan. Di antara lima gundukan batang yang tersusun di atas susunan lima belas batang pohon bambu, di sela-sela tengah pada bagian depan di ikat erat menjadi penguat untuk di kendalikan, di ujung tali terikat di atas pohon waru dan di seberang satunya pun demikian terikat dengan pohon yang rindang, di ujung depan berdiri di atas getek yang
  • 39.
    39 diawaki seoranglaki-laki yang berkopiah putih, sekuat tenaga menarik getek untuk membawa kami ke seberang. Laki-laki itu adalah seorang bapak tua berwajah penuh kesabaran, Pak Marzuki, sang penarik getek. Namun, senyum Pak Zuki adalah senyum yang getir penuh makna, karena terlihat sangat jelas kecemasan wajahnya penuh ketegangan dan keletihan sambil terengah-engah menarik nafas berulang kali. Sesekali menghitung jumlah penumpang yang naik di getek-nya. Ia begitu khawatir sehingga terkadang tak peduli pada peluh yang mengalir deras di lehernya. Bulir-bulir keringat yang bermunculan di seputar keningnya sebagai tanda perjuangan yang harus di kenakannya, membuat wajahnya terlihat semakin letih berbentuk raut kelelahan. “Sepuluh orang...sudah sepuluh orang pak...bu...dek...,sudah lewat kapasitas nanti terbalik...” katanya penuh kegusaran pada para penumpang getek-nya. Emak dengan penuh kehati-
  • 40.
    40 hatian menjagakudari licinnya kumpulan bambu yang aku injak. Aku juga merasakan kecemasan. Aku cemas karena melihat aliran air kali Ciliwung sangat deras dan karena beban yang di rasakan Pak Zuki terlihat jelas, beberapa otot-otot yang mulai jelas menonjol di depan mataku. Meskipun beliau begitu tenang pagi ini tapi genggaman tangannya yang melingkari tali tambang kemudi getek, tetap saja tidak dapat aku pungkiri degup jantungku terasa cepat, pertama kalinya aku menyeberang kali, aku tahu beliau sedang tidak gugup ataupun grogi karena hal ini sudah menjadi rutinitas beliau setiap hari, pria berusia lima puluh tahunan itu, seorang buruh serabutan yang beranak banyak dengan penghasilan seadanya. Siang hari bekerja mencari nafkah untuk keluarga dengan menarik getek, mengumpulkan sisa- sisa sampah plastik yang di kumpulkan dari arus membawa sampah di Kali Ciliwung untuk di jual kembali kepada pengepul barang rongsokan dan
  • 41.
    41 ketika malampun tiba beliau mengajarkan kami mengaji kepada anak-anak seumuranku. Getek pun sampai ke seberang, Emak dan aku bergegas perlahan untuk turun melalui jembatan yang terbuat dari bambu di susun empat buah dan di ikat kuat menjuntai hingga menempel ke dasar kali serta mengarah ke dasar pelataran tanah yang agak tinggi dan becek. Kucoba melangkah dengan penuh perhatian dan perlahan, dengan tangan kiri memegang pagar jembatan dari bambu itu sambil di pegangi tangan kananku dengan Emak. Tak tahu kenapa, aku seperti merasa bisa sendiri, tak ingin di pegangi dan di bantu Emak. “Emak, Asa bisa kok....gak perlu di pegangin „mak” Emak tak sampai hati untuk melepaskan tangannya yang memegangi pergelangan tangan kananku. Tapi Emak pun akhirnya mengabulkan keinginanku, dengan mengalah karena percaya aku merasa bisa untuk menyeberangi jembatan bambu itu tanpa harus di peganginya. Ternyata dewi fortuna
  • 42.
    42 tidak besertaku.Selang hanya beberapa detik saja, waktunya sangat cepat terjadi, tangan kananku di lepas Emak, hanya satu langkah saja dari pegangan Emak, aku terpeleset jatuh masuk ke air kali berwarna kecoklatan penuh dengan sampah yang aliran airnya deras. “Astagfirlohalazim, Ya Allah Ya Rabb....anak saya ke cemplung” “Tolong...tolong...anak saya kecebur...Pak Zuki tolong.....” Teriak Emak yang panik, melihatku yang terpeleset jatuh masuk ke dalam air, sontak semua orang langsung tertuju ke sumber teriakan. Aku panik dengan gerakan yang tidak beraturan vertikal terbawa air memutar-mutar seperti pusaran air, pandangan tidak jelas mana yang harus aku tuju. Ekspresi wajah Emak yang panik memerah, seperti ada penyeselan karena telah melepas pergelangan tanganku. Aku belum bisa berenang, hanya berteriak sekencang-kencangnya meminta pertolongan dengan keadaan kadang mengambang
  • 43.
    43 timbul tenggelam,dengan secara refleks aku berusaha agar kepalaku selalu ada di permukaan air untuk memberitahukan keberadaanku sehingga ada yang segera menolongku, arus air yang deras terus membawaku semakin jauh dari Emak. Pak Zuki dengan cekatan langsung nyebur ke arahku, dengan gaya front crawl perlahan tapi pasti mengejarku, kedua belah lengan secara bergantian di gerakkan jauh ke depan dengan gerakan mengayuh, sementara kedua belah kaki secara bergantian di cambukkan naik turun ke atas dan ke bawah. Posisi wajah Pak Zuki menghadap ke permukaan air, dengan pernapasannya di lakukan saat lengan di gerakkan ke luar dari air saat tubuhnya menjadi miring dan kepala berpaling ke samping. Sewaktu mengambil napasnya, ia bisa memilih untuk menoleh ke kiri atau ke kanan. Gaya berenangnya bisa membuat tubuhnya melaju lebih cepat di air untuk menjangkauku. Pak Zuki segera menghampiriku, dengan terengah-engah meraihku, aku yang sambil menangis
  • 44.
    44 dan pucatketakutan, Pak Zuki seperti seorang water rescuer dengan teknik pertolongan korban/evakuasi yang dilakukan di air, kemampuannya menolong untuk memilih dan menentukan kemampuan yang di miliki seorang rescuer, dengan metode yang harus dilakukan untuk menolong harus bisa memilih metode pertolongan yang paling cepat dengan resiko yang kecil. Pengetahuan mengenai bahaya-bahaya ketika berada di air, contohnya : panik, letih, maupun kram karena arus air. Akhirnya, aku tersadar dan terbangun. Penglihatan mata dari mulai remang-remang menjadi terang, perlahan aku coba menggerakkan tanganku yang di genggam sama Emak. Air matanya di usap yang ada di pipi kanan dan kiri karena telah melihat aku tersadar dari pingsan. “Emak, Asa kenapa?” tanyaku lirih karena masih mencoba mengingat-ngingat apa yang terjadi denganku. “ Iya, anakku kamu tadi terjatuh di kali ..sayang “
  • 45.
    45 “Tapi Alhamdulillahkamu enggak apa-apa „kan?” sambil memegang badanku dan memeriksa dari mulai tangan, bahu dan kepala apakah aku memiliki luka, dengan wajah peluh kepanikan. “Tapi Alhamdulillah kamu enggak apa-apa „kan?“ lirih di lemparkan pertanyaan lagi untuk meyakinkan kalau aku tidak apa-apa. “Alham...dulillah Emak..........alhamdulillah Emak... Asa enggak apa-apa, Asa hanya kaget dan panik, maafkan Asa yah „Mak karena nakal tak mau dipegangi” Pak Zuki telah menyelamatkan nyawaku. Di hari pertama dalam sejarah hidup di hari pertamaku berangkat ke sekolah. = #=#=#= Tak sukar menggambarkan kampungku, karena kampungku adalah kampung yang terkenal dengan banjir di setiap musim penghujan tiba. Dengan kondisi curah hujan yang tinggi dan terus menerus apabila intensitas mencapai 150 mm/hari
  • 46.
    46 baik dihulu bogor maupun di hilir Jakarta, kampungku di pastikan terkena banjir. Aku berasal dari pemukiman kumuh bantaran kali, merupakan permasalahan klasik yang terjadi sejak lama, yang berkembang di kota-kota besar. Permasalahan pemukiman kumuh tetap menjadi masalah dan hambatan utama bagi pengembangan kota. Laju perkembangan kota Jakarta yang semakin pesat membuat pemanfaatan lahan yang semakin kompetitif, sedangkan di sisi lain, perkembangan kota menjadi daya tarik urbanisasi yang pada akhirnya menyebabkan tingginya tingkat permintaan akan tempat tinggal di dalam kota. Selain itu, pesatnya perkembangan penduduk perkotaan tersebut yang umumnya berasal dari urbanisasi tidak selalu dapat diimbangi oleh kemampuan pelayanan kota sehingga telah berakibat pada semakin meluasnya lingkungan permukiman kumuh. Kampung yang tak pernah luput dari tempat persinggahan arus urbanisasi.
  • 47.
    47 Aku kelasenam SD tepat tahun 1996, kampungku di landa kebanjiran yang sangat besar. Bahkan Pasar Proyek Jatinegara tempat aku bermain bola ketika malam hari, ikut terkena banjir walau hanya semata kaki. Bapak, Emak dan ketiga adikku sibuk menyelamatkan harta benda kami. Semua tetangga pun sibuk dengan menaikkan barang-barang berharga ke lantai dua rumah mereka. Semua di pusingkan bagaimana agar harta tidak terbawa banjir dan mengharuskan kami untuk mengungsi. Mereka mencoba bertahan dengan segala kemampuan mereka. Air tergenang di mana-mana membuat kampung kami menjadi sebuah kolam renang raksasa dengan air kecoklatan, seperti macam tempat permainan orang-orang dewasa yang lalu lalang dengan berenang. Aku mencoba menyikapi segala sesuatunya dengan positif, keadaan serba sulit ini membuat aku kecil mencoba bangkit dari keterpurukan, menjalani kehidupan sebagai pengungsi banjir di jalani dengan senyum dan sabar, dalam wajah kesedihan yang
  • 48.
    48 tercermin mengandungsebuah harapan dan impian, ketika melihat para Fasilitator dari mbak-mbak trauma healling dalam menghibur kami anak-anak korban banjir, mereka menyatakan bahwa semua bencana dan duka itu pasti ada hikmahnya, jadi adik- adik tidak perlu takut, di balik setiap ujian dan bencana, semua itu pasti ada sesuatu yang indah kelak. Kucoba merenung dan selalu menanamkan mimpi dan khayalanku, nanti kelak aku dewasa akan menjadi seseorang yang bermanfaat untuk orang lain, mimpi dan hati kecil yang mulia itu lahir dari sebuah keprihatinan akan pengalaman diri sendiri, dengan segala keterbatasan dan kekurangan, aku harus terus berjuang mencoba untuk mencapai mimpi dan harapan dengan selalu belajar dan bekerja keras serta berjualan, suatu saat nanti aku akan menjadi orang yang berguna. Aku menjalankan kehidupan yang sangat pahit di karenakan aku adalah anak pertama dengan dua bersaudara yang menjadi tanggungjawabku
  • 49.
    49 kelak, perjuanganitu di mulai dari Aku duduk dibangku kelas 3 SD, aku harus berjualan mengelilingi Kampung Pulo hingga menyeberang kampung dengan bantuan getek. Aku mencoba menjajakan daganganku sambil meneriakkan : “Sate ayam ......“ ”Ucus goreng........” “Kepala ayam.......” Begitulah teriakanku dengan suaranya yang lantang. Aku mencoba menapakkan semangat dan senyumku berusaha membantu Emak. Di karenakan Bapak tidak bisa bekerja memberi nafkah untuk keluarga di karenakan sakit yang tak kunjung sembuh dari kesadarannya, aku pun tak pernah mengerti kenapa Bapak hanya diam dan membisu, pernah aku menanyakan apa yang terjadi sama Bapak dengan Emak. Emak pun hanya terdiam dan menangis. Hari demi hari, Aku menapaki setiap jalan becek, dari satu gang ke gang yang lain, masuk kampung keluar kampung berkeliling menjajaki
  • 50.
    50 daganganku, mencobamencari penghasilan untuk kebutuhan adik-adikku yang masih kecil. Aku mencoba berjuang dengan penuh keyakinan suatu saat nanti aku bisa sukses menjadi seorang prajurit ABRI. Iya, cita-cita yang hampir umum untuk anak laki-laki kala itu, menjadi seorang prajurit gagah dan berani membela negara dan bangsa. Sepulang sekolah dengan getek bersama-sama teman menyeberangi kali Ciliwung yang membatasi antara Kampung Pulo dengan Bukitduri. Aku mencoba mandiri tanpa di suruh Emak, aku berinisiatif jualan setiap hari pulang sekolah, dengan berbeda-beda barang yang aku pernah jual, mulai dari makanan berupa sate ayam goreng, putu mayang, tempe goreng dan risol goreng pernah aku jajakan, Aku kecil sangat bahagia, apabila musim banjir pun melanda, di karenakan sekolah menjadi libur. Keuntungannya di bilang lumayan hampir dua kali lipat karena hampir semua orang membeli makanan yang di jajakan, di karenakan semua berasa lapar ketika banjir, karena hampir semua keluarga tidak
  • 51.
    51 bisa memasakkarena banjir, sehingga penghasilanku di bilang lumayan karena itu. = #=#=#= Semua itu berawal dari pernyataan Engkong sebelum meninggal yang di pesankan ke Bapak, kata-kata itu terus terngiang ; “Asa...harta Engkong tujuh turunan tidak akan pernah habis-habis di makan semua keluarga hingga tujuh turunan” Ingatan masa kecil yang terus di tanamkan sama Engkong melalui Bapak, menjadi cambuk luar biasa, karena hal itu aku sering diejek-ejek sama teman sepermainanku, karena di anggap menjadi anak sial, karena aku adalah anak keturunan delapan. “Anak keturunan delapan” “Asa anak keturunan delapan, wkwkwk sambil tertawa dan terbahak-bahak semua menertawakan diriku” mereka mengejek berramai- ramai.
  • 52.
    52 “Dasar anakketurunan delapan sih,,,sialkan jadinya keluarga kamu tuh, ayo jangan ditemenin anak sial itu ; si anak keturunan delapan”. Sungguh sangat menyedihkan sekali, aku dianggap menjadi anak sial, karena aku keturunan delapan, yang menyebabkan kesulitan ekonomi keluargaku, di karenakan kehadiranku yang membuat semuanya menjadi hancur, tanah yang begitu luas, rumah yang begitu banyak, sampai dengan warung habis tak bersisa, yang ada hanya cerita dan kenangan, semua itu habis dan tanpa bekas. Aku pun tidak mengerti mengapa semua itu terjadi, apakah benar itu memang semua karena penyebabnya karena aku, sungguh luar biasa mata air ku tak terbendung, meratapi begitu malangnya aku, tidak banyak yang mau berteman dengan ku kala itu, karena dianggap menjadi sebuah musibah karena kelahiranku. Emaklah yang menjadi penyemangatku dalam membangkitkan semuanya dari keterpurukan mental dan percaya diri yang begitu hancur.
  • 53.
    53 “Asa, yangsabar yah, Emak tahu Asa sedih dengan kelakuan teman-teman Asa, janganlah kamu bersedih, anakku semuanya itu sudah diatur sama Allah SWT, jadi Asa jangan bersedih, suatu saat nanti Asa akan menjadi orang hebat karena kesabaran dan kerja keras Asa dalam menghadapi cobaan hidup ini” “Emak hanya bisa mendoakan kelak engkau menjadi orang yang berguna dan orang-orang akan melihat karyamu,dan akan berguna untuk orang lain, ketika kamu tetap sabar dan menjalankan cobaan dari Allah, dan kamu tetap tidak sombong ketika kamu sukses yah „nak”. “Percayalah „nak sebuah kesuksesan itu kelak akan kamu raih dengan kerja keras serta doa, dan ketika kamu tersenyum, senyummu akan bermanfaat untuk mereka, jadikanlah masa-masa sulit ini menjadi pembelajaran yang terus kamu ingat, di saat kamu pun ketika di atas, kamu tidak akan pernah sombong, karena kesombongan kamu itu justru akan menghancurkan diri kamu sendiri”
  • 54.
    54 “Emak sangatsayang sekali dengan Asa, terima kasih banyak yah „nak, waktu bermainmu, kamu menjadi berjualan setiap hari demi kebutuhan hidup kita sehari-hari” Air mataku tak tahu kenapa menetes deras membasahi tangan Emak, Emak pun sama meneteskan air mata, kami larut dengan air mata sebuah harapan, suatu saat nanti aku yakin menjadi orang yang sukses. Itulah emosi yang menemaniku, sehingga menguatkanku menapaki hidup dengan harapan serta doa dari Emak. = #=#=#= Aku kembali mengalami sakit perut yang sangat luar biasa seperti dulu, tapi kali ini disertai buang air besar secara terus-menerus. Setelah di bawa ke dokter, dan menjalani pemeriksaan, aku diberitahu tentang sesuatu yang membuat Emak hampir jatuh pingsan. “Anak Ibu terkena penyakit disentri”
  • 55.
    55 Penyakit menular.Bahkan dokter dan perawat pun mengatakannya dengan tubuh menegang. Disentri merupakan salah satu jenis diare akut atau timbul mendadak, umumnya banyak di alami anak pada usia balita. Penyakit disentri yakni infeksi kuman Shigella (disentri basiler) dan parasit emtamoeba histolitiyca (disentri amuba). Gejala disentri pada anak biasanya di dahului demam (pada disentri basiler), ada gejala sakit perut ketika BAB dan setelahnya rasa sakit tersebut hilang serta feses berlendir dan berdarah. Aku belum paham kenapa penyakit itu dapat merasuki tubuhku yang kecil dan mungil ini. Dari mana mulanya jalur penyebaran penyakit disentri itu. Mereka mengira aku mungkin telah menyantap makanan yang berasal dari jajanan sembarangan yang ada di depan sekolah. Penyakit disentri membuatku kembali masuk rumah sakit. Kali ini bukan hanya di rawat dalam ruang perawatan yang ada di kamar kelas 3 nomor 367, akan tetapi aku juga masuk ruang isolasi. Di
  • 56.
    56 bagian isolasiRumah Sakit Umum Daerah Persahabatan tersebut yang berada di lantai 1, di bagian pojok dari gedung rumah sakit. Emak yang mengkhawatirkanku pun ikut terus menemani. Setiap melihatku gugup dan cemas, dia selalu memberikan suntikan spirit, keberanian, cinta dan kasih sayangnya. Seandainya saat itu tidak di temani, aku mungkin akan menjadi sosok yang pemurung dan hanya pasrah dengan keadaan yang menimpa. Seluruh jendelanya berwarna abu-abu dengan dinding tembok warna putih di pasangi palang besi kecil dan saat malam tiba semua pintu dikunci dan di jaga oleh suster perawat jaga. Lantai di bagian isolasi ini berwarna merah. Di bagian lain rumah sakit tersebut, lantainya berwarna hijau. Suster perawat memperingatkan aku agar tidak keluar dari bagian merah. Meskipun pada hari kedua setelah aku dalam perawatan, sakit perut dan diareku yang mulai membaik, dan aku boleh berlarian di lantai berwarna merah, tetap saja aku tak di perbolehkan keluar dari bagian itu.
  • 57.
    57 Tak adayang menengokku, kecuali Bapak yang di antarkan Enyak membawa pakaian gantiku. Suster perawat datang mengantarnya setelah memberikan beberapa penjelasan tentang peraturan yang ada di rumah sakit, seperti ; jam besuk, larangan yang tidak dan boleh makanan yang aku makan. Di atas lorong rumah sakit yang memiliki batasan warna yang berbeda, daerah mana yang boleh di kunjungi oleh keluarga pasien dan yang tidak bisa di akses oleh siapa pun kecuali petugas rumah sakit. Bapak seperti biasanya hanya duduk terdiam di bangku yang berada di samping bangsal perawatan, tak banyak kata-kata yang keluar dari mulutnya. Dengan sesekali melihat dan memperhatikan aku yang berbaring di ranjang rumah sakit, dia seakan tak peduli dengan kondisi pada diriku. Dengan satu lilitan selang yang membentang panjang berdiri tegak 120 sentimeter yang menjuntai tabung infus berisi cairan elektrolit sedangkan di ujung satunya tertusuk jarum yang tajam ke lengan kiri berada di telapak tanganku yang mungil.
  • 58.
    58 Saat akumengira Emak sedang berbicara dengan bapak, ternyata bapak berteriak sangat kencang, penuh histeris dan teka-teki. “Jangan dekati aku” “Arghhhhhhhhhhhhhhhh” “Jangan dekati aku” Bapak seperti marah dan berubah menjadi yang kalem terdiam, penuh tenaga meronta-ronta sambil melempar-lempar benda yang ada di sekitarnya, bapak melempar beberapa benda medis ke arah samping persis di sebelahku. Tapi aku tak paham, apa yang Bapak lihat, aku hanya melihat ada bingkai keterangan tentang peraturan yang ada di rumah sakit. Emak mencoba menenangkan Bapak, tapi tenaga Bapak sangat kuat sehingga mendorong Emak jatuh tersungkur di pojok kamar perawatan. Aku kaget dan merasa sangat ketakutan. Aku mengira Bapak sedang di rasuki roh jahat atau makhluk halus yang selama ini menghantuinya. Begitulah yang kulihat dari mulai perubahan matanya, teriakan dan tingkahnya yang sangat aneh.
  • 59.
    59 Beberapa perawatdan petugas keamanan rumah sakit segera datang setelah mendengar bunyi kegaduhan yang terjadi di kamar perawatanku. Dan akhirnya Bapak pun terdiam lemas setelah di suntikkan beberapa miligram obat penenang oleh seorang suster perawat, lalu di baringkan di ranjang yang kosong di sebelahku. Emak mencoba menenangkan aku yang menangis ketakutan, sambil mendekapku dengan mencoba memberikan kenyamanan agar aku tenang. Enyak pun turut menenangkan aku. Setelah kejadian itu berlalu. Aku mencoba menjalani kehidupan di bagian isolasi dengan perasaan senang. Karena dua minggu kemudian aku di izinkan pulang ke rumah. Namun suster perawat yang berseragam orange dengan tak lupa acesoris topinya pun sama berwarna orange, suster itu berkata ; “Apakah kamu benar-benar terkena disentri?” “Kami sudah memeriksanya di hasil pemeriksan laboratorium, tetapi...?”
  • 60.
    60 Walaupun akubelum begitu paham pembicaraan antara Emak dan suster perawat, aku tetap merasa senang karena aku akhirnya dapat pulang ke rumah. Hal lain yang aku ingat adalah seorang kakak perempuan yang kira-kira berusia 12 tahun, di mana kita sering berbincang ketika kita dalam satu ruang isolasi. Dia sering mengajakku bermain dengan permainan yang sangat menarik hatiku, walaupun perempuan dia pandai sekali merangkai puzzle yang terbuat dari kertas membentuk sebuah gedung kecil yaitu Tokyo Tower, aku sangat berkesan sekali melihat ketelitiannya dalam merangkai potongan puzzle sehigga membentuk satu bangunan Tokyo Tower yang megah. Dia senang sekali dengan bangunan itu. Dia memiliki cita-cita untuk pergi kesana dan kuliah di sana apabila dia sudah besar. Kakak itu setiap hari mengajakku bermain dengan puzzle yang beraneka macam bentuknya, puzzle itu di bawakan oleh Ayahnya. Dia sering sekali bertanya-tanya, penyakit apakah yang di derita
  • 61.
    61 olehku? Akupuntak mengerti apa yang terjadi pada tubuhku, terkadang aku merasa sangat lemah dan tak bergairah akan hidup, akupun tak ingin tahu jawaban yang sebenarnya yang membelenggu tubuhku yang mungil. "Doa memang tidak mampu mengembalikan mereka yang kita cinta, tapi mampu memberi kebahagiaan kepada mereka. Doa tidak mampu mengulang waktu, tetapi mampu membuat kesempatan datang kembali. Doa tidak selalu memperbaiki hati yang hancur, tetapi doa mampu mengubahnya menjadi sumber kekuatan dan penenang kalbu" Akhirnya aku kembali ke sekolah, aku berubah menjadi periang. Karena aku tak ingin teman-teman mengetahui kalau aku memiliki penyakit. Teman-temanku satu kelas mendapat imunisasi agar mencegah penularan yang di suntikkan di lengan kiri setiap anak, walaupun kami tak mengerti kenapa kami harus di suntik? kami pun tidak begitu peduli dengan hal itu walaupun demikian
  • 62.
    62 imunisasi tetapkami jalani, satu persatu di panggil oleh ibu guru, namanya yang di panggil langsung menuju bangku yang sudah menanti seorang dokter di dampingi perawat, satu-persatu dari kami pun terlihat seperti ketakutan walaupun kami menangis tetap saja imunisasi tetap berjalan, menangis, lalu selesai. Emak berjualan di pasar bukitduri, pasar itu berada di seberang kampung kami. Emak berjualan di pasar itu hanya pagi hari. Emak berjualan makanan ringan untuk sarapan pagi, seperti pisang goreng, tempe goreng dan bakwan goreng. Apabila Emak berjualan, aku dan adik perempuanku di asuh oleh Enyak, sebagian besar waktuku di habiskan bersama Enyak. Bukan dengan Bapak, karena dia hanya selalu terdiam di sudut pojok rumah dekat jendela. Bapak saat itu sudah tidak memiliki aktivitas apa-apa kecuali dalam lamunannya yang panjang. Manusia aneh seperti Bapak mungkin mengira anak kecil seperti aku hanya layaknya boneka. Sehingga aku hanya di ajak berbicara dan
  • 63.
    63 tertawa sendiri,apapun yang di lakukan tidak akan memberikan respon rangsangan motorik ataupun hanya mematung diam tak berbicara. Mungkin Bapak tak pernah berfikir aku pun dapat berkembang dan tumbuh besar, hati dan pikiranku pun mempengaruhi pola pikir dan pengalaman orangtua yang sangat berpengaruh besar dalam pertumbuhanku. Hubungan Bapak-Asa yang seperti itu membuat Enyak di rumah mencoba memanjakan aku. Enyak sering sekali berkata, “kasihan sekali nasibmu, Asa.”. Enyak sering sekali memancing pembicaraan yang membuatku menjadi sering berfikir. Enyak berkali- kali mengajukan pertanyaan yang sama padaku. “Siapa orang yang paling di sayang Asa?” “Emak” “Lalu siapa lagi?” “Tentu saja Enyak” “Ehm, iyah betul, betul.” Kata Enyak sambil memelukku dengan hangat. Aku pun tak sadar kalau nama Bapak tak masuk dalam daftar orang yang aku sayangi. Itu
  • 64.
    64 bukan karenaaku tidak menyukainya. Bukan karena itu, entah mengapa, aku merasa akan jauh lebih baik kalau nama Bapak tidak kusebutkan. Paling tidak itulah kenyataan yang terlihat di depan mata dalam keseharianku. Mungkin hampir semua anak-anak kecil sedunia memasukkan daftar sorang Ayah sebagai urutan nama kedua setelah ibu. Aku pun tak mengerti apakah itu salah ataupun benar. = #=#=#=
  • 65.
    65 Chapter Two Hubungan antara “Emak dengan Asa” adalah sesuatu yang sangat sederhana. Seandainyapun apabila mereka hidup secara terpisah, dan hampir tak bertemu, hubungan itu takkan pernah berubah. Emak bukan saja sosok yang sangat berarti untukku. Akan tetapi Emak adalah sebuah jarum kompas yang mengarahkan aku dalam menjalani kehidupan ini. Walaupun hidup Emak penuh kecemasan, akan tetapi Emak tidak pernah memperlihatkan kecemasannya, seakan merasa berada di tempat yang tidak membuatnya cemas, sesungguhnya rasa cemas itu bertumpuk di dalam hati. Seperti dalam retakan di dinding rumah yang di biarkan dan akhirnya menjadi terbiasa, namun lambat laun akan menggerogoti bangunan rumah tersebut. Retakan seperti itu semestinya membuat malu dan secepatnya harus di tutup. Emak memiliki pandangan lain, menurut Emak apapun cobaannya, ketika pondasi rumah tetap akan membuat berdiri bangunan
  • 66.
    66 rumah sekalipunsudah terendam berminggu-minggu oleh banjir setiap tahun, di basahi hujan yang sangat deras dan terik panas yang membentang menyengat ke seluruh bangunan. Begitupun diri kita. “Jati diri yang di bangun oleh seorang anak manusia yang tidak memiliki kesadaran diri, jika di terpa badai akan terempas ke tepi pantai dan menjadi rongsokan sampah yang membentang mengotori keindahan pantai” Aku seperti cangkang kerang yang teronggok di pasir, aku lahir dalam kondisi keluarga seperti ini, tidak ada yang bisa memilih ketika keluarga mana kita harus berasal dan ketika aku lahir dalam kondisi yang serba sulit seperti itu, layaknya melihat badai gelombang yang ada di pantai. Aku pun tidak harus merasa sedih atau merasa terpuruk, namun hanya melihat dengan mata yang bersinar penuh titik beku karena dinginnya hidup ini. Mungkin memang aku tidak dapat mengungkapkannya melalui kata-kata, namun aku bersyukur mendapatkan kemampuan untuk membaca skenario sang pencipta tentang
  • 67.
    67 putaran rodakehidupan yang terjadi. Sehingga aku dapat memiliki kemampuan untuk memilih apa yang harus aku lakukan dalam kehidupanku selanjutnya. Hal tersebut merupakan sebuah insting yang di berikan sang pencipta kepada seluruh makhluk di muka bumi ini yang paling lemah sekali pun untuk mempertahankan hidupnya sehingga dapat beradaptasi dengan baik. = #=#=#= Aku tak pernah merasa memiliki seorang Bapak. Sejak kecil, walaupun kami tinggal bersama, namun aku tak pernah menolak statusnya sebagai seorang Bapak, meskipun itu hal yang wajar. Bapak layaknya seperti sebuah balon tiup yang terbuat dari sabun yang terbentuk dari tiupan seorang anak kecil yang bermain di lapangan, balon itu memang indah ketika terbang di angkasa, akan tetapi hanya bertahan dalam hitungan detik saja, begitu juga Bapak memang jasad dan badannya selalu hadir bersama kami, akan tetapi dalam hitungan waktu sesaat saja aku belum pernah
  • 68.
    68 merasakan sebuahkasih sayang dari seorang Bapak. Namun walaupun demikian, meskipun Bapak tidak pasti antara ada dan tiada keberadaan jiwanya dimana. Pada saat-saat tertentu dia akan muncul, lalu aku tersadar keberadaannya sangat berarti dan membuat hatiku sangat tenang. Emaklah yang mengisi relung-relung hatiku yang hampa, berterbangan yang membawaku sebagai petualang dan penjelajah dalam menciptakan rute penerbangan arah mana yang harus aku singgahi. Keberadaannya begitu dekat dengannya. Sedikit saja dia menghilang, maka aku akan mencarinya kesana kemari. Dan dia pun akan muncul dengan segera sebelum tangisanku mengering di pipi. Kebersamaan kami membentuk suatu penyatuan seperti jarum jam yang bunyi berdetak beriringan dan seirama. Sehingga keberadaan Emak di sisiku membuatku menjadi manusia yang tenang. Suatu ketika ada perayaan maulid Nabi Muhammad SAW yang di isi oleh berbagai ceramah kondang di musholla Al-Awwabiin. Dan tak lupa
  • 69.
    69 juga parapanitia mengundang ke semua anak yang tak memiliki ayah dan ibu ataupun lebih dikenal sebagai anak yatim atau anak piatu yang ada di kampungku. Yang di undang melalui Ketua RT dan di umumkan melalui pengeras suara yang ada di Musholla. Sesampainya di rumah, aku menanyakan pengumuman itu kepada Emak. Emak bertanya, “Kamu mau ikut, Asa?” “Aku enggak mau ikut. Aku enggak mau ikut,” kataku dengan sedih. Mendengar hal itu, Emak mencoba membujukku. “Asa tidak perlu malu, datanglah seperti jamaah yang lain, walaupun Asa bukan undangan seperti teman-teman Asa yang lain” Aku datang karena seperti biasa, aku shalat di musholla. Aku pun tak mengerti apakah aku termasuk yang ada dalam undangan tersebut atau tidak. Aku seperti biasanya seperti jamaah yang lain. Duduk bersila di barisan kaum bapak-bapak dan dengan anak-anak yang lain. Acaranya sangat meriah
  • 70.
    70 di hadiribegitu banyaknya jamaah sampai membludak di sepanjang jalan yang ada di kampung. Karena kapasitas musholla tidak dapat menampung begitu banyak jamaah. Selesai penceramah bertausiyah, selanjutnya acara yang di tunggu oleh para anak-anak yatim dan piatu. Mereka di panggil satu persatu sesuai nama dan RT mana dia berasal. Di panggil ke depan dekat mimbar diberikan sebuah bingkisan berwarna coklat yang terbuat dari kertas sampul buku yang berisi perlengkapan dan alat tulis sekolah, dengan selembar amplop putih berisi uang sebesar dua puluh ribu rupiah. Sesungguhnya aku pun mengharapkan di panggil, seperti teman-teman yang lain. Selesai Syaipudin adalah nama terakhir di panggil oleh panitia, Pudin panggilannya, anak yatim yang di panggil karena meninggal Bapaknya yang tertabrak kereta ketika mengantar Pudin ke sekolah. Aku pun pulang dengan perasaan sedikit kecewa dan sedih. Walaupun aku tak berbicara dengan Emak tentang kesedihanku, tapi Emak telah mengerti apa yang terjadi denganku.
  • 71.
    71 “Sabar yah„nak, insyallah rezeki nanti ada yang lebih dari Allah, memang mungkin itu bukan hak-mu” “Iyah, Emak...Asa mengerti kok” sambil senyum mengedipkan mata, memperkuat hati. = #=#=#= Meskipun bertahun-tahun tinggal di rumah Enyak di Kampung Pulo. Namun aku tetap tak menganggap rumah itu sebagai rumahku sendiri. Bahkan walaupun aku hanya memiliki beberapa ruang untuk menyimpan buku-buku pelajaranku, sekalipun menurut Enyak rumah ini warisan Engkong untuk Bapak, Aku merasa bahwa semua rumah itu hanyalah tempat menumpang. Aku hanya merasa memiliki Emak yang begitu menyayangiku, begitulah hidupnya Asa, sederhananya cara pandang anak kecil yang sangat sederhana. “Aku hanya ingin di tempat Emak tinggal” adalah pemikiran yang paling menguatkan hatiku. Aku sering sekali menulis di buku catatan kecil
  • 72.
    72 tentang sesuatuhal sederhana, dari mulai tentang silsilah keluarga, catatan kegiatan sehari-hari, dan perjuangan Emak yang setiap hari membuatku semakin kuat. Emak adalah sosok yang sangat menginspirasiku dalam menjalani hidup ini. Karena saat di minta menulis karangan bertema “Emak”, dengan mudahnya jari-jari kecilku menulis dari mulai sosok Emak yang membuatku paling nyaman saat menulis kehidupan Emak seperti ketika aku menulis, setiap tulisan yang aku tulis seakan mendapatkan kehangatan kasih sayang kembali perasaaan dan mereview keadaan itu. Aku tak pernah menyesal dan menganggap salah nasib yang di ciptakan Allah kepadaku. Dengan berbagai persoalan keluarga dan kekurangan kasih sayang seorang Bapak sebagai sesuatu inspirasi di balik kekurangan. Hal itu, kini bagiku tak perlu mengiri dengan keluarga lain. Aku hanya ingin dengan segala cobaan dan rintangan di permasalahan itu tidak di biarkan begitu saja. Bahkan diantara kerabatku, aku lebih memilih hal itu menjadi topik
  • 73.
    73 perbincangan biasa,tak perlu menjadi kata-kata yang penuh keprihatinan dan rasa kasihan. = #=#=#= Banjir kali ini lumayan sangat besar. Aku dengan suka cita bersama teman-temanku, sibuk berenang di air yang kotor memakai ban bekas. Kami tidak pernah peduli kuman penyakit akan menempel di kulit, berenang dan bermain air sampai kulit kami mengkerut. Walaupun kami harus membersihkan sampah yang berserakan di dalam rumah atau lumpur akibat kemasukan luapan air tak di undang. Bahkan ketika kami harus mengungsi. Kami bersama-sama warga sekampung tidur dalam tenda berramai-ramai, makan bersama dari dapur umum seperti acara perkemahan Pramuka Perjusami (Perkemahan Jumat Sabtu dan Minggu) yang di lakukan di Bumi Perkemahan Cibubur. Wajah orangtua kami mendung seperti langit di bulan Januari atau gerutuan tentang bantuan yang sedikit dari Pemerintah.
  • 74.
    74 Di pengungsianaku bertemu dengan adik Sarah yang berumur delapan tahun, adik Sarah kaki kanannya mendadak lumpuh dan layu. Tidak bisa menyangga tubuhnya lagi. Bahkan untuk dia berjalan pun harus di seret kakinya. Menurut Dokter Puskesmas yang ada di pengungsian, dia terserang penyakit polio. Sejak itu Ia sangat membenci bulan penghujan tiba. Ia tidak bisa berenang di kolam raksasa saat air menggenangi kampung. Dia merasa menjadi beban untuk bapak dan kedua kakak laki- lakinya saat harus mengungsi. Mereka terpaksa harus menggendong atau memapah dalam mengevakuasi dari rumah yang hampir tenggelam. Polio juga yang membuatnya berhenti bersekolah. Dia tidak tahan dengan ejekan dari teman-teman yang menghina kakinya. Setiap pulang sekolah Dia selalu menangis sedih. Bukan kehendaknya, kakinya menjadi lumpuh layu. Apabila boleh meminta, dia pun ingin kakinya normal seperti anak-anak yang lain. Namun takdir berkehendak lain. Dia harus hidup dengan kaki yang harus di seret
  • 75.
    75 jalannya. Kecacatannyamenjadi bahan olok-olok yang lucu bagi teman sekolahnya. Walau guru sudah memarahi teman-teman yang doyan menghinanya, mereka tidak jera juga. Saat guru lengah, mereka terus mengejek yang menghancurkan harga diri. Satu-satunya jalan untuk menghentikan penghinaan adalah dengan berhenti sekolah. Untuk mengisi waktu, Dia belajar menjahit pada ibunya yang memang seorang tukang jahit. Aku sangat iba sekali dengan kondisi adik Sarah, Aku mencoba menghiburnya, memberikan semangat agar dia bisa bangkit dari mental yang terpuruk akibat musibah penyakitnya itu. Adik Sarah tak perlu malu apabila harus bertemu dengan orang asing. Walaupun tatapan mereka kasihan ataupun menghina, adik Sarah pun harus terima dengan sabar dan ikhlas. Polio membuatnya menjadi beban Bapak dan kedua kakak laki-lakinya saat banjir datang. Mereka harus menggendong atau mendukung untuk mengevakuasi dari rumah yang hampir tenggelam. Udara dingin dan lembab membuat kaki kanannya
  • 76.
    76 semakin ngiluuntuk di gerakkan. Januari, puncaknya musim penghujan sungguh menyiksanya. Aku juga dan teman-teman tak nyaman berada di pengungsian. Bercampur-baur dengan banyak manusia yang beragam watak dan sifatnya membuat kita harus mengontrol emosi dengan seksama. Amarah gampang sekali tersulut. Mungkin karena rasa lelah, capek dan putus asa bercampur- aduk membuat kesabaran makin menipis. Belum lagi makanan di pengungsian yang selalu kurang ataupun telat datang, tidur yang tak bisa nyenyak karena bayi dan anak kecil yang sibuk menangis di malam hari karena kedinginan dan kelaparan, saling berebut menerima bantuan menjadi cerita suram di pengungsian. Bertahan di rumah yang kebanjiran juga bukan pilihan. Saat malam harus bergelap-gelapan karena tidak ada aliran listrik. Karena Kantor PLN Jatinegara sengaja memutus aliran listrik ke daerah yang tergenang banjir agar tidak terjadi korsleting. Tidak ada akses informasi. Tidak bisa kemana-mana
  • 77.
    77 kecuali memakaiperahu. Ditambah lagi susahnya mendapatkan bahan makanan untuk mengganjal perut. Betul-betul seperti buah simalakama. Pernah ada kerabat yang datang dari kampung bertanya kepada Emak mengapa kami tidak pindah saja dari kampung ini. "Sudah tahu tiap tahun kebanjiran kenapa tidak pindah ke kampung lain saja yang bebas banjir?" Emak menghela nafas panjang, "Ini Jakarta. Harga tanah di sini lebih tinggi dari harga emas. Harga tanah di daerah yang langganan banjir saja sudah mencekik leher, apalagi di kawasan yang katanya bebas banjir. Kami tetap bertahan disini karena tidak ada pilihan lain!" ujar Emak dengan nada prihatin. Rumah bertingkat dua di kampungku bukan barang mewah tapi lebih sebuah kebutuhan. Untuk menyelamatkan perabotan dan nyawa. Ketika hujan turun dengan deras, Emak dan ketiga adikku sibuk mengangkuti perabotan ke lantai dua. Bersiap-siap
  • 78.
    78 menghadapi banjiryang sewaktu-waktu bisa datang kapan saja. Saat banjir besar Tahun 1996, Aku ingat dengan detail peristiwa yang menjadi latar belakangnya. Banjir hampir menenggelamkan rumahku, air yang masuk tingginya lebih dari dua meter, aku dan Emak beserta adik-adik serta Bapak memilih bertahan di lantai dua...Emak tahu bahwa aku dan adik-adik tidak nyaman berada di pengungsian. Aku dan Emak harus berpuasa. Tidak ada lagi yang bisa di makan dan di minum di rumah ini. Doa- doa terus di panjatkan agar ada cepat datang pertolongan. Sepertinya doaku tertahan di langit, belum juga menampakkan ada hasilnya. Airmata sudah tumpah di pipi. Panik, sedih, kedinginan serta lapar yang mendera membaur jadi satu memunculkan putus asa. Di saat aku hampir kehilangan harapan, Allah mengirimkan pertolongannya. Petugas dari SAR yang menyisir perkampungan menemukan kami
  • 79.
    79 yang lagimeringkuk kedinginan. Suara memanggil dari Toa berwarna krem. “Kepada semua warga agar segera mengungsi karena debit air akan semakin tinggi, demi keselamatan saudara-saudara semua harus kami ungsikan ketempat yang lebih aman” Aku segera mengiyakan ucapan seorang anggota SAR yang tertulis di dadanya yang berwarna orange. “Kami mau mengungsi pak, tolong kami” teriakku bersama-sama keluargaku. Bertahan di rumah yang di kepung banjir bukan karena takut meninggalkan harta benda. Tidak ada barang berharga di rumah ini. Lilin menjadi penerang saat malam tiba. Dingin, lembap dan sepi yang mencekam membuatku terus memeluk erat Emak bersama adik-adikku. Untuk mengisi perut, kami mengandalkan mie instan. Namun ketika minyak tanah dan persediaan air bersih menipis, aku dan Emak menjadi panik. Sementara Bapak hanya terdiam tak pernah mengerti dengan keadaan
  • 80.
    80 sekitarnya, beliauhanya diam dan sesekali tersenyum sendiri, yang tak pernah kita mengerti apa yang terjadi padanya. "Cepat pakai jaket ini dek‟ biar hangat" Ujar seorang petugas yang memakai topi pet berwarna hitam. Dia melepaskan jaket yang di pakainya dan menyerahkannya kepadaku. Di bantu Emak, aku dan adik-adikku serta Bapak langsung mengenakan jaket yang di berikannya. Petugas SAR itu kemudian memapah Emak untuk menaiki perahu karet. Setelah petugas membopongku dan adik-adik ke perahu. "Kenapa kalian tidak mengungsi?" tanyanya. Aku bingung untuk mencari jawaban. Untung Emak cepat mengambil alih menjawab pertanyaannya. "Maunya mengungsi tapi kami pikir banjir tidak akan sebesar ini”. ujar Emak. "Syukurlah kalian di temukan, yang penting sekarang kalian selamat" Petugas dengan penuh rasa syukur. Aku dan Emak serta adik-adik langsung berpelukan dan dihujani ciuman oleh Emak.
  • 81.
    81 = #=#=#=Sifat, watak, karakter dan kepribadian seseorang bukan hanya di bentuk dari keluarga, namun juga oleh faktor lingkungan. Kondisi lingkungan merupakan salah satu pembentuk asal muasal bantaran kali Ciliwung beserta ekosistemnya merupakan pembentukan dari penciptaan yang membentuk seseorang sesuai dengan kondisi tempatnya berasal. Aku yang berasal dari kampung Pulo pun demikian halnya. Di dalam keluarga berawal aku yang condong pendiam, malu-malu ketika di tanya sosok orang yang baru di kenal dan tidak mandiri selalu bergantung sama keberadaan Emak. Namun karena kondisi orangtua, Bapak yang kurang berkomunikasi denganku karena penyakitnya, sehingga aku harus lebih banyak mengenal dan melompat jauh adalah faktor lingkungan yang mengharuskan aku untuk membaur dan bersosialisasi dengan lingkungan tempat tinggalku. Hal itu,
  • 82.
    82 akhirnya yangmemberikan begitu banyak perubahan yang terjadi dalam diriku. Di dalam lingkungan pendidikanku di Sekolah Dasar, membuat aku menjadi anak yang aktif dan periang. Di mana aku harus berangkat sekolah sendiri menyeberang kali dengan getek serta menjelajahi jalan raya yang ramai dengan lalu lalang kendaraan, selain itu juga aku harus menaiki kereta listrik untuk mengikuti kegiatan Atletik di lapangan Banteng. Di sekolah, aku terkenal di panggil teman- temen Asa si “Anak kali”. Saat perlombaan pramuka penggalang aku menjadi ketua regu Sinna (Singa Naga). Dengan suaranya yang lantang dan berwibawa aku acap kali memegang barisan dalam regu untuk membangkitkan teman-teman dalam beryel-yel. Demi mengembalikan semangat mereka dan kecerian tim kembali, aku sering sekali melucu ataupun membuat lelucon agar mereka tertawa terbahak-bahak. Tertawa dan tersenyum dengan mereka itu merupakan masa-masa yang terindah
  • 83.
    83 untuk memberikansemangat kebangkitan menjalani hidup ini. Emak tak pernah memarahiku, ia selalu membebaskan aku untuk melakukan apa saja. Setiap pulang sekolah, aku langsung keluar lagi untuk bermain bersama Ajat dan Fadil di pinggiran kali. Bermain bola kasti, main perahu-perahuan yang terbuat dari daun bambu ataupun memancing di pinggiran kali untuk kami makan seperti lindung /belut, ikan sapu-sapu ataupun udang. Suatu saat, ketika pertama kali aku bisa berenang di kali Ciliwung, di atas getek seberang di saat aku sedang melompat-lompat kegirangan karena sudah bisa berenang. Ada yang sengaja mengadukan aku kepada Emak, bahwa aku sedang bermain-main di kali bersama teman-teman yang lain. Sesampainya di rumah Emak menanyakan hal itu. “Apakah benar, Asa bermain-main dan berenang di kali?” Emak menanyakan hal itu dengan penuh kecemasan.
  • 84.
    84 “Benar Emak.Alhamdulillah Emak. Asa sudah bisa berenang sekarang, malahan sampai bisa bulak-balik dari getek kampung kita sampai ke getek seberang” “Alhamdulillah, syukurlah Asa, Emak tenang dan lega, Emak sangat trauma dengan kejadian Asa tercebur waktu awal Asa pertama kali sekolah, tapi sekarang Emak sudah lega apabila Asa sekarang sudah bisa berenang, jadi apabila banjir melanda kampung kita lagi, Asa sudah bisa berenang, dan suatu saat nanti ketika Asa besar kelak dapat membantu orang-orang yang kebanjiran” “Iyah, Emak terima kasih, Asa sayang sama Emak” aku berlari menuju dekapan pelukan Emak. “Asa pikir Emak akan memarahi Asa karena sudah lancang berani bermain-main di kali” “Iyah, Asa. Ketika seorang ibu marah kepada anaknya, bukan hanya sekedar marah, akan tetapi ada alasannya mengapa ada seorang ibu memarahi anaknya, tapi untuk yang satu ini Emak tidak akan marah, malahan Emak bersyukur kepada Allah telah
  • 85.
    85 memberikan kemampuanAsa bisa berenang, Emak pikir Asa akan trauma dengan kali di karenakan Asa pernah tercebur hanyut dalam kali” = #=#=#= Rumah Engkong terletak di tengah-tengah kampung Pulo dekat lapangan RW.03. Persis di belakang rumah ada sebuah pohon Belimbing yang memiliki buah yang sangat ranum berwarna kuning dan manis sekali walaupun kadang agak masam tapi sangat segar. Aku bersama sepupuku Nana dan Fachrul sering sekali naik di atasnya ketika sore, mengambil buahnya sambil duduk-duduk mengobrol bertiga di atas pohon, bermain ayunan ataupun terkadang bergelantungan layaknya menirukan seorang Tarzan. Aku memetik buah Belimbing itu untuk aku bawa pulang yang kuberikan buat Nurma, Rysa dan Emak. Dan tak lupa juga Bapakku sangat suka, dia lahap sekali menyantap buah Belimbingnya. Permainan kami saat itu sangat bermacam- macam. Di bawah rindangnya pohon Belimbing
  • 86.
    86 berbagai macampermainan yang kita mainkan. Bermain gundu atau lebih di kenal kelereng itu permainan yang sering kami mainkan, berlomba- lomba meraih siapa yang paling banyak, dialah yang keluar sebagai pemenang. Ataupun bermain bola kasti yang melatih kecepatan mata dengan tangan untuk melatih kekuatan dan berlatih kemampuan fisik kita. Kami sangat menikmati permainan demi permainan yang kita mainkan. Kemenangan dari hasil kerja keras dan kebahagian yang dapat di petik nilai- nilai moral sebuah kejujuran dan kebersamaan selalu tercermin dalam permainan sederhana ini. Walaupun terkadang ada beberapa anak yang mencoba untuk tidak berbuat jujur ataupun curang yang mengundang kemarahan. Tetapi akan kita akhiri dengan elegan ketika semua bersikap jujur dan tidak berbuat curang, karena apabila itu di lakukan di jamin pasti tidak akan ada lagi menemaninya untuk bermain bersama. Di malam hari, Emak membuat persiapan adonan yang terbuat dari tepung terigu dan beberapa bahan yang lain untuk di buat menjadi makanan
  • 87.
    87 gorengan untukdi jual keesokan harinya. Aku terkadang membantu Emak sebisa yang aku mampu. Aroma berbagai macam bahan makanan memenuhi rumah kami. Terlihat di balik selimut, aku melihat adik-adikku yang terlelap menutupi sebagian badan yang menghangatkan tubuhnya. Aku mengamati Emak yang sedang mengaduk-aduk adonan, mencampurkan beberapa bahan kedalam satu wadah baskom. Aku menyukai bunyi ketika Emak sedang mengaduk adonan menggunakan alat yang dari alumunium berbentuk seperti lengkungan batang membentuk lengkungan es krim agak kenyal tapi kuat karena di satukan dengan gagangnya berwarna agak kecoklatan. Perasaan senang sekali apabila melihat perjuangan Emak dalam kesibukkannya yang berarti roda perekonomian keluarga kita akan terus berputar. Walaupun Bapak hanya terdiam sambil mengawasi aktivitas seluruh anggota keluarga, hal ini sesungguhnya sudah membuat kami tenang di bandingkan ketika dia sedang kumat.
  • 88.
    88 Mungkin karenabesok pagi aku harus ke sekolah, Emak selalu menyuruhku untuk tidur lebih awal agar besok pagi tidak kesulitan ketika di bangunkan. Emak masih melanjutkan aktivitas pembuatan barang dagangan untuk esok pagi. Suatu hari menjelang sore, Enyak bersama Emak dan adik-adik perempuanku sedang duduk di teras depan rumah yang biasa mereka tempati. Saat itu waktunya untuk shalat Maghrib memang masih agak lama, jadi mereka berkumpul seperti biasa untuk bercengkerama dan mengobrol. Emak mengeluarkan makanan berupa dari adonan tepung terigu yang berbentuk agak bulat dan yang sering sekali aku lihat ketika menonton film Doraemon setiap Minggu pagi di televisi tetangga, iyah memang benar kue dorayaki, makanan kesenangannya si Doraemon. Aku senang sekali, makanan yang ingin sekali aku mencobanya. Aku sering sekali bilang sama Emak. “Emak, Asa ingin sekali makanan kue Dorayaki, seperti yang di makan Doraemon”
  • 89.
    89 “Sabar yahAsa, Insyallah ketika kamu pun bersabar, berusaha dan berdoa kepada Allah, semua keinginan Asa, pasti dikabulkannya?” “Iyah, Emak, tapi Asa maunya makan kue Dorayaki di Tokyo, aku ingin sekali berkunjung kesana untuk belajar dan mengejar impian serta cita- cita Asa” “Enak banget yah „Mak jadi Doraemon bisa kemana-mana dengan pintu ajaibnya, Asa ingin juga seperti Doraemon dapat pergi keliling dunia dengan pintu ajaibnya” Emak tidak pernah mematahkan impianku, dia selalu berkata. Kamu harus terus pelihara mimpimu. Karena sesungguhnya, mimpi itu yang akan memberikan kamu semangat untuk mencapainya. Jangan pernah kamu redupkan api mimpi itu, sesungguhnya mimpi itu yang akan selalu menghangatkan perjuangan di dalam perjalanan hidupmu.
  • 90.
    90 “Ayo semuacobain, makanan kue dorayakinya, masih hangat karena baru di angkat dari oven” Emak sedang menyajikan kue dorayaki. Dalam hitungan menit saja dorayaki langsung habis. Bapak hanya diam menghadap jendela melihat kami yang sedang bercengkerama, bercanda dan mengobrol satu sama lainnya. Bapak hanya membuang makanan dorayaki yang di berikan Emak kepadanya ke arah kucing yang sedang berdiam diri di pojok teras. Entah apa yang di pikirkan Bapak saat itu, padahal sering sekali emak mengajarkan aku jangan pernah membuang-buang makanan percuma di karenakan mubajir, Allah tidak senang dengan makhluknya yang menyia-nyiakan makanan. Aku sempat pernah berfikir, apakah Bapak tidak pernah di ingatkan orangtuanya agar tidak menyia-nyiakan makanannya, begitulah pemikiranku tentang masa kecilku melihat Bapak.
  • 91.
    91 Kampung inibukanlah kampung kaya penduduknya. Meski demikian, orang-orangnya tidak pelit kepada sesama. Sifat inilah yang menjadi ciri khas yang lahir dan di besarkan dalam kampung ini, termasuk Emak dan saudara-saudaraku. Emak selalu mengajarkanku selalu berbuat baik kepada siapa saja, jangankan kepada manusia sama binatangpun Emak sangat baik, Emak mencontohkan itu dengan memungut anak kucing yang tak berdaya karena tercebur di kali. Di bawa pulang sama Emak untuk dirawat dan di besarkan karena kucingnya sangat lucu. Sampai kadang- kadang Emak merelakan ikan kembung goreng jatahnya di berikan kepada si “cungkring” kucing hitam berbulu yang memiliki matanya yang biru. Sesungguhnya Emak tak pernah memarahiku. Dan hal ini pertama kalinya aku di marahi Emak. Ketika itu umurku sekitaran sebelas tahun. Seorang teman mengejek-ngejek aku dengan pistol airnya dan selain itu juga dia membasahi seluruh bajuku dengan pistol airnya. Aku jengkel dan mengadu ke Emak.
  • 92.
    92 Kemudian akumengambil pistol air mainannya yang berwarna hijau muda terbuat dari plastik lalu aku sembunyikan di dalam kolong gerobak bubur ayam Bang Somat. “Ooh, jadi ini kejujuran yang Emak ajarkan ke kamu dengan mengambil barang yang bukan hak kamu” dengan membentak dan nada suaranya yang tinggi. Tak ada pembelaan dan penyangkalan dariku, walaupun ada alasannya mengapa aku harus mengambil pistol mainan milik si Jamal itu. = #=#=#= Ketika aku masuk SMP, Emak menghadiahiku sebuah jam tangan yang sudah di janjikan, karena Emak menjanjikan apabila aku masuk SMP Negeri, dia akan membelikan aku jam tangan. Aku bersama Emak berjalan kaki kira-kira 1 kilometer dari rumah ke sekolah. Tak banyak anak- anak angkatanku yang bisa masuk negeri. Aku bersyukur dapat meraihnya.
  • 93.
    93 Kini setelahaku beranjak dewasa sering sekali mengenang berbagai kejadian masa lalu. Aku merasa bahwa Emak adalah orang paling hebat sedunia. Dengan segala pengorbanan dan kesabarannya, selalu memberikan yang terbaik kepadaku. Memang aku yakin semua Ibu di dunia ini akan melakukan hal yang sama terhadap anaknya. Sejak saat itu aku sangat menghargai waktu. Aku merasa memiliki ketenangan tersendiri ketika melihat jam tangan. Karena setiap aku melihat jarum jam detik yang berputar mengitari porosnya, hal itu menunjukan keyakinanku terhadap Emak yang selalu memberikan kasih dan sayangnya, yang tak pernah sedetikpun kasih sayang dan perhatiannya selaluku rasakan begitu indah. Beda halnya dengan jam dinding yang di banting oleh Bapak. Ketika jam dinding yang berada di rumah berdentang sangat kencang. Jam dinding berwarna hitam yang memiliki bandul pendulum yang berbentuk lingkaran peninggalan Engkong. Hancur tak berkeping.
  • 94.
    94 “Jgrrrrrrrr” berantakanjatuh di lantai yang hanya berlantai ubin berwarna kuning pucat. Kami pun tak mengerti mengapa begitu marah sekali Bapak ketika jam dinding itu berbunyi, seakan dia marah dengan sesuatu. Dan akhirnya tidak akan ada lagi detak jantung jam dinding itu berbunyi dikarenakan sudah rusak dibanting oleh Bapak. = #=#=#= Satu-satunya pasar kebanggaan orang Jatinegara telah terbakar. Dan hal ini mengakibatkan perubahan kehidupan dan kondisi orang-orang dewasa di sini yang membawa pengaruh kepada anak-anak di kampung kami. Demikian juga kepada teman- temanku, di mana anak-anak harus merasakan juga kehilangan pekerjaan orangtuanya di karenakan tempat berjualan orangtuanya habis terbakar. Di sekolah kami, ada bantuan dari pemerintah yaitu program Gerakan Nasional Orangtua Asuh (GNOTA), di mana anak-anak yang berasal dari keluarga kurang mampu mendapatkan tunjangan
  • 95.
    95 sosial bersifatsantunan untuk membantu meringankan orangtua dengan memberikan berbagai keperluan perlengkapan sekolah. Pak Hutabarat guru walikelas membariskan anak-anak tersebut dan membagikan sumbangan berupa tas yang berisi ; buku, pensil, pulpen, penghapus, dan seragam merah putih dua stel. Alhamdulillah, aku mengucapkan syukur atas rezeki yang di berikannya. Aku pulang dengan perasaan bahagia, kemudian aku memberitahunya kepada Emak sepulang dari sekolah. Emak juga mengucapkan rasa syukur itu. “Alhamdulillah Ya Rabb, terima kasih segalanya, semoga rezeki yang di dapatkan Asa hari ini menjadi bekal dan memberikan semangat dalam belajarnya” Emak menyatakan kepadaku, Asa harus memanfaatkan kepercayaan dari Allah yang di perantarakannya melalui Pemerintah dengan Program GNOTA di gunakan sebaik-baiknya, karena masih banyak anak-anak di luar sana yang belum mendapatkan kesempatan paket ini dan masih banyak
  • 96.
    96 anak-anak yangbelum memiliki kesempatan bersekolah, banyak dari mereka harus mengasong berjualan koran di perempatan jalan, mengelap kaca ataupun mengamen untuk mencari makan sehingga mereka tak dapat memiliki kesempatan untuk bersekolah seperti Asa. Suatu ketika, aku bermain bola di lapangan Jenderal Urip Sumoharjo. Aku bersama teman-teman yang sedang asyik bermain bola, di kejutkan karena adanya teriakan dan berhamburan berlarian para pedagang kali lima yang berada di sepanjang jalan depan lapangan Jenderal Urip itu. Aku belum mengerti apa yang membuat para pedagang itu berlarian, kemudian Ajat memberitahukan kepada kita mengapa para pedagang itu berlarian, mereka di kejar para anggota aparat pemerintah daerah yang melarang mereka berjualan karena melanggar Perda Nomor 11 Tahun 1988. Pada hari berikutnya, aku menanyakan hal itu kepada emak. Mengapa ada pedagang yang lari terbirit-birit karena di kejar petugas? Menurutnya
  • 97.
    97 berjualan ditrotoar itu di larang petugas. Aku sebenarnya berharap emak mengatakan itu salahnya petugas kenapa ada orang yang berjualan kok di larang? = #=#=#= Pada sore menjelang malam, Adzan Magrib dari Musholla Al Awwabin terdengar sangat menenteramkan hati, saling bersahutan juga terdengar dari kampung sebelah, sehingga satu sama lain yang memberikan ketenangan kampung, anak- anak remaja tanggung bergegas berbondong-bondong mengambil sarung dan kopiah. Ibu-ibu membimbing anaknya untuk ikut serta bersama bapak mereka untuk shalat berjamaah. Termasuk ustad Zuki yang sudah menutup geteknya lebih awal di karenakan untuk memimpin shalat jamaah di Musollah. Ajat sudah mengenakan baju koko bersarung dan kopiahnya, muka dan ujung rambutnya juga sudah basah dengan air wudhu yang baru keluar dari
  • 98.
    98 tempat berwudhu.Pribadi unggul tidak akan pernah di telan dan menjadi pengikut zaman, tapi jadi tren setter penentu kecendurangan zaman yang berkarakter kuat. Bapak Marzuki atau kami memanggilnya Ustad Zuki, tidak memiliki selembar ijazah pun, namun beliau bertekad untuk mencerdaskan anak-anak kampung, Ustad Zuki merupakan pelopor tempat pengajian non formal yang di kelola beliau bersama anak-anaknya, mereka sekeluarga bertekad mengobarkan pendidikan Islam yaitu membaca dan menulis Al-Quran dari sejak dini, tanpa imbalan dan bayaran, hanya uang urunan ala kadarnya dari para orangtua. Ustad Zuki mengaji terlebih dahulu, lalu di ikuti anak-anak yang lain termasuk aku. “Ar rahman allamal bill hussbannn” “Ar rahman allamal bill husabbannn!” Suara orangtua bertubuh kurus itu dengan lantang. Kayu terbuat dari rotan lurus teracung tinggi ke udara, suaranya menggelegar, sorot matanya berkilat-kilat menikam kami satu persatu. Wajah
  • 99.
    99 serius, alisnyahampir bertemu dan otot gerahamnya bertonjolan, seakan mengerahkan segenap tenaga dalamnya untuk menaklukkan jiwa kami. Sungguh mengingatkan aku kepada karakter tokoh kera sakti mandraguna di film layar TV setiap malam aku tonton. Ar Rahman : sepotong ayat yang asing ini kini mulai terdengar. Dalam hitungan beberapa detik saja, kami bagai bayi yang tertidur dalam pangkuan ibu yang menentramkan jiwa. Kami, belasan anak kecil, mengikuti, tidak mau kalah kencang dengan beliau dengan penuh semangat “Ar rahman allamal bill hussbannn!” Sepenuh jiwa, penuh perhatian, sampai bergemuruh kesebelah rumah tetangga yang mendengar. Bahkan, cicak yang di para-para rumah seakan tertegun diam mendengar lantunan suara anak-anak yang mengaji. Tapi kami tahu, mata laki-laki kurus yang sedikit mulai berkerut diwajahnya ini tidak dimuati aura jahat. Walaupun dengan kayu mistar panjang terbuat dari jati. Dia dengan royal membagi energi
  • 100.
    100 positif yangsangat besar dan meletup-letup. Kami tersengat menikmatinya. Seperti sumbu kecil terpercik api, mulai terbakar, membesar, dan menerangi bagaikan jiwa-jiwa kami yang makin menyala. Dengan wajah kaku dan terkadang senyum sepuluh senti menyilang terpancar, laki-laki ini hilir mudik di antara barisan meja leckar kami yang duduk bersila beraturan, mengulang-ulang bacaan agar masuk ke jiwa dan dibenamkan dihati. Setiap dia membaca, kami balik membaca dengan kata yang sama, sesuai dengan bacaanya. Ayat yang memiliki banyak filosofi dan makna penuh dengan rahasia :“Asmaul husna!” Laki-laki ramping ini adalah guru mengajiku yang sangat baik. Wajahnya lonjong kurus, sebagian besar dikuasai keningnya yang lebar dengan mulai adanya beberapa kerutan. Bola matanya yang mulai tertanda keletihan tapi tetap memancarkan sinar pengharapan kecerdasan. Pas sekali dengan gerak kaki dan tangannya yang gesit ke setiap sudut tempat
  • 101.
    101 kami dudukbersila. Sebuah kopiah berwarna putih seperti peci haji menutupi rapi di kepalanya yang penuh menutupi rambutnya. Lipatan celana hitamnya berujung tajam seperti baru saja disetrika. Dengan baju koko berwarna putih. Tanpa alas kaki dengan berjalan setiap dia berjalan di atas hamparan tikar yang terbuat dari lipatan daun. = #=#=#= Di kota ini, keluarga yang mendapatkan tunjangan sosial dari masyarakat sekitar bersifat sukarela atau yang tidak, mereka yang berbeda kondisi ekonominya, hal ini sangat terlihat berbeda dari kehidupan sehari-hari. Antara kondisi kaum yang berekonomi menengah atas dengan kaum yang ekonomi kebawah. Seperti halnya para kaum elite borjuis ataupun istilah kami menyebutnya ”orang gedongan” memiliki rumah yang besar, halamannya yang sangat luas, dengan berbagai macam perabotan yang mewah beserta di lingkungan kompleks yang
  • 102.
    102 sangat teraturdi jaga oleh para petugas keamanan lingkungan secara mandiri. Berbeda yang ada di lingkungan kami, dengan memiliki kamar mandi di dalam rumah beserta WC- nya hal ini sudah di anggap mewah. Selain itu juga apabila diantara sudah memiliki televisi dianggap orang mampu yang ada di kampung kami. Televisi merupakan barang mewah di kampung kami. Hanya beberapa rumah saja yang memiliki televisi. Seperti halnya aku yang hanya bisa nonton televisi di rumah tetangga. Aku ingat betul ketika berumur 6 tahun, aku di sunat dengan ikut serta “sunatan massal” yang ada di Kwitang deket pasar Senen. Sungguh bahagia rahasianya karena aku tidak bisa tidur karena masih berasa sakit di sekitar luka yang di sunat. Aku di izinkan oleh Ayahnya Tomy yang memiliki rumah gedong itu karena halamanya luas ada pohon jambunya, aku bisa nonton film sambil memegang sarung agar tidak terkena luka dibagian yang telah di sunat.
  • 103.
    103 Bagi orangmampu ataupun ekonomi lemah. Yang namanya sunatan itu wajib untuk anak laki-laki karena sudah menjadi perintah agama termasuk aku harus menjalaninya dengan sabar dan ikhlas. Jika orang yang berkecukupan untuk anak-anaknya pasti ada syukuran dalam merayakan sunatan anaknya. Dengan mengundang banyak tamu dari tetangga maupun kerabat keluarga yang datang untuk memberikan selamat dan doa. Selain itu juga ketika sebelum di sunat. Calon “pengantin sunat” panggilan yang lazim di bawa keliling kampung dengan iring- iringan musik gambang kromong yang di arak berkeliling. Tak lupa juga bunyi petasan menggelegar ke seantero kampung. “Asa jadi anak yang pintar dan soleh yah!” “Emak berharap Asa menjadi penerang keluarga ini, selalu bersabar dalam menjalani segala cobaan dan selalu bersyukur ketika apapun rezeki kesehatan dan kebersamaan kita sekeluarga selalu”
  • 104.
    104 Ketika lukasunatku belum sembuh benar. Aku di kagetkan dengan suara pecahan piring dan kaca lemari yang pecah. Lemari kaca berwarna kecoklatan yang terbuat dari kayu jati, kaca bagian kiri pecah berserakan ke lantai karena di lempar piring oleh Encang. Sungguh tragis dan lukaku makin terasa perih menusuk kulitku yang tegang dikarenakan detak jantung yang ketakutan melihat berbagai kejadian menegangkan. Aku tak tahu kenapa Encang begitu marah dengan istrinya ; aku biasa memanggilnya dengan sebutan „Mak Kani. Mukanya merah lebam dan hampir membiru di sekujur wajahnya yang mulai membengkak dibagian pipi kiri. Di bibir bagian kiri keluar darah segar yang menetes perlahan. Kami hanya terdiam ketakutan, tidak satupun yang berani melawan kezaliman ini. Kami manusia-manusia lemah yang hanya bisa terdiam dan menerima segala kondisi ini dengan tak berani berbuat ataupun berontak dengan kondisi ini. Emak mendekapku dengan keras. Sambil menjaga luka sunat yang belum sembuh. Adikku
  • 105.
    105 Nurma danRysa pun ketakutan sangat sambil menutup mulut dan kupingnya agar tidak terdengar dengan kegaduhan yang terjadi. Ingin sekali rasa di hati ini untuk pergi jauh dari rumah ini. Di mana memiliki tempat yang nyaman, dimana tidak ada pihak yang mengeksploitasi dan dianiaya, karena tidak akan ada kondisi yang menang ataupun kalah, siapupun di antara kami yang melawan akan menghancurkan keluarga ini semakin hancur dan berantakan. Encang merupakan sosok laki-laki yang sangat arogan, semua keputusan dan omongannya adalah sesuatu yang wajib diikuti dan dijalankan bagi siapa saja diantara anggota keluarga yang melawan ataupun membantah, dia tidak segan-segan untuk menghujamkan kepalan dan tonjokan yang sangat merusak badan kita hingga membiru. „Mak Kani, anak-anaknya ; Yadin dan Mila, Bapak, Emak dan Akupun tak luput dari terjangan kekerasannya. Emak tak kuasa untuk membawa kami pergi, di karenakan kondisi Bapak yang membuatnya
  • 106.
    106 bingung. KetikaEmak mengajak pergi bersama-sama aku, Nurma dan Rysa ingin meninggalkan rumah. Emak tidak tega untuk pergi di karenakan kondisi Bapak yang memposisikan serba salah dengan kondisinya. Karena Bapak merupakan belahan jiwanya, sekaligus Bapak dari anak-anak yang sudah menjadi tanggungjawabnya sebagai istri untuk selalu menemani segala apapun kondisi yang dialami sang suami. = #=#=#= Sifat dan karakter kepribadian orang bukan hanya dibentuk oleh keluarga, namun juga oleh faktor lingkungan. Aku yang berada di kampung Pulo. Dengan Jumlah orang betawi di kampung kami hampir delapan puluh persen dari total populasinya. Yang turun temurun beranak-pinak akan tetapi berbagai macam membaur membentuk komunitas kampung dari berasal berbagai daerah seperti ; sunda, madura, padang, ambon dan jawa membaur menjadi satu. Bisa saja kami yang lebih dulu menempati
  • 107.
    107 kampung puloini dari siapapun. Engkong Haji, Engkong Yusuf dan Engkong Ishak serta engkong- engkong yang lainnya, seluruhnya itu adalah penduduk asli yang menempati sepertiga kampung. Bukti bahwa nenek moyang mereka telah lama sekali berada di kampung pulo. Komunitas ini selalu rendah hati dan pekerja keras. Meskipun mereka orang asli. Mereka senantiasa memelihara adat istiadatnya. Jakarta merupakan ibukota dari Indonesia bukan hanya terkenal dengan Monas dan kerak telornya, akan tetapi juga dengan banjir yang sering kali mampir di setiap musim penghujan tiba. Menurut catatan sejarah Jakarta, pernah banjir besar melanda, itu terjadi pada tahun 1621, 1654, 1725 dan yang paling besar terjadi pada tahun 1918. Padahal kala itu ruang hijau di Jakarta lebih luas dari saat ini. Salah satu penyebab banjir di Jakarta pada tahun 1918 adalah pembabatan hutan di Puncak yang dijadikan perkebunan teh oleh VOC. Alhasil Jakarta mengalami banjir yang sangat besar dan bahkan menelan banyak korban jiwa.
  • 108.
    108 = #=#=#= Dari kampung Pulo kurang lebih satu kilometer aliran kali Ciliwung yang melintas akan bermuara di Pintu Air Manggarai. Arsitek The Flood Gates of Manggarai – yakni Pintu Air Manggarai, menurut sejarah perjuangan Jakarta telah mencatatnya untuk mengatasi banjir, yang kiprah dan peranannya saat dia ditugaskan oleh Departement Waterstaat untuk memimpin "Tim Penyusun Rencana Pencegahan Banjir" secara terpadu yang meliputi seluruh kota wilayah Batavia yang saat itu baru seluas 2.500 Hektar. Penugasan itu diterimanya di mulai ketika Kota Batavia di tahun 1918 terendam banjir mengakibatkan yang merenggut banyak korban jiwa. Setelah mempelajari dengan seksama dari berbagai aspek penyebab banjir, H. Van Breen dan Tim penyusun strategi pencegahan banjir yang dinilai cukup spektakuler saat itu. Tak dapat disangkal, prinsip-prinsip pencegahan banjir itu lalu dijadikan acuan pemerintah dalam mengatasi banjir di Jakarta.
  • 109.
    109 Konsep VanBreen dan kawan-kawan sebenarnya sangat sederhana, namun mereka perlu perhitungan cermat dan pelaksanaannya butuh biaya tinggi. Substansinya adalah dengan mengendalikan aliran air dari hulu sungai dan membatasi volume air masuk ke kota. Karena itu, perlu dibangun saluran kolektor di pinggir selatan kota untuk menampung limpahan air, dan selanjutnya dialirkan ke laut melalui tepian barat kota. Saluran kolektor yang dibangun itu kini dikenal sebagai "Banjir Kanal" yang memotong Kota Jakarta dari Pintu Air Manggarai bermuara di kawasan Muara Angke. Dengan penetapan Manggarai sebagai titik awal, karena saat itu wilayah ini merupakan batas selatan kota yang relatif aman dari gangguan banjir, sehingga memudahkan sistem pengendalian aliran air di saat musim hujan. Banjir Kanal itu mulai dibangun sejak tahun 1922. Dikerjakan bertahap yakni dari Pintu Air Manggarai menuju Barat, memotong Sungai Cideng, Sungai Krukut, Sungai Grogol, terus ke Muara Angke. Untuk mengatur debit aliran air ke
  • 110.
    110 dalam kota,banjir kanal dilengkapi beberapa "Pintu Air", antara lain, Pintu Air Manggarai (untuk mengatur debit Kali Ciliwung Lama) dan Pintu Air Karet (untuk membersihkan Kali Krukut Lama dan Kali Cideng Bawah dan terus ke Muara Baru). Dengan adanya Banjir Kanal, beban sungai di utara saluran kolektor relatif terkendali. Karena itu, alur- alur tersebut, serta beberapa kanal yang dibangun kemudian, dimanfaatkan sebagai sistem makro drainase kota guna mengatasi genangan air di dalam kota. Dalam menyusun konsep H. Van Breen dan kawan-kawan, mereka menyadari bahwa banjir yang selalu mengancam Jakarta tak akan teratasi jika hanya memperbaiki sistem tata air di dalam kota. Karena itu pencegahan di daerah hulu pun harus dikelola secara terpadu. Oleh karena itu, untuk mengendalikan aliran di daerah hulu perlu dibangun beberapa bendungan untuk penampungan sementara, sebelum itu air dialirkan ke hilir. Sebagai implementasi dari rencana pencegahan di daerah
  • 111.
    111 hulu, dibangunlahdua bendungan yakni: Bendungan Katulampa di Ciawi, dan Bendungan Empang di hulu Sungai Cisadane. = #=#=#=
  • 112.
    112 Chapter Three Manusia mempunyai potensi tak berbatas yang belum di kembangkan. Bahkan setiap orang belum menampakkan kemampuan tersebut sehingga belum di pergunakan seperempat maupun separuh kemampuannya. Setiap pribadi akan mencoba keluar dari lingkungan rumahnya, lalu mengembara untuk berpetualang dalam menguji kemampuan dan potensinya, serta juga semangat dan bakatnya. Seperti halnya Emak selalu berpesan di setiap kesempatan agar aku selalu kuat, inilah pesan yang selalu menemaniku. Pesan Emak untuk Asa ; Biarkanlah waktu terus berjalan Tetaplah jadi anak manusia yang mulia, apapun dan kapanpun yang menghadang Janganlah engkau galau dengan alang rintang yang menghadang Karena sesungguhnya itu semua hanyalah cobaan silih berganti Jadilah manusia pemberani melawan rasa takut yang menghampiri
  • 113.
    113 Karena niatsuci dan murni adalah bekalmu yang sejati Janganlah pandang benci musuhmu yang menghadang Karena sejatinya apabila kamu mengetahui, sesungguhnya keberadaan musuhmu Merupakan ujian yang membentuk karakter dan kepribadianmu Takkan ada yang abadi segala suka dan duka Takkan kekal segala kebahagiaan dan kesulitan Berjuanglah, berkarya dan ciptakan sekreatif mungkin mimpimu Gapailah setinggi-tinggi impianmu dan wujudkan menjadi nyata bagimu Maka ada lima keutamaan untukmu ; Motivasi yang tak akan pernah padam, selalu memperkaya imajinasi khasanah kehidupan, menggerakkan kekuatan yang maha dahsyat, bekerja dengan penuh tujuan serta selalu meluaskan ilmu. Manusia mulai mempertanyakan apakah ada kebahagiaan di ujung jalan yang mulai ditempuhnya. Kemampuan manusia mungkin bisa membuatnya sukses, namun belum tentu, hal itu membuat mereka bahagia.
  • 114.
    114 Begitu manusiamulai merubah cara berfikir mereka. Ketika memiliki potensi yang belum dipergunakan secara maksimal, mereka mengembangkan dengan berbagai cara dan inovasinya, sehingga dengan cara kreatif dan inovatif dapat bertahan serta bersaing dengan positif. Mencoba merubah cara pandang dan cara hidup yang lebih efektif serta elegan dibandingkan cara hidup zaman dahulu kala. Dimana peradaban dan teknologi kian membuat hidup makin lebih hidup. = #=#=#= Seperti mencari seuntai cincin yang tercebur di dalam kali karena kecebur milik Bu Ana yang tidak sengaja terjatuh waktu menaiki getek Pak Zuki, sesuatu yang bernama impian dan kebahagian sebenarnya sangat dekat dengan kita, akan tetapi karena tertutup alang rintang dan cobaan menjadikan hal itu tak semudah yang di bayangkan. Apakah setiap orang akan berusaha menjalaninya dengan sabar dan melewati segalanya
  • 115.
    115 dengan bijak?Semua bergantung sikap dan keyakinan kita yang menentukan berhasil atau tidaknya kita menjalaninya. Mimpi dan kebahagian berada didalam keluarga yang harmonis sesuai dengan fungsinya, tapi bukan kebahagiaan yang semu belaka. Keluarga bukan hanya sesuatu yang kasat mata, hal itu merupakan suatu struktur organisasi terkecil dalam kehidupan ini, ketika salah satu peranan saja tidak menjalankan fungsinya dengan baik, hal ini akan mempengaruhi putaran roda kehidupan dalam keluarga tersebut. Seperti di dalam hubungan sepasang keluarga Merpati yang berada didalam sangkarnya di atas pohon, ketika burung Merpati di dalam rumahtangganya saling bekerjasama antara merpati jantan dan betina untuk menjaga, merawat dan memberikan makan anak-anaknya sebelum dewasa dan dapat hidup mandiri.
  • 116.
    116 Begitu halnyadengan manusia, ketika terjadi didalam keluargaku. Aku mencoba memahami, walaupun kadangkala aku sukar untuk mengerti. = #=#=#= Seperti berbagai hal yang dapat berubah, sekian menit segala sesuatu dapat merubah segalanya. Aku pun mulai banyak belajar dan memahami banyak hal yang menimpaku. Belajar dan bermain Basketball. Walaupun aku tidak menjadi paling nomor satu dalam menshooting ke dalam keranjang di lapangan Basketball. Akan tetapi disekolahku, aku menjadi bintang juara dikelas, peringkat satu dari kelas satu sampai dengan kelas tiga. Tak ada yang istimewa didalam lingkungan sekolahku di SMPN 33 Jakarta, kecuali bangunan tinggi yang menjulang di depan sekolahku diseberang kali, walaupun bangunan tua itu terlihat agak suram dan menyeramkan akan tetapi bangunan itu pastinya
  • 117.
    117 memiliki nilaisejarah yang sangat tinggi. Seperti layaknya diriku kenapa, Jakarta terletak pada posisi 6012 Lintang Selatan dan 106048 Bujur Timur dan berbatasan dengan 2 provinsi lain yaitu Provinsi Jawa Barat di sebelah Selatan dan Timur serta Provinsi Banten di sebelah Barat. Sementara di sebelah Utara Jakarta merupakan bentangan pantai sepanjang ± 35 KM dari Barat hingga Timur yang berbatasan dengan Laut Jawa dan menjadi tempat bermuaranya sungai dan kanal yang mengalir melintasi Jakarta. Secara keseluruhan luas wilayah Jakarta terdiri atas wilayah daratan seluas 662,33 km2 dan wilayah lautan seluas 6.977,5 km2 dengan 110 pulau di Kepulauan Seribu Satu-satunya kota di Indonesia yang dihuni para pendatang dari berbagai suku bangsa, termasuk keturunan etnis asing, adalah Jakarta. Mereka datang dari berbagai daerah di Nusantara dan mancanegara sejak abad ke-16, ketika kongsi dagang Belanda VOC berkuasa di Batavia.
  • 118.
    118 Ketika itudaya tarik Jakarta adalah pelabuhan Sunda Kelapa yang merupakan bandar niaga kerajaan Padjajaran. Sunda Kelapa berada di mulut sungai Ciliwung. Pelabuhan tersebut menjadi persinggahan untuk mengambil air minum kapal-kapal niaga asing. Waktu itu air Ciliwung sangat bersih. Pada masa itu Jakarta menjadi wilayah bawahan kesultanan Banten. Jakarta direbut dari kerajaan Pajajaran pada 1527 dipimpin oleh Pangeran Jayakarta. Pada awalnya kawasan ini tidak berpenghuni. Rawa, hutan, dan hewan liar masih banyak terdapat di kawasan ini. Sekarang masih teridentifikasi lewat nama-nama jalan yang menggunakan Rawa (misalnya Rawaterate dan Rawakebo), Hutan (misalnya Utan Kayu dan Utan Panjang), dan Kebun (misalnya Kebon Jati dan Kebon Pala). Keadaan berubah ketika VOC menguasai daerah ini dan diberi nama Batavia. Pembangunan mulai dilakukan oleh Gubernur Jenderal JP Coen. Sejak itu Batavia dibangun menjadi kota administrasi
  • 119.
    119 pemerintahan VOC.Pembangunan Batavia oleh Coen didukung dana dari kalangan pengusaha Cina. Dana pembangunan kota dikoordinasi oleh Souw Beng Kong (So Bing Kong). Dia dikenal sebagai pedagang kaya dan akrab dengan para pembesar kesultanan di Banten dan Jawa sebelum kedatangan VOC. Kelak Kong menjadi Kapiten Cina di Batavia. Jauh sebelum kedatangan Belanda masyarakat keturunan Cina sudah menetap di Batavia dan berperan sebagai penghubung dengan dunia luar untuk perdagangan. Untuk membangun kota, Coen mendatangkan 1.000 tenaga asal Makao pada 1619. Pada 1621 didatangkan 800 orang Banda. Mereka dimukimkan dekat pelabuhan Sunda Kelapa. Tempat bermukimnya orang Banda dikenal sebagai Kampung Bandan dan merupakan kampung etnis pertama di Batavia. Setelah itu VOC mendatangkan orang-orang Bali, Manggarai, Bugis, Makassar, Tambora, dan Melayu. Kesemuanya mendapat pemukiman dan diberi nama sesuai tempat asal.
  • 120.
    120 Pembangunan Bataviaberkembang pesat mirip kota-kota di Eropa. Maka kemudian Batavia mendapat julukan “Ratu Asia” atau “Kota Eropa di Asia”. Batavia menjadi ramai sebagai kota niaga terbesar di Asia Tenggara sejak abad ke-17. Hal ini tentu saja menjadi daya tarik para pendatang dari Timur Tengah, India, dan Asia Timur. Batavia mulai mengalami proses pembauran masyarakat majemuk yang terintegrasi dari perpaduan berbagai latar belakang budaya dan keyakinan. Para pendatang tetap memelihara budayanya untuk mempertahankan jati diri mereka. Proses akulturasi di Batavia semarak dengan dialek bahasa Melayu pasar sebagai komunikasi pergaulan. Setiap kali banjir melanda Jakarta, orang selalu menghubungkannya dengan Sungai Ciliwung dan anak-anak sungainya. Sungai-sungai di Jakarta memang sudah dianggap merupakan tempat pembuangan sampah yang paling murah. Tanpa peduli dampaknya, pembuangan sampah terus saja
  • 121.
    121 terjadi, meskipunpada 1996 lalu ketika aku kelas 6 SD, Jakarta pernah mengalami pula banjir hebat. Namun berbeda dengan keadaan pada masa kini, pada masa lampau Ciliwung merupakan sumber kehidupan utama masyarakat karena berbagai aktivitas dilakukan di sini. Mulai dari keperluan rumah tangga sehari-hari hingga jalur perdagangan internasional. Ciliwung mulai berperan sejak zaman purba, ketika manusia prasejarah menghuni Jakarta. Puncaknya, pada abad ke-15 dan ke-16 pelabuhan Sunda Kelapa di muara Ciliwung, telah dikenal luas oleh pedagang-pedagang seantero Nusantara dan internasional. Orang-orang Belanda yang datang paling awal antara lain menulis, “Kota ini dibangun seperti kebanyakan kota-kota di Pulau Jawa. Sebuah sungai indah, berair jernih dan bersih, mengalir di tengah kota” (Hikayat Jakarta, 1988). Itulah Ciliwung pada awalnya. Pelabuhan Sunda Kelapa dikatakan ramai didatangi pedagang, meskipun terbujur sepanjang satu atau dua kilometer di atas potongan-potongan
  • 122.
    122 tanah sempit.Namun setelah dibersihkan, Ciliwung menjadi lebar. Hal ini memungkinkan sepuluh buah kapal dagang dengan kapasitas sampai 100 ton, dapat masuk dan berlabuh dengan aman di Sunda Kelapa. Air Ciliwung waktu itu mengalir bebas, tidak berlumpur, dan tenang. Meskipun gempa-gempa besar sempat mengacaukan aliran pembuangan air, Ciliwung tidak seberapa tercemar. Karena itu banyak kapten kapal masih singgah untuk mengambil air segar yang cukup baik, untuk diisikan ke dalam botol-botol dan guci-guci mereka. Sejak kedatangan bangsa Belanda, maka Batavia (nama pengganti Sunda Kelapa) dibangun seperti tata letak kota-kota di Belanda, yakni berupa tembok kota, parit, dan berderet-deret rumah. Dengan demikian, menurut Jean-Baptiste Tavernier sebagaimana dikutip van Gorkom, Ciliwung memiliki air yang paling bersih dan paling baik di dunia (Persekutuan Aneh, 1988). Tidak berlebihan kalau ketika itu Batavia mendapat julukan “Ratu dari Timur”. Banyak orang asing yang datang, tak segan-
  • 123.
    123 segan memberikansanjungan yang tinggi kepada Batavia. Bahkan menyamakannya dengan negara- negara di Eropa. Pada saat dibangun Belanda, kota Batavia berbentuk bujur sangkar dengan panjang kira-kira 2.250 meter dan lebar 1.500 meter. Kota ini terbelah oleh Ciliwung menjadi dua bagian yang hampir sama besar. Masing-masing bagian dipotong lagi oleh parit-parit yang saling sejajar dan saling simpang. Sejumlah jalan juga dibangun sehingga penampang kota berpola kisi-kisi. Pola seperti inilah yang dipandang mampu melawan amukan air di kala laut pasang dan banjir di dalam kota karena air akan saling berpencar ke segala penjuru. Saat ini kota tersebut berada di wilayah Kota Tua Jakarta. Tidak disangka-sangka, pada 1699 Gunung Salak di Jawa Barat meletus. Erupsinya sungguh berdampak sangat besar. Karena itu iklim Batavia menjadi buruk, kabut menggelantung rendah dan beracun, parit-parit tercemar, dan penyakit-penyakit aneh bermunculan. Batavia pun berganti julukan
  • 124.
    124 menjadi “Kuburandari Timur”, bukan lagi “Ratu dari Timur”. Sejak itu, Ciliwung mulai kotor. Seperti halnya pemerintahan zaman sekarang, dulu pun banyak pihak saling tuding terhadap bencana ekologi tersebut. Mereka bukannya memasalahkan kebijakan Kompeni atau VOC sendiri, tetapi justru cenderung menuding pendahulu- pendahulunya. Mereka dinilai salah karena telah membangun kota dengan menyontoh kota gaya Belanda. “Batavia adalah kota bercorak tropis. Berbeda jauh dengan Belanda yang memiliki empat musim,” begitu kira-kira kata para penentang. Sebagian lagi menduga, bencana ekologi itu disebabkan oleh kepadatan penduduk. Batavia memang semula dirancang sebagai kota dagang. Karenanya, banyak pendatang kemudian menetap secara permanen di sini. Sebagai kota dagang, tentu Batavia mempunyai magnet kuat. Segera, lingkungan alam Batavia mengalami perubahan fundamental setelah berbagai daerah di sekitarnya dibersihkan dari hutan-hutannya untuk
  • 125.
    125 membudidayakan tanamantebu. Ternyata, budidaya itu juga mencemari air dan menanduskan tanah. Apalagi berbagai pabrik gula sangat membutuhkan kayu bakar yang demikian banyak jumlahnya. Karena terletak di dekat sungai, maka pabrik-pabrik gula itu ikut menyokong pencemaran air bersih di Batavia, sekaligus mengurangi daerah resapan air. Pada tahun 1701 terungkap bahwa daerah hulu Ciliwung sampai hilir di tanah perkebunan gula telah bersih ditebangi. Sebagai daerah yang terletak di tepi laut, tentu saja Batavia sering kali kena getahnya. Kalau sekarang Jakarta hampir selalu mendapat “banjir kiriman” dari Bogor, dulu “lumpur kiriman” dari Cirebon bertimbun di parit-parit kota Batavia setiap tahunnya. Pada awal abad ke-19 Batavia tidak lagi merupakan benteng kuat dan kota berdinding tembok. Karenanya, pada awal abad ke-20 Batavia sudah menjadi kota yang berkembang dengan penduduk berjumlah 100.000 orang. Bahkan dalam beberapa tahun saja penduduk kota sudah meningkat menjadi
  • 126.
    126 500.000 orang.Adanya nama-nama tempat yang berawalan hutan, kebon, dan rawa setidaknya menunjukkan dulu Jakarta merupakan kawasan terbuka. Sayang, kini sudah berubah menjadi kawasan tertutup (tempat hunian). Begitu pula adanya wilayah yang berawalan kampung. Dulu istilah kampung mengacu pada sederetan daerah permukiman orang-orang pribumi yang terletak jauh di luar jalan-jalan aspal. Dibandingkan kota, memang fasilitas di kampung tidak lengkap. Sanitasi di kampung tidak bagus karena banyak warga membuang hajat dan sampah sembarangan di parit atau got. Dalam musim hujan banyak kampung kebanjiran, meskipun air banjir itu tidak dalam dan kotor. Baru kemudian ketika jumlah penduduk semakin meningkat, air kali sekaligus air banjir menjadi sangat kotor. Siklus banjir tahunan selalu berulang pada musim penghujan tiba. Memang, kota-kota di negara maju saja sering kali tidak berdaya menghadapi bencana alam. Mudah- mudahan kita mengambil hikmahnya bahwa semakin
  • 127.
    127 tertutupnya daerahresapan air, maka banjir semakin besar. Begitu pula semakin buruknya sanitasi. Sanitasi terburuk umumnya terjadi pada daerah bantaran sungai. Semakin banyaknya pendatang tentu semakin banyaknya permukiman warga sekaligus sampah yang dibuang ke kali. Sudah jelas, perilaku warga yang demikian perlu diubah sehingga banjir yang mungkin terjadi lagi bisa diminimalisasi.
  • 128.
    128 Chapter Four Di alam semesta begitu banyak kisah cinta dan kasih sayang, namun tak ada yang dapat mengalahkan keindahan kisah cinta dan kasih sayang seorang Emak kepada anaknya. Ketika ada perpisahan antara orangtua dan anak adalah sesungguhnya hanya badan saja yang terpisah, akan tetapi perasaan dan ikatan bathinnya selalu terikat kuat tak dapat dipisahkan hanya dengan jarak. Ada begitu banyaknya perasaan di dunia, namun tidak ada yang menyerupai perasaan emak pada anaknya. Saat kita masih kanak-kanak, kita belum mengerti hal itu. Ketika doa Emak, perjuangan yang meneteskan air mata demi Asa, Ketika cinta Emak, menguatkan alang rintang pada Asa
  • 129.
    129 Memang betul,ada jarak antara impian dan kenyataan, maka kamu bisa perkecil jarak antara keduanya setiap hari dengan langkah pasti. Kita tidak akan dapat menambah usia kehidupan kita, tapi kita bisa tambahkan kehidupan dalam umur kita, dengan memberikan manfaat sebanyak mungkin orang di sekeliling kita. Tiada doa yang paling indah selain ungkapan syukur kepada Allah. Tiada tangisan yang paling indah selain cucuran airmata taubat kepada Allah. Terima kasih Ya Allah, engkau beri anak yang soleh dan solehah sehingga telah mempertemukan kami kembali dengan penuh keberkahan. Terima kasih Ya Allah, atas segala nikmat dan karuniaMU, Terima kasih Ya Allah, atas segala kesempatan, kesehatan dan usia yang Engkau berikan sampai hari ini.
  • 130.
    130 Chapter Five Memasuki bulan juni, dimana para pemuda tanggung yang baru lulus dari sekolah menengah atas ataupun siapapun mereka yang ingin berjuang dari berbagai penjuru di Indonesia berlomba-lomba memenuhi Jakarta seperti air hujan yang menghujani kota pada bulan Januari. Seolah membanjiri seluruh kampung kota Jakarta dikarenakan curah hujan yang sangat tinggi mencari sebuah pengharapan berpindah menuju pulau pemimpi yang indah dan penuh masa depan yang cerah. Para pemuda dengan segala harapan dan ketidakpastiannya, yang merasa akan merubah menjadi sosok baru ketika ke Jakarta. Ternyata, mereka hanya sampai seperti di sebuah kubangan lumpur penuh dengan berbagai kotoran dan sangat berbau. Jakarta adalah kubangan itu. Semua berkumpul menjadi satu, ber Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata berkisar 7 meter di atas
  • 131.
    131 permukaan laut.Namun, sekitar 40% dari wilayah Provinsi DKI Jakarta berupa dataran yang permukaan tanahnya berada 1-1,5 meter di bawah muka laut pasang. Secara hidrologis khususnya mengenai air permukaan, terdapat 13 sungai yang mengalir membelah Jakarta. Kondisi sungai ini sangat memprihatinkan dengan tingkat sedimentasi dan pengangkutan sampah yang tinggi. Akibatnya, jika hujan tinggi terjadi di hulu, permukaan air sungai dengan cepat meluap, yang pada gilirannya akan mengancam daerah rendah di Jakarta terutama daerah Jakarta Utara. Perawatan sungai terutama pengerukan mulut sungai dan pengurangan pembuangan sampah ke sungai akan membantu menjaga kapasitas debit sungai. Selain itu, Jakarta juga memiliki 2 kanal besar, yaitu Kanal Banjir Barat dan Kanal Banjir Timur. Sungai-sungai dan kanal tersebut dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Antara lain digunakan untuk usaha perkotaan, air baku untuk air minum, perikanan dan lain-lain. Fungsi utama dari
  • 132.
    132 jaringan sungaidan kanal tersebut adalah sebagai sarana drainase. Secara geologis, seluruh dataran terdiri dari endapan pleistocene yang terdapat pada ± 50 m di bawah permukaan tanah. Bagian selatan terdiri atas lapisan alluvial, sedang dataran rendah pantai merentang ke bagian pedalaman sekitar 10 km. Di bawahnya terdapat lapisan endapan yang lebih tua yang tidak tampak pada permukaan tanah karena tertimbun seluruhnya oleh endapan alluvium. Di wilayah pesisir Jakarta juga terdapat pantai yang melintang dari timur ke barat dengan ketinggian pantai berkisar antara 0 - 5 m dari muka air laut dengan lebar 7 km di sekitar Jakarta dan 17 - 40 km pada dataran delta. Bagian Barat Teluk Jakarta sebagian besar merupakan pantai berlumpur, sedangkan ke arah Timur merupakan pantai berpasir. Namun kecenderungan yang terjadi selama beberapa dekade adalah garis pantai itu juga mengalami perubahan yang diakibatkan oleh aktifitas manusia, antara lain pembangunan di depan garis pantai atau
  • 133.
    133 penambangan pasir.Perubahan garis pantai oleh faktor alam terutama berupa penambahan pantai oleh sedimentasi. Abrasi terjadi di beberapa lokasi di Pantai Utara Jakarta bagian Timur. = #=#=#= Dengan segala kesederhanaan, maka tragedi banjir besar yang melanda kampung merupakan sebuah drama cobaan yang bukan karena alasan sang Khalik dalam memberikan banjir. Kampung itu demikian porak ponda berantakan dengan berbagai lumpur, bau merusak tatanan sosial yang ada dengan menambah luka didada. Namun kali ini berbeda, mendung bergelayut murung dilangit Jakarta, siap menumpahkan murka di kampung itu karena dua warganya semakin lama kehilangan kewarasannya sehingga kelangsungan hidupnya terancam. Sore itu gumpalan–gumpalan awan hitam bergulung-gulung bergerak di atas kepala kami yang
  • 134.
    134 tinggal disepanyang bantaran Sungai Ciliwung yang membelah kota Jakarta. Kami berdiri mendongak- dongak keatas melihat gumpalan-gumpalan awan hitam yang terus bergerak dan membuat langit Jakarta lebih cepat gelap dari hari-hari biasanya. Awan itu terus bergerak bagaikan ribuan pasukan berjubah hitam yang hendakberangkat ke medan perang dari arah hulu sungai menuju ke arah Teluk Jakarta. Kami berdiri tegak berderet–deret di tepi sungai, seperti sedang menyaksikan sebuah arak- arakan di langit. BERSAMBUNG (DAPATKAN SEGERA NOVELNYA “DOA EMAK UNTUK ASA”)
  • 135.
  • 136.
    136 Puisi Asauntuk Emak Emak… Malam tadi telah kupanjangkan doaku… Telah kukhusukkan untukmu Emak… Mungkin Allah memberi mahabah-Nya.. Sehingga hatiku terasa akrab dengan-Nya… Emak… Saat semua tak ada dan tak bisa… Tak harus kucari pelukanmu… Tak harus ku tunggu doa-doamu… Bahkan bentangan bumi serasa tak berarti… Emak… Kehangatan kasih sayangmu itu selalu nyata terasa… Mengalir dan terasa deras… Emak… Detik-detik waktu membuatku rindu akan rahimmu… Tak perlu nada yang berlebihan Irama jantung itu begitu indah dan dirindui Dipelukmu ku bisa kembali merasakannya… Emak... Bulan dan langit yang ku tatap tadi malam… Adalah bulan yang sama dengan yang diatas rumah kita… Emak... Aku telah biaskan kasih dan rindu ini pada langit
  • 137.
    137 Emak... Telahku titipkan salamku untukmu pada bulan dan bintang… Dan kubisikkan pada hembusan angin… Terimakasih Emak… Untuk pahit getir yang kau tempuh untukku Begitu tegas waktu menyita masa… Mengambil cerita-cerita… Mengemasnya menjadi kenangan-kenangan… Jari-jari lentik ku sekarang hanya sempat bermain dengan leher pena saja… Mengukir ilmu, formula alam ataupun cerita hati… Emak... Karena Emak… Aku ada… Emak… Semua tak akan lahir tanpamu… Emak… Rindu dan doa terbaik selalu untukmu…
  • 138.
    138 Musa Rustam Biodata Penulis Musa Rustam, lahir di Jakarta. Yang di panggil oleh teman-temannya sebagai “anak kali”. Lahir dari keluarga yang kurang mampu tidak mengecilkan hatinya untuk selalu berjuang dan bermimpi, ia amat menggemari ilmu komputer yang dipelajari secara otodidak, menjadi seorang PNS adalah cita-cita Emaknya, mencoba menyebarkan virus pegawaipreneur lewat tulisannya. Penulis multitalenta ini, pendiri DEEP OF TEEN Corporate, sebuah perusahaan pembuatan Merchandise & Souvenir Unik. Pegawai Negeri Sipil yang sehari-hari bertugas di Kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi DKI Jakarta. Menjadi anggota komunitas bisnis Pandu Wirausaha dan Komunitas Tangan Diatas/TDA Jakarta Selatan serta beberapa Komunitas Fotografer. Mulai membuka bisnis DEEP OF TEEN pada 5 November 2010, menjadi Supplier Trans Studio Februari 2011.
  • 139.
    139 Mulai mendapatkanbeberapa penghargaan dalam bisnis yaitu ;  Sebagai Finalis Wirausaha Muda Mandiri Regional Jabodetabek kategori Industri Kreatif dari Bank Mandiri tahun 2011.  Sebagai Finalis Indigo Fellowship kategori Web Application dari PT. Telkom Indonesia tahun 2011.  Sebagai Pemenang Kategori Kewirausahaan dalam International Youth Muslim Creation dari International Muslim Summit Student di ITB pada Juli 2012.  Juara 3 Lomba Inovasi Bisnis tingkat Nasional dari Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia pada November 2012.  Juara 2 Apresiasi Astra Socio Enterpreneur tahun 2012 dari PT. Astra International.  4 besar Esai Terbaik Kompetisi Esai Nasional Gebyar Pemuda Indonesia tahun 2013 di Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Beberapa buku yang sudah di terbitkan secara self publishing melalui nulisbuku.com antara lain; Meraup Ratusan Juta Rupiah dari Bisnis Narsis, Traveller Photography Anti Teler, dan Menjadi Pegawaipreneur Sukses. Menjadi pembicara dan motivator menjadi kekuatan yang diyakini memperkaya kehidupan manusia dalam beraktivitas dan ini menjadi hobi yang akan selalu menginspirasinya !! Penulis dapat dikontak di Twitter @musajkcc
  • 140.
    140 Doa Emakuntuk Asa Sesungguhnya hidup itu memang indah dan sederhana.... setidaknya itulah yang kurasakan dalam dekapan Emak yang selalu hangat. Kisah perjuangan seorang Emak dalam mewujudkan impian Asa Dengan berbagai cobaan dan rintangan hidup yang membelenggu siksa Mulai dari pahit getir, kekejaman dan kekerasan kehidupan ibukota Kini telah di ijabah dengan titik sinar kehidupan yang menderu Karena kesabaran dan keikhlasan yang tak pernah Asa Allah memberikan karunia di balik cobaan dan rintangan Asa kecil tak pernah jauh dari Emak yang mengasuhnya dengan penuh kasih sayang dan cinta seorang diri. Namun, saat beranjak dewasa, karena tuntutan keadaan yang mengharuskan Asa untuk berjuang pergi meninggalkan Emak dan hidup berdikari di negeri orang. Kehidupan yang keras kota Jakarta, lahir serba minim tak pernah mengecilkan asanya untuk menggapai asa karena kekuatan Doa Emak yang menghilangkan siksa. Sampai ketika musibah itu hadir menjemputnya..... “Ketika doa Emak, perjuangan yang meneteskan air mata demi Asa, Ketika cinta Emak, menguatkan alang rintang pada Asa”.