MUSA RUSTAM
6Prajurit Ciliwung
Keping mimpi anak kali Ciliwung dari
Kampung Pulo sampai ke Kota Tokyo
Penerbit
Nulisbuku.com
2
MUSA RUSTAM
6Prajurit Ciliwung
Keping mimpi anak kali Ciliwung dari
Kampung Pulo sampai ke Kota Tokyo
Penerbit
Nulisbuku.com
3
Enam Prajurit Ciliwung
Oleh: Musa Rustam
Copyright © 2014 by Musa Rustam
Penerbit
Nulisbuku.com
Desain Sampul:
Musa Rustam
Diterbitkan melalui:
Nulisbuku.com
4
Buku ini kupersembahkan untuk :
Emakku Ibu Rinah, Guruku Ibu Euis, ustad Marzuki
serta Enam sahabat masa kecilku anggota Prajurit
Ciliwung dan Semua Warga Kampung Pulo Jatinegara
Jakarta Timur
5
Ucapan Terima Kasih...
Ucapan terima kasih kusampaikan kepadaNYA,
Segala puji saya panjatkan ke hadirat Allah
SWT, berkat pertolongan dan hidayahnya.
Kepada Nurul wanita setia pendampingku,
sosok sangat bermakna yang selalu
memberikan dukungan dengan inspirasinya
yang luar biasa. Kepada putraku, Muhammad
Hafiz Danish Veysa, yang senantiasa menjadi
penerang dan pelipur lara dalam hidupku.
Kepada orangtuaku, Mak Rinah, Bapak
Rustam (Alm), Mama Mahirmani, Papa Adi
Sucipto, yang telah memberikan cinta kasih
dan dukungan yang sangat luar biasa
kepadaku. Kepada Kalak, Para Kabid,
Sekretaris dan rekan-rekan BPBD Provinsi DKI
Jakarta, Rekan-rekan Satpol PP Provinsi DKI
Jakarta, dosenku di STIA LAN Jakarta dan
teman-teman baikku yang telah mendukungku
selama ini serta Nulisbuku.com.
6
Isi Buku
Bab 1 Murid Seberang
Bab 2 Sekolah Seberang
Bab 3 Kampung Banjir
Bab 4 Keturunan Delapan
Bab 5 Adik Sarah
Bab 6 Ustad Marzuki
Bab 7 The Flood Gates of Manggarai
Bab 8 The Tower of Monas
Bab 9 Jakarta kota Metropolitan
Bab 10 13 Aliran Sungai
Bab 11 SMA 8
Bab 12 Berjualan keliling kampung
Bab 13 Buaya Buntung
Bab 14 Festival Ciliwung
Bab 15 Kantong Ajaib
Bab 16 Jam Idaman
Bab 17 Enam Prajurit Ciliwung dan Getek
Bab 18 Kampung Ilmu
Bab 19 Puisi cinta dan mahkluk tercantik
7
Bab 20 Ada cinta di Pabrik Tahu
Bab 21 Regu terbaik
Bab 22 Getek romantis
Bab 23 Dalam Beduk
Bab 25 Si Pitung Kampung
Bab 26 Pulau Dream
Bab 27 Reni Anggraini
Bab 28 Orde Baru
Bab 29 Deni Bram
Bab 30 Negeri Impian-Jepang
Bab 31 Deep Tunel & Tokyo Tower
Glosarium
Tentang Penulis
Synopsis
8
“Hidup adalah sebuah perjuangan. Tanpa
kekuatan mimpi, manusia seperti kerbau yang
bekerja tanpa tujuan. Allah menganugerahkan
segala imajinasi dan mimpi sebagai kekuatan
maha dahsyat didalam hati dan pikiran kita.
Aku bersyukur karena sebuah mimpi itu kini
membuatku menjadi manusia yang berarti...”
Rustam, 1960 - 2006
9
Bab 1
Murid Seberang
Senin pagi itu, aku pertama kali berangkat
ke sekolah di antarkan Emak. Kumpulan
batang Pohon bambu yang kira-kira
berjumlah 15 batang pohon bambu di ikat
menjadi satu, tersusun rapi membentang
menjadi sebuah getek yang membawaku.
Emak di sebelahku, memegang erat
pergelangan tanganku dengan tangan
kanannya yang lembut. Emakku seorang
perempuan berbadan kurus dan mungil.
Wajahnya sekurus badannya, dengan
sepasang mata yang bersih yang di naungi
alis tipis. Mukanya selalu mengibarkan
senyum ke siapa saja. Kalau keluar
rumah selalu menggunakan baju kebaya
10
yang dipadu dengan kain atau rok
panjang. Tidak pernah celana panjang.
Kepalanya selalu ditutup turban dan di
lehernya tergantung selendang.
Emak tidak pernah menamatkan
Sekolah Rakyatnya, ia sekolah hanya
sampai kelas dua saja, di karenakan
keluarganya masih berfikir sekolah tidak
perlu tinggi–tinggi untuk anak perempuan,
karena ujung-ujungnya pasti di dapur juga.
Begitulah pemikiran yang masih terbenam
sama di beberapa pemikiran orang-orang
tua terdahulu, mereka belum mendapatkan
virus semangat yang di bawa oleh Ibu
Kartini, pentingnya emansipasi wanita
bahwa pendidikan itu sangat penting untuk
laki-laki dan perempuan.
Di antara 5 gundukan batang yang
tersusun di atas susunan 15 batang pohon
bambu, di sela-sela tengah pada bagian
11
depan di ikat erat menjadi penguat untuk
di kendalikan, di ujung tali terikat di atas
pohon waru dan di seberang satunya pun
demikian terikat dengan pohon yang
rindang, di ujung depan berdiri di atas
getek yang diawaki seorang laki-laki yang
berkopiah putih, sekuat tenaga menarik
getek untuk membawa kami ke seberang.
Laki-laki itu adalah seorang bapak tua
berwajah penuh kesabaran, Pak Marzuki,
sang penarik getek.
Namun, senyum Pak Zuki adalah
senyum yang getir penuh makna, karena
terlihat sangat jelas kecemasan wajahnya
penuh ketegangan dan keletihan sambil
terengah-engah menarik nafas berulang
kali. Sesekali menghitung jumlah
penumpang yang naik di getek-nya. Ia
begitu khawatir sehingga terkadang tak
peduli pada peluh yang mengalir deras di
12
lehernya. Bulir-bulir keringat yang
bermunculan di seputar keningnya sebagai
tanda perjuangan yang harus di
kenakannya, membuat wajahnya terlihat
semakin letih berbentuk raut kelelahan.
“Sepuluh orang...sudah sepuluh orang
pak...bu...dek...,sudah lewat kapasitas
nanti terbalik...” katanya penuh kegusaran
pada para penumpang getek-nya. Emak
dengan penuh kehati-hatian menjagaku
dari licinnya kumpulan bambu yang aku
injak.
Aku juga merasakan kecemasan. Aku
cemas karena melihat aliran air kali
Ciliwung sangat deras dan karena beban
yang di rasakan Pak Zuki terlihat jelas,
beberapa otot-otot yang mulai jelas
menonjol di depan mataku. Meskipun
beliau begitu tenang pagi ini tapi
genggaman tangannya yang melingkari tali
13
tambang kemudi getek, tetap saja tidak
dapat aku pungkiri degup jantungku terasa
cepat, pertama kalinya aku menyeberang
kali, aku tahu beliau sedang tidak gugup
ataupun grogi karena hal ini sudah
menjadi rutinitas beliau setiap hari, pria
berusia lima puluh tahunan itu, seorang
buruh serabutan yang beranak banyak
dengan penghasilan seadanya. Siang hari
bekerja mencari nafkah untuk keluarga
dengan menarik getek, mengumpulkan
sisa-sisa sampah plastik yang di
kumpulkan dari arus membawa sampah di
Kali Ciliwung untuk di jual kembali kepada
pengepul barang rongsokan dan ketika
malam pun tiba beliau mengajarkan kami
mengaji kepada anak-anak seumuranku.
Getek pun sampai ke seberang, emak
dan aku bergegas perlahan untuk turun
melalui jembatan yang terbuat dari bambu
14
di susun 4 buah dan di ikat kuat
menjuntai hingga menempel ke dasar kali
serta mengarah ke dasar pelataran tanah
yang agak tinggi dan becek. Ku coba
melangkah dengan penuh perhatian dan
perlahan, dengan tangan kiri memegang
pagar jembatan dari bambu itu sambil di
pegangi tangan kananku dengan emak. Tak
tahu kenapa, aku seperti merasa bisa
sendiri, tak ingin dipegangi, dan dengan
bantuan Emak.
“Emak, Ucha bisa kok....ga„ perlu
dipegangin „mak”
Emak tak sampai hati untuk
melepaskan tangannya yang memegangi
pergelangan tangan kananku. Tapi Emak
pun akhirnya mengabulkan keinginanku,
dengan mengalah karena percaya aku
merasa bisa untuk menyeberangi jembatan
bambu itu tanpa harus di peganginya.
15
Ternyata dewi fortuna tidak besertaku.
Selang hanya beberapa detik saja,
waktunya sangat cepat terjadi, tangan
kananku di lepas emak, hanya satu
langkah saja dari pegangan Emak, aku
terpeleset jatuh masuk ke air kali berwarna
kecoklatan penuh dengan sampah yang
aliran airnya deras.
“ Astagfirlohalazim, Ya Allah Ya
Rabb....anak saya ke cemplung”
“ Tolong...tolong...anak saya kecebur...Pak
Zuki tolong.....”
Teriak Emak yang panik, melihatku
yang terpeleset jatuh masuk ke dalam air,
sontak semua orang langsung tertuju ke
sumber teriakan. Aku panik dengan
gerakan yang tidak beraturan vertikal
terbawa air memutar-mutar seperti
16
pusaran air, pandangan tidak jelas mana
yang harus aku tuju.
Ekspresi wajah emak yang panik
memerah, seperti ada penyeselan karena
telah melepas pergelangan tanganku. Aku
belum bisa berenang, hanya berteriak
sekencang-kencangnya meminta
pertolongan dengan keadaan kadang
mengambang timbul tenggelam, dengan
secara refleks aku berusaha agar kepalaku
selalu ada dipermukaan air untuk
memberitahukan keberadaan diriku
sehingga ada yang segera menolongku,
arus air yang deras terus membawaku
semakin jauh dari Emak.
Pak Zuki dengan cekatan langsung
nyebur ke arahku, dengan gaya front crawl
perlahan tapi pasti mengejarku, kedua
belah lengan secara bergantian di gerakkan
jauh ke depan dengan gerakan mengayuh,
17
sementara kedua belah kaki secara
bergantian di cambukkan naik turun ke
atas dan ke bawah. Posisi wajah Pak Zuki
menghadap ke permukaan air, dengan
pernapasannya di lakukan saat lengan di
gerakkan ke luar dari air saat tubuhnya
menjadi miring dan kepala berpaling ke
samping. Sewaktu mengambil napasnya, ia
bisa memilih untuk menoleh ke kiri atau ke
kanan. Gaya berenangnya bisa membuat
tubuhnya melaju lebih cepat di air untuk
menjangkauku.
Pak Zuki segera menghampiriku,
dengan terengah-engah meraihku, aku
yang sambil menangis dan pucat
ketakutan, Pak Zuki seperti seorang water
rescue dengan teknik pertolongan
korban/evakuasi yang dilakukan di air,
kemampuannya menolong untuk memilih
dan menentukan kemampuan yang dimiliki
18
seorang rescuer, dengan metode yang harus
dilakukan untuk menolong harus bisa
memilih metode pertolongan yang paling
cepat dengan resiko yang kecil.
Pengetahuan mengenai bahaya-bahaya
ketika berada di air, contoh : panik, letih,
kram arus air.
Akhirnya, aku tersadar dan
terbangun. Penglihatan maata dari mulai
remang-remang menjadi terang, perlahan
aku coba menggerakkan tanganku yang
digenggam sama Emak. Air matanya
diusap olehnya karena telah melihat aku
tersadar dari pingsan.
“ Emak, Ucha kenapa ?” tanyaku lirih
karena masih mencoba mengingat-ngingat
apa yang terjadi denganku.
“ Iya, anakku kamu tadi terjatuh di
kali ..sayang “
19
“ tapi Alhamdulillah kamu enggak
apa-apa „kan ?” sambil memegang badanku
dan memeriksa dari mulai tangan, bahu
dan kepala apakah aku memiliki luka,
dengan wajah peluh kepanikan. “ Tapi
Alhamdulillah kamu enggak apa-apa „kan ?
“ lirih dilemparkan pertanyaan lagi untuk
meyakinkan kalau aku tidak apa-apa.
“Alham...dulillah Emak...
alhamdulillah Emak... Ucha enggak apa-
apa, Ucha hanya kaget dan panik, maafkan
Ucha yah „Mak karena nakal tak mau
dipegangi”
Pak Zuki telah menyelamatkan
nyawaku. Di hari pertama dalam sejarah
hidup di hari pertamaku berangkat ke
sekolah.
20
Bab 2
Sekolah Seberang
Aku duduk di bangku panjang
paling depan, deretan kedua dari dekat
meja guru, vas bunga yang terdiri dari
tangkai bunganya yang terbuat dari
potongan sedotan plastik, bunganya dari
lipatan kertas kreps dan kertas warna yang
di bentuk dan di lem menggunakan lem
kertas, di samping kiri dinding terpampang
dengan foto bingkai dari beberapa wajah
yang asing bagiku, karena baru pertama
kali aku melihat foto-foto tersebut. Aku
yang terlambat datang ke sekolah karena
kecerobohanku, aku baru masuk sekolah
pada hari kedua.
Kami memiliki tiga lantai dengan
berjumlah delapan belas kelas, ada enam
Sekolah Dasar yaitu ; SDN 01, SDN 09 dan
21
SDN 011 untuk kelas pagi, sedangkan SDN
02, SDN 010 dan SDN 012 untuk kelas
siang, maka kami dari siswa seberang yang
masuk kelas pagi memiliki sebuah
kebanggaan karena track record prestasi
siswanya yang gemilang, di kampung kami
belum ada sekolah. Aku sesungguhnya
merasa cemas. Aku cemas karena melihat
Emak yang resah dan karena beban
ekonomi yang ditanggung seorang diri,
karena bapak tidak kunjung sembuh dari
penyakit kesadarannya. Tapi Emak tak
pernah gentar, tak tahu mengapa ? Emak
penuh keyakinan untuk menyekolahkan
anakku di sekolah yang terbaik ini, Emak
memasukkan aku pada kelas pagi.
Ibu Euis terdengar dengan lantang
dan kencang seperti suara kereta api listrik
yang berteriak kencang hampir tiga puluh
menitan sekali yang posisi relnya tepat
22
dibelakang sekolahku. Dengan
mengenakan batik berwarna kecoklatan
serta ornamen yang nampak indah, beliau
dengan ceria mengatur formasi kami
seperti mengatur strategi proses
pembelajaraan yang efektif melihat dan
mengamati tingkah laku anak-anak yang
punya ke khas-an tersendiri agar proses
belajar dan mengajar menjadi terarah.
Ibu Euis dengan wajah tersenyum
sumringah mengabsen kami satu persatu,
kenapa aku baru masuk hari ini, aku
mencoba menyambutnya dengan senyum
getir, aku menceritakan bahwa aku
kemarin tercebur di kali ketika hendak
berangkat ke sekolah. Dipanggil kami
persatu-satu dengan mengancungkan
tangan kanan kami.
Ucha (Musa Rustam), Ajat
(Muhammad Sudrajat), Holil (M Holil),
23
Maulana (Ahmad Maulana), Fadil
(Muhammad Fadil) dan Deni (Deni Bram)
adalah bocah-bocah yang penuh warna dan
kreatif, selain punya asal-usul yang
berbeda, keenamnya memang punya
ceritanya sendiri yang unik dengan
dinamika dan kekhas-annya masing-
masing. Ucha, bocah SD ini berasal dari
Betawi. Perawakannya kalem, putih tapi
agak penakut. Oleh sahabatnya dia sebut
sebagai inspirator kelompoknya. Meski
masih bocah, dia memiliki mimpi yang
luhur untuk memperbaharui kampungnya.
Ada juga Ajat. Dia anak Sunda yang punya
cita-citanya ingin jadi Teknokrat. Ayahnya
yang tukang ayam di Pasar Jatinegara
sangat mendukung anaknya agar terus
belajar, bekerja dan berkarya.
Deni, anak asal Ambon Padang ini
tergolong unik. Anak kali yang memiliki
24
kulit hitam ini, dengan senyumnya yang
hitam manis, anak yang paling jenius
diantara kita yang memiliki cita-cita
menjadi dosen. Holil tak kalah seru. Dia
berasal dari keturunan Arab sunda. Yang
senang dengan musik marawis, suka
mengajarkan kita teknik ilmu dagang dari
negeri arab. Lainnya ada Fadil, yang
bersepupuan dengan Holil dan Ajat yang
jago tendangan saltonya dalam permainan
futsal. Yang tak kalah menarik adalah Reni
(Reni Anggraini), dara berdarah Sumedang
anak dari pemilik warung kelontong yang
termasyhur di kampung kami.
25
Bab 3
Kampung Banjir
Tak sukar menggambarkan kampung
kami, karena kampung kami adalah
kampung yang terkenal dengan banjir di
setiap musim penghujan tiba. Dengan
kondisi curah hujan yang tinggi dan terus
menerus apabila intensitas mencapai 150
mm/hari baik di hulu bogor maupun di
hilir Jakarta, kampung kami di pastikan
terkena banjir. Aku berasal dari
permukiman kumuh bantaran kali, yang
merupakan permasalahan klasik yang
sejak lama telah berkembang di kota-kota
besar. Permasalahan permukiman kumuh
26
tetap menjadi masalah dan hambatan
utama bagi pengembangan kota.
Laju perkembangan kota Jakarta
yang semakin pesat membuat pemanfaatan
lahan yang semakin kompetitif, sedangkan
di sisi lain, perkembangan kota menjadi
daya tarik urbanisasi yang pada akhirnya
menyebabkan tingginya tingkat permintaan
akan tempat tinggal di dalam kota. Selain
itu, pesatnya perkembangan penduduk
perkotaan tersebut yang umumnya berasal
dari urbanisasi tidak selalu dapat
diimbangi oleh kemampuan pelayanan kota
sehingga telah berakibat pada semakin
meluasnya lingkungan permukiman
kumuh. Kampung yang tak pernah luput
dari tempat persinggahan arus urbanisasi.
Kampung kami memiliki dua RW
yang lumayan padat penduduknya, di
kampung kami sudah menjadi langganan
27
setiap tahunnya karena kampung kami
terletak di dataran sangat rendah, yang
bentuk kampungnya bila dilihat dari atas,
serupa tapal kuda dikelilingi oleh sungai
Ciliwung sepanjang kampung. Banjir
menjadi sudah biasa, kampung yang
berdampingan dengan banjir yang sudah
dianggap menjadi konsekwensi dari musim
hujan yang melanda, ketika di daerah
puncak hujan lebat, sekitar delapan
sampai dengan sembilan jam kemudian
banjir akan menggenangi kampung kami,
hingga mencapai kedalaman dua meter.
Kami mencoba bertahan dengan banjir
menjadi potret tiap tahun musim
penghujan di Kampung kami.
Aku kelas enam SD tepat tahun
1996, kampung kami dilanda kebanjiran
yang sangat besar. Bahkan Pasar Proyek
Jatinegara tempat aku bermain bola ketika
28
malam hari ikut terkena banjir walau
hanya semata kaki. Bapak, Emak dan
ketiga adikku sibuk menyelamatkan harta
benda kami. Semua tetangga pun sibuk
dengan menaikkan barang-barang
berharga ke lantai dua rumah mereka.
Semua dipusingkan bagaimana agar harta
tidak terbawa banjir dan keharusan kami
untuk mengungsi.
Mereka mencoba bertahan dengan
segala kemampuan mereka. Air tergenang
di mana-mana membuat kampung kami
menjadi kolam renang raksasa dengan air
kecoklatan, seperti macam tempat
permainan orang-orang dewasa yang lalu
lalang dengan berenang.
Aku mencoba menyikapi segala
sesuatunya dengan positif, keadaan serba
sulit ini membuat Aku kecil mencoba
bangkit dari keterpurukan, menjalani
29
kehidupan sebagai pengungsi banjir
dijalani dengan senyum dan sabar, dalam
wajah kesedihan yang tercermin
terkandung sebuah harapan dan impian,
ketika melihat para Fasilitator dari mbak-
mbak trauma healling dalam menghibur
kami anak-anak korban banjir, mereka
menyatakan bahwa semua bencana dan
duka itu pasti ada hikmahnya, jadi adik-
adik tidak perlu takut, dibalik setiap ujian
dan bencana, semua itu pasti ada sesuatu
yang indah kelak.
Ku coba merenung dan selalu
menanamkan mimpi dan khayalanku,
nanti kelak aku dewasa akan menjadi
seseorang yang bermanfaat untuk orang
lain, mimpi dan hati kecil yang mulia itu
lahir dari sebuah keprihatinan akan
pengalaman diri sendiri, dengan segala
keterbatasan dan kekurangan, aku harus
30
terus berjuang mencoba mencapai mimpi
dan harapan dengan selalu belajar dan
bekerja keras serta berjualan, suatu saat
nanti aku akan menjadi orang yang
berguna.
Aku menjalankan kehidupan yang
sangat pahit di karenakan aku adalah anak
pertama dengan tiga bersaudara yang
menjadi tanggungjawabku kelak,
perjuangan itu di mulai dari Aku duduk
dibangku kelas 3 SD, aku harus berjualan
mengelilingi Kampung Pulo hingga
menyeberang kampung dengan bantuan
getek. Aku mencoba menjajakan
daganganku sambil meneriakkan :
“sate ayam “...
”ucus goreng...
“kepala ayam”...
begitulah teriakanku dengan suaranya
yang lantang.
31
Aku mencoba menapakkan semangat
dan senyumku berusaha membantu Emak.
Di karenakan Bapak tidak bisa bekerja
memberi nafkah untuk keluarga di
karenakan sakit yang tak kunjung sembuh
dari kesadarannya, aku pun tak pernah
mengerti kenapa Bapak hanya diam dan
membisu, pernah aku menanyakan apa
yang terjadi sama Bapak dengan Emak.
Emak pun hanya terdiam dan menangis.
Hari demi hari, Aku menapaki setiap
jalan becek, dari satu gang ke gang yang
lain, masuk kampung keluar kampung
berkeliling menjajaki daganganku,
mencoba mencari penghasilan untuk
kebutuhan adik-adikku yang masih kecil.
Aku mencoba berjuang dengan penuh
keyakinan suatu saat nanti aku bisa
sukses menjadi seorang prajurit ABRI. Iya,
cita-cita yang hampir umum untuk anak
32
laki-laki kala itu, menjadi seorang prajurit
gagah dan berani membela negara dan
bangsa.
Sepulang sekolah dengan getek
bersama-sama teman menyebrangi sungai
Ciliwung yang membatasi antara Kampung
Pulo dengan Bukitduri. Aku mencoba
mandiri tanpa di suruh Emak, aku
berinisiatif berjualan setiap hari pulang
sekolah, dengan berbeda-beda barang yang
aku pernah jual, mulai dari makanan
berupa sate ayam goreng, putu mayang,
tempe goreng dan risol goreng pernah aku
jajakan, Aku kecil sangat bahagia, apabila
musim banjir pun melanda, di karenakan
sekolah menjadi libur. Keuntungannya di
bilang lumayan dua kali lipat karena
hampir semua orang membeli makanan
yang dijajakan, di karenakan semua berasa
lapar ketika banjir, karena hampir semua
33
keluarga tidak bisa memasak karena
banjir, sehingga penghasilanku dibilang
lumayan karena itu.
34
Bab 4
Keturunan Delapan
Semua itu berawal dari pernyataan Kakek
yang sangat sayang dengan cucunya yang
di pesankan oleh Bapak, kata-kata itu
terus terngiang ;
“Ucha harta kakek tujuh turunan tidak akan
pernah habis-habis di makan semua
keluarga hingga tujuh turunan”.
Ingatan masa kecil yang terus
ditanamkan sama Kakek melalui Bapak,
menjadi cambuk luar biasa, aku sering
diejek-ejek sama teman sepermainan ku
35
karena dianggap menjadi anak sial, karena
aku adalah anak keturunan delapan.
“anak keturunan delapan”
“Ucha anak keturunan delapan” wkwkwk
sambil tertawa dan terbahak-bahak semua
menertawakan diriku” mereka mengejek
berramai-ramai.
“dasar anak keturunan delapan
sih,,,sialkan jadinya keluarga kamu tuh,
ayo jangan ditemenin anak sial itu anak
keturunan delapan”.
Sungguh sangat menyedihkan sekali aku
ketika itu, aku dianggap menjadi anak sial,
karena aku keturunan delapan, yang
menyebabkan kesulitan ekonomi
keluargaku, dikarenakan kehadiranku
36
yang membuat semuanya menjadi hancur,
tanah yang begitu luas, rumah yang begitu
banyak, sampai dengan warung habis tak
bersisa, yang ada hanya cerita dan
kenangan, semua itu habis dan tanpa
bekas. Aku pun tidak mengerti mengapa
semua itu terjadi, apakah benar itu
memang semua karena penyebabnya
karena aku, sungguh luar biasa mata air
ku tak terbendung, meratapi begitu
malangnya aku, tidak banyak yang mau
berteman dengan ku kala itu, karena
dianggap menjadi sebuah musibah karena
kelahiranku.
Emakkulah yang menjadi
penyemangat ku dalam membangkitkan
semuanya dari keterpurukan mental dan
percaya diri yang begitu hancur.
37
“Ucha, yang sabar yah, Emak tahu Ucha
sedih dengan kelakuan teman-teman Ucha,
janganlah kamu bersedih, anakku
semuanya itu sudah diatur sama Allah
SWT, jadi Ucha jangan bersedih, suatu saat
nanti Ucha akan menjadi orang hebat
karena kesabaran dan kerja keras Ucha
dalam menghadapi cobaan hidup ini”
“Emak hanya bisa mendoakan kelak
engkau jadi orang yang berguna dan orang-
orang akan melihat karyamu akan berguna
untuk orang lain, ketika kamu tetap sabar
dan menjalankan cobaan dari Allah dan
kamu tetap tidak sombong ketika kamu
sukses „nak”.
“Percayalah „nak sebuah kesuksesan itu
kelak akan kamu raih dengan kerja keras
dan senyummu akan bermanfaat untuk
38
mereka, jadikanlah masa-masa sulit ini
menjadi pembelajaran yang terus kamu
ingat, di saat kamu pun di atas kamu tidak
akan pernah sombong, karena
kesombongan kamu itu justru akan
menghancurkan diri kamu sendiri”
“Emak sangat sayang sekali dengan Ucha,
terima kasih banyak yah „nak, waktu
bermainmu, kamu menjadi berjualan setiap
hari demi kebutuhan hidup kita sehari-hari”
Air mataku tak tahu kenapa menetes deras
membasahi tangan Emak, Emak pun sama
meneteskan air mata, kami larut dengan
air mata sebuah harapan, suatu saat nanti
aku yakin menjadi orang sukses. Itulah
emosi yang sangat menemaniku kuat
dalam menapaki hidup dengan harapan
serta doa dari Emak.
39
Bab 5
Adik Sarah
Aku dengan suka cita bersama Ajat, Holil,
Fadil, dan Maulana sibuk berenang di air
yang kotor memakai ban bekas mobil. Kami
tidak pernah peduli kuman penyakit akan
menempel dikulit, berenang dan bermain
air sampai kulit kami mengkerut.
Walaupun kami harus membersihkan
sampah yang berserakan didalam rumah
atau lumpur akibat kemasukan luapan air
tak diundang. Bahkan ketika kami harus
mengungsi. Kami bersama-sama warga
sekampung tidur dalam tenda berramai-
ramai, makan bersama dari dapur umum
seperti acara perkemahan pramuka
Perjusami (Perkemahan Jumat Sabtu dan
40
Minggu) yang di lakukan di Bumi
Perkemahan Cibubur. Wajah orangtua
kami mendung seperti langit di bulan
Januari atau gerutuan tentang bantuan
yang sedikit dari pemerintah.
Di pengungsian kami bertemu
dengan Adik Sarah yang berumur delapan
tahun, Adik Sarah kaki kanannya
mendadak lumpuh dan layu. Tidak bisa
menyangga tubuhnya lagi. Bahkan untuk
dia berjalan pun harus diseret kakinya.
Menurut Dokter Puskesmas yang ada di
pengungsian dia terserang penyakit polio.
Sejak itu dia sangat membenci bulan
penghujan tiba. Dia tidak bisa berenang di
kolam raksasa saat air menggenangi
kampung. Dia merasa menjadi beban
untuk bapak dan kedua kakak laki-lakinya
saat harus mengungsi. Mereka terpaksa
harus menggendong atau memapah dalam
41
mengevakuasi dari rumah yang hampir
tenggelam.
Polio juga membuatnya berhenti
sekolah. Dia tidak tahan dengan ejekan
dari teman-teman yang menghina kakinya.
Setiap pulang sekolah dia selalu menangis
sedih. Bukan kehendaknya, kakinya
menjadi lumpuh layu. Apabila boleh
meminta, dia pun ingin kakinya normal
seperti anak-anak yang lain. Namun takdir
berkehendak lain. Dia harus hidup dengan
kaki yang harus diseret jalannya.
Kecacatannya menjadi bahan olok-olok
yang lucu bagi teman sekolahnya. Walau
guru sudah memarahi teman-teman yang
doyan menghinanya, mereka tidak jera
juga. Saat guru lengah, mereka terus
mengejek yang menghancurkan harga diri.
Satu-satunya jalan untuk menghentikan
42
penghinaan adalah dengan berhenti
sekolah.
Untuk mengisi waktu, Dia belajar
menjahit pada ibunya yang memang
seorang tukang jahit. Kami sangat iba
sekali dengan kondisi Adik Sarah, kami
mencoba menghiburnya, memberikan
semangat agar dia bisa bangkit dari mental
yang terpuruk akibat musibah penyakitnya
itu. Adik Sarah tak perlu malu harus
bertemu dengan orang asing. Tatapan
kasihan atau menghina selalu diterimanya.
Polio membuatnya menjadi beban
bapak dan kedua kakak laki-lakinya saat
banjir datang. Mereka harus menggendong
atau mendukung untuk mengevakuasi dari
rumah yang hampir tenggelam. Udara
dingin dan lembab membuat kaki
kanannya semakin ngilu untuk digerakkan.
43
Januari, puncaknya musim penghujan
sungguh menyiksanya.
Aku juga dan teman-teman tak
nyaman berada di pengungsian. Bercampur
baur dengan banyak manusia yang
beragam watak dan sifatnya membuat kita
harus mengontrol emosi dengan ketat.
Amarah gampang sekali tersulut. Mungkin
karena rasa lelah, capek dan putus asa
bercampur aduk membuat kesabaran
makin menipis. Belum lagi makanan di
pengungsian yang selalu kurang atau telat
datang, tidur yang tak bisa nyenyak karena
bayi dan anak kecil yang sibuk menangis di
malam hari karena kedinginan dan
kelaparan, saling berebut menerima
bantuan menjadi cerita suram di
pengungsian.
Bertahan di rumah yang kebanjiran
juga bukan pilihan. Saat malam harus
44
bergelap-gelapan karena tidak ada aliran
listrik. PLN sengaja memutus aliran listrik
ke daerah yang tergenang banjir biar tidak
terjadi korsleting. Tidak ada akses
informasi. Tidak bisa kemana-mana kecuali
memakai perahu. Ditambah lagi susahnya
mendapatkan bahan makanan untuk
mengganjal perut. Betul-betul seperti buah
simalakama.
Pernah ada kerabat yang datang dari
kampung bertanya kepada Emak mengapa
kami tidak pindah saja dari daerah ini.
"Sudah tahu tiap tahun kebanjiran kenapa
tidak pindah ke tempat lain saja yang bebas
banjir?"
Emak menghela nafas panjang, "Ini
Jakarta. Harga tanah di sini lebih tinggi dari
harga emas. Harga tanah di daerah yang
langganan banjir saja sudah mencekik
leher, apalagi di kawasan yang katanya
45
bebas banjir. Kami tetap bertahan disini
karena tidak ada pilihan lain!"ujar Emak
dengan nada prihatin.
Rumah bertingkat dua di
kampungku bukan barang mewah tapi
lebih sebuah kebutuhan. Untuk
menyelamatkan perabotan dan nyawa.
Ketika hujan turun dengan deras, Emak
dan ketiga adikku sibuk mengangkuti
perabotan ke lantai dua. Bersiap-siap
menghadapi banjir yang sewaktu-waktu
bisa datang kapan saja.
Saat banjir besar Tahun 1996, Aku
ingat dengan detail peristiwa yang menjadi
latar belakangnya. Banjir hampir
menenggelamkan kediamanku, air yang
masuk tingginya lebih dari dua meter, aku
dan Emak beserta adik-adik serta Bapak
memilih bertahan di lantai dua...Emak
46
tahu bahwa aku dan adik-adik tidak
nyaman berada dipengungsian.
Aku dan Emak harus berpuasa.
Tidak ada lagi yang bisa dimakan dan
diminum dirumah ini. Doa-doa terus
dipanjatkan agar ada cepat datang
pertolongan. Sepertinya doaku tertahan di
langit, belum juga menampakkan ada
hasilnya. Airmata sudah tumpah di pipi.
Panik, sedih, kedinginan serta lapar yang
mendera membaur jadi satu memunculkan
putus asa. Di saat aku hampir kehilangan
harapan, Allah mengirimkan
pertolongannya. Petugas dari SAR yang
menyisir perkampungan menemukan kami
yang lagi meringkuk kedinginan. Suara
memanggil dari Toa berwarna krem.
47
“Kepada semua warga agar segera
mengungsi karena debit air akan semakin
tinggi, demi keselamatan saudara-saudara
semua harus kami ungsikan ketempat yang
lebih aman”
Aku segera mengiyakan ucapan seorang
anggota SAR yang tertulis di dadanya yang
berwarna orange.
“Kami mau mengungsi pak, tolong kami”
teriakku bersama-sama keluargaku.
Bertahan di rumah yang dikepung banjir
bukan karena takut meninggalkan harta
benda. Tidak ada barang berharga di
rumah ini. Lilin menjadi penerang saat
malam tiba. Dingin, lembap dan sepi yang
mencekam membuatku terus memeluk erat
Emak bersama adik-adikku. Untuk mengisi
48
perut, kami mengandalkan mie instan.
Namun ketika minyak tanah dan
persediaan air bersih menipis, aku dan
Emak menjadi panik. Sementara Bapak
hanya terdiam tak pernah mengerti dengan
keadaan sekitanya, beliau hanya diam dan
sesekali tersenyum sendiri, yang kita tak
pernah mengerti apa yang terjadi padanya.
"Cepat pakai jaket ini biar hangat,"
ujar seorang petugas yang memakai topi
pet berwarna hitam. Ia melepaskan jaket
yang dipakainya dan menyerahkannya
kepadaku.
Dibantu Emak, aku dan adik-adikku serta
bapak langsung kenakan jaket yang
diberikannya. Petugas Basarnas itu
kemudian memapah Emak untuk menaiki
49
perahu karet. Masih sempat aku
mendengar Emak yang memohon kepada
petugas untuk membopongku dan adik-
adik ke perahu.
"Kenapa kalian tidak mengungsi?"
tanyanya. Aku bingung untuk mencari
jawaban. Untung Emak cepat mengambil
alih menjawab pertanyaannya.
"Maunya mengungsi tapi kami pikir banjir
tidak akan sebesar ini”. ujar Emak.
"Syukurlah kalian ditemukan, yang penting
sekarang kalian selamat" Petugas dengan
penuh syukur.
Aku dan Emak serta adik-adik langsung
berpelukan dan dihujani ciuman oleh
Emak.
50
MUSA RUSTAM
Dari Pegawai ke Novelis, Dari anak Kampung Pulo ke Tokyo
Musa Rustam, lahir di Jakarta.
Yang di panggil oleh teman-
temannya sebagai “anak kali”.
Lahir dari keluarga yang kurang
mampu tidak mengecilkan
hatinya untuk selalu berjuang
dan bermimpi, ia amat
menggemari ilmu komputer
yang dipelajari secara otodidak,
menjadi seorang PNS adalah
cita-cita Emaknya, mencoba
menyebarkan virus
pegawaiprenuer lewat
tulisannya.
Penulis multitalenta ini, pendiri DEEP OF TEEN
Corporate, sebuah perusahaan pembuatan
Merchandise & Souvenir Unik. Pegawai Negeri Sipil
yang sehari-hari bertugas di Kantor Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi DKI
Jakarta.
Menjadi anggota komunitas bisnis Pandu Wirausaha
dan Komunitas Tangan Diatas/TDA Jakarta Selatan
serta beberapa Komunitas Fotografer. Mulai
membuka bisnis DEEP OF TEEN pada 5 November
2010, menjadi Supplier Trans Studio Februari 2011.
Mulai mendapatkan beberapa penghargaan dalam
bisnis yaitu ;
 Sebagai Finalis Wirausaha Muda Mandiri Regional
Jabodetabek kategori Industri Kreatif dari Bank
Mandiri tahun 2011.
 Sebagai Finalis Indigo Fellowship kategori Web
51
Application dari PT. Telkom Indonesia tahun
2011.
 Sebagai Pemenang Kategori Kewirausahaan dalam
International Youth Muslim Creation dari
International Muslim Summit Student di ITB pada
Juli 2012.
 Juara 3 Lomba Inovasi Bisnis tingkat Nasional
dari Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik
Indonesia pada November 2012.
 Juara 2 Apresiasi Astra Socio Enterprenuer tahun
2012 dari PT. Astra International.
 5 besar Esai Terbaik Kompetisi Esai Nasional
Gebyar Pemuda Indonesia tahun 2013 di
Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Beberapa buku yang sudah di terbitkan secara self
publishing melalui nulisbuku.com antara lain;
Meraup Ratusan Juta Rupiah dari Bisnis Narsis,
Traveller Photography Anti Teler, dan Menjadi
Pegawaiprenuer Sukses.
Menjadi pembicara dan motivator menjadi kekuatan
yang diyakini memperkaya kehidupan manusia
dalam beraktivitas dan ini menjadi hobi yang akan
selalu menginspirasinya !!
Penulis dapat dikontak di Twitter @musajkcc

Enam prajurit ciliwung

  • 1.
    MUSA RUSTAM 6Prajurit Ciliwung Kepingmimpi anak kali Ciliwung dari Kampung Pulo sampai ke Kota Tokyo Penerbit Nulisbuku.com
  • 2.
    2 MUSA RUSTAM 6Prajurit Ciliwung Kepingmimpi anak kali Ciliwung dari Kampung Pulo sampai ke Kota Tokyo Penerbit Nulisbuku.com
  • 3.
    3 Enam Prajurit Ciliwung Oleh:Musa Rustam Copyright © 2014 by Musa Rustam Penerbit Nulisbuku.com Desain Sampul: Musa Rustam Diterbitkan melalui: Nulisbuku.com
  • 4.
    4 Buku ini kupersembahkanuntuk : Emakku Ibu Rinah, Guruku Ibu Euis, ustad Marzuki serta Enam sahabat masa kecilku anggota Prajurit Ciliwung dan Semua Warga Kampung Pulo Jatinegara Jakarta Timur
  • 5.
    5 Ucapan Terima Kasih... Ucapanterima kasih kusampaikan kepadaNYA, Segala puji saya panjatkan ke hadirat Allah SWT, berkat pertolongan dan hidayahnya. Kepada Nurul wanita setia pendampingku, sosok sangat bermakna yang selalu memberikan dukungan dengan inspirasinya yang luar biasa. Kepada putraku, Muhammad Hafiz Danish Veysa, yang senantiasa menjadi penerang dan pelipur lara dalam hidupku. Kepada orangtuaku, Mak Rinah, Bapak Rustam (Alm), Mama Mahirmani, Papa Adi Sucipto, yang telah memberikan cinta kasih dan dukungan yang sangat luar biasa kepadaku. Kepada Kalak, Para Kabid, Sekretaris dan rekan-rekan BPBD Provinsi DKI Jakarta, Rekan-rekan Satpol PP Provinsi DKI Jakarta, dosenku di STIA LAN Jakarta dan teman-teman baikku yang telah mendukungku selama ini serta Nulisbuku.com.
  • 6.
    6 Isi Buku Bab 1Murid Seberang Bab 2 Sekolah Seberang Bab 3 Kampung Banjir Bab 4 Keturunan Delapan Bab 5 Adik Sarah Bab 6 Ustad Marzuki Bab 7 The Flood Gates of Manggarai Bab 8 The Tower of Monas Bab 9 Jakarta kota Metropolitan Bab 10 13 Aliran Sungai Bab 11 SMA 8 Bab 12 Berjualan keliling kampung Bab 13 Buaya Buntung Bab 14 Festival Ciliwung Bab 15 Kantong Ajaib Bab 16 Jam Idaman Bab 17 Enam Prajurit Ciliwung dan Getek Bab 18 Kampung Ilmu Bab 19 Puisi cinta dan mahkluk tercantik
  • 7.
    7 Bab 20 Adacinta di Pabrik Tahu Bab 21 Regu terbaik Bab 22 Getek romantis Bab 23 Dalam Beduk Bab 25 Si Pitung Kampung Bab 26 Pulau Dream Bab 27 Reni Anggraini Bab 28 Orde Baru Bab 29 Deni Bram Bab 30 Negeri Impian-Jepang Bab 31 Deep Tunel & Tokyo Tower Glosarium Tentang Penulis Synopsis
  • 8.
    8 “Hidup adalah sebuahperjuangan. Tanpa kekuatan mimpi, manusia seperti kerbau yang bekerja tanpa tujuan. Allah menganugerahkan segala imajinasi dan mimpi sebagai kekuatan maha dahsyat didalam hati dan pikiran kita. Aku bersyukur karena sebuah mimpi itu kini membuatku menjadi manusia yang berarti...” Rustam, 1960 - 2006
  • 9.
    9 Bab 1 Murid Seberang Seninpagi itu, aku pertama kali berangkat ke sekolah di antarkan Emak. Kumpulan batang Pohon bambu yang kira-kira berjumlah 15 batang pohon bambu di ikat menjadi satu, tersusun rapi membentang menjadi sebuah getek yang membawaku. Emak di sebelahku, memegang erat pergelangan tanganku dengan tangan kanannya yang lembut. Emakku seorang perempuan berbadan kurus dan mungil. Wajahnya sekurus badannya, dengan sepasang mata yang bersih yang di naungi alis tipis. Mukanya selalu mengibarkan senyum ke siapa saja. Kalau keluar rumah selalu menggunakan baju kebaya
  • 10.
    10 yang dipadu dengankain atau rok panjang. Tidak pernah celana panjang. Kepalanya selalu ditutup turban dan di lehernya tergantung selendang. Emak tidak pernah menamatkan Sekolah Rakyatnya, ia sekolah hanya sampai kelas dua saja, di karenakan keluarganya masih berfikir sekolah tidak perlu tinggi–tinggi untuk anak perempuan, karena ujung-ujungnya pasti di dapur juga. Begitulah pemikiran yang masih terbenam sama di beberapa pemikiran orang-orang tua terdahulu, mereka belum mendapatkan virus semangat yang di bawa oleh Ibu Kartini, pentingnya emansipasi wanita bahwa pendidikan itu sangat penting untuk laki-laki dan perempuan. Di antara 5 gundukan batang yang tersusun di atas susunan 15 batang pohon bambu, di sela-sela tengah pada bagian
  • 11.
    11 depan di ikaterat menjadi penguat untuk di kendalikan, di ujung tali terikat di atas pohon waru dan di seberang satunya pun demikian terikat dengan pohon yang rindang, di ujung depan berdiri di atas getek yang diawaki seorang laki-laki yang berkopiah putih, sekuat tenaga menarik getek untuk membawa kami ke seberang. Laki-laki itu adalah seorang bapak tua berwajah penuh kesabaran, Pak Marzuki, sang penarik getek. Namun, senyum Pak Zuki adalah senyum yang getir penuh makna, karena terlihat sangat jelas kecemasan wajahnya penuh ketegangan dan keletihan sambil terengah-engah menarik nafas berulang kali. Sesekali menghitung jumlah penumpang yang naik di getek-nya. Ia begitu khawatir sehingga terkadang tak peduli pada peluh yang mengalir deras di
  • 12.
    12 lehernya. Bulir-bulir keringatyang bermunculan di seputar keningnya sebagai tanda perjuangan yang harus di kenakannya, membuat wajahnya terlihat semakin letih berbentuk raut kelelahan. “Sepuluh orang...sudah sepuluh orang pak...bu...dek...,sudah lewat kapasitas nanti terbalik...” katanya penuh kegusaran pada para penumpang getek-nya. Emak dengan penuh kehati-hatian menjagaku dari licinnya kumpulan bambu yang aku injak. Aku juga merasakan kecemasan. Aku cemas karena melihat aliran air kali Ciliwung sangat deras dan karena beban yang di rasakan Pak Zuki terlihat jelas, beberapa otot-otot yang mulai jelas menonjol di depan mataku. Meskipun beliau begitu tenang pagi ini tapi genggaman tangannya yang melingkari tali
  • 13.
    13 tambang kemudi getek,tetap saja tidak dapat aku pungkiri degup jantungku terasa cepat, pertama kalinya aku menyeberang kali, aku tahu beliau sedang tidak gugup ataupun grogi karena hal ini sudah menjadi rutinitas beliau setiap hari, pria berusia lima puluh tahunan itu, seorang buruh serabutan yang beranak banyak dengan penghasilan seadanya. Siang hari bekerja mencari nafkah untuk keluarga dengan menarik getek, mengumpulkan sisa-sisa sampah plastik yang di kumpulkan dari arus membawa sampah di Kali Ciliwung untuk di jual kembali kepada pengepul barang rongsokan dan ketika malam pun tiba beliau mengajarkan kami mengaji kepada anak-anak seumuranku. Getek pun sampai ke seberang, emak dan aku bergegas perlahan untuk turun melalui jembatan yang terbuat dari bambu
  • 14.
    14 di susun 4buah dan di ikat kuat menjuntai hingga menempel ke dasar kali serta mengarah ke dasar pelataran tanah yang agak tinggi dan becek. Ku coba melangkah dengan penuh perhatian dan perlahan, dengan tangan kiri memegang pagar jembatan dari bambu itu sambil di pegangi tangan kananku dengan emak. Tak tahu kenapa, aku seperti merasa bisa sendiri, tak ingin dipegangi, dan dengan bantuan Emak. “Emak, Ucha bisa kok....ga„ perlu dipegangin „mak” Emak tak sampai hati untuk melepaskan tangannya yang memegangi pergelangan tangan kananku. Tapi Emak pun akhirnya mengabulkan keinginanku, dengan mengalah karena percaya aku merasa bisa untuk menyeberangi jembatan bambu itu tanpa harus di peganginya.
  • 15.
    15 Ternyata dewi fortunatidak besertaku. Selang hanya beberapa detik saja, waktunya sangat cepat terjadi, tangan kananku di lepas emak, hanya satu langkah saja dari pegangan Emak, aku terpeleset jatuh masuk ke air kali berwarna kecoklatan penuh dengan sampah yang aliran airnya deras. “ Astagfirlohalazim, Ya Allah Ya Rabb....anak saya ke cemplung” “ Tolong...tolong...anak saya kecebur...Pak Zuki tolong.....” Teriak Emak yang panik, melihatku yang terpeleset jatuh masuk ke dalam air, sontak semua orang langsung tertuju ke sumber teriakan. Aku panik dengan gerakan yang tidak beraturan vertikal terbawa air memutar-mutar seperti
  • 16.
    16 pusaran air, pandangantidak jelas mana yang harus aku tuju. Ekspresi wajah emak yang panik memerah, seperti ada penyeselan karena telah melepas pergelangan tanganku. Aku belum bisa berenang, hanya berteriak sekencang-kencangnya meminta pertolongan dengan keadaan kadang mengambang timbul tenggelam, dengan secara refleks aku berusaha agar kepalaku selalu ada dipermukaan air untuk memberitahukan keberadaan diriku sehingga ada yang segera menolongku, arus air yang deras terus membawaku semakin jauh dari Emak. Pak Zuki dengan cekatan langsung nyebur ke arahku, dengan gaya front crawl perlahan tapi pasti mengejarku, kedua belah lengan secara bergantian di gerakkan jauh ke depan dengan gerakan mengayuh,
  • 17.
    17 sementara kedua belahkaki secara bergantian di cambukkan naik turun ke atas dan ke bawah. Posisi wajah Pak Zuki menghadap ke permukaan air, dengan pernapasannya di lakukan saat lengan di gerakkan ke luar dari air saat tubuhnya menjadi miring dan kepala berpaling ke samping. Sewaktu mengambil napasnya, ia bisa memilih untuk menoleh ke kiri atau ke kanan. Gaya berenangnya bisa membuat tubuhnya melaju lebih cepat di air untuk menjangkauku. Pak Zuki segera menghampiriku, dengan terengah-engah meraihku, aku yang sambil menangis dan pucat ketakutan, Pak Zuki seperti seorang water rescue dengan teknik pertolongan korban/evakuasi yang dilakukan di air, kemampuannya menolong untuk memilih dan menentukan kemampuan yang dimiliki
  • 18.
    18 seorang rescuer, denganmetode yang harus dilakukan untuk menolong harus bisa memilih metode pertolongan yang paling cepat dengan resiko yang kecil. Pengetahuan mengenai bahaya-bahaya ketika berada di air, contoh : panik, letih, kram arus air. Akhirnya, aku tersadar dan terbangun. Penglihatan maata dari mulai remang-remang menjadi terang, perlahan aku coba menggerakkan tanganku yang digenggam sama Emak. Air matanya diusap olehnya karena telah melihat aku tersadar dari pingsan. “ Emak, Ucha kenapa ?” tanyaku lirih karena masih mencoba mengingat-ngingat apa yang terjadi denganku. “ Iya, anakku kamu tadi terjatuh di kali ..sayang “
  • 19.
    19 “ tapi Alhamdulillahkamu enggak apa-apa „kan ?” sambil memegang badanku dan memeriksa dari mulai tangan, bahu dan kepala apakah aku memiliki luka, dengan wajah peluh kepanikan. “ Tapi Alhamdulillah kamu enggak apa-apa „kan ? “ lirih dilemparkan pertanyaan lagi untuk meyakinkan kalau aku tidak apa-apa. “Alham...dulillah Emak... alhamdulillah Emak... Ucha enggak apa- apa, Ucha hanya kaget dan panik, maafkan Ucha yah „Mak karena nakal tak mau dipegangi” Pak Zuki telah menyelamatkan nyawaku. Di hari pertama dalam sejarah hidup di hari pertamaku berangkat ke sekolah.
  • 20.
    20 Bab 2 Sekolah Seberang Akududuk di bangku panjang paling depan, deretan kedua dari dekat meja guru, vas bunga yang terdiri dari tangkai bunganya yang terbuat dari potongan sedotan plastik, bunganya dari lipatan kertas kreps dan kertas warna yang di bentuk dan di lem menggunakan lem kertas, di samping kiri dinding terpampang dengan foto bingkai dari beberapa wajah yang asing bagiku, karena baru pertama kali aku melihat foto-foto tersebut. Aku yang terlambat datang ke sekolah karena kecerobohanku, aku baru masuk sekolah pada hari kedua. Kami memiliki tiga lantai dengan berjumlah delapan belas kelas, ada enam Sekolah Dasar yaitu ; SDN 01, SDN 09 dan
  • 21.
    21 SDN 011 untukkelas pagi, sedangkan SDN 02, SDN 010 dan SDN 012 untuk kelas siang, maka kami dari siswa seberang yang masuk kelas pagi memiliki sebuah kebanggaan karena track record prestasi siswanya yang gemilang, di kampung kami belum ada sekolah. Aku sesungguhnya merasa cemas. Aku cemas karena melihat Emak yang resah dan karena beban ekonomi yang ditanggung seorang diri, karena bapak tidak kunjung sembuh dari penyakit kesadarannya. Tapi Emak tak pernah gentar, tak tahu mengapa ? Emak penuh keyakinan untuk menyekolahkan anakku di sekolah yang terbaik ini, Emak memasukkan aku pada kelas pagi. Ibu Euis terdengar dengan lantang dan kencang seperti suara kereta api listrik yang berteriak kencang hampir tiga puluh menitan sekali yang posisi relnya tepat
  • 22.
    22 dibelakang sekolahku. Dengan mengenakanbatik berwarna kecoklatan serta ornamen yang nampak indah, beliau dengan ceria mengatur formasi kami seperti mengatur strategi proses pembelajaraan yang efektif melihat dan mengamati tingkah laku anak-anak yang punya ke khas-an tersendiri agar proses belajar dan mengajar menjadi terarah. Ibu Euis dengan wajah tersenyum sumringah mengabsen kami satu persatu, kenapa aku baru masuk hari ini, aku mencoba menyambutnya dengan senyum getir, aku menceritakan bahwa aku kemarin tercebur di kali ketika hendak berangkat ke sekolah. Dipanggil kami persatu-satu dengan mengancungkan tangan kanan kami. Ucha (Musa Rustam), Ajat (Muhammad Sudrajat), Holil (M Holil),
  • 23.
    23 Maulana (Ahmad Maulana),Fadil (Muhammad Fadil) dan Deni (Deni Bram) adalah bocah-bocah yang penuh warna dan kreatif, selain punya asal-usul yang berbeda, keenamnya memang punya ceritanya sendiri yang unik dengan dinamika dan kekhas-annya masing- masing. Ucha, bocah SD ini berasal dari Betawi. Perawakannya kalem, putih tapi agak penakut. Oleh sahabatnya dia sebut sebagai inspirator kelompoknya. Meski masih bocah, dia memiliki mimpi yang luhur untuk memperbaharui kampungnya. Ada juga Ajat. Dia anak Sunda yang punya cita-citanya ingin jadi Teknokrat. Ayahnya yang tukang ayam di Pasar Jatinegara sangat mendukung anaknya agar terus belajar, bekerja dan berkarya. Deni, anak asal Ambon Padang ini tergolong unik. Anak kali yang memiliki
  • 24.
    24 kulit hitam ini,dengan senyumnya yang hitam manis, anak yang paling jenius diantara kita yang memiliki cita-cita menjadi dosen. Holil tak kalah seru. Dia berasal dari keturunan Arab sunda. Yang senang dengan musik marawis, suka mengajarkan kita teknik ilmu dagang dari negeri arab. Lainnya ada Fadil, yang bersepupuan dengan Holil dan Ajat yang jago tendangan saltonya dalam permainan futsal. Yang tak kalah menarik adalah Reni (Reni Anggraini), dara berdarah Sumedang anak dari pemilik warung kelontong yang termasyhur di kampung kami.
  • 25.
    25 Bab 3 Kampung Banjir Taksukar menggambarkan kampung kami, karena kampung kami adalah kampung yang terkenal dengan banjir di setiap musim penghujan tiba. Dengan kondisi curah hujan yang tinggi dan terus menerus apabila intensitas mencapai 150 mm/hari baik di hulu bogor maupun di hilir Jakarta, kampung kami di pastikan terkena banjir. Aku berasal dari permukiman kumuh bantaran kali, yang merupakan permasalahan klasik yang sejak lama telah berkembang di kota-kota besar. Permasalahan permukiman kumuh
  • 26.
    26 tetap menjadi masalahdan hambatan utama bagi pengembangan kota. Laju perkembangan kota Jakarta yang semakin pesat membuat pemanfaatan lahan yang semakin kompetitif, sedangkan di sisi lain, perkembangan kota menjadi daya tarik urbanisasi yang pada akhirnya menyebabkan tingginya tingkat permintaan akan tempat tinggal di dalam kota. Selain itu, pesatnya perkembangan penduduk perkotaan tersebut yang umumnya berasal dari urbanisasi tidak selalu dapat diimbangi oleh kemampuan pelayanan kota sehingga telah berakibat pada semakin meluasnya lingkungan permukiman kumuh. Kampung yang tak pernah luput dari tempat persinggahan arus urbanisasi. Kampung kami memiliki dua RW yang lumayan padat penduduknya, di kampung kami sudah menjadi langganan
  • 27.
    27 setiap tahunnya karenakampung kami terletak di dataran sangat rendah, yang bentuk kampungnya bila dilihat dari atas, serupa tapal kuda dikelilingi oleh sungai Ciliwung sepanjang kampung. Banjir menjadi sudah biasa, kampung yang berdampingan dengan banjir yang sudah dianggap menjadi konsekwensi dari musim hujan yang melanda, ketika di daerah puncak hujan lebat, sekitar delapan sampai dengan sembilan jam kemudian banjir akan menggenangi kampung kami, hingga mencapai kedalaman dua meter. Kami mencoba bertahan dengan banjir menjadi potret tiap tahun musim penghujan di Kampung kami. Aku kelas enam SD tepat tahun 1996, kampung kami dilanda kebanjiran yang sangat besar. Bahkan Pasar Proyek Jatinegara tempat aku bermain bola ketika
  • 28.
    28 malam hari ikutterkena banjir walau hanya semata kaki. Bapak, Emak dan ketiga adikku sibuk menyelamatkan harta benda kami. Semua tetangga pun sibuk dengan menaikkan barang-barang berharga ke lantai dua rumah mereka. Semua dipusingkan bagaimana agar harta tidak terbawa banjir dan keharusan kami untuk mengungsi. Mereka mencoba bertahan dengan segala kemampuan mereka. Air tergenang di mana-mana membuat kampung kami menjadi kolam renang raksasa dengan air kecoklatan, seperti macam tempat permainan orang-orang dewasa yang lalu lalang dengan berenang. Aku mencoba menyikapi segala sesuatunya dengan positif, keadaan serba sulit ini membuat Aku kecil mencoba bangkit dari keterpurukan, menjalani
  • 29.
    29 kehidupan sebagai pengungsibanjir dijalani dengan senyum dan sabar, dalam wajah kesedihan yang tercermin terkandung sebuah harapan dan impian, ketika melihat para Fasilitator dari mbak- mbak trauma healling dalam menghibur kami anak-anak korban banjir, mereka menyatakan bahwa semua bencana dan duka itu pasti ada hikmahnya, jadi adik- adik tidak perlu takut, dibalik setiap ujian dan bencana, semua itu pasti ada sesuatu yang indah kelak. Ku coba merenung dan selalu menanamkan mimpi dan khayalanku, nanti kelak aku dewasa akan menjadi seseorang yang bermanfaat untuk orang lain, mimpi dan hati kecil yang mulia itu lahir dari sebuah keprihatinan akan pengalaman diri sendiri, dengan segala keterbatasan dan kekurangan, aku harus
  • 30.
    30 terus berjuang mencobamencapai mimpi dan harapan dengan selalu belajar dan bekerja keras serta berjualan, suatu saat nanti aku akan menjadi orang yang berguna. Aku menjalankan kehidupan yang sangat pahit di karenakan aku adalah anak pertama dengan tiga bersaudara yang menjadi tanggungjawabku kelak, perjuangan itu di mulai dari Aku duduk dibangku kelas 3 SD, aku harus berjualan mengelilingi Kampung Pulo hingga menyeberang kampung dengan bantuan getek. Aku mencoba menjajakan daganganku sambil meneriakkan : “sate ayam “... ”ucus goreng... “kepala ayam”... begitulah teriakanku dengan suaranya yang lantang.
  • 31.
    31 Aku mencoba menapakkansemangat dan senyumku berusaha membantu Emak. Di karenakan Bapak tidak bisa bekerja memberi nafkah untuk keluarga di karenakan sakit yang tak kunjung sembuh dari kesadarannya, aku pun tak pernah mengerti kenapa Bapak hanya diam dan membisu, pernah aku menanyakan apa yang terjadi sama Bapak dengan Emak. Emak pun hanya terdiam dan menangis. Hari demi hari, Aku menapaki setiap jalan becek, dari satu gang ke gang yang lain, masuk kampung keluar kampung berkeliling menjajaki daganganku, mencoba mencari penghasilan untuk kebutuhan adik-adikku yang masih kecil. Aku mencoba berjuang dengan penuh keyakinan suatu saat nanti aku bisa sukses menjadi seorang prajurit ABRI. Iya, cita-cita yang hampir umum untuk anak
  • 32.
    32 laki-laki kala itu,menjadi seorang prajurit gagah dan berani membela negara dan bangsa. Sepulang sekolah dengan getek bersama-sama teman menyebrangi sungai Ciliwung yang membatasi antara Kampung Pulo dengan Bukitduri. Aku mencoba mandiri tanpa di suruh Emak, aku berinisiatif berjualan setiap hari pulang sekolah, dengan berbeda-beda barang yang aku pernah jual, mulai dari makanan berupa sate ayam goreng, putu mayang, tempe goreng dan risol goreng pernah aku jajakan, Aku kecil sangat bahagia, apabila musim banjir pun melanda, di karenakan sekolah menjadi libur. Keuntungannya di bilang lumayan dua kali lipat karena hampir semua orang membeli makanan yang dijajakan, di karenakan semua berasa lapar ketika banjir, karena hampir semua
  • 33.
    33 keluarga tidak bisamemasak karena banjir, sehingga penghasilanku dibilang lumayan karena itu.
  • 34.
    34 Bab 4 Keturunan Delapan Semuaitu berawal dari pernyataan Kakek yang sangat sayang dengan cucunya yang di pesankan oleh Bapak, kata-kata itu terus terngiang ; “Ucha harta kakek tujuh turunan tidak akan pernah habis-habis di makan semua keluarga hingga tujuh turunan”. Ingatan masa kecil yang terus ditanamkan sama Kakek melalui Bapak, menjadi cambuk luar biasa, aku sering diejek-ejek sama teman sepermainan ku
  • 35.
    35 karena dianggap menjadianak sial, karena aku adalah anak keturunan delapan. “anak keturunan delapan” “Ucha anak keturunan delapan” wkwkwk sambil tertawa dan terbahak-bahak semua menertawakan diriku” mereka mengejek berramai-ramai. “dasar anak keturunan delapan sih,,,sialkan jadinya keluarga kamu tuh, ayo jangan ditemenin anak sial itu anak keturunan delapan”. Sungguh sangat menyedihkan sekali aku ketika itu, aku dianggap menjadi anak sial, karena aku keturunan delapan, yang menyebabkan kesulitan ekonomi keluargaku, dikarenakan kehadiranku
  • 36.
    36 yang membuat semuanyamenjadi hancur, tanah yang begitu luas, rumah yang begitu banyak, sampai dengan warung habis tak bersisa, yang ada hanya cerita dan kenangan, semua itu habis dan tanpa bekas. Aku pun tidak mengerti mengapa semua itu terjadi, apakah benar itu memang semua karena penyebabnya karena aku, sungguh luar biasa mata air ku tak terbendung, meratapi begitu malangnya aku, tidak banyak yang mau berteman dengan ku kala itu, karena dianggap menjadi sebuah musibah karena kelahiranku. Emakkulah yang menjadi penyemangat ku dalam membangkitkan semuanya dari keterpurukan mental dan percaya diri yang begitu hancur.
  • 37.
    37 “Ucha, yang sabaryah, Emak tahu Ucha sedih dengan kelakuan teman-teman Ucha, janganlah kamu bersedih, anakku semuanya itu sudah diatur sama Allah SWT, jadi Ucha jangan bersedih, suatu saat nanti Ucha akan menjadi orang hebat karena kesabaran dan kerja keras Ucha dalam menghadapi cobaan hidup ini” “Emak hanya bisa mendoakan kelak engkau jadi orang yang berguna dan orang- orang akan melihat karyamu akan berguna untuk orang lain, ketika kamu tetap sabar dan menjalankan cobaan dari Allah dan kamu tetap tidak sombong ketika kamu sukses „nak”. “Percayalah „nak sebuah kesuksesan itu kelak akan kamu raih dengan kerja keras dan senyummu akan bermanfaat untuk
  • 38.
    38 mereka, jadikanlah masa-masasulit ini menjadi pembelajaran yang terus kamu ingat, di saat kamu pun di atas kamu tidak akan pernah sombong, karena kesombongan kamu itu justru akan menghancurkan diri kamu sendiri” “Emak sangat sayang sekali dengan Ucha, terima kasih banyak yah „nak, waktu bermainmu, kamu menjadi berjualan setiap hari demi kebutuhan hidup kita sehari-hari” Air mataku tak tahu kenapa menetes deras membasahi tangan Emak, Emak pun sama meneteskan air mata, kami larut dengan air mata sebuah harapan, suatu saat nanti aku yakin menjadi orang sukses. Itulah emosi yang sangat menemaniku kuat dalam menapaki hidup dengan harapan serta doa dari Emak.
  • 39.
    39 Bab 5 Adik Sarah Akudengan suka cita bersama Ajat, Holil, Fadil, dan Maulana sibuk berenang di air yang kotor memakai ban bekas mobil. Kami tidak pernah peduli kuman penyakit akan menempel dikulit, berenang dan bermain air sampai kulit kami mengkerut. Walaupun kami harus membersihkan sampah yang berserakan didalam rumah atau lumpur akibat kemasukan luapan air tak diundang. Bahkan ketika kami harus mengungsi. Kami bersama-sama warga sekampung tidur dalam tenda berramai- ramai, makan bersama dari dapur umum seperti acara perkemahan pramuka Perjusami (Perkemahan Jumat Sabtu dan
  • 40.
    40 Minggu) yang dilakukan di Bumi Perkemahan Cibubur. Wajah orangtua kami mendung seperti langit di bulan Januari atau gerutuan tentang bantuan yang sedikit dari pemerintah. Di pengungsian kami bertemu dengan Adik Sarah yang berumur delapan tahun, Adik Sarah kaki kanannya mendadak lumpuh dan layu. Tidak bisa menyangga tubuhnya lagi. Bahkan untuk dia berjalan pun harus diseret kakinya. Menurut Dokter Puskesmas yang ada di pengungsian dia terserang penyakit polio. Sejak itu dia sangat membenci bulan penghujan tiba. Dia tidak bisa berenang di kolam raksasa saat air menggenangi kampung. Dia merasa menjadi beban untuk bapak dan kedua kakak laki-lakinya saat harus mengungsi. Mereka terpaksa harus menggendong atau memapah dalam
  • 41.
    41 mengevakuasi dari rumahyang hampir tenggelam. Polio juga membuatnya berhenti sekolah. Dia tidak tahan dengan ejekan dari teman-teman yang menghina kakinya. Setiap pulang sekolah dia selalu menangis sedih. Bukan kehendaknya, kakinya menjadi lumpuh layu. Apabila boleh meminta, dia pun ingin kakinya normal seperti anak-anak yang lain. Namun takdir berkehendak lain. Dia harus hidup dengan kaki yang harus diseret jalannya. Kecacatannya menjadi bahan olok-olok yang lucu bagi teman sekolahnya. Walau guru sudah memarahi teman-teman yang doyan menghinanya, mereka tidak jera juga. Saat guru lengah, mereka terus mengejek yang menghancurkan harga diri. Satu-satunya jalan untuk menghentikan
  • 42.
    42 penghinaan adalah denganberhenti sekolah. Untuk mengisi waktu, Dia belajar menjahit pada ibunya yang memang seorang tukang jahit. Kami sangat iba sekali dengan kondisi Adik Sarah, kami mencoba menghiburnya, memberikan semangat agar dia bisa bangkit dari mental yang terpuruk akibat musibah penyakitnya itu. Adik Sarah tak perlu malu harus bertemu dengan orang asing. Tatapan kasihan atau menghina selalu diterimanya. Polio membuatnya menjadi beban bapak dan kedua kakak laki-lakinya saat banjir datang. Mereka harus menggendong atau mendukung untuk mengevakuasi dari rumah yang hampir tenggelam. Udara dingin dan lembab membuat kaki kanannya semakin ngilu untuk digerakkan.
  • 43.
    43 Januari, puncaknya musimpenghujan sungguh menyiksanya. Aku juga dan teman-teman tak nyaman berada di pengungsian. Bercampur baur dengan banyak manusia yang beragam watak dan sifatnya membuat kita harus mengontrol emosi dengan ketat. Amarah gampang sekali tersulut. Mungkin karena rasa lelah, capek dan putus asa bercampur aduk membuat kesabaran makin menipis. Belum lagi makanan di pengungsian yang selalu kurang atau telat datang, tidur yang tak bisa nyenyak karena bayi dan anak kecil yang sibuk menangis di malam hari karena kedinginan dan kelaparan, saling berebut menerima bantuan menjadi cerita suram di pengungsian. Bertahan di rumah yang kebanjiran juga bukan pilihan. Saat malam harus
  • 44.
    44 bergelap-gelapan karena tidakada aliran listrik. PLN sengaja memutus aliran listrik ke daerah yang tergenang banjir biar tidak terjadi korsleting. Tidak ada akses informasi. Tidak bisa kemana-mana kecuali memakai perahu. Ditambah lagi susahnya mendapatkan bahan makanan untuk mengganjal perut. Betul-betul seperti buah simalakama. Pernah ada kerabat yang datang dari kampung bertanya kepada Emak mengapa kami tidak pindah saja dari daerah ini. "Sudah tahu tiap tahun kebanjiran kenapa tidak pindah ke tempat lain saja yang bebas banjir?" Emak menghela nafas panjang, "Ini Jakarta. Harga tanah di sini lebih tinggi dari harga emas. Harga tanah di daerah yang langganan banjir saja sudah mencekik leher, apalagi di kawasan yang katanya
  • 45.
    45 bebas banjir. Kamitetap bertahan disini karena tidak ada pilihan lain!"ujar Emak dengan nada prihatin. Rumah bertingkat dua di kampungku bukan barang mewah tapi lebih sebuah kebutuhan. Untuk menyelamatkan perabotan dan nyawa. Ketika hujan turun dengan deras, Emak dan ketiga adikku sibuk mengangkuti perabotan ke lantai dua. Bersiap-siap menghadapi banjir yang sewaktu-waktu bisa datang kapan saja. Saat banjir besar Tahun 1996, Aku ingat dengan detail peristiwa yang menjadi latar belakangnya. Banjir hampir menenggelamkan kediamanku, air yang masuk tingginya lebih dari dua meter, aku dan Emak beserta adik-adik serta Bapak memilih bertahan di lantai dua...Emak
  • 46.
    46 tahu bahwa akudan adik-adik tidak nyaman berada dipengungsian. Aku dan Emak harus berpuasa. Tidak ada lagi yang bisa dimakan dan diminum dirumah ini. Doa-doa terus dipanjatkan agar ada cepat datang pertolongan. Sepertinya doaku tertahan di langit, belum juga menampakkan ada hasilnya. Airmata sudah tumpah di pipi. Panik, sedih, kedinginan serta lapar yang mendera membaur jadi satu memunculkan putus asa. Di saat aku hampir kehilangan harapan, Allah mengirimkan pertolongannya. Petugas dari SAR yang menyisir perkampungan menemukan kami yang lagi meringkuk kedinginan. Suara memanggil dari Toa berwarna krem.
  • 47.
    47 “Kepada semua wargaagar segera mengungsi karena debit air akan semakin tinggi, demi keselamatan saudara-saudara semua harus kami ungsikan ketempat yang lebih aman” Aku segera mengiyakan ucapan seorang anggota SAR yang tertulis di dadanya yang berwarna orange. “Kami mau mengungsi pak, tolong kami” teriakku bersama-sama keluargaku. Bertahan di rumah yang dikepung banjir bukan karena takut meninggalkan harta benda. Tidak ada barang berharga di rumah ini. Lilin menjadi penerang saat malam tiba. Dingin, lembap dan sepi yang mencekam membuatku terus memeluk erat Emak bersama adik-adikku. Untuk mengisi
  • 48.
    48 perut, kami mengandalkanmie instan. Namun ketika minyak tanah dan persediaan air bersih menipis, aku dan Emak menjadi panik. Sementara Bapak hanya terdiam tak pernah mengerti dengan keadaan sekitanya, beliau hanya diam dan sesekali tersenyum sendiri, yang kita tak pernah mengerti apa yang terjadi padanya. "Cepat pakai jaket ini biar hangat," ujar seorang petugas yang memakai topi pet berwarna hitam. Ia melepaskan jaket yang dipakainya dan menyerahkannya kepadaku. Dibantu Emak, aku dan adik-adikku serta bapak langsung kenakan jaket yang diberikannya. Petugas Basarnas itu kemudian memapah Emak untuk menaiki
  • 49.
    49 perahu karet. Masihsempat aku mendengar Emak yang memohon kepada petugas untuk membopongku dan adik- adik ke perahu. "Kenapa kalian tidak mengungsi?" tanyanya. Aku bingung untuk mencari jawaban. Untung Emak cepat mengambil alih menjawab pertanyaannya. "Maunya mengungsi tapi kami pikir banjir tidak akan sebesar ini”. ujar Emak. "Syukurlah kalian ditemukan, yang penting sekarang kalian selamat" Petugas dengan penuh syukur. Aku dan Emak serta adik-adik langsung berpelukan dan dihujani ciuman oleh Emak.
  • 50.
    50 MUSA RUSTAM Dari Pegawaike Novelis, Dari anak Kampung Pulo ke Tokyo Musa Rustam, lahir di Jakarta. Yang di panggil oleh teman- temannya sebagai “anak kali”. Lahir dari keluarga yang kurang mampu tidak mengecilkan hatinya untuk selalu berjuang dan bermimpi, ia amat menggemari ilmu komputer yang dipelajari secara otodidak, menjadi seorang PNS adalah cita-cita Emaknya, mencoba menyebarkan virus pegawaiprenuer lewat tulisannya. Penulis multitalenta ini, pendiri DEEP OF TEEN Corporate, sebuah perusahaan pembuatan Merchandise & Souvenir Unik. Pegawai Negeri Sipil yang sehari-hari bertugas di Kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi DKI Jakarta. Menjadi anggota komunitas bisnis Pandu Wirausaha dan Komunitas Tangan Diatas/TDA Jakarta Selatan serta beberapa Komunitas Fotografer. Mulai membuka bisnis DEEP OF TEEN pada 5 November 2010, menjadi Supplier Trans Studio Februari 2011. Mulai mendapatkan beberapa penghargaan dalam bisnis yaitu ;  Sebagai Finalis Wirausaha Muda Mandiri Regional Jabodetabek kategori Industri Kreatif dari Bank Mandiri tahun 2011.  Sebagai Finalis Indigo Fellowship kategori Web
  • 51.
    51 Application dari PT.Telkom Indonesia tahun 2011.  Sebagai Pemenang Kategori Kewirausahaan dalam International Youth Muslim Creation dari International Muslim Summit Student di ITB pada Juli 2012.  Juara 3 Lomba Inovasi Bisnis tingkat Nasional dari Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia pada November 2012.  Juara 2 Apresiasi Astra Socio Enterprenuer tahun 2012 dari PT. Astra International.  5 besar Esai Terbaik Kompetisi Esai Nasional Gebyar Pemuda Indonesia tahun 2013 di Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Beberapa buku yang sudah di terbitkan secara self publishing melalui nulisbuku.com antara lain; Meraup Ratusan Juta Rupiah dari Bisnis Narsis, Traveller Photography Anti Teler, dan Menjadi Pegawaiprenuer Sukses. Menjadi pembicara dan motivator menjadi kekuatan yang diyakini memperkaya kehidupan manusia dalam beraktivitas dan ini menjadi hobi yang akan selalu menginspirasinya !! Penulis dapat dikontak di Twitter @musajkcc