JIKA HADITS SHAHIH SALING
      BERTENTANGAN




                   MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Perkuliahan Pada Mata Kuliah
      Al Islam dan Kemuhammadiyahan Semester 1
                Tahun Akademik 2011/2012
          Disusun Oleh :
          Nama : SUEDI
          NIM     : 1120104010
BAB I
                     PENDAHULUAN
   A. Latar Belakang
Penetapan hadits sebagai sumber kedua ditunjukan oleh tiga hal, yaitu al-Qur`an
sendiri, kesepakatan (ijma`) ulama, dan logika akal sehat (ma`qul). Al-Quran
menekankan bahwa Rasul Saw berfungsi menjelaskan maksud firman-firman
Allah.
Mendasarkan pada firman Allah tersebut, maka tak
ada alasan bagi orang Islam untuk menafsirkan dan
menolak hadits Nabi karena eksistensi hadits telah
memperoleh justifikasi dari Alquran. Karena itu,
setiap upaya atau pemikiran untuk melepaskan
hadits sebagai sumber ajaran agama Islam
sebenarnya hal itu tidaklah dari sebuah pelecehan
terhadap Alquran dan pada gilirannya akan
memisahkan Alquran dari kehidupan umat Islam.
Dalam mempelajari hadits-hadits beberapa persoalan sering
 kita temukan adanya pertentangan antara hadits yang satu
dengan hadits yang lainnya. Apabila kita menemukan hadits-
 hadits yang saling bertentangan dengan hadits dlaif, tentu
 akan kita menangkan yang shahih. Atau hadits-hadits yang
saling bertentangan. Setelah diteliti, ternyata salah satunya
  bukan dari Nabi. Maka dengan mudah kita menyingkirkan
                      hadits tersebut.

     Ketika pertentangan yang kita hadapi antara
      hadits yang kualitas tingkatannya berbeda
       maka kita akan menjadikan hadits yang
      kualitasnya lebih tinggi kita jadikan hujjah.
Persoalan menjadi pelik ketika kita menemukaan
pertentangan antar hadits yang menjadi keutamaan
  kita dalam berhujjah yaitu pertentangan antara
     hadits yang sama-sama berkualitas shahih.
Mengingat pertentangan antara hadits shahih maka
       perlu adanya suatu pendekatan dalam
                   menyikapinya.
    Perlu adanya pendekatan maupun metodologi
    untuk mendudukan hadits-hadits shahih yang
    saling bertentangan, agar ummat Islam dapat
    beristinbath kepada hadits-hadits shahih yang
            saling bertentangan tersebut.
B. Identifikasi Masalah
   1.   Didapati adanya pertentangan antar hadits shahih
   2.   Sikap seorang muslim jika menemukan hadits shahih yang
        saling bertentangan
   3.   Pendekatan yang harus ditempuh dalam menghadapi hadits
        shahih yang saling bertentangan



  C. Batasan Masalah
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas, maka
penulis berikan batasan bahwa makalah ini akan
mengekspresikan tentang pendekatan yang dilakukan terhadap
hadits shahih yang tampak saling bertentangan
D. Rumusan Masalah
     1. Bagaimanakah sikap seorang muslim jika menemukan
        hadits shahih yang saling bertentangan ?
     2. Apakah pendekatan yang harus ditempuh dalam
        menghadapi hadits shahih yang saling bertentangan ?

E. Kegunaan Penulisan
1. Meningkatkan pemahaman tentang hadits shahih sebagi sumber hukum Islam
2. Menunjukkan sikap yang harus diambil oleh seorang muslim ketika
   menghadapi hadits shahih yang bertentangan
3. Memberikan pemahaman terhadap langkah pendekatan dalam menghadapi
   hadits shahih yang saling bertentangan
BAB II
                                       KERANGKA TEORI
A. Pengertian Hadits Shahih
hadits yang sanadnya bersambung dan diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah. Serta tidak ada cacat atau
kekurangan dalam hadits tersebut. Atau dalam istilah lain tidak termasuk hadits yang syadz dan
mu’allal.
         Tersambung sanadnya (ittisal as-sanad) artinya setiap hadits yang yang diriwayatkan
          oleh rowi kerowi di atasnya sehingga sambung dalam penerimaan haditsnya kepada
          Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, akan mengecualikan hadits yang munqoti',
          muaddlol, mullaq dan mursal.
         Diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah ('adil dan dhabit)
            Adil adalah sifat yang yang ada pada seseorang yang senantiasa mendorong untuk
                bertakwa dan menjaga kredibilitasnya. Ini terkait dengan dimensi moral spiritual.
            Dlabit adalah sifat terpercaya, hafal di luar kepala, mengetahui arti hadits,dan
                mampu untuk menceritakan setiap saat sesuai dengan redaksi saat ia menerima
                hadits. Dlabit sendiri dibagi menjadi tiga tingkatan:
            Tingkat pertama ( al-darojah al-ulya) yang ada pada 'adil dan dlobid
            Tingkat kedua (al-darojah al-wustho) tingkatan yang ada di bawahnya
            Tingkat ketiga (al-darojah al-dunya) bawah tingkat kedua.
         Hadits yang diriwayatkan bukan termasuk kategori hadits yang syadz
         Hadits yang diriwayatkan harus terbebas dari illat (cacat) yang dapat menyebabkan
          kualitas hadits menjadi turun.
B. Pertentangan Hadits Shahih
    Mukhtaliful Hadits



         Mukhtalaful Hadits



                   At Ta’arud
Usaha untuk mengumpulkan atau mentaufikan itu dinamakan
jama’ atau taufiq.
Apabila tidak dapat ditaufiqkan, sedang kedua-duanya sama
kuatnya maka hendaklah diperiksa sejarah wurudnya.
Jika mungkin diketahui sejarah wurudnya, maka hendaklah kita
pergunakan prinsip naskh, yaitu menjadikan hukum yang
pertama sudah dimansukhkan (dihapuskan) sedang nash yang
kedua menjadi penghapus (nasikh) dan yang dijadikan dasar.
Usaha ini dinamakan naskh.
Jika tetap tidak memungkinkan diketahui sejarah wurudnya,
hendaknya dipergunakan prinsip tarjih yaitu mencari jalan-
jalan yang dapat menguatkan salah satunya atas yang lain.
Usaha ini dinamakan tarjih. Jika usaha tarjih ini tidak dapat
dilakukan hendaklah bertawaquf lebih dulu.
Dalam pada itu sebagian ulama mendahulukan tarjih atas
jama’ kemudian naskh dan sebagaian yang lain
mendahulukan tarjih kemudian naskh dan jama’
C. Faktor Penyebab Perbedaan Hadits


     Faktor Internal Hadits (Al ‘Amil Al Dakhily)
Yaitu berkaitan dengan internal dari redaksi hadits tersebut. Bisaanya terdapat ‘illat
(cacat) didalam hadits tersebut yang nantinya kedudukan hadits tersebut
menjadi dha’if. Dan secara otomatis hadits tersebut ditolak ketika hadits tersebut
berlawanan dengan hadits shohih.
     Faktor Eksternal (al’ Amil al Kharijy)
Yaitu faktor yang disebabkan oleh konteks penyampaian dari Nabi, yang mana
menjadi ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu, dan tempat dimana Nabi
menyampaikan haditsnya.
     Faktor Metodologi (al Budu’ al Manhajy)
Yakni berkitan dengan cara bagaimana cara dan proses seseorang memahami
hadits tersebut. Ada sebagian dari hadits yang dipahami secara tekstualis dan belum
secara kontekstual yaitu dengan kadar keilmuan dan kecenderungan yang dimiliki oleh
seorang yang memahami hadits, sehingga memunculkn hadits-hadits yang mukhtalif.
     Faktor Ideologi
Yakni berkaitan dengan ideology suatu madzhab dalam memahami suatu hadits,
sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan dengan berbagai aliran yang sedang
berkembang .
BAB III
                                    PEMBAHASAN

A. Pendekatan Ahli Hadits
    1. Pendekatan dari Segi Sanad
        (1) sanad bersambung, (2) periwayat bersifat adil, (3) periwayat bersifat
        dhabit, (4) terhindar dari kejanggalan (syuzuz), (5) terhindar dari cacat
        (‘illat).
         Melihat unsur-unsur kaedah kesahihan hadits tersebut, maka para ulama
         hadits menilai bahwa hadits yang tidak memenuhi sebagian unsur-unsur di
         atas, maka dapat dinyatakan bahwa hadits itu tidak sahih.

    2. Pendekatan dari Segi Matan
    Al-Imam al-Tirmizi (W. 279 H) dalam menghadapi hadits yang mukhtalif telah
    menggunakan dua pendekatan, yaitu :
    •Melakukan penelitian permasalahan yang menjadi dasar ikhtilaf pada kedua
    hadits itu.
    •Mengadakan kompromi terhadap dua hadits yang pada lahirnya terdapat
    pertentangan.
    Dalam hal ini, Imam al-Tirmizi lebih menitik beratkan pada kebenaran material
    hadits yang dibahas
Ulama lainnya menempuh cara al-tarjih (penelitian untuk
mencari petunjuk yang memiliki argumen yang terkuat).
Dengan cara al tarjih itu, mungkin penyelesaian yang dihasilkan
berupa penerapan al-nasikh wa al-mansukh (yakni hadits yang
satu menghapuskan petunjuk hadits yang lainnya) ataupun al-
jam’u (pengkompromian, maksudnya, hadits-hadits yang
tampak bertentangan itu sama-sama diamalkan dengan
melihat seginya masing-masing)
Ibnu Hajar al-Asqalani menempuh empat tahap, yaitu: 1) Al-jam’u, 2) al-
nasikh wa al-mansukh, 3) al-tarjih, 4) altaufiq (menunggu sampai ada
petunjuk atau dalil lain yang dapat menyelesaikan atau menjernihkannya

 Ibnu Hazm secara tegas menyatakan bahwa matan-matan
 hadits yang bertentangan, masing-masing harus diamalkan.
 Ibnu Hazm menekankan perlunya penggunaan metode
 istisna’ (pengecualian) dala penyelesaian itu
Dari uraian tersebut di atas, tampak jelas bahwa terdapat
perbedaan cara penyelesaian yang ditempuh para ulama hadits,
termasuk urutannya. Walaupun begitu tidaklah berarti bahwa
hasil penyelesaiannya selalu berbeda. Perbedaan tahap cara
penyelesaiannya ternyata banyak juga membuahkan hasil yang
sama.
Adanya penyelesaian tersebut, memberi petunjuk bahwa secara
substantif sesungguhnya pertentangan hadits tidak ada.
B. ,Pendekatan Ahli Fiqh

  Ahli fiqh lebih menekankan pada kepentingan istimbath
  hukum



     1. Apabila dua hadits itu salah satunya mempunyai makna yang menyerupai
        makna hadits yang diriwayatkan oleh sahabat besar dan para mufti pada
        suatu negeri, maka hadits itu yang diutamakan menjadi hujjah.
     2. Dua hadits yang menurut lahirnya tidak terdapat cacat, adalah lebih baik
        diutamakan dijadikan hujjah, daripada sebuah hadits yang memiliki cacat.
     3. Hadits yang mempunyai makna dengan kitab Allah, lebih diutamakan
        dijadikan hujjah daripada hadits yang tidak demikian.
     4. Hadits yang diriwayatkan oleh orang terkenal dari segi isnad, ilmu dan
        hafalan, lebih diutamakan daripada yang lain.
     5. Apabila hadits itu sesuai maknanya dengan pendapat mazhab yang
        menyerupai makna Alquran atau menyerupai makna Sunnah Rasul yang
        lain, dapat pula sesuai dengan pengetahuan ulama terkenal atau qiyas yang
        lebih sahih, maka hadits itu lebih utama dijadikan hujjah.
1. Menggabungkan kedua hadits yang bertentangan dengan itu, menakwilkannya,
      dan mengkompromikan makna-maknanya.
   2. Jika penggabungan tidak memungkinkan, mereka menempuh metode naskh
      (pembatalan) yang satu me-naskh yang lain.
   3. Jika hal itu tidak dimungkinkan karena tidak ditemukan indikatornya, maka
      mereka menempuh metode tarjih (analisis) untuk menentukan mana hadits
      yang lebih kuat.




1. Meneliti dengan seksama kapan dan apa sebab hadits itu
   terjadi, serta kepada siapa ditujukan.
2. Mengkaji dalil-dalil lainnya, baik naqli maupun non naqli yang
   memiliki kaitan erat dengan hadits yang tampak bertentangan
   itu.
3. Diperlukan kegiatan ijtihad.
BAB IV
                                    PENUTUP
                                     Kesimpulan
1. Pertentangan hadits ada dua yaitu pertentangan lafaz hadits dan pertentangan
   pemahaman hadits (penafsiran hadits).
2. Dilihat dari substansinya, hadits-hadits Nabi tidak ada yang bertentangan, namun
   dalam kenyataannya ada berbagai matan hadits yang tampak bertentangan. Untuk
   menyelesaikan hadits yang bertentangan, para ahli hadits dan ahli fiqh, menempuh
   metode yang boleh dikatakan sama, yaitu:
    1.Al-tarjih (menganalisa, meneliti dan menentukan petunjuk hadits yang
    memiliki argumen yang lebih kuat).
    2.Al-jam’u (kedua hadits yang pertentangan dikompromikan atau sama-sama
    diamalkan sesuai konteksnya).
    3.Al-nasikh wa al-mansukh (petunjuk dalam hadits yang satu menyatakan
    sebagai penghapus sedang hadits yang lainnya sebagai yang dihapus).
    4.Al-taufiq (menunggu sampai ada petunjuk atau dalil lain yang dapat
    menjernihkan dan menyelesaikan pertentangan).
3. Dalam mengaplikasikan metode tersebut, khususnya mengkompromikan hadits
   yang bertentangan, cara yang ditempuh para ahli beragam, ada yang menempuh
   satu cara, ada yang menempuh lebih dari satu cara dengan urutan yang berbeda.
   Walaupun cara-cara penyelesaian para ahli beragam, tidaklah berarti bahwa
   hasil penyelesaian berbeda.
4. Secara teori para ahli hadits dan ahli fiqh dalam mengkompromikan hadits yang
   bertentangan tidak berbeda, namun dalam melihat hadits secara umum, terdapat
   perbedaan. Ahli hadits lebih menekankan pada aspek ideal moral sebagai
   panutan terhadap hadits Nabi. Ahli fiqh lebih menekankan pada kepentingan
   istimbath hukum. Selain itu ahli hadits cenderung memahami hadits Nabi secara
   tekstual, sedang ahli fiqh cenderung memahami secara kontekstual.
5. Bila ada hadits yang bertentangan, ahli hadits berusaha menyelesaikannya
   dengan mencari dalil-dalil yang lebih kuat.
6. Ahli hadits kadang-kadang mempertentangkan hadits shahih dan hadits tidak
   shahih (daif) untuk mempertahankan pendapatnya.

Jika Hadits Shahih Saling Bertentangan

  • 1.
    JIKA HADITS SHAHIHSALING BERTENTANGAN MAKALAH Disusun Guna Memenuhi Tugas Perkuliahan Pada Mata Kuliah Al Islam dan Kemuhammadiyahan Semester 1 Tahun Akademik 2011/2012 Disusun Oleh : Nama : SUEDI NIM : 1120104010
  • 2.
    BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penetapan hadits sebagai sumber kedua ditunjukan oleh tiga hal, yaitu al-Qur`an sendiri, kesepakatan (ijma`) ulama, dan logika akal sehat (ma`qul). Al-Quran menekankan bahwa Rasul Saw berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah.
  • 3.
    Mendasarkan pada firmanAllah tersebut, maka tak ada alasan bagi orang Islam untuk menafsirkan dan menolak hadits Nabi karena eksistensi hadits telah memperoleh justifikasi dari Alquran. Karena itu, setiap upaya atau pemikiran untuk melepaskan hadits sebagai sumber ajaran agama Islam sebenarnya hal itu tidaklah dari sebuah pelecehan terhadap Alquran dan pada gilirannya akan memisahkan Alquran dari kehidupan umat Islam.
  • 4.
    Dalam mempelajari hadits-haditsbeberapa persoalan sering kita temukan adanya pertentangan antara hadits yang satu dengan hadits yang lainnya. Apabila kita menemukan hadits- hadits yang saling bertentangan dengan hadits dlaif, tentu akan kita menangkan yang shahih. Atau hadits-hadits yang saling bertentangan. Setelah diteliti, ternyata salah satunya bukan dari Nabi. Maka dengan mudah kita menyingkirkan hadits tersebut. Ketika pertentangan yang kita hadapi antara hadits yang kualitas tingkatannya berbeda maka kita akan menjadikan hadits yang kualitasnya lebih tinggi kita jadikan hujjah.
  • 5.
    Persoalan menjadi pelikketika kita menemukaan pertentangan antar hadits yang menjadi keutamaan kita dalam berhujjah yaitu pertentangan antara hadits yang sama-sama berkualitas shahih. Mengingat pertentangan antara hadits shahih maka perlu adanya suatu pendekatan dalam menyikapinya. Perlu adanya pendekatan maupun metodologi untuk mendudukan hadits-hadits shahih yang saling bertentangan, agar ummat Islam dapat beristinbath kepada hadits-hadits shahih yang saling bertentangan tersebut.
  • 6.
    B. Identifikasi Masalah 1. Didapati adanya pertentangan antar hadits shahih 2. Sikap seorang muslim jika menemukan hadits shahih yang saling bertentangan 3. Pendekatan yang harus ditempuh dalam menghadapi hadits shahih yang saling bertentangan C. Batasan Masalah Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas, maka penulis berikan batasan bahwa makalah ini akan mengekspresikan tentang pendekatan yang dilakukan terhadap hadits shahih yang tampak saling bertentangan
  • 7.
    D. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah sikap seorang muslim jika menemukan hadits shahih yang saling bertentangan ? 2. Apakah pendekatan yang harus ditempuh dalam menghadapi hadits shahih yang saling bertentangan ? E. Kegunaan Penulisan 1. Meningkatkan pemahaman tentang hadits shahih sebagi sumber hukum Islam 2. Menunjukkan sikap yang harus diambil oleh seorang muslim ketika menghadapi hadits shahih yang bertentangan 3. Memberikan pemahaman terhadap langkah pendekatan dalam menghadapi hadits shahih yang saling bertentangan
  • 8.
    BAB II KERANGKA TEORI A. Pengertian Hadits Shahih hadits yang sanadnya bersambung dan diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah. Serta tidak ada cacat atau kekurangan dalam hadits tersebut. Atau dalam istilah lain tidak termasuk hadits yang syadz dan mu’allal.  Tersambung sanadnya (ittisal as-sanad) artinya setiap hadits yang yang diriwayatkan oleh rowi kerowi di atasnya sehingga sambung dalam penerimaan haditsnya kepada Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, akan mengecualikan hadits yang munqoti', muaddlol, mullaq dan mursal.  Diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah ('adil dan dhabit)  Adil adalah sifat yang yang ada pada seseorang yang senantiasa mendorong untuk bertakwa dan menjaga kredibilitasnya. Ini terkait dengan dimensi moral spiritual.  Dlabit adalah sifat terpercaya, hafal di luar kepala, mengetahui arti hadits,dan mampu untuk menceritakan setiap saat sesuai dengan redaksi saat ia menerima hadits. Dlabit sendiri dibagi menjadi tiga tingkatan:  Tingkat pertama ( al-darojah al-ulya) yang ada pada 'adil dan dlobid  Tingkat kedua (al-darojah al-wustho) tingkatan yang ada di bawahnya  Tingkat ketiga (al-darojah al-dunya) bawah tingkat kedua.  Hadits yang diriwayatkan bukan termasuk kategori hadits yang syadz  Hadits yang diriwayatkan harus terbebas dari illat (cacat) yang dapat menyebabkan kualitas hadits menjadi turun.
  • 9.
    B. Pertentangan HaditsShahih Mukhtaliful Hadits Mukhtalaful Hadits At Ta’arud
  • 10.
    Usaha untuk mengumpulkanatau mentaufikan itu dinamakan jama’ atau taufiq. Apabila tidak dapat ditaufiqkan, sedang kedua-duanya sama kuatnya maka hendaklah diperiksa sejarah wurudnya. Jika mungkin diketahui sejarah wurudnya, maka hendaklah kita pergunakan prinsip naskh, yaitu menjadikan hukum yang pertama sudah dimansukhkan (dihapuskan) sedang nash yang kedua menjadi penghapus (nasikh) dan yang dijadikan dasar. Usaha ini dinamakan naskh. Jika tetap tidak memungkinkan diketahui sejarah wurudnya, hendaknya dipergunakan prinsip tarjih yaitu mencari jalan- jalan yang dapat menguatkan salah satunya atas yang lain. Usaha ini dinamakan tarjih. Jika usaha tarjih ini tidak dapat dilakukan hendaklah bertawaquf lebih dulu.
  • 11.
    Dalam pada itusebagian ulama mendahulukan tarjih atas jama’ kemudian naskh dan sebagaian yang lain mendahulukan tarjih kemudian naskh dan jama’
  • 12.
    C. Faktor PenyebabPerbedaan Hadits Faktor Internal Hadits (Al ‘Amil Al Dakhily) Yaitu berkaitan dengan internal dari redaksi hadits tersebut. Bisaanya terdapat ‘illat (cacat) didalam hadits tersebut yang nantinya kedudukan hadits tersebut menjadi dha’if. Dan secara otomatis hadits tersebut ditolak ketika hadits tersebut berlawanan dengan hadits shohih. Faktor Eksternal (al’ Amil al Kharijy) Yaitu faktor yang disebabkan oleh konteks penyampaian dari Nabi, yang mana menjadi ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu, dan tempat dimana Nabi menyampaikan haditsnya. Faktor Metodologi (al Budu’ al Manhajy) Yakni berkitan dengan cara bagaimana cara dan proses seseorang memahami hadits tersebut. Ada sebagian dari hadits yang dipahami secara tekstualis dan belum secara kontekstual yaitu dengan kadar keilmuan dan kecenderungan yang dimiliki oleh seorang yang memahami hadits, sehingga memunculkn hadits-hadits yang mukhtalif. Faktor Ideologi Yakni berkaitan dengan ideology suatu madzhab dalam memahami suatu hadits, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan dengan berbagai aliran yang sedang berkembang .
  • 13.
    BAB III PEMBAHASAN A. Pendekatan Ahli Hadits 1. Pendekatan dari Segi Sanad (1) sanad bersambung, (2) periwayat bersifat adil, (3) periwayat bersifat dhabit, (4) terhindar dari kejanggalan (syuzuz), (5) terhindar dari cacat (‘illat). Melihat unsur-unsur kaedah kesahihan hadits tersebut, maka para ulama hadits menilai bahwa hadits yang tidak memenuhi sebagian unsur-unsur di atas, maka dapat dinyatakan bahwa hadits itu tidak sahih. 2. Pendekatan dari Segi Matan Al-Imam al-Tirmizi (W. 279 H) dalam menghadapi hadits yang mukhtalif telah menggunakan dua pendekatan, yaitu : •Melakukan penelitian permasalahan yang menjadi dasar ikhtilaf pada kedua hadits itu. •Mengadakan kompromi terhadap dua hadits yang pada lahirnya terdapat pertentangan. Dalam hal ini, Imam al-Tirmizi lebih menitik beratkan pada kebenaran material hadits yang dibahas
  • 14.
    Ulama lainnya menempuhcara al-tarjih (penelitian untuk mencari petunjuk yang memiliki argumen yang terkuat). Dengan cara al tarjih itu, mungkin penyelesaian yang dihasilkan berupa penerapan al-nasikh wa al-mansukh (yakni hadits yang satu menghapuskan petunjuk hadits yang lainnya) ataupun al- jam’u (pengkompromian, maksudnya, hadits-hadits yang tampak bertentangan itu sama-sama diamalkan dengan melihat seginya masing-masing) Ibnu Hajar al-Asqalani menempuh empat tahap, yaitu: 1) Al-jam’u, 2) al- nasikh wa al-mansukh, 3) al-tarjih, 4) altaufiq (menunggu sampai ada petunjuk atau dalil lain yang dapat menyelesaikan atau menjernihkannya Ibnu Hazm secara tegas menyatakan bahwa matan-matan hadits yang bertentangan, masing-masing harus diamalkan. Ibnu Hazm menekankan perlunya penggunaan metode istisna’ (pengecualian) dala penyelesaian itu
  • 15.
    Dari uraian tersebutdi atas, tampak jelas bahwa terdapat perbedaan cara penyelesaian yang ditempuh para ulama hadits, termasuk urutannya. Walaupun begitu tidaklah berarti bahwa hasil penyelesaiannya selalu berbeda. Perbedaan tahap cara penyelesaiannya ternyata banyak juga membuahkan hasil yang sama. Adanya penyelesaian tersebut, memberi petunjuk bahwa secara substantif sesungguhnya pertentangan hadits tidak ada.
  • 16.
    B. ,Pendekatan AhliFiqh Ahli fiqh lebih menekankan pada kepentingan istimbath hukum 1. Apabila dua hadits itu salah satunya mempunyai makna yang menyerupai makna hadits yang diriwayatkan oleh sahabat besar dan para mufti pada suatu negeri, maka hadits itu yang diutamakan menjadi hujjah. 2. Dua hadits yang menurut lahirnya tidak terdapat cacat, adalah lebih baik diutamakan dijadikan hujjah, daripada sebuah hadits yang memiliki cacat. 3. Hadits yang mempunyai makna dengan kitab Allah, lebih diutamakan dijadikan hujjah daripada hadits yang tidak demikian. 4. Hadits yang diriwayatkan oleh orang terkenal dari segi isnad, ilmu dan hafalan, lebih diutamakan daripada yang lain. 5. Apabila hadits itu sesuai maknanya dengan pendapat mazhab yang menyerupai makna Alquran atau menyerupai makna Sunnah Rasul yang lain, dapat pula sesuai dengan pengetahuan ulama terkenal atau qiyas yang lebih sahih, maka hadits itu lebih utama dijadikan hujjah.
  • 17.
    1. Menggabungkan keduahadits yang bertentangan dengan itu, menakwilkannya, dan mengkompromikan makna-maknanya. 2. Jika penggabungan tidak memungkinkan, mereka menempuh metode naskh (pembatalan) yang satu me-naskh yang lain. 3. Jika hal itu tidak dimungkinkan karena tidak ditemukan indikatornya, maka mereka menempuh metode tarjih (analisis) untuk menentukan mana hadits yang lebih kuat. 1. Meneliti dengan seksama kapan dan apa sebab hadits itu terjadi, serta kepada siapa ditujukan. 2. Mengkaji dalil-dalil lainnya, baik naqli maupun non naqli yang memiliki kaitan erat dengan hadits yang tampak bertentangan itu. 3. Diperlukan kegiatan ijtihad.
  • 18.
    BAB IV PENUTUP Kesimpulan 1. Pertentangan hadits ada dua yaitu pertentangan lafaz hadits dan pertentangan pemahaman hadits (penafsiran hadits). 2. Dilihat dari substansinya, hadits-hadits Nabi tidak ada yang bertentangan, namun dalam kenyataannya ada berbagai matan hadits yang tampak bertentangan. Untuk menyelesaikan hadits yang bertentangan, para ahli hadits dan ahli fiqh, menempuh metode yang boleh dikatakan sama, yaitu: 1.Al-tarjih (menganalisa, meneliti dan menentukan petunjuk hadits yang memiliki argumen yang lebih kuat). 2.Al-jam’u (kedua hadits yang pertentangan dikompromikan atau sama-sama diamalkan sesuai konteksnya). 3.Al-nasikh wa al-mansukh (petunjuk dalam hadits yang satu menyatakan sebagai penghapus sedang hadits yang lainnya sebagai yang dihapus). 4.Al-taufiq (menunggu sampai ada petunjuk atau dalil lain yang dapat menjernihkan dan menyelesaikan pertentangan).
  • 19.
    3. Dalam mengaplikasikanmetode tersebut, khususnya mengkompromikan hadits yang bertentangan, cara yang ditempuh para ahli beragam, ada yang menempuh satu cara, ada yang menempuh lebih dari satu cara dengan urutan yang berbeda. Walaupun cara-cara penyelesaian para ahli beragam, tidaklah berarti bahwa hasil penyelesaian berbeda. 4. Secara teori para ahli hadits dan ahli fiqh dalam mengkompromikan hadits yang bertentangan tidak berbeda, namun dalam melihat hadits secara umum, terdapat perbedaan. Ahli hadits lebih menekankan pada aspek ideal moral sebagai panutan terhadap hadits Nabi. Ahli fiqh lebih menekankan pada kepentingan istimbath hukum. Selain itu ahli hadits cenderung memahami hadits Nabi secara tekstual, sedang ahli fiqh cenderung memahami secara kontekstual. 5. Bila ada hadits yang bertentangan, ahli hadits berusaha menyelesaikannya dengan mencari dalil-dalil yang lebih kuat. 6. Ahli hadits kadang-kadang mempertentangkan hadits shahih dan hadits tidak shahih (daif) untuk mempertahankan pendapatnya.