1
Laporan Sistandu
PEMBUATAN PUPUK KOMPOS
Oleh:
LA ODE SYAWAL SULAEMAN
L1A1 15 166
JURUSAN PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2017
2
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campurab
bahan-bahan organik yang dapat dipercepat dengan secara artifial oleh populasi
berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan
aerobik atau anaerobik. Pengomposan adalah proses dimana bahan organik
mengalami penguraian secara biologis, khususnya oelh mikroba-mikroba yang
memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Membuat kompos adalah
mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk agar
kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi pembuatan campuran,
mengatur aerasi, dan penambahan activator pengomposan.
Limbah peternakan dan pertanian, bila tidak dimanfaatkan akan
menimbulkan dampak bagi lingkungan berupa pencemaran udara, air dan tanah,
menjadi sumber penyakit, dapat memacu peningkatan gas metan dan juga
gangguan pada estetika dan kenyamanan. Limbah peternakan selamai ini maasih
belum termafaatkan dengan baik sehingga menimbulkan bau yang dapat
menggannggu kesehatan masyarakat. Daur ulang limbah ternak mempunyai
peranan penting dalam mencegah terjadinya pencemaran lingkungan. Limbah
ternak sebagai hasil akhir dari usaha peternakan memiliki potensi untuk dikelola
menjadi pupuk organik seperti kompos yang dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan daya dukung lingkungan, meningkatkan produksi tanaman,
meningkatkan pendapatan petani dan mengurangi dampak pencemaran terhadap
lingkungan.
Masyarakat biasanya langsung menggunakan kotoran padat
kambingsebagai pupuk untuk tanaman tanpa melalui pengolahan terlebih
dahulu,sehingga tanaman yang dipupuk dengan kotoran padat kambing tidak
dapattumbuh dengan maksimal karena kotoran padat kambing memiliki struktur
yangcukup keras dan lama diuraikan oleh tanah. Unsur hara dalam kotoran
kambingN 2,10%, P2O50,66%, K2O 1,97%, Ca 1,64%, Mg 0,60%, Mn 233 ppm
dan Zn90,8 ppm (Semekto, 2006). Effective Microorganism–4 (EM4) akan
3
mempercepat fermentasi bahan organik sehingga unsur hara yang terkandung
akan cepat terserap dan tersedia bagi tanaman Penggunaan mikrobia terpilih EM4
dapat mempercepat dekomposisi bahan organikdari 3 bulan menjadi 7 – 14 hari.
Oleh karena itu penggunaan EM4 bertujuan untuk mempercepat proses fermentasi
dalam pengomposan.
Dalam pembuatan pupuk kompos masalah yang sering terjadi adalah
tingkat kematangan pupuk yang belum sempurna. Hal ini disebabkan oleh tingkat
kelembaban dan suhu dalam proses pembuatan tidak stabil. Penggunaan pupuk
kompos yang belum matang secara keseluruhan dapat menghambat pertumbuhan
tanaman dikarenakan kekurangan nitrogen tersedia. Sehingga diperlukannya suatu
sistem yang dapat mengatur proses pembuatan pupuk kompos.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka perlu dilakukan praktikum
mengenai pembuatan pupuk kompos.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam praktikum pembuatan pupuk kompos
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana proses pembuatan pupuk kompos?
2. Berapa suhu pupuk kompos yang optimal?
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum pembuatan pupuk kompos adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana proses pembuatan pupuk kompos
2. Untuk mengetahui suhu pupuk kompos yang optimak
1.4. Manfaat
Adapun manfaat dari praktikum pembuatan pupuk kompos adalah sebagai
berikut:
1. Dapat mengetahui proses pembuatan pupuk kompos
2. Dapat mengetahui suhu pupuk kompos
4
II. METODOLOGI PRAKTIKUM
2.1 Waktu Dan Tempat
Praktikum Nutrisi Ternak Dasar tentang “Pembuatan Pupuk Kompos”
dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 7 sampai 14 April 2018, bertempat di
Kandang atas Fakultas Peternakan Universitas Halu Oleo, Kendari
2.2 Alat Dan Bahan
Alat yang digunakan dalam perktikum pembuatan pupuk kompos dapat
dilihat pada tabel 1 berikut.
Tabel 1. Alat dan kegunaan
No Alat Kegunaan
1 Sekop Untuk mencampur bahan-bahan praktikum
2 Pacul Untuk mencampur bahan-bahan praktikum
3 Karung Untuk menyimpan kompos penutup kompos
4 Thermometer Untuk mengukur suhu kompos
5 Camera Untuk dokumentasi praktikum
6 Alat tulis Untuk menulis hasil pengamatan
7 Embe Untuk menyimpan air
8 Gunting Untuk menggunting karung
Bahan yang digunakan dalam praktikum pembuatan pupuk kompos dapat
dilihat pada tabel 2 berikut.
Tabel 2, bahan dan kegunaan
No Alat Kegunaan
1 Feses kambing Sebagai bahan pembuatan pupuk kompos
2 Serbuk gergaji Sebagai bahan pembuatan pupuk kompos
3 Daun gamal Sebagai bahan pembuatan pupuk kompos
4 Dedak Sebagai bahan pembuatan pupuk kompos
5 EM4 Sebagai bahan sumber mikroorganisme
6 Air Sebagai bahan pembuatan pupuk kompos
2.3 Prosedur kerja
prosedur kerja dalam praktikum pembuatan pupuk kompos adalah
sebagai berikut:
1. Menyiapkan alat dan bahaan yang digunakann dalam pembuatan kompos
2. Memisahkan daun gamal dari batangnya
5
3. Mencampur bahan berupa feses kambing, sekam gergaji, dedak, dan daun
gamal menjadi satu
4. Menyiramkan air yang mengandung EM4 ke dalam bahan hingga bahan
menjadi lembab
5. Membolak-balik bahan hingga merata
6. Menutup bahan dengan mengunakan karung agar proses penghancuran oleh
mikroba dapat terjadi secara cepat
7. Melakukan pengontrolan suhu setiap dua kali sehari
8. Membolak-balik bahan apabila suhu bahan mencapai suhu yang panas
9. Memasukan kompos yang telah jadi kedalam karung
6
III. TINJAUAN PUSTAKA
Kotoran kambing merupakan jenis pupuk panas dimana perubahan-
perubahan dalam penyediakan unsur hara bagi tanaman berlangsung cepat.
Kotoran kambing merupakan bahan yang menpunyai kandungan unsur hara
lengkap dengan proporsi yang berbeda dan saling melengkapi satu sama lain.
Selain memiliki unsur hara makro (Nirtogen, Fosfot, Kalium) kotoran kambing
juga mengandung unsur hara mikro (Kalium, Magnesium) yang menyediakan
unsur-unsur dan zat makanan bagi tanaman. Kotoran kambing memiliki kelebihan
yaitu memperbaiki unsur fisik, kimia serta biologis tanah, menaikan daya serap
tanah terhadap air (Sutejho, 2002).
Pupuk kotoan kambing mengandung nilai rasio C/N sebesar 21,12%,
selain itu kadar hara kotoran kambing mengandung N sebesar 1,4%, kandungan P
sebesar 0,54%, dan kandungan K sebesar 0,75%. Kotoran kambing mengandung
bahan organik yang dapat menyediakan zat hara bagi tanaman melalui proses
penguraian, proses ini terjadi secara bertahap dengan melepaskan bahan organik
yang sederhana untuk pertumbuhan tanaman, kotoran kambing mengandung
sedikit air sehingga mudah diurai (Pranata, Y. B, 2017).
Dedak padi merupakan hasil ikutan penggilingan padi yang berasal dari
lapisan luar beras pecah kulit dalam proses penyosohan beras. Dedak padi
mengandung energi metabolis sebesar 2980 kkal/kg, protein kasar 12,9%, lemak
13%, serat kasar 11,4%, Ca 0,07%, P 0,22%. C/N sebesar 36.
Gamal berasal dari wilayah kawasan pantai Pasifik Amerika Tengah yang
bermusim kering. Tanaman ini dapat tumbuh mulai dari dataran rendah hingga
ketinggian tempat 1.300 m dpl, beradaptasi di beberapa jenis tanah, termaksud
jenis tanah yang kurang subur. Batang gamal berukuran kecil hingga sedang,
tingginya dapat mencapai 1012 m, sering bercabang dari dasar dengan diameter
basal mencapai 50-70cm. Kulit batang halus dengan warna bervariasi, dari putih
abu-abu kemerah tua-coklat. Batang dan cabang-cabang pada umumnya ada
bercak putih kecil. Daun gamal menyirip ganjil, biasanya perpasangan sepanjang
sekitar 30cm melebar 5-20 cm, helai daun berbentuk ovale atau elips, panjang
7
daun 2-7cm,dan lebardaun 1-3cm. Helai daun, pelepah dan tulang belakang
kadang-kadang bergaris-garismerah. Bunga berwarna merah muda ke unguan,
sedikit warna putih, biasanyadengan titik kuning pucat menyebar di dasar
kelopak. Dasar kelopak bunga bulat dan hampir tegak, dengan ukuran sekitar 20
mm, panjang kelopak bunga 15-20 mm, dan lebarnya 4-7 mm. Pemanfaatan daun
gamal sebagai bahan baku pembuatan Mol karena daun gamal yang berumur satu
tahun mengandung 3-6% N, 0,31% P, 0,77% K, 15-30% SK, dan 10% abu K
(Sutanto, 2002).
Pupuk organik adalah pupuk yang terdiri dari bahan-bahan oganik yang
berasal dari sisa tanaman atau makhluk hidup yang telah mengalami perubahan
struktur dalam pembuatannya. Bahan-bahan organik yang terdapat pada pupuk
organik banyak mengandung unsur baik mikro maupun makro.
Pada umumnya bahan dasar pembembuatan pupuk organik adalah bahan-
bahan atau organisme yang telah mati. Bahan-bahan tersebut mudah didapatkan
disekitar kita, seperti limbah rumah tangga, sisa produk makanan, sampah basah
dan sebainya. Bahan yang terdapat pada pupuk organik berperan untuk
menyuburkan tanah serta pembentuk granulasi dalam tanah dan sangat penting
dalam pembentukan agregat tanah yang stabil (Murni, dkk, 2012).
Pupuk organik merupakan hasil akhir dan hasil antara dari hasil perubahan
atau penguraian bagian dari sisa tanaman dan hewan, pupuk organic berasal dari
bahan organic yang mengandung berbagai macam unsur meskipun ditandai
dengan adanya unsur nitrogen dalam bentuk persenyawaan organic sehingga
mudah diserap oleh tanaman. Pupuk kompos tidak meninggalkan sisa asam
anorgani di dalam tanah dan mempunyai kadar persenyawaan C-organik yang
tinggi. Pupuk organi kebanyakan tersedia dialam misalnya kompos, pupuk
kandang (Sumakto, 2006).
Dalam pembuatannya pupuk organik terdiri dari beberapa bahan alami
diantaranya kotoran ternak, jerami, arang sekam, air, bubuk gergaji, dan bakteri
aktifator. Pembuatan pupuk organik menggunakan bahan-bahan mengalami
berbagai perubahan reaksi kimia diantaranya.
8
a. Lemak, karbohidrat, selulosa, hemiselulosa, dan lilin berubah menjadi CO2
dan air.
b. Protein menjadi amonia, CO2 dan air.
c. Senyawa organik terurai menjadi senyawa yang akan diserap oleh tanaman.
d. Terjadi pengikatan beberapa jenis unsur hara dalam sel mikroorganisme
terutama nitrogen, fosfor, dan kalium.
Pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian
secara biologis, khusunya mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik
sebagai sumber energi. Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses
alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi
membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, pengaturan
aerasi dan penambahan activator pengomposan. Proses pengomposan dapat
berlangsung beberapa hari hingga beberapa minggu.suhu akan meningkat sejalan
dengan proses penguraian bahan organik itu (Trisna, dkk, 2017).
Karakteristik kompos yang telah selesai mengalami proses dekomposisi,
antara lain: Penurunan temperatur diakhir proses, penurunan kandungan organik
kompos, kandungan air, dan rasio C/N.3, Berwarna coklat tua sampai kehitam-
hitaman dan tekstur seperti tanah, berkurangnya pertumbuhan larva dan serangga
diakhir proses, hilangnya bau busuk, adanya warna putih atau abu-abu, karena
pertumbuhan mikroba, memiliki temperatur yang hampir sama dengan temperatur
udara dan tidak mengandung asam lemak yang menguap (Priyantini, dan
Lisdiana, 2013)
Prinsip pengomposan adalah menurunkan nilai nisbah C/N bahan organik
menjadi sama dengan nisbah C/N tanah. Nisbah C/N adalah hasil perbandingan
antara karbon dan nitrogen yang terkandung didalam suatu bahan. Nilai nisbah
C/N tanah adalah 10-12. Bahan organik yang memiliki nisbah C/N sama dengan
tanah memungkinkan bahan tersebut dapat diserap oleh tanaman. Dalam proses
pengomposan terjadi perubahan seperti 1) karbon, selulosa, hemiselulosa, lemak,
dan lilin menjadi CO2 dan air 2) zat putih telur menjadi amoniak, CO2 dan air 3)
peruraian senyawa organik menjadi senyawa yang dapat diserap tanaman. Dengan
perubahan tersebut kadar karbon akan hilang atau turun dan senyawa N yang larut
9
(amonia) meningkat. Proses perombakan bahan organik terjadi secara aerob dan
anaerob akan menghasilkan hara dan humus, proses bisa berlangsung jika tersedia
C, N, P, K, dengan perbandingan 30:1:0,1:0,5. Hal ini dubutuhkan untuk aktivitas
metabolisme sel mikroba decomposer, dengan demikian C/N semakin rendah dan
relatif stabil mendekati C/N tanah (Isroi, 2008).
Menurut (Sumekto, 2006) menyatakan bahwa ada dua mekanisme proses
pengomposan berdasarkan ketersediaan oksigen bebas, yakni pengomposan secara
aerobik dan anaerobik.
a. Pengomposan secara aerobik
Pada pengomposan secara aeorobik, oksigen mutlak dibutuhkan.
Mikroorganisme yang terlibat dalam proses pengomposan membutuhkan
oksigen dan air untuk merombak bahan organik dan mengasimilasikan
sejumlah karbon, nitrogen, fosfor, belerang dan unsur lainnya untuk sintesis
protoplasma sel tubuhnya. Dalam sistem ini kurang lebih 2/3 unsur karbon
(C) menguap menjadi CO2 dan sisanya 1/3 bagian bereaksi dengan nitrogen
dalam sel hidup. Selama proses pengomposan aerobik tidak timbul bau
busuk. Selama proses pengomposan berlangsung akan terjadi reaksi
eksotermik sehingga timbul panas akibat pelepasan energi. dekomposisi
bahan organik secara aerobik adalah CO2, H2O (air), humus dan energi.
b. Pengomposan secara Anaerobik
Dekomposisi secara anaerobik merupakan modifikasi biologis secara
struktur kimia dan biologi bahan organik tanpa kehadiran oksigen (hampa
udara). Proses ini merupakan proses yang dingin dan tidak terjadi fluktuasi
temperatur seperti yang terjadi pada proses pengomposan secara
aerobik.Namun,pada proses anaerobik perlu tambahan panas dari luar sebesar
300
C. Pengomposan anaerobik akan menghasilkan gas mentah (CH4),
karbondioksida (CO2), dan asam organik yang memiliki bobot molekul
rendah seperti asam asetat, asam propionate, asam butirat, asam laktat, dan
asam suksinat. Gas metan bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternative
(biogas). Sisanya berupa lumpur yang mengandung bagian padatan dan
10
cairan. Bagian padatan ini yang disebut kompos. Namun, kadar airnya masih
tinggi sehingga sebelum digunakan harus dikeringkan.
Menurut (Setyorini, dkk, 2007) menyatakan bahwa agar pembuatan
kompos berhasil maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain:
1. Ukuran bahan
Bahan yang berukuran kecil akan cepat didekomposisi kerena luas
permukaannya meningkat dan mempermudah aktivitas mikroorganisme
perombak. Ukuran bahan mentah yang terlalu kecil akan menyebabkan
rongga udara berkurang sehingga timbunan menjadi lebih mampat dan
pasokan oksigen ke dalam timbunan akan semakin berkurang. Jika pasokan
oksigen berkurang, mikroorganisme yang ada di dalamnya tidak bisa bekerja
secara optimal. Bahan organik perlu dicacah sehingga berukuran kecil. Bahan
yang keras sebaliknya dicacah hingga berukuran 0.5-1 cm, sedangkan bahan
yang tidak keras dicacah dengan ukuran yang agak besar sekitar 5 cm.
2. Nisbah C/N
Kondisi kelengasan dan bahan dasar kompos menentukan nisbah C/N
dan nilai pupuk kompos. Hasil akhir kompos hara mengandung antara 30-
60% bahan organik. Pengujian kimiawi termasuk pengukuran C, N dan
nisbah C/N merupakan indikator kematangankompos. Apabila nisbah C/N
kompos 20 atau lebih kecil berarti kompos siap digunakan. Akan tetapi,
nisbah C/N bahan kompos yang baik dapat berkisar antara 5 dan 20. Mikroba
merombak bahan organik memerlukan karbon dan nitrogen dari bahan asal.
Karbon dibutuhkan oleh mikroba sebagai sumber energi untuk
pertumbuhannya dan nitrogen diperlukan untuk membentuk protein. Bahan
dasar kompos yang mempunyai rasio C/N 20:1 hingga 35:1 sesuai untuk
dikomposkan.
3. Kelembaban dan Aerasi
Bahan mentah yang baik untuk penguraian atau perombakan berkadar
air 50-70%. Bahan dari hijauan biasanya tidak memerlukan tambahan air,
sedangkan cabang tanaman yang kering atau rumput-rumputan harus diberi
air saat dilakukan penimbunan. Kelembaban timbunan secara menyeluruh
11
diusahakan sekitar 40-60%. Aaerasi yang tidak seimbang akan menyebabkan
timbunan berada dalam keadaan anaerob dan akan menyebabkan bau busuk
dari gas yang banyak mengandung belerang. Kandungan kelembaban udara
optimum sangat diperlukan dalam proses pengomposan. Kisaran kelembaban
yang ideal adalah 40-60% dengan nilai yang paling baik adalah 50%.
Kelembaban yang optimum harus dijaga untuk memperoleh jumlah
mikroorganisme yang maksimal sehingga proses pengomposan dapat berjalan
dengan cepat.
4. Temperatur
Pada pengomposan secara aerobik akan terjadi kenaikan temperatur
yang cukup cepat selama 3-5 hari pertama dan temperatur kompos dapat
mencapai 55-700
C. Kisaran temperatur tersebut merupakan yang terbaik bagi
pertumbuhan mikrooranisme. Pada kisaran temperatur ini, mikroorganisme
dapat tumbuh 3 kali lipat dibandingkan dengan temperatur yang kurang dari
550
C. Selain itu, pada temperatur tersebut enzim yang dihasilkan juga paling
efektif menguraikan bahan organik. Penurunan nisbah C/N juga dapat
berjalan dengan sempurna. Berdasarkan kemampuan bertahan hidup, mikroba
terbagi atas 3 kelompok, yaitu psycrofilik (5–100
C), mesofilik (10-150
C) dan
termofilik (45/500
C-700
C).
5. Keasaman (pH)
Keasaman atau pH dalam tumpukan kompos juga mempengaruhi
aktivitas mikroorganisme. Kisaran pH yang baik yaitu sekitar 6,5-7,5 (netral).
Oleh karena itu, dalam proses pengomposan sering diberi tambahan kapur
atau abu dapur untuk menaikkan pH. pH yang optimum untuk proses
pengomposan berkisar antara 6,57,5. pH kotoran ternak umumnya berkisar
antara 6,8 hingga 7,4. Proses pengomposan sendiri akan menyebabkan
perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri.
6. Pengadukan atau Pembalikan Tumpukan
Pengadukan sangat diperlukan agar cepat tercipta kelembaban yang
dibutuhkan saat proses pengomposan berlangsung. Pengadukan pun dapat
menyebabkan terciptanya udara dibagian dalam timbunan, terjadinya
12
penguraian bahan organik yang mampat, dan proses penguraian berlangsung
merata. Hal ini terjadi karena lapisan pada bagian tengah tumpukan akan
terjadi pengomposan cepat. Proses pembalikan dilakukan apabila suhu
kompos pada pagi hari mencapai suhu 400
C dan sore hari 41-450
C.
Effective Microorganisms 4 (EM4) merupakan kultur campuran dalam
medium cair berwarna coklat kekuningan, berbau asam dan terdiri dari
mikroorganisme yang menguntungkan bagi kesuburan tanah. Adapun jenis
mikroorganisme yang berada dalam EM 4 antara lain : Lactobacillus sp. Khamir,
Actinomycetes, Streptomyces. EM 4 dalam keadaan belum aktif mengandung 90
% Lactobacillus sp dan sisanya genus yang lain dan pada keadaan asam maka
bakteri streptomyces sp akan berperan lebih aktif dan jika sudah diaktifkan
dengan pemberian air, bahan organik maka total kandungan mikroorganismenya
adalah 80 genus atau 109
/gram dari kesemuanya ada lima kelompok
mikroorganisme yang sama, yaitu: Lactobacillus sp, Actinomycetes sp, ragi,
bakteri fotosintetik Rhodopseudomonas sp) dan bakteri fermentasi (Pennicillium
dan Aspergillus niger). Kadar pH EM 4 yang masih dormant jika belum rusak
sekitar < 3,5 jika sudah melebihi 4 dan tidak berbau sedap lagi berarti EM 4
tersebut sudah rusak. EM 4 dapat bekerja optimal jika prosesnya dalam keadaan
anaerob, pH rendah (3-4), kadar garam dan kadar gula tinggi, kandungan air
sedang antara 30-40 %, suhu fermentasi sekitar 40-500
C dan untuk pengomposan
secara umum pHnya sebesar 6,5-7,5 %. (Indriyani, 2007).
Proses pengomposan juga membutuhkan bantuan mikroorganisme untuk
mendekomposisi bahan dan mempercepat proses pengomposan. Mikroorganisme
yang digunakan untuk mempercepat proses pengomposan adalah Effective
Microorganism (EM4) sebagai salah satu faktor pengomposan. EM4 berfungsi
untuk mempercepat penguraian bahan organik, menghilangkan bau yang timbul
selama proses penguraian, menekan pertumbuhan mikroorganisme patogen, dan
meningkatkan aktivitas mikroorganisme yang menguntungkan (Trisna, dkk,
2017).
13
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Pengamatan
Hasil pengamatan organoleptik pupuk kompos yang dilakukan dapat
dilihat pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3. Pengamatan Organoleptik Pupuk Kompos
No Pengamatan Sensorik Hasil Pengamatan Sensorik
1 Warna Hitam kecoklat-coklatan
2 Tekstur Bertekstur gembur dan halus
3 Aroma Tidak berbau
Hasil pengukuran suhu pembuatan pupuk kompos selama 14 hari dapat
dilihat pada Tabel 4 berikut.
Tabel 3. Hasil Pengamatan
No Hari/Tanggal penggukuran
Suhu kompos
Rata-rata
Pagi Sore
1 Minggu, 8 41,6 45,3 43,4
2 Senin, 9 49,3 45,3 47,3
3 Selasa, 10 43 46,6 44,8
4 Rabu, 11 46 44,7 45,3
5 Kamis, 12 38,6 39 38,8
6 Jumat, 13 40,3 39,7 40
7 Sabtu, 14 39,3 38,7 39
8 Minggu, 15 39,2 40,2 39,7
9 Senin, 16 38 39 38,5
10 Selasa, 17 37 39 38
11 Rabu, 18 36,8 37 36,9
12 Kamis, 19 35 36 35,5
13 Jumat, 20 34 35 34,5
4.2. Pembahasan
Kompos merupakan suatu bahan organik yang telah mengalami proses
dekomposisi oleh mikroorganisme pengurai yang terjadi secara aerob atau
anaerob, sehingga dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki sifat-sifat tanah dan
untuk meningkatkan produktifitas tanaman. Pembuatan kompos dilakukan selama
14 hari dengan cara melakukan pengukuran suhu kompos yang dilakukan dua
kali.
14
Dalam pembuatan pupuk kompos yang kami lakukan menggunakan bahan
yang terdiri dari feses kambing, daun gamal, sekam, dedak, air secukupnya dan
EM4 sebagai decomposes yang membantu proses penguraian bahan. EM4
merupakam activator kompos yang mengandung mikroorganisme yang dapat
meningkatkan keragaman mikroorganisme tanah dan dapat mempercepat proses
pengomposan. Menurut (Murni, dkk, 2012) dalam penelitiannya menyatakan
bahwa dengan penambahan EM4 dengan konsentrasi yang tinggi dapat
mempercepat proses pengomposan karena semakin banyak bakteri yang bekerja
dalam proses penguraian bahan sehingga terjadi penurunan rasio C dalam bahan
dan C/N dalam bahan dikarenakan dalam proses pengomposan terjadi fermentasi
terjadi reaksi C menjadi CO2 dan CH4 menjadi gas. Sehingga pengomposan yang
membutuhkan waktu sampai berbulan-bulan dapat dipercepat menjadi 14 hari
dengan penambahan EM4.
Proses pengomposan akan segera berlangsung setelah bahan-bahan mentah
dicampur. Secara sederhana proses pengomposan dapat dibagi menjadi dua tahap,
yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Menurut Sulistyorini (2005), selama
tahap-tahap awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi
akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan
meningkat dengan cepat. Demikian pula akan diikuti dengan peningkatan pH
kompos. Suhu akan meningkat hingga di atas 50-700
C selama waktu tertentu.
Mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba termofilik, yaitu mikroba
yang aktif pada suhu tinggi. Pada saat ini terjadi dekomposisi/penguraian bahan
organik yang sangat aktif. Mikroba-mikroba di dalam kompos dengan
menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap air
dan panas. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-
angsur mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat
lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan
terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan.
Adapun hasil pengamatan organoleptik yang kami lakukan pada praktikum
pembuatan pupuk kompos selama 14 hari, pada hari pertama sampai hari ke 11
kompos memiliki warna kecoklatan, bau yang busuk, dan tekstur yang masih
15
sangat kasar karena pupuk mengalami peningkatan suhu yang optimal hingga
mencapai 500
C. Pupuk kompos yang telah matang memiliki warna coklat
kehitam-hitaman, tekstur remah dan gambur, dan memiliki aroma yang tidak
berbau busuk, hal ini sesuai dengan pendapat Priyantini, dan Lisdiana (2013) yang
menyatakan bahwa tekstur kompos yang telah matang memiliki tekstur halus dan lembab,
bau tidak berbau, dan warna yang coklat kehitam-hitaman seperti warna tanah, penurunan
temperature di akhir proses pengomposan, tidak mengandung asam lemak yang menguap,
penurunan kandungan organik kompos, kandungan air, dan rasio C/N lebih kecil dari 20.
Pengukuran suhu kompos dilakukan sampai pupuk kompos memiliki suhu
normal yaitu 30o
C sampai 38o
C. Pengukuran suhu kompos yang kami lakukan
selama 11 hari. Suhu yang kami peroleh hari pertama 43,4o
C, hari kedua, 47,3o
C,
hari ketiga 44,8o
C, hari keempat 45,3o
C, hari kelima 38,8 o
C, hari keenam 40o
C,
hari ketujuh 39o
C, hari kedelapan 39,7o
C, hari ke Sembilan 38,5o
C, hari kesepuluh
38o
C, hari kesebelas 36,9o
C, hari ke duabelas 35,5o
C, dan hari ketigabelas 34,5o
C.
Hasil pengukuran suhu yang kami lakukan berbeda dengan yang dilakukan
oleh Dahuri dan Deri (2004) bahwa pengukuran suhu dilakukan selama 2 minggu
dengan suhu pada hari pertama 40o
C, hari kedua 45o
C, hari ketiga 39,2o
C, hari
keempat 40,6o
C, hari kelima 38o
C, hari keenam 42 o
C, hari ketujuh 41 o
C, hari
kedelapan 40o
C, hari kesembilan 36o
C, hari kesepuluh 38o
C, hari kesebelas 40 o
C,
hari kedua belas 37o
C, hari ketiga belas 38o
C, dan hari keempat belas 38o
C. hal ini
sesuai dengan pendapat (Atmaja, dkk, 2017) yang menyatakan bawa Pada hari
pertama perlakuan mulai mengalami peningkatan suhu, hal ini menunjukkan jika
proses penguraian bahan oleh mikroorganisme mulai aktif. Pada hari pertama
sampai hari keempat proses pengomposan memasuki fase thermofilik yang
ditandai dengan peningkatan suhu kompos yang signifikan >400
C. Pada fase
termofilik ini berlangsung suhu kompos terus mengalami peningkatan dan
mencapai titik suhu maksimal. selanjutnya memasuki fase pematangan kompos,
suhu tumpukan bahan mulai mengalami penurunan yang diakibatkan oleh
aktivitas mikroorganisme mulai berkurang sehingga energi yang dihasilkan juga
berkurang dan suhu mengalami penurunan. Kematangan kompos juga terlihat dari
perubahan tekstur remah serta warna bahan kompos menjadi coklat kehitaman.
16
V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan tujuan dan pembahasan diatas maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan antara lain:
1. Kompos merupakan suatu bahan organik yang telah mengalami proses
dekomposisi oleh mikroorganisme pengurai yang terjadi secara aerob atau
anaerob, sehingga dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki sifat-sifat tanah dan
untuk meningkatkan produktifitas tanaman.
2. Pupuk kompos yang telah matang memiliki warna coklat kehitam-hitaman,
tekstur remah dan gambur, dan memiliki aroma yang tidak berbau busuk
3. Pengukuran suhu kompos yang kami lakukan selama 11 hari. Suhu yang kami
peroleh hari pertama 43,4o
C, hari kedua, 47,3o
C, hari ketiga 44,8o
C, hari
keempat 45,3o
C, hari kelima 38,8 o
C, hari keenam 40o
C, hari ketujuh 39o
C,
hari kedelapan 39,7o
C, hari ke Sembilan 38,5o
C, hari kesepuluh 38o
C, hari
kesebelas 36,9o
C, hari ke duabelas 35,5o
C, dan hari ketigabelas 34,5o
C.
5.2. Saran
Adapun saran yang dapat saya ajukan pada praktikum pembuatan pupuk
kompos adalah sebaiknya dalam pelaksanaan praktikum agar alat dan bahan yang
akan digunakan pada saat praktikum disediakan dengan lengkap agar
memudahkan praktikan dalam melaksanakan praktikum, memperhatikan suhu
kompos dengan hati-hati agar data yang diperoleh sesuai dengan yang diharapkan,
melakukan pembalikan kompos dengan cara perlahan agar suhu yang dihasilkan
maksimal.
17
DAFTAR PUSTAKA
Atmaja, I K. M, Tika, W, dan Wijaya, A.S. 2017. Pengaruh Perbandingan
Komposisi Bahan Baku terhadap Kualitas Kompos dan Lama Waktu
Pengomposan. JURNAL BETA (Biosistem Dan Teknik Pertanian). Fakultas
Teknologi Pertanian. Universitas Udayana.
Dahuri dan Deri. 2004. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penerba Swadaya. Depok
Indriyani, Y. H. 2007. Pembuatan Pupuk Organi Secara Singkat. Penerba
Swadaya. Jakarta.
Isroi. 2008. Kompos. Bogor: Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia.
Muhammad T. A, Badruz Zaman, dan Purwono. 2007. Pengaruh Penambahan
Pupuk Kotoran Kambing Terhadap Hasil Pengomposan Daun Kering Di
TPST UNDIP. Jurnal Teknik Lingkungan, Vol. 6, No. 3. Fakultas Teknik
Universitas Diponegoro.
Pranata, Y. B, 2017. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Kotoran Kambing
dengan Pupuk Probiotik Nopkor Terhadap Petrumbuhan dan Produktivitas
Tanaman Sorgum Putih (Sirghum bicolor L). Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta.
Setyorini, D, Saraswati, R, dan Anwar E. K. 2007. Pupuk Organik Dan Pupuk
Hayati. Jakatra.
Sumekto, Riyo.2006. Pupuk-Pupuk Organik. PT Intan Sejati. Klaten.
Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Kanisius, Yogyakarta.
Widiyaningrum, P, dan Lisdiana. 2013. Perbedaan Fisik Dan Kimia Kompos
Daun Yang Menggunakan Bioaktivator Mol Dan EM4. Jurnal Sainteknol.
Vol 11 No 1. Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Negeri Semarang
Yuniati, M, Iskarima, F, dan Padulemba, A. 2012. Optimasi Kondisi Proses
Pembuatan Kompos Dari Sampah Organik dengan Cara Fermentasi
Menggunakan EM4. Jurnal Teknologi Vol 5:2 (hal 172-181). Fakultas
Teknologi Industri Institut Sains dan Teknologi. Yogyakarta.
18
Lampiran Dokumentasi
Pengukuran suhu kompos pengukuran suhu kompos
Pembalikan kompos
Pupuk Organik dan Pupuk Hayati
11
2. KOMPOS
Diah Setyorini, Rasti Saraswati, dan Ea Kosman Anwar
Summary
Compost. Composts are organic matter such as leaves,
straw, grasses, rice bran, corn stovers, vines, tendrils, and
animal manure which have been decomposed by
decomposer microorganisms in order to be applied to
improve soil health and fertility and to provide nutrients to
plants. Generally composts or organic fertilizers are
characterized by relatively low content of macro and micro
nutrients, slow nurient availability, and providing limited
nutrients. Organic fertilizers can improve soil physical
characteristics (bulk density, aeration, pores, soil density),
soil chemical characteristics (cation exchange capacity,
macro and micro nutrients, organic acids), soil biological
characteristics (energy for soil microbes and other biological
activities), social conditions (recycle of municipal wastes, job
opportunites, public income) and environment (beauty).
Various composting methods which are often applied: (1)
Indore method, (2) Heap method, (3) Bangalore method, (4)
Berkeley method, and (5) Vermicomposting. The selection
of composting method depends on ability and material
condition and composting site. The method which is very
often applied currently is Berkeley method producing mature
compost within 2 weeks by using microorganisms. In order
to apply for fertilizing soil, compost should be really stable
(mature). Parameters to be used to determine compost
maturity are among others: (1) carbon/nitrogen ratio (2) pH,
(3) dark brown compost color, (4) not rotten smell but
earthy, (5) crumble or loose. Composts are low in nutrient
content in comparison to synthethic fertilizers. However,
composts have some other advantages which mineral
fertilizers do not have, the role in improving soil physical
structure and microbiology. Compost enrichment is intended
to increase its nutrient status. Rockphosphate, bone meal,
and dry blood can be added because the material contains
macro nutrients as well as micro nutrients and cost relatively
cheap compared to synthetic fertilizers. Nitrogen can be
Setyorini et al.
12
added microbiologically by inoculating with Azotobacter,
while the addition of phosphate-solubilizing microorganisms
can increase the availability of P in compost. Inoculation of
compost with microorganisms can be done when compost
temperature has been stable at about 30-35
o
C.
Kompos merupakan bahan organik, seperti daun-daunan, jerami,
alang-alang, rumput-rumputan, dedak padi, batang jagung, sulur, carang-carang
serta kotoran hewan yang telah mengalami proses dekomposisi oleh
mikroorganisme pengurai, sehingga dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki
sifat-sifat tanah. Kompos mengandung hara-hara mineral yang esensial bagi
tanaman.
Sisa tanaman, hewan, atau kotoran hewan, juga sisa jutaan
makhluk kecil yang berupa bakteri jamur, ganggang, hewan satu sel,
maupun banyak sel merupakan sumber bahan organik yang sangat
potensial bagi tanah, karena perannya yang sangat penting terhadap
perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah, namun bila sisa hasil tanaman
tidak dikelola dengan baik maka akan berdampak negatif terhadap
lingkungan, seperti mengakibatkan rendahnya keberhasilan pertumbuhan
benih karena imobilisasi hara, allelopati, atau sebagai tempat
berkembangbiaknya patogen tanaman. Bahan-bahan ini menjadi lapuk dan
busuk bila berada dalam keadaan basah dan lembap, seperti halnya daun-
daun menjadi lapuk bila jatuh ke tanah dan menyatu dengan tanah. Selama
proses perubahan dan peruraian bahan organik, unsur hara akan bebas
menjadi bentuk yang larut dan dapat diserap tanaman. Sebelum mengalami
proses perubahan, sisa hewan dan tumbuhan ini tidak berguna bagi
tanaman, karena unsur hara masih dalam bentuk terikat yang tidak dapat
diserap oleh tanaman.
Di lingkungan alam terbuka, proses pengomposan bisa terjadi
dengan sendirinya. Lewat proses alami, rumput, daun-daunan dan kotoran
hewan serta sampah lainnya lama kelamaan membusuk karena adanya
kerja sama antara mikroorganisme dengan cuaca. Proses tersebut bisa
dipercepat oleh perlakuan manusia, yaitu dengan menambahkan
mikroorganisme pengurai sehingga dalam waktu singkat akan diperoleh
kompos yang berkualitas baik.
Sifat dan karakterisasi kompos
Penggunaan kompos sebagai bahan pembenah tanah (soil
conditioner) dapat meningkatkan kandungan bahan organik tanah sehingga
mempertahankan dan menambah kesuburan tanah pertanian. Karakteristik
umum dimiliki kompos antara lain: (1) mengandung unsur hara dalam jenis
Pupuk Organik dan Pupuk Hayati
13
dan jumlah bervariasi tergantung bahan asal; (2) menyediakan unsur hara
secara lambat (slow release) dan dalam jumlah terbatas; dan (3)
mempunyai fungsi utama memperbaiki kesuburan dan kesehatan tanah.
Berikut ini diuraikan fungsi kompos dalam memperbaiki kualitas kesuburan
fisik, kimia, dan biologi tanah.
Sifat fisika tanah
Kompos memperbaiki struktur tanah yang semula padat menjadi
gembur sehingga mempermudah pengolahan tanah. Tanah berpasir
menjadi lebih kompak dan tanah lempung menjadi lebih gembur. Penyebab
kompak dan gemburnya tanah ini adalah senyawa-senyawa polisakarida
yang dihasilkan oleh mikroorganisme pengurai serta miselium atau hifa yang
berfungsi sebagai perekat partikel tanah. Dengan struktur tanah yang baik
ini berarti difusi O2 atau aerasi akan lebih banyak sehingga proses fisiologis
di akar akan lancar. Perbaikan agregat tanah menjadi lebih remah akan
mempermudah penyerapan air ke dalam tanah sehingga proses erosi dapat
dicegah. Kadar bahan organik yang tinggi di dalam tanah memberikan
warna tanah yang lebih gelap (warna humus coklat kehitaman), sehingga
penyerapan energi sinar matahari lebih banyak dan fluktuasi suhu di dalam
tanah dapat dihindarkan. Institut Pertanian Bogor (IPB) melaporkan bahwa
takaran kompos sebanyak 5 t ha
-1
meningkatkan kandungan air tanah pada
tanah-tanah yang subur (CPIS, 1991).
Sifat kimia tanah
Kompos merupakan sumber hara makro dan mikromineral secara
lengkap meskipun dalam jumlah yang relatif kecil (N, P, K, Ca, Mg, Zn, Cu,
B, Zn, Mo, dan Si). Dalam jangka panjang, pemberian kompos dapat
memperbaiki pH dan meningkatkan hasil tanaman pertanian pada tanah-
tanah masam. Pada tanah-tanah yang kandungan P-tersedia rendah,
bentuk fosfat organik mempunyai peranan penting dalam penyediaan hara
tanaman karena hampir sebagian besar P yang diperlukan tanaman
terdapat pada senyawa P-organik. Sebagian besar P-organik dalam organ
tanaman terdapat sebagai fitin, fosfolipid, dan asam nukleat. Kedua yang
terakhir hanya terdapat sedikit dalam bahan organik tanah karena senyawa
tersebut mudah digunakan oleh jasad renik tanah. Turunan senyawa-
senyawa tersebut sangat penting dalam tanah (karena kemampuannya
membentuk senyawa dengan kation polivalen), terdapat dalam jumlah relatif
tinggi, tetapi yang dekomposisinya lambat ialah inositol. Pada tanah alkalin,
terbentuk inositol fosfat dengan Ca atau Mg, sedangkan pada tanah masam
dengan Al atau Fe. P-anorganik dalam bentuk Al-Fe; Ca-P yang tidak
tersedia bagi tanaman, akan dirombak oleh organisme pelarut P menjadi P-
anorganik yang larut atau tersedia bagi tanaman.
Setyorini et al.
14
Selain itu, kompos juga mengandung humus (bunga tanah) yang
sangat dibutuhkan untuk peningkatan hara makro dan mikro dan sangat
dibutuhkan tanaman. Misel humus mempunyai kapasitas tukar kation (KTK)
yang lebih besar daripada misel lempung (3-10 kali) sehingga penyediaan
hara makro dan mikromineral lebih lama. Kapasitas tukar kation (KTK)
asam-asam organik dari kompos lebih tinggi dibandingkan mineral liat,
namun lebih peka terhadap perubahan pH karena mempunyai sumber
muatan tergantung pH (pH dependent charge). Pada nilai pH 3,5, KTK liat
dan C-organik sebesar 45,5 dan 199,5 me 100 g
-1
sedangkan pada pH 6,5
meningkat menjadi 63 dan 325,5 me 100 g
-1
. Nilai KTK mineral liat kaolinit
(3-5 me 100 g
-1
), illit (30-40 me 100 g
-1
), montmorilonit (80-150 me 100 g
-1
),
sedangkan pada asam humat (485-870 me 100 g
-1
) dan asam fulfat (1.400
me 100 g
-1
). Oleh karena itu, penambahan kompos ke dalam tanah dapat
meningkatkan nilai KTK tanah (Tan, 1991).
Peranan bahan organik yang juga penting pada tanah ialah
kemampuannya bereaksi dengan ion logam untuk membentuk senyawa
kompleks. Dengan demikian ion logam yang bersifat meracuni tanaman
serta merugikan penyediaan hara pada tanah seperti Al, Fe, dan Mn dapat
diperkecil dengan adanya khelat dengan bahan organik.
Sifat biologi tanah
Kompos banyak mengandung mikroorganisme (fungi, aktinomisetes,
bakteri, dan alga). Dengan ditambahkannya kompos ke dalam tanah tidak
hanya jutaan mikroorganisme yang ditambahkan, akan tetapi
mikroorganisme yang ada dalam tanah juga terpacu untuk berkembang.
Proses dekomposisi lanjut oleh mikro-organisme akan tetap terus
berlangsung tetapi tidak mengganggu tanaman. Gas CO2 yang dihasilkan
mikroorganisme tanah akan dipergunakan untuk fotosintesis tanaman,
sehingga pertumbuhan tanaman akan lebih cepat. Amonifiksi, nitrifikasi, dan
fiksasi nitrogen juga meningkat karena pemberian bahan organik sebagai
sumber karbon yang terkandung di dalam kompos. Aktivitas berbagai
mikroorganisme di dalam kompos menghasilkan hormon-hormon
pertumbuhan, misalnya auksin, giberelin, dan sitokinin yang memacu
pertumbuhan dan perkembangan akar-akar rambut sehingga daerah
pencarian makanan lebih luas. Pemberian kompos pada lahan sawah akan
membantu mengendalikan atau mengurangi populasi nematoda, karena
bahan organik memacu perkembangan musuh alami nematoda, yaitu
cendawan dan bakteri serta memberi kondisi yang kurang menguntungkan
bagi perkembangan nematoda. Munculnya serangan nematoda penyebab
penyakit bintil akar pada akar tanaman padi di beberapa daerah dipicu oleh
penggunaan pupuk urea yang intensif.
Pupuk Organik dan Pupuk Hayati
15
Bahan organik memberikan efek positif pada aktivitas berbagai
enzim hidrolase yang kemungkinan disebabkan oleh meningkatkan
biomassa mikroba (Garcia et al., 1994). Setelah 10 tahun penambahan
bahan organik, siklus biokimia N, aktivitas (urease dan protease-BAA), P
(phosphatase) dan karbon (ß-glucosidase) dapat di reaktivasi, sehingga
kesuburan tanah meningkat (Ladd, 1985).
Jenis dan sumber bahan kompos
Bahan organik yang dapat digunakan sebagai sumber pupuk
organik dapat berasal dari limbah/hasil pertanian dan nonpertanian (limbah
kota dan limbah industri) (Kurnia et al., 2001). Dari hasil pertanian antara
lain berupa sisa tanaman (jerami dan brangkasan), sisa hasil pertanian
(sekam padi, kulit kacang tanah, ampas tebu, dan belotong), pupuk kandang
(kotoran sapi, kerbau, ayam, itik, dan kuda), dan pupuk hijau. Limbah kota
atau sampah organik kota biasanya dikumpulkan dari pasar-pasar atau
sampah rumah tangga dari daerah pemukiman serta taman-taman kota.
Limbah industri yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik antara lain
limbah industri pangan. Berbagai bahan organik tersebut dapat dijadikan
pupuk organik melalui teknologi pengomposan sederhana maupun dengan
penambahan mikroba perombak serta pengkayaan dengan hara lain.
Pupuk organik yang berasal dari pupuk kandang merupakan bahan
pembenah tanah yang paling baik dibanding bahan pembelah lainnya. Kadar
hara yang dikandung pupuk organik pada umumnya rendah dan sangat
bervariasi. Sebagai bahan pembenah tanah, pupuk organik membantu
dalam mencegah terjadinya erosi dan mengurangi terjadinya retakan tanah.
Pemberian bahan organik mampu meningkatkan kelembapan tanah dan
memperbaiki porositas tanah.
Sisa tanaman
Kandungan hara beberapa tanaman pertanian ternyata cukup tinggi
dan bermanfaat sebagai sumber energi utama mikroorganisme di dalam
tanah. Apabila digunakan sebagai mulsa, maka ia akan mengontrol
kehilangan air melalui evaporasi dari permukaan tanah, dan pada saat yang
sama dapat mencegah erosi tanah. Hara dalam tanaman dapat
dimanfaatkan setelah tanaman mengalami dekomposisi. Kandungan
haranya sangat bervariasi tergantung dari jenis bahan tanaman (Tabel 1).
Rasio C/N sisa tanaman bervariasi dari 80:1 pada jerami gandum hingga
20:1 pada tanaman legum. Selama proses dekomposisi ini nilai rasio C/N
akan menurun mendekati 10:1 pada saat bahan tersebut bercampur dengan
tanah. Berbagai sumber bahan kompos dari limbah pertanian dengan nilai
C/N rasio disajikan pada Tabel 2 (FAO, 1987).
Setyorini et al.
16
Tabel 1. Komposisi hara dalam tanaman
Tanaman N P K Ca Mg Fe Cu Zn Mn B
% mg kg
-1
Gandum
Jagung
Kc. tanah
Kedelai
Kentang
Ubi jalar
2,80
2,97
4,59
5,55
3,25
3,76
0,36
0,30
0,25
0,34
0,20
0,38
2,26
2,39
2,03
2,41
7,50
4,01
0,61
0,41
1,24
0,88
0,43
0,78
0,58
0,16
0,37
0,37
0,20
0,68
155
132
198
190
165
126
28
12
23
11
19
26
45
21
27
41
65
40
108
117
170
143
160
86
23
17
28
39
28
53
Sumber: Tan (1993)
Tabel 2. Sumber bahan kompos, kandungan nitrogen, dan rasio C/N
Jenis bahan Nitrogen per berat kering C/N rasio
%
Limbah cair dari hewan
Darah kering
Kuku dan tanduk
Limbah ikan
Limbah minyak biji-bijian
Night soil
Lumpur limbah
Kotoran ternak unggas
Tulang
Rumput
Sisa tanaman hijauan
Limbah pabrik bir
Limbah rumah tangga
Kulit biji kopi
Eceng gondok
Kotoran babi
Kotoran ternak
Limbah lumpur padat
Millet
Jerami gandum
Daun-daunan
Limbah tebu
Serbuk gergaji
Kertas
15 - 18
10 - 14
12
4 - 10
3 - 9
5,5 - 6,5
5 - 6
4
2 - 4
2 - 4
3 - 5
3 - 5
2 - 3
1,0 - 2,3
2,2 - 2,5
1,9
1,0 -1,8
1,2 - 1,8
0,7
0,6
0,4 -1,0
0,3
0,1
0,0
0,8
3
-
4 - 5
3 - 15
6 - 10
6
-
8
12
10 - 15
15
10 - 16
8
20
-
-
-
70
80
40 - 80
150
500
*
Sumber: FAO, 1987
Keterangan: - tidak ditentukan, * tidak tertentu
Pupuk Organik dan Pupuk Hayati
17
Kotoran hewan
Kotoran hewan yang berasal dari usaha tani pertanian antara lain
adalah kotoran ayam, sapi, kerbau, kambing, kuda, dan sebagainya.
Komposisi hara pada masing-masing kotoran hewan berbeda tergantung
pada jumlah dan jenis makanannya. Secara umum, kandungan hara dalam
kotoran hewan jauh lebih rendah daripada pupuk kimia (Tabel 3) sehingga
takaran penggunaannya juga akan lebih tinggi.
Namun demikian, hara dalam kotoran hewan ini ketersediaannya
(release) lambat sehingga tidak mudah hilang. Ketersediaan hara sangat
dipengaruhi oleh tingkat dekomposisi/mineralisasi dari bahan-bahan
tersebut. Rendahnya ketersediaan hara dari pupuk kandang antara lain
disebabkan karena bentuk N, P serta unsur lain terdapat dalam bentuk
senyawa kompleks organo protein atau senyawa asam humat atau lignin
yang sulit terdekomposisi. Selain mengandung hara bermanfaat, pupuk
kandang juga mengandung bakteri saprolitik, pembawa penyakit, dan
parasit mikroorganisme yang dapat membahayakan hewan atau manusia.
Contohnya: kotoran ayam mengandung Salmonella sp. Oleh karena itu
pengelolaan dan pemanfaatan pupuk kandang harus hati-hati.
Tabel 3. Kandungan hara beberapa jenis kotoran hewan
Sumber N P K Ca Mg S Fe
%
Sapi perah
Sapi daging
Kuda
Unggas
Domba
0,53
0,65
0,70
1,50
1,28
0,35
0,15
0,10
0,77
0,19
0,41
0,30
0,58
0,89
0,93
0,28
0,12
0,79
0,30
0,59
0,11
0,10
0,14
0,88
0,19
0,05
0,09
0,07
0,00
0,09
0,004
0,004
0,010
0,100
0,020
Sumber: Tan (1993)
Hasil penelitian pembuatan kompos dari kotoran hewan di Jepang
menunjukkan bahwa 10-25% dari N dalam bahan asal kompos akan hilang
sebagai gas NH3 selama proses pengomposan. Selain itu dihasilkan pula
5% CH4 dan sekitar 30% N2O yang berpotensi untuk mencemari lingkungan
sekitarnya. Sebaliknya akan terjadi penyusutan volume bahan dan
mempunyai rasio C/N yang lebih rendah dan suhu 60-65
o
C saat proses
pengomposan berakhir.
Sampah kota
Sampah (waste) didefinisikan sebagai bahan-bahan yang sudah
tidak digunakan dan tidak bermanfaat sehingga disebut bahan buangan.
Setyorini et al.
18
Menurut sumbernya, sampah dibagi menjadi sampah domestik/kota dan
sampah industri. Berdasarkan data di berbagai tempat, sampah kota ini
relatif kurang tertangani dibandingkan sampah bahan lain. Hal ini terjadi
karena bahan tersebut banyak terkontaminasi B3 (bahan beracun
berbahaya), seperti logam berat sehingga apabila dimanfaatkan sebagai
kompos untuk tanaman pangan dapat mencemari hasil. Tertimbunnya
sampah domestik dalam waktu lama akan mengundang risiko penurunan
kualitas sanitasi, keindahan lingkungan serta berjangkitnya penyakit
tertentu.
Di beberapa kota besar di Indonesia, masalah sampah kota banyak
menjadi sorotan seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk
dan perbaikan kualitas hidup masyarakatnya. Hasil buangan sampah rumah
tangga, tempat fasilitas umum kota, pasar dan sebagainya di ibukota
Jakarta telah mencapai volume sekitar 26.750 m
3
hari
-1
, Semarang 1.500 m
3
ha
-1
dan Bogor sekitar 2.000 m
3
hari
-1
(Sibuea et al., 1993). Kondisi ini sudah
sangat mengkhawatirkan dan mengganggu kenyamanan dan kebersihan
lingkungan bila tidak ditangani secara baik. Salah satu kendala pemanfaatan
sampah kota adalah kurang praktisnya pemakaian secara langsung dan
memerlukan biaya relatif tinggi untuk pendistribusiannya di lapangan.
Menurut jenis dan asalnya sampah domestik dibedakan menjadi
sampah kertas, plastik, kaca, karet, dan logam yang biasanya dimanfaat-kan
oleh pemulung untuk didaur ulang menjadi produk yang bermanfaat.
Sedangkan sampah organik yang proporsinya (volume) jauh lebih besar
daripada sampah anorganik biasanya tertimbun tanpa ada yang
memanfaatkan. Sampah organik terdiri atas sisa sayuran, tanaman, dan sisa
makanan yang mengandung karbon (C) berupa senyawa sederhana maupun
kompleks. Selulosa merupakan salah satu senyawa kompleks yang
memerlukan proses dekomposisi relatif lama namun dapat dipecah oleh
enzim selulosa yang dihasilkan oleh bakteri menjadi senyawa monosakarida,
alkohol, CO2, dan asam-asam organik lain (Rao, 1975).
Ditinjau dari ketersediaan dan jenis bahan bakunya, ketiga bentuk
sampah organik (sisa tanaman, kotoran hewan, dan sampah kota) ini
berpotensi besar untuk didaur ulang melalui proses pengomposan menjadi
pupuk organik. Dengan memanfaatkan teknologi yang ada diharapkan dapat
membuka peluang usaha baru yang hasilnya (berupa pupuk organik) dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas lahan-lahan pertanian di
Indonesia.
Vermikompos
Vermikompos disebut juga kompos cacing, vermicast atau pupuk
kotoran cacing, yang merupakan hasil akhir dari hasil penguraian bahan
organik oleh jenis-jenis cacing tertentu. Vermikompos merupakan bahan yang
Pupuk Organik dan Pupuk Hayati
19
kaya hara, dapat digunakan sebagai pupuk alami atau soil conditioner
(pembenah tanah). Proses pembuatan vermikompos disebut
vermikomposting.
Cacing yang digunakan dalam proses pembuatan vermikompos
diantaranya brandling-worms (Eisenia foetida), dan redworms (cacing
merah) (Lumbricus rubellus). Cacing-cacing ini jarang ditemukan di dalam
tanah, dan dapat menyesuaikan dengan kondisi tertentu di dalam pergiliran
tanaman. Di luar negeri ”bibit” cacing-cacing telah diperjualbelikan di toko-
toko pertanian. Vermikomposting dalam skala kecil dapat mendaur ulang
sampah dapur menjadi vermikompos yang berkualitas dengan
menggunakan ruang terbatas. Kandungan hara vermikompos yang
dihasilkan disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Kandungan hara vermikompos
Parameter sifat kimia Nilai
pH 6,5 -7,5
C-organik % 20,43 – 30,31
Nitrogen % 1,80 – 2,05
Fosfor % 1,32 – 1,93
Kalium % 1,28 – 1,50
Rasio Karbon: nitrogen 14-15 : 1
Kalsium % 3,0 – 4,5
Magnesium % 0,4 – 0,7
Natrium % 0,02 – 0,30
Sulfur % Traces to 0,40
Fe (ppm) 0,3 – 0,7
Seng (ppm) 0,028 – 0,036
Mangan (ppm) Traces to 0,40
Tembaga (ppm) 0,0027 – 0,0123
Boron (ppm) 0,0034 – 0,0075
Aluminium (ppm) Traces to 0,071
Kobalt, Molibdenum (ppm) -
Proses pengomposan
Sejarah proses pengomposan
Pengomposan merupakan praktek tertua untuk menyiapkan pupuk
organik yang selanjutnya dikembangkan menjadi kunci teknologi untuk
mendaur ulang limbah permukiman dan perkotaan. Di Indonesia,
pemanfaatan kotoran ternak sebagai pupuk kandang sudah sejak lama
dipraktekkan oleh petani tradisional. Meskipun tidak ada catatan sejarah
sejak kapan petani memanfaatkan kotoran ternak sebagai pupuk organik.
Setyorini et al.
20
Tidak ada catatan sejarah tentang pendekatan ilmiah proses
pengomposan di Indonesia, kemungkinan besar ini diperkenalkan oleh
pakar pertanian Belanda. Pengomposan merupakan praktek yang biasa di-
lakukan di pekarangan dengan memanfaatkan sampah pekarangan untuk
bahan kompos, atau di desa dengan memanfaatkan kotoran ternak. Tetapi
beberapa publikasi populer lama menjelaskan bahwa kompos yang baik
dibuat dari campuran sisa tanaman dan kotoran ternak dengan
perbandingan 3:1.
Prinsip proses pengomposan
Bahan organik tidak dapat digunakan secara langsung oleh tanaman
karena perbandingan kandungan C/N dalam bahan tersebut tidak sesuai
dengan C/N tanah. Rasio C/N merupakan perbandingan antara karbohidrat (C)
dan nitrogen (N). Rasio C/N tanah berkisar antara 10-12. Apabila bahan organik
mempunyai rasio C/N mendekati atau sama dengan rasio C/N tanah, maka
bahan tersebut dapat digunakan tanaman. Namun pada umumnya bahan
organik segar mempunyai rasio C/N tinggi (jerami 50-70; dedaunan tanaman
50-60; kayu-kayuan >400; dan lain-lain).
Prinsip pengomposan adalah untuk menurunkan rasio C/N bahan
organik hingga sama dengan C/N tanah (<20). Semakin tinggi rasio C/N
bahan organik maka proses pengomposan atau perombakan bahan
semakin lama. Waktu yang dibutuhkan bervariasi dari satu bulan hingga
beberapa tahun tergantung bahan dasar.
Proses perombakan bahan organik terjadi secara biofisiko-kimia,
melibatkan aktivitas biologi mikroba dan mesofauna. Secara alami proses
peruraian tersebut bisa dalam keadaan aerob (dengan O2) maupun anaerob
(tanpa O2). Proses penguraian aerob dan anaerob secara garis besar
sebagai berikut:
Mikroba aerob
Bahan organik + O2 ----------------------------> H2O + CO2 + hara + humus + enersi
N, P, K
Mikroba anaerob
Bahan organik -----------------------------> CH4 + hara + humus
N, P, K
Proses perombakan tersebut, baik secara aerob maupun anaerob
akan menghasilkan hara dan humus, proses bisa berlangsung jika tersedia
N, P, dan K. Penguraian bisa berlangsung cepat apabila perbandingan
antara kadar C (C-organik):N:P:K dalam bahan yang terurai setara
30:1:0,1:0,5. Hal ini disebabkan N, P, dan K dibutuhkan untuk aktivitas
metabolisme sel mikroba dekomposer (Gaur, 1980a). Oleh karena itu
penggunaan bahan organik segar (belum mengalami proses dekomposisi)
Pupuk Organik dan Pupuk Hayati
21
(nilai C/N >25) secara langsung yang dicampur/dibenam di dalam tanah
akan mengalami proses penguraian secara aerob (pemberian bahan organik
di lahan kering) atau anaerob (pemberian bahan organik di lahan sawah)
lebih dahulu. Hal ini menyebabkan ketersediaan hara N, P, dan K tanah
menurun, karena diserap dan digunakan oleh mikroba dekomposer untuk
aktivitas peruraian bahan organik. Akibatnya terjadi persaingan antara
tanaman dengan mikroba dekomposer dalam pengambilan unsur N, P, dan
K. Selain terjadi persaingan dalam pengambilan hara, proses peruraian
aerob juga menghasilkan enersi/suhu sehingga suhu tanah meningkat.
Kedua hal tersebut dapat menyebabkan tanaman kekurangan hara
(pertumbuhan tanaman terhambat) atau bahkan tanaman mati, oleh karena
itu penggunaan bahan organik yang mempunyai kadar C tinggi tetapi kadar
N, P, dan K rendah, sebaiknya sebelum digunakan diproses lebih dahulu
sampai bahan organik tersebut menjadi kompos. Pada bahan organik yang
telah terdekomposisi (menjadi kompos) telah terjadi proses mineralisasi
unsur hara dan terbentuk humus yang sangat bermanfaat bagi kesuburan
dan kesehatan tanah.
Di lingkungan alam terbuka, kompos bisa terjadi dengan sendirinya.
Proses pembusukan terjadi secara alami namun tidak dalam waktu yang
singkat, melainkan secara bertahap. Lewat proses alami, rumput, daun-
daunan, dan kotoran hewan serta sampah lainnya lama kelamaan
membusuk karena kerja sama antara mikroorganisme dengan cuaca.
Lamanya proses pembusukan tersebut lebih kurang sekitar 5 minggu hingga
2 bulan. Namun jika kita ingin waktu yang lebih singkat, 2 minggu, proses
tersebut dapat dipercepat dengan menggunakan bioaktivator perombak
bahan organik, seperti Trichoderma sp.
Komponen utama limbah padat pertanian adalah selulosa. Selulosa
merupakan senyawa yang secara alami sulit untuk didekomposisi. Hal ini
menyebabkan petani lebih suka membakar jeraminya di lahan pertanian
daripada mengembalikannya lagi ke tanah dalam bentuk kompos, sebab
pengomposan secara alami membutuhkan waktu yang lama (4-5 bulan),
terlebih pada bahan organik berlignin pada tanaman perkebunan seperti
pelepah daun dan tandan kosong kelapa sawit yang mengandung lignin tinggi.
Lignin merupakan polimer struktural fenilpropan pada tanaman vaskuler yang
membuat kekakuan tanaman dan mengikat serat dinding sel, berfungsi
menurunkan permeasi air melintasi dinding jaringan xilem dan membuat kayu
resisten terhadap serangan mikroba. Di dalam tanah lignin dari tanaman mati
didegradasi oleh mikroba menjadi humus, air dan karbon dioksida. Humus
pada permukaan tanah penting untuk struktur tanah, meningkatkan aerasi dan
moisture-holding capacity. Humus berfungsi sebagai penukar ion dasar dan
mampu menyimpan serta melepaskan hara di sekitar tanaman (Eriksson et
al., 1989). Walaupun manfaat penggunaan bahan organik untuk meningkat-
Setyorini et al.
22
kan kesuburan kimia, fisik, dan biologi tanah telah dipahami betul oleh para
ahli dan praktisi pertanian, tetapi sampai sekarang masih sulit petani
memanfaatkan kembali sisa tanaman untuk menyuburkan lahannya. Hal ini
disebabkan karena secara alami perombakan limbah pertanian memerlukan
waktu yang lama, sedangkan apabila memakai kompos yang telah jadi selain
diperlukan biaya yang mahal juga diperlukan tenaga karena kompos harus
diberikan dalam jumlah yang besar (bulky).
Komponen penyusun struktur tanaman terbesar setelah selulosa
adalah hemiselulosa (xylan) yang merupakan polimer karbohidrat kompleks
dengan xylan dan glukomanan sebagai komponen utama. Hemiselulosa
merupakan polimer dari unit-unit gula pentosa dan hexosa dimana fibril-
fibrilnya membentuk susunan amorf. Struktur hemiselulosa yang banyak
dipelajari adalah dari kelompok xylan karena menempati 7-30% dari bobot
tanaman. Degradasi dari hemiselulosa secara enzimatis memerlukan suatu
kompleks enzim yang mampu menghidrolisis xylan dan kerangka
glukomanan. Hemiselulosa umumnya relatif mudah didekomposisi dan
merupakan polisakarida yang mula-mula didekomposisi terlebih dahulu oleh
mikroba di alam, sehingga penyusutan bobot tanaman pada suatu proses
dekomposisi terjadi karena terurainya hemiselulosa.
Proses pengomposan juga bermanfaat untuk mengubah limbah
yang berbahaya, seperti misalnya tinja, sampah, dan limbah cair lain
menjadi bahan yang aman dan bermanfaat. Organisme yang bersifat
patogen akan mati karena suhu yang tinggi pada saat proses pengomposan
berlangsung.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
kompos merupakan sumber bahan organik dan nutrisi tanaman.
Kemungkinan bahan dasar kompos mengandung selulosa 15-40%, bahan
mineral (abu) 3-5%, selain itu terdapat bahan larut air panas dan dingin
(gula, pati, asam amino, urea, dan garam amonium) sebanyak 2-30%, dan
1-15% lemak larut eter dan alkohol, minyak dan lilin. Komponen organik ini
mengalami proses dekomposisi di bawah kondisi mesofilik dan termofilik.
Pengomposan dengan metode timbunan di permukaan tanah, lubang galian
tanah, sistem Indore menghasilkan bahan yang terhumufikasi berwarna
gelap setelah 3-4 bulan dan merupakan sumber bahan organik untuk
pertanian berkelanjutan.
a. Proses mikrobiologi
Konversi biologi bahan organik dilaksanakan oleh bermacam-
macam kelompok mikroorganisme heterotropik seperti bakteri, fungi,
aktinomisetes, dan protozoa. Organisme tersebut mewakili jenis tanaman
dan hewan (Biddlestone dan Gray,1985).
Pupuk Organik dan Pupuk Hayati
23
Selama proses pengomposan berlangsung, perubahan secara
kualitatif dan kuantitatif terjadi, pada tahap awal akibat perubahan
lingkungan beberapa spesies flora menjadi aktif, makin berkembang dalam
waktu yang cepat, dan kemudian hilang untuk memberikan kesempatan
pada populasi lain untuk menggantikan. Pada minggu kedua dan ketiga,
kelompok fisiologi yang berperan aktif pada proses pengomposan dapat
diidentifikasikan yaitu bakteri sebanyak 10
6
–10
7
, bakteri amonifikasi (10
4
),
pektinolitik (10
3
), dan bakteri penambat nitrogen (10
3
). Mulai hari ketujuh
kelompok mikrobia meningkat dan setelah hari ke-14 terjadi penurunan
jumlah kelompok. Kemudian kembali terjadi kenaikan populasi selama
minggu keempat. Mikroorganisme yang berperanan adalah mikroorganisme
selulopatik dan lignolitik demikian juga fungi (Tabel 5).
Tabel 5. Organisme yang aktif dalam proses pengomposan
Kelompok Organisme Jumlah/g kompos lembap
Miklofora Bakteri 10
8
– 10
9
Fungi 10
5
- 10
8
Mikrofauna Protozoa 10
4
– 10
8
Makroflora Fungi 10
4
- 10
5
Makrofauna Cacing tanah, rayap, semut, kumbang
Sumber: Sutanto (2002)
Pengomposan aerob: Dalam sistem ini, kurang lebih dua pertiga
unsur karbon (C) menguap (menjadi CO2) dan sisanya satu pertiga bagian
bereaksi dengan nitrogen dalam sel hidup. Selama proses pengomposan
aerob tidak timbul bau busuk. Selama proses pengomposan berlangsung
akan terjadi reaksi eksotermik sehingga timbul panas akibat pelepasan
energi. Kenaikan suhu dalam timbunan bahan organik menghasilkan suhu
yang menguntungkan mikroorganisme temofilik. Akan tetapi, apabila suhu
melampaui 65-70
o
C, kegiatan mikroorganisme akan menurun karena
kematian organisme akibat panas yang tinggi.
Pengomposan anaerob: penguraian bahan organik terjadi pada
kondisi anaerob (tanpa oksigen). Tahap pertama, bakteri fakultatif penghasil
asam menguraikan bahan organik menjadi asam lemak, aldehida, dan lain-
lain.; proses selanjutnya bakteri dari kelompok lain akan mengubah asam
lemak menjadi gas metan, amoniak, CO2 dan hidrogen. Pada proses aerob
energi yang dilepaskan lebih besar (484-674 kcal mole glukosa
-1
)
sedangkan pada proses anaerob hanya 25 kcal mole glukosa
-1
(Sutanto,
2002).
Setyorini et al.
24
b. Tahapan proses pengomposan
Proses dekomposisi bahan organik dapat dibagi menjadi tiga tahap
seperti disajikan dalam Tabel 6 (Sutanto, 2002). Pada tahap awal atau
dekomposisi intensif berlangsung, dihasilkan suhu yang cukup tinggi dalam
waktu yang relatif pendek dan bahan organik yang mudah terdekomposisi
akan diubah menjadi senyawa lain. Pada tahap pematangan utama dan
pasca pematangan, bahan yang sukar akan terdekomposisi akan terurai dan
membentuk ikatan kompleks lempung-humus. Produk yang dihasilkan
adalah kompos matang yang mempunyai ciri antara lain: (1) tidak berbau;
(2) remah; (3) berwarna kehitaman; (4) mengandung hara yang tersedia
bagi tanaman; dan (5) kemampuan mengikat air tinggi.
Tabel 6. Tahapan pengomposan
No. Tahapan
Pematangan
bahan
Produk
Kategori
pematangan
1. Tahap dekomposisi
dan sanitasi
Pra-matang/
dekomposisi intensif
Kompos segar II
2. Tahap konversi Pematangan utama Kompos segar III
3. Tahap sintetik Pasca pematangan Kompos matang IV & V
Sumber: Sutanto (2002)
Perkembangan proses dekomposisi yang kurang baik pada
umumnya disebabkan oleh kandungan lengas tidak sesuai dan atau
campuran bahan campuran kompos yang tidak sesuai. Selama proses
dekomposisi berlangsung harus dilakukan monitoring terhadap kelembapan
dan suhu dengan tujuan mengidentifikasi dan memperbaiki kesalahan pada
tahap awal dekomposisi. Pada Tabel 7 disajikan daftar permasalahan yang
mungkin timbul selama proses pengomposan, identifikasi penyebab, dan
cara memperbaikinya.
Pupuk Organik dan Pupuk Hayati
25
Tabel 7. Diagnosis permasalahan yang mungkin timbul, identifikasi
penyebabnya, dan cara memperbaikinya
Permasalahan Penyebab Cara menanggulangi
Bahan baku terlalu
kering, proses
dekomposisi
berhenti
- Kelembapan turun di
bawah batas ambang
yang dibutuhkan mikroba
karena suhu meningkat
- Bahan dasar kompos
terlalu kering
- Kompos dibalik secara
berkala
- Menambah bahan kompos
segar
- Menutup timbunan kompos
untuk mengurangi
penguapan
Bahan baku terlalu
basah, warna
kehitaman,
kekurangan
oksigen
- Curah hujan terlalu tinggi
- Bahan campuran
mengandung air tinggi,
namun kandungan
nitrogen rendah
- Kompos dibalik secara
berkala, bagian dasar diberi
alas kering berupa potongan
kayu atau ranting
- Menambah tanah, batuan
yang dihaluskan atau kapur
Dekomposisi
berjalan lambat
- Prosentase kandungan
lignin terlalu tinggi
sehingga rasio C/N tinggi
- Terlalu kering
- Kompos dibalik secara
berkala
- Menambahkan bahan yang
kaya nitrogen (kotoran
ternak, limbah dapur/rumah
tangga)
Bau busuk - Tergenang
- Kekurangan oksigen
- Prosentase bahan yang
mengandung nitrogen
terlalu tinggi
- Kekurangan bahan yang
ruah
- Bahan memadat
- Kompos dibalik secara
berkala
- Menambahkan bahan yang
ruah
Kompos
mengandung benih
gulma
- Selama proses
dekomposisi suhu terlalu
rendah
- Kelembapan dan aerasi
diatur
- Bahan yang mengandung
biji gulma diletakkan di
bagian tengah timbunan
agar mencapai peningkatan
suhu yang tinggi
Kompos diserang
kecoa
- Tersisa makanan dan
hewan di sekitar timbunan
dan tidak ditutup
- Menempatkan bahan limbah
dapur di bagian tengah
timbunan kemudian ditutup.
Sumber: Diolah dari Sutanto (2002)
Setyorini et al.
26
(a) (b) (c)
Gambar 1. Pembuatan pupuk organik yang berasal dari campuran kotoran
ternak dan sisa tanaman yang dilakukan dalam skala kecil: (a)
bahan dasar; (b) pencampuran; dan (c) pemberian air untuk
menjaga kelembapan
Foto: Ladiyani Retno W. (2004)
Gambar 2. Pembuatan pupuk organik berbentuk padat yang berasal dari
sampah kota (atas) dan pupuk organik cair dari urine ternak
(bawah) dalam skala industri milik PT Agro Duta, Bandung
Foto: Diah Setyorini (2006)
Pupuk Organik dan Pupuk Hayati
27
c. Syarat-syarat pembuatan kompos
Agar pembuatan kompos berhasil, beberapa syarat yang diperlukan
antara lain:
Ukuran bahan mentah. Sampai pada batas tertentu, semakin kecil
ukuran potongan bahan mentahnya, semakin cepat pula waktu
pembusukannya. Penghalusan bahan akan meningkatkan luas permukaan
spesifik bahan kompos sehingga memudahkan mikroba dekomposer untuk
menyerang dan menghancurkan bahan-bahan tersebut. Meskipun demikian,
kalau penghalusan bahan terlalu kecil, timbunan akan menjadi mampat
sehingga udara sedikit. Ukuran bahan sekitar 5-10 cm sesuai untuk
pengomposan ditinjau dari aspek sirkulasi udara yang mungkin terjadi.
Untuk mempercepat proses pelapukan, dilakukan pemotongan/mencacah
daun-daunan, ranting-ranting dan material organis lainnya secara manual
dengan tangan atau mesin. Untuk pembuatan kompos skala industri,
tersedia mesin penggilingan bertenaga listrik yang dirancang khusus untuk
memotong atau mencacah bahan organis limbah pertanian menjadi
potongan-potongan yang cukup kecil hingga bisa melapuk dengan cepat.
Suhu dan ketinggian timbunan kompos. Timbunan bahan yang
mengalami dekomposisi akan meningkat suhunya hingga 65-70
o
C akibat
terjadinya aktivitas biologi oleh mikroba perombak bahan organik (Gaur,
1980). Penjagaan panas sangat penting dalam pembuatan kompos agar
proses dekomposisi berjalan merata dan sempurna. Hal yang menentukan
tingginya suhu adalah nisbah volume timbunan terhadap permukaan. Makin
tinggi volume timbunan dibanding permukaan, makin besar isolasi panas dan
makin mudah timbunan menjadi panas. Timbunan yang terlalu dangkal akan
kehilangan panas dengan cepat, karena bahan tidak cukup untuk menahan
panas dan menghindari pelepasannya. Dalam keadaan suhu kurang optimum,
bakteri-bakteri yang menyukai panas (yang bekerja di dalam timbunan itu)
tidak akan berkembang secara wajar. Akibatnya pembuatan kompos akan
berlangsung lebih lama. Sebaliknya timbunan yang terlampau tinggi dapat
mengakibatkan bahan memadat karena berat bahan kompos itu sendiri. Hal
tersebut akan mengakibatkan suhu terlalu tinggi dan udara di dasar timbunan
berkurang. Panas yang terlalu banyak juga akan mengakibat-kan terbunuhnya
mikroba yang diinginkan. Sedang kekurangan udara mengakibatkan
tumbuhnya bakteri anaerobik yang baunya tidak enak. Tinggi timbunan yang
memenuhi syarat adalah sekitar 1,25-2 m. Pada waktu proses pembusukan
berlangsung, pada timbunan material yang tingginya 1,5 m akan menurun
sampai kira-kira setinggi 1 atau 1,25 m.
Setyorini et al.
28
Nisbah C/N. Mikroba perombak bahan organik memerlukan karbon
dan nitrogen dari bahan asal. Karbon dibutuhkan oleh mikroba sebagai
sumber energi untuk pertumbuhannya dan nitrogen diperlukan untuk
membentuk protein. Bahan dasar kompos yang mempunyai rasio C/N 20:1
hingga 35:1 sesuai untuk dikomposkan. Menurut Mathur (1980)
mikroorganisme memerlukan 30 bagian C terhadap satu bagian N, sehingga
rasio C/N 30 merupakan nilai yang diperlukan untuk proses pengomposan
yang efisien. Terlalu besar rasio C/N (>40) atau terlalu kecil (<20) akan
mengganggu kegiatan biologis proses dekomposisi. Bahan berkadar C/N
tinggi bisa menyebabkan timbunan membusuk perlahan-lahan karena
mikroba utama yang aktif pada suhu rendah adalah jamur. Hal ini berarti
bahwa pembuatan kompos dari bahan-bahan keras seperti kulit biji-bijian
yang keras dan berkayu, tanaman menjalar atau pangkasan-pangkasan
pohon (semua dengan kadar C/N tinggi) harus dicampur dengan bahan-
bahan berair seperti pangkasan daun dan sampah-sampah lunak. Bila tidak
ada bahan hijauan yang mengandung nitrogen, dapat diganti dengan
berbagai pupuk organik.
Kelembapan. Timbunan kompos harus selalu lembap, dengan
kandungan lengas 50-60%, agar mikroba tetap beraktivitas. Kelebihan air
akan mengakibatkan volume udara jadi berkurang, sebaliknya bila terlalu
kering proses dekomposisi akan berhenti. Semakin basah timbunan
tersebut, harus makin sering diaduk atau dibalik untuk menjaga dan
mencegah pembiakan bakteri anaerobik. Pada kondisi anaerob, penguraian
bahan akan menimbulkan bau busuk. Sampah-sampah yang berasal dari
hijauan, biasanya tidak membutuhkan air sama sekali pada waktu awal,
tetapi untuk bahan dari cabang atau ranting kering dan rumput-rumputan
memerlukan penambahan air yang cukup.
Sirkulasi udara (aerasi). Aktivitas mikroba aerob memerlukan
oksigen selama proses prombakan berlangsung (terutama bakteri dan
fungi). Ukuran partikel dan struktur bahan dasar kompos mempengaruhi
sistem aerasi. Makin kasar struktur maka makin besar volume pori udara
dalam campuran bahan yang didekomposisi. Pembalikan timbunan bahan
kompos selama proses dekomposisi berlangsung sangat dibutuhkan dan
berguna mengatur pasokan oksigen bagi aktivitas mikroba.
Nilai pH. Bahan organik dengan nilai pH 3-11 dapat dikomposkan.
pH optimum berkisar antara 5,5-8,0. Bakteri lebih menyukai pH netral,
sedangkan fungi aktif pada pH agak masam. Pada pH yang tinggi, terjadi
kehilangan nitrogen akibat volatilisasi, oleh karena itu dibutuhkan kehati-
hatian saat menambahkan kapur pada saat pengomposan. Pada awal
proses pengomposan, pada umumnya pH agak masam karena aktivitas
Pupuk Organik dan Pupuk Hayati
29
bakteri yang menghasilkan asam. Namun selanjutnya pH akan bergerak
menuju netral. Variasi pH yang ekstrem selama proses pengomposan
menunjukkan adanya masalah dalam proses dekomposisi.
d. Metode pengomposan
Beberapa metode pengomposan yang sering digunakan dan
dipraktekkan secara sederhana adalah:
1. Metode Indore
Bahan dasar yang digunakan adalah campuran antara sisa/residu
tanaman, kotoran ternak, urine ternak, abu bakaran kayu, dan air.
Bahan yang keras seperti ranting kayu tidak boleh melebihi 10% total
berat bahan dasar. Semua bahan yang tersedia kemudian disusun
menurut lapisan-lapisan dengan ketebalan masing-masing 15 cm,
dengan total ketebalan timbunan 1,0-1,5 m. Lokasi pembuatan kompos
dipilih yang agak tinggi dekat kandang ternak agar terbebas dari
masalah penggenangan air. Lubang galian dibuat dengan kedalaman 1
m dan lebar 1,5-2,0 m dengan panjang lubang ter-gantung ketersediaan
lahan. Selanjutnya, kotoran ternak yang telah disiapkan dimasukkan ke
dalam lubang setebal 10-15 cm secara merata kemudian ditaburi
dengan urine ternak yang dicampur tanah. Kelembapan tumpukan
bahan dijaga pada kelembapan sekitar 90%. Selama proses
pengomposan dilakukan pembalikan tiga kali pada 15, 30, dan 60 hari
setelah kompos mulai dibuat.
2. Metode Heap
Pengomposan dilakukan di permukaan tanah berukuran dasar 2 m,
tinggi 1,5 m dan panjang 2 m. Bagian tepi dipadatkan dan di sekitar
timbunan diberi peneduh atau pelindung. Sebagai lapisan dasar
pertama adalah bahan yang kaya karbon setebal 15 cm (dedaunan,
jerami, serbuk gergaji, dan batang jagung) kemudian lapisan berikutnya
adalah bahan yang kaya nitrogen setebal 10-15 cm (residu sisa
tanaman, rumput segar, kotoran ternak, dan sampah organik).
Demikian seterusnya disusun bertumpuk hingga ketinggian 1,5 m,
bahan dasar harus bervariasi agar proses dekomposisi berjalan dengan
baik dan bila perlu dicacah agar lebih halus. Kelembapan dijaga
dengan menambahkan air secukupnya dan proses pembalikan
dilakukan setelah 6 dan 12 minggu proses pengomposan berlangsung.
Setyorini et al.
30
3. Metode Bangalore
Metode ini direkomendasikan apabila bahan dasar pembuat kompos
yang digunakan adalah tinja dan sampah kota di daerah yang
mempunyai curah hujan rendah. Metode ini mempunyai banyak
kelemahan, dimana selama proses pengomposan bahan-bahan selalu
berada di dalam lubang atau bak pengomposan. Selama proses
pengomposan sekitar 3 bulan, tidak dilakukan proses penyiraman atau
pembalikan. Permukaan kompos yang ditutup dengan lumpur
menyebabkan kehilangan kelembapan dapat ditekan sehingga laju
dekomposisi bahan-bahan berjalan sangat lambat dan dapat
berlangsung hingga 6-8 bulan sampai kompos matan. Dalam proses ini
tidak terjadi kehilangan karbon dan nitrogen sehingga kualitas kompos
sangat tergantung pada bahan dasar yang digunakan. Metode yang
dikembangkan di Bangalore, India ini kurang populer karena kesulitan
dalam pengelolaan, waktu lama dan menimbulkan bau busuk dan lalat
yang banyak.
Gambar 3. Jerami, sumber bahan organik yang melimpah di lahan sawah dan
proses pengomposan jerami secara langsung di lahan meng-
gunakan mikroba dekomposer
Foto: Diah Setyorini (2006)
Pupuk Organik dan Pupuk Hayati
31
4. Metode Berkeley
Metode pengomposan ini relatif cepat hanya sekitar 2 minggu dengan
menggunakan bahan dasar campuran dua bagian bahan organik kaya
selulosa dan satu bagian bahan organik yang kaya nitrogen dengan nilai
rasio C/N sekitar 30:1. Bahan disusun berlapis-lapis 2,4 x 2,2 x 1,5 m dan
dikomposkan dalam waktu 2 minggu. Selama 2-3 hari proses
pengomposan berjalan terbentuk suhu tinggi sehingga secara berkala
kompos harus dibalik dan diaduk. Setelah hari ke-10, suhu mulai
menurun dan bahan berubah menjadi remah dan berwarna coklat gelap.
5. Vermikompos
Prinsip dari metode ini adalah memanfaatkan cacing sebagai perombak
bahan organik. Cacing tanah dapat memakan semua jenis bahan
organik dengan kemampuan makan setara dengan berat badannya per
hari. Kotoran cacing yang disebut kascing ini kaya nitrogen, fosfor,
kalium, kalsium, dan magnesium bentuk tersedia bagi tanaman,
mengandung vitamin, enzim, dan mikroorganisme. Tapiador (1981)
memprediksi dari sekitar 1.000 t bahan organik lembap dapat diubah
menjadi 300 t vermikompos.
Vermikompos dapat dibuat dalam skala kecil (sederhana) maupun skala
besar (industri). Pada pembuatan skala kecil digunakan kotak dari
papan kayu atau kotak plastik yang sudah tidak terpakai. Stirofoam atau
logam tidak dianjurkan untuk membuat kotak vermikompos karena
mengeluarkan racun ke dalam lingkungan hidup cacing, sedangkan
logam menyerap panas, mudah berkarat dan mengeluarkan logam
berat ke dalam vermikompos. Terdapat tiga cara pembuatan yaitu: (1)
kotak tidak bersekat dimana cacing dan bahan organik ditempatkan di
atas alas pada bagian dasar. Tipe ini sering digunakan namun
mempunyai kesulitan saat memanen kompos karena cacing dan
material kompos menyatu; (2) kotak bersekat vertikal berupa nampan-
nampan yang disusun secara vertikal berisi bahan organik. Diharapkan,
sebagian cacing akan bermigrasi ke lapisan nampan diatasnya. Apabila
cacing yang bermigrasi sudah cukup, kompos di bawah bisa dipanen;
dan (3) kotak bersekat horizontal dimana nampan diletakkan
berdampingan untuk memberi kesempatan cacing tanah bermigrasi
mencari sumber makanan pada kotak disampingnya. Ketika migrasi
cacing ke kotak sebelahnya telah dianggap cukup, kompos yang sudah
matang beserta cacing yang masih tertinggal bisa dipanen.
Pembuatan vermikompos berskala besar menggunakan tempat
terbuka, terdiri atas hamparan bahan organik lalu cacing melakukan
pengomposan dengan memakan bahan organik tersebut. Cacing pada
Setyorini et al.
32
umumnya tetap tinggal dan tidak meloloskan diri dari hamparan karena
melimpahnya bahan makanan. Permukaan hamparan bahan organik
sering diperkeras dengan beton untuk mencegah predators memakan
populasi cacing tanah.
Proses pembuatan vermikompos dilaksanakan melalui tiga tahap: (1)
pengadaan bahan organik; (2) perbanyakan cacing tanah; dan (3)
proses pengomposan. Bahan organik berupa campuran limbah dapur
dan bahan mengandung karbon (kertas koran, serbuk gergaji, jerami,
kardus, gambut, bahan-bahan lapuk, dan daun kering) diperlukan
sebagai media berstruktur lepas untuk memudahkan cacing bernafas
dan sebagai sarana proses dekomposisi aerobik. Aktivitas cacing
optimal pada suhu 12-21
O
C, cacing Pheretima hupiensis, optimal pada
suhu media sekitar 28
o
C, pada suhu 30
o
C, kokon menetas, dan pada
suhu 32
o
C anak cacing mati.
e. Waktu pengomposan
Waktu yang diperlukan untuk proses pengomposan guna memperoleh
kompos matang dan stabil tergantung pada beberapa faktor yaitu: (1) rasio
C/N bahan dasar; (2) ukuran partikel; (3) keberadaan udara (keadaan
aerobik); dan (4) kelembapan (Jain dalam FAO, 1980).
Selama proses pengomposan, bahan kompos mengalami
perombakan oleh beberapa spesies mikroorganisme yang akan berubah
selama proses pengomposan berlangsung. Bakteri dan fungi yang tahan
suhu tinggi akan dijumpai terutama pada tahap pertengahan dari periode
pengomposan dimana pada saat ini suhu dalam tumpukan kompos (pile)
tinggi. Dengan berlanjutnya proses pengomposan, kandungan (total) karbon
akan menurun sementara kandungan nitrogen meningkat, kemudian suhu
menjadi stabil. Pada akhir proses akan terbentuk kompos matang yang
secara biologis bersifat stabil dengan C/N rasio relatif rendah. Kematangan
kompos merupakan aspek yang penting dalam penentuan kualitas kompos.
Penggunaan kompos yang tidak matang akan mendatangkan efek yang
merugikan terhadap pertumbuhan tanaman karena panas yang ditimbulkan
selama proses pengomposan berlangsung.
Nilai C/N rasio dari suatu bahan organik merupakan aspek penting
dalam pengomposan dan laju dekomposisi bahan organik. Mikro-organisme
membutuhkan sumber karbon untuk pertumbuhan dan nitrogen untuk
sintesis protein. Organisme biasanya membutuhkan 30 bagian dari berat
karbon terhadap satu bagian nitrogen sehingga rasio C/N 30 merupakan
nilai yang paling efisien untuk proses pengomposan. Pengomposan bahan-
bahan yang mempunyai C/N rasio lebih tinggi memerlukan waktu
pengomposan yang lebih lama. Untuk memperpendek waktu pengomposan
Pupuk Organik dan Pupuk Hayati
33
digunakan bahan-bahan yang kaya akan nitrogen. Bahan tersebut
dinamakan aktivator.
Aktivator adalah segala bentuk substansi yang secara mikrobiologis
akan menstimulir proses dekomposisi di dalam tumpukan kompos. Aktivator
organik adalah materi yang mengandung nitrogen yang tinggi dalam
berbagai bentuk seperti protein, asam amino, urea, dan lain-lain. Bahan-
bahan tersebut terdapat dalam manure, darah, sampah, kompos, dan tanah
yang mengandung humus.
Faktor yang mempengaruhi mutu kompos
Mutu kompos dipengaruhi oleh tipe dan mutu dari bahan dasar-nya,
serta mutu dari proses pengomposannya. Proses pengomposan dipengaruhi
oleh beberapa parameter, seperti ukuran partikel, kandungan air, skrening,
formasi timbunan, aerasi, dan sebagainya. Mutu kompos yang sudah siap
dipakai sangat tergantung kepada tingkat kontaminan dari bahan
pembentuknya. Bahan organik dapat tercemar melalui air yang tercemar,
sumber bahan organik, dan residu pestisida. Sumber logam berat yang
mencemari kompos tersebut antara lain: baterai (merkuri, kadminium,
plumbum, dan seng), kulit (kromium), cat (kromium, plumbum, dan
kadmium), plastik (kadmium, plumbum, dan nikel), pelapis cahaya
(plumbum), kertas (plumbum), elektronik (plumbum dan kadmium), keramik
(plumbum dan kadmium), kosmetika (kadmium dan seng), dan debu.
Masalah logam berat
Masalah yang paling utama pada produksi kompos adalah hadirnya
logam atau bahan beracun yang berbahaya, baik untuk kesehatan manusia
maupun untuk pertumbuhan tanaman. Bahan dasar kompos yang paling
banyak digunakan adalah sampah kota dan sewage. Bahan tersebut dapat
mengandung logam berat yang cukup tinggi seperti arsen (As), kadmium
(Cd), dan timah (Pb). Unsur-unsur ini akan terserap oleh tanaman dan
termakan oleh manusia dan akhirnya akan mengkontaminasi seluruh rantai
makanan. Tiap negara mempunyai peraturan yang berbeda untuk nilai
logam berat yang diperbolehkan berada dalam kompos yang dihasilkan. Di
Florida maksimum Cd dan Pb dalam kompos adalah masing-masing 15 mg
kg
-1
dan 500 mg kg
-1
. Canada 3 mg kg
-1
dan 150 mg kg
-1
. Korea 5 mg kg
-1
dan 150 mg kg
-1
(Setyorini dan Prihatini, 2003). Petunjuk atau peraturan ini
merupakan bentuk pengamanan terhadap kualitas kompos yang harus
diikuti dengan cara monitoring secara teratur yang dilakukan oleh pihak
produsen juga oleh pemerintah. Di Korea telah dibuat suatu peraturan
mengenai kriteria kandungan logam berat dalam bahan dasar kompos yang
akan digunakan, yaitu: (dalam mg kg
-1
) As (<50), Hg (<2), Pb (<150), Cd
Setyorini et al.
34
(<5), Cu (<500), Cr (<300), Zn (<900), dan Ni (<50) (Myung and Youn Lee,
2001 dalam Setyorini dan Prihatini, 2003). Seleksi ini penting dilakukan
terutama untuk material kompos yang berasal dari sampah kota, industri
makanan, tekstil, pembuatan oli, aki, dan lain-lain. Hasil yang dicapai
dengan adanya peraturan ini sangat signifikan, karena saat itu banyak
produsen pupuk organik yang ingin mencari keuntungan maksimal dengan
menggunakan bahan dasar kompos yang kurang baik. Dengan adanya
peraturan tersebut, maka pemalsuan pupuk organik dapat dikendalikan.
Kematangan kompos
Agar dapat digunakan sebagai bahan penyubur tanah, kompos harus
benar-benar stabil (matang). Beberapa metode dan parameter yang diuji
untuk menentukan derajat kestabilan kompos, antara lain: (1)
karbon/nitrogen (rasio C/N); (2) stabilitas terhadap pemanasan; (3) reduksi
dalam bahan organik; dan (4) parameter humifikasi. Peneliti lain
menunjukkan indikator kematangan kompos seperti disajikan pada (Tabel 8)
antara lain penetapan rasio C/N, pH, KTK, sedangkan sifat-sifat yang perlu
diketahui pada tingkat petani yaitu warna kompos serta aroma. Kompos
yang sudah matang berwarna coklat gelap dan berbau tanah (earthy) (Yang,
1996).
Tabel 8. Beberapa indikator kematangan kompos
Parameter Indikator Pustaka
Suhu Stabil Stickelberger, 1975
pH Alkalis Jaun et al.,1959
COD Stabil Yang et al.,1993
BOD Stabil Yang et al.,1993
C/N rasio < 20 Juste,1980
Laju respirasi < 10 mg g
-1
kompos Morel et al., 1979
Warna Coklat tua Sugahara et al.,1982
Bau Earthy Chanyasak et al.,1982
KTK > 60 me 100g
-1
abu Harada et al.,1971
Sumber: Yang,1996
Departemen Pertanian RI telah menerbitkan Permentan No.
02/Pert/III/2006 tentang tata cara pendaftaran pupuk organik yang juga
mengatur tentang kriteria minimal mutu pupuk organik. Pembicaraan
mengenai standarisasi pupuk organik ini akan disampaikan pada Bab 11 di
dalam buku ini.
Pupuk Organik dan Pupuk Hayati
35
Keuntungan dan kelemahan penggunaan kompos
Selain bernilai positif, penggunaan kompos juga mempunyai
pengaruh yang negatif atau merugikan. Penggunaan kompos yang belum
matang akan menyebabkan dekomposisi pada kondisi anaerobik. Hal
tersebut akan menghasilkan senyawa fitotoksik dari asam-asam organik,
amoniak, nitrit-nitrogen, besi, dan mangan. Untuk mengatasi hal ini dapat
dilakukan dengan menggunakan kompos yang telah memenuhi standar
yang telah ditentukan.
Salah satu kriteria mutu kompos yang baik adalah nisbah C/N.
Nisbah C/N yang tinggi (30:1) pada kompos yang belum matang
menyebabkan dekomposisi yang lambat dan menghambat pertumbuhan
tanaman karena kekurangan nitrogen tersedia. Sedangkan nisbah C/N yang
rendah (15:1) menyebabkan nitrat-N yang dapat mengurangi mutu
tanaman pertanian atau perkolasi ke dalam suplai air. Rasio C/N kompos
yang matang menurut MSW sekitar 20. Mutu kompos tidak hanya ditentukan
oleh kematangan kompos tersebut dan kandungan haranya tetapi juga
ditentukan oleh kandungan polutan terutama logam berat dan bahan kimia
organik seperti pestisida. Penggunaan kompos yang tercemar oleh bahan-
bahan polutan dalam waktu yang lama akan menyebabkan terakumulasinya
bahan pencemar tersebut dalam tanah. Akumulasi bahan polutan tersebut
akan menyebabkan toksik bagi tanaman, atau juga diambil dan diserap oleh
tanaman lalu dikonsumsi oleh hewan atau manusia sehingga bersifat toksik
juga pada hewan atau manusia yang mengkosumsinya. Logam berat yang
merupakan polutan bagi tanaman, hewan dan kesehatan manusia antara
lain arsenik (As), boron (B), kadminium (Cd), kuprum (Cu), merkuri (Hg),
molibdenum (Mo), nikel (Ni), plumbum (Pb), selenium (Se), dan seng (Zn).
Namun demikian banyak negara telah membuat standar untuk kandungan
logam berat ini kecuali untuk boron, molibdenum, dan selenium.
Beberapa bahan yang dapat dikomposkan dapat merupakan
masalah bagi kesehatan manusia. Kebanyakan sisa-sisa organik dari
manusia dan hewan mengandung berbagai macam mikroorganisme
patogenik. Namun demikian jika dalam proses pengomposan mengikuti
proses produksi yang aman untuk pengomposan, hal tersebut dapat
dicegah. Penggunaan suhu 55
o
C selama 2-3 hari pada waktu pengomposan
dapat mematikan mikroorganisme yang patogen tersebut.
Dalam pembuatan vermikompos, masalah yang sering timbul adalah
bau busuk disebabkan terlalu banyak hijauan di dalam kotak, terutama
terlalu banyak nitrogen yang bercampur dengan hidrogen dan membentuk
amoniak. Untuk menetralkan bau ini, dapat ditambahkan sejumlah bahan
karbon lalu dicampur. Karbon akan menyerap nitrogen dan membentuk
Setyorini et al.
36
campuran yang tidak berbau. Kertas dan daun kering merupakan sumber
karbon yang bagus. Penambahan karbon terlalu banyak menyebabkan
proses dekomposisi lambat.
Pengkayaan kompos untuk peningkatan kualitas
Dasar pemikiran
Kompos mempunyai kandungan hara yang rendah dibandingkan
dengan pupuk sintetis pabrik. Namun kompos memiliki keuntungan lain yang
tidak dimiliki oleh pupuk mineral, seperti peran untuk memperbaiki struktur
fisik tanah dan mikrobiologi tanah. Berbagai substansi dapat meningkatkan
status hara dalam kompos. Meskipun penambahan pupuk pabrik dapat
meningkatkan kandungan hara dalam kompos, tetapi cara ini tidak dianjurkan
karena pupuk nitrogen yang ditambahkan akan menguap selain itu
penambahan pupuk tidak akan menyebabkan meningkatnya hara kompos.
Pupuk mineral tergolong mahal dan hanya mampu menyuplai satu
atau dua nutrisi untuk pertumbuhan tanaman. Pengkayaan kompos
dimaksudkan untuk meningkatkan status nutrisinya. Pupuk P-alam, tepung
tulang serta darah kering dapat ditambahkan karena bahan-bahan tersebut,
selain mengandung hara makro juga mengandung hara mikro serta
harganya relatif murah dibandingkan pupuk pabrik. Penambahan nitrogen
dapat dilakukan secara mikrobiologis yaitu dengan cara inokulasi dengan
bakteri Azotobacter, sedangkan penambahan mikroorganisme pelarut fosfat
dapat meningkatkan ketersediaan P dalam kompos. Inokulasi kompos
dengan mikroorganisme harus dilakukan pada saat suhu kompos sudah
stabil yaitu sekitar 30-35
o
C (Gaur, 1980b).
Pengapuran pada timbunan kompos
Hasil kompos terbaik mempunyai pH mendekati netral atau sedikit ke
arah alkali. Untuk mencapai nilai pH netral, untuk bahan kompos yang sifatnya
masam perlu ditambahkan kapur pada saat proses pengomposan. Bahan
kapur yang biasa digunakan adalah kapur pertanian (kaptan), dolomit, dan
kalsium karbonat. Selain itu, limbah atau hasil samping industri berupa ampas
bijih atau terak dapat pula digunakan sebagai bahan pengapuran kompos.
Pengkayaan dengan fosfor
Pengkayaan kompos dengan fosfor dilakukan dengan
menambahkan superfosfat atau fosfat alam sebanyak 5% saat proses
pengomposan. Sumber lain yang bisa digunakan adalah bahan alami seperti
tulang yang dijadikan tepung, dan darah kering. Batuan fosfat alam yang
dipakai sebaiknya mengandung kadar fosfat rendah (<11%). Batuan ini lebih
Pupuk Organik dan Pupuk Hayati
37
menguntungkan karena mengandung kalsium dan unsur mikro. Selain
fosfor, tepung tulang juga menyediakan nitrogen sekitar 2-4%. Tepung
tulang yang telah direbus mengandung nitrogen lebih sedikit dibanding yang
alami. Terak baja mengandung kalsium, magnesium, dan hara lain setara
dengan sumber fosfor yang lain. Sedangkan pohon pisang mengandung 1-
1,5% fosfor saat berbentuk abu.
Pengkayaan dengan kalium
Serbuk granit atau kalium bubuk mengandung material seperti
feldspar yang dapat ditambahkan untuk memperkaya kompos. Bunga
bakung air, kulit dan batang pisang merupakan tanaman yang kaya unsur
kalium dan mineral lain yang diperlukan tanaman. Kulit dan batang pisang
mengandung 34-42% kalium, rumput laut kaya akan iodine, boron, tembaga,
magnesium, kalsium, dan fosfor. Dedaunan seperti tithonia (kirinyu dan
kipait) merupakan salah satu sumber yang dapat ditambahkan dalam bahan
dasar kompos. Kulit kentang dan kentang kering mengandung 1% kalium,
4% kalsium, dan 1% magnesium.
Pengkayaan dengan nitrogen
Penambahan senyawa nitrogen yang mengandung 2% N akan
menurunkan rasio C/N sampai ke angka 10, namun aplikasi ini tidak
ekonomis karena biaya produksi menjadi mahal. Padahal teknologi
pengomposan menghendaki bahan pengkaya yang murah dan dapat
diperoleh dengan mudah.
Pengkayaan dengan mikroba
Kompos merupakan media dan lingkungan yang baik untuk
pertumbuhan bakteri heterotrof dan kemoautotrof. Faktor yang membatasi
pertumbuhan mikroba menguntungkan adalah kadar nitrogen serta bahan
dasar kompos yang mempunyai rasio C/N yang besar. Dalam kondisi seperti
ini, dapat diupayakan untuk menambah mikroba penambat nitrogen dari
atmosfer untuk mengurangi kompetisi dari mikroorganisme lain yang tidak
dapat menambat nitrogen. Organisme-organisme ini secara aktif dapat
menurunkan rasio C/N kompos dan memperkayanya dengan bakteri
penambat nitrogen seperti Azotobacter.
Penambahan mikroba pelarut fosfor akan meningkatkan kualitas
kompos setara dengan penambahan fosfor dari hewan dan tumbuhan.
Mikroba pelarut fosfor ini akan merombak batuan fosfat yang tidak larut dan
bentuk mineral fosfor yang tidak tersedia menjadi bentuk yang tersedia bagi
tanaman.
Setyorini et al.
38
Gambar 4. Bahan pengkaya kompos seperti P-alam, dolomit, dan mikroba
(kiri) dan proses pengayakan kompos yang telah matang
sebelum ditambah bahan pengkaya (kanan)
Gambar 5. Proses pencampuran bahan pengkaya dolomit, P-alam, dan
mikroba multiguna (MTM) pada kompos yang telah matang dan
diayak
Foto: Saraswati (2006)
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. New York: John Wiley
and Sons.
Anonim. 1991. Penelitian dan Pengembangan Pupuk Kompos Sampah
Kota. Kerjasama Penelitian antara Center for Policy and
Implementation Studies dengan Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian.
Pupuk Organik dan Pupuk Hayati
39
Biddlestone, A.J., and K.R. Gray. 1985. Composting. In C.W. Robinson and
J.A. Howel (Eds.). Comprehensive Biotechnology. Vol. 4. Pergamon
Press, Oxford, U.K.
CPIS (Centre for Policy and Implementation Studies) dan Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat. (1991). Penelitian dan Pengembangan
Pupuk Kompas Sampah Kota. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
Eriksson, K.E.L., R.A. Blanchette, and P. Ander. 1989. Microbial and
Enzymatic Degradation of Wood and Wood Components. Springer-
Verlag Heildeberg. New York.
FAO. 1980. Mechanized compost plant, Delhi. In Compost Technology.
Project Field Document No. 13.
FAO. 1987. Princples of composting. In Soil Management: Compost
Production and use in Tropical and Sub-tropical Environments. FAO
Soils Bulletin 56.
Gaur, A.C.1980a. Rapid composting. In Compost Technology. Project Field
Document No. 13. Food and Agriculture Organization of The United
Nations.
Gaur, A.C. 1980b. A Manual of Rural Composting. Project Field Document
No. 15. Food and Agriculture Organization of The United Nations.
Garcia C, Hernandez T, Costa F, Ceccanti B. 1994. Biochemical parameters
in soils regenerated by the addition of organic wastes. Wastes
Management and Res. 12: 457-466.
Haug, R.T. 1980. Composting Engineering and Practices. Ann Arbor
Science, Michigan.
Kurnia, U., D. Setyorini, T. Prihatini, S. Rochayati, Sutono dan H. Suganda.
2001. Perkembangan dan Penggunaan Pupuk Organik di Indonesia.
Rapat Koordinasi Penerapan Penggunaan Pupuk Berimbang dan
Peningkatan Penggunaan Pupuk Organik. Direktorat Pupuk dan
Pestisida, Direktorat Jendral Bina Sarana Pertanian, Jakarta,
Nopember 2001.
Ladd, J.N. 1985. Soil enzymes. p. 175-221. In D. Vaughan and R.E.
Malcolm (Eds.). Soil Organik Matter and Biological Activity. The
Hague, the Netherlands, Nijhoff & Junk Publ.
Mathur, R.S. 1980. Use of Indigenous Materials for Accelerating Composting
In. Compost Technology. FAO Project Field Document No. 13.
Myung Ho Un and Youn Lee. 2001. Evaluation of organic waste for
composting and quality control of commercial composts in Korea.
Setyorini et al.
40
International Workshop on Recent Technologies of Composting and
their Application.
Ladd, J.N. 1985. Soil enzymes. p. 175-221. In D. Vaughan and R.E.
Malcolm (Eds.). Soil Organik Matter and Biological Activity. The
Hague, the Netherlands, Nijhoff & Junk Publ..
Mathur, R.S. 1980. Use of Indigenous Materials for Accelerating
Composting In. Compost Technology. FAO Project Field Document
No. 13.
Rao, S.S.N. 1975. Soil Microorganism and Plant Growth. Oford & IBH Publ.
Co. New Delhi, India.
Sibuea, L.H., K. Prastowo, Moersidi S., dan Edi Santoso. 1993. Penambahan
pupuk untuk mempercepat pembuat kompos dari bahan sampah
pasar. hlm. 267-280 dalam Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian
Tanah dan Agroklimat: Bidang Kesuburan dan Produktivitas Tanah.
Bogor, 18-21 Februari 1993. Puslittanak, Bogor.
Setyorini, D. 2003. Persyaratan mutu pupuk organik untuk menunjang
budidaya pertanian organik. Disampaikan pada Seminar Sehari
Penggunaan Pupuk Organik. BPTP DI Yogyakarta.
Setyorini, D. dan Prihatini, T. 2003. Menuju “quality control” pupuk organik di
Indonesia. Disampaikan dalam Pertemuan Persiapan Penyusunan
Persyaratan Minimal Pupuk Organik di Dit. Pupuk dan Pestisida,
Ditjen Bina Sarana Pertanian, Jakarta 27 Maret 2003.
Sutanto, R. 2002. Pertanian Organik: Menuju Pertanian Alternatif dan
Berkelanjutan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Tan, K.H. 1991. Dasar-dasar Kimia Tanah. Didiek, H.G (penerjemah). Edisi
I. Gadjah Mada University Press.
Tan, K.H. 1993. Environmental Soil Science. Marcel Dekker. Inc. New York.
Tapiador, D.D. 1981. Vermiculite and its potential in Thailand and other
Asian countries. First National Earthworm Grower’s Convention,
Manila Philippines.
Yang, S.S. 1996. Preparation and characterization of compost. In Proceedings
of International Training Workshop on Microbial Fertilizers and
Composting. October 15-22, 1996 Taiwan Agricultural Research
Institute Taichung, Taiwan, Republic of China.FFTC and TARI.
1
PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KACANG HIJAU (Vigna radiata L.)
MELALUI PEMBERIAN PUPUK PHONSKA
Mesty W. Rahman
Pembimbing : Moh. Ikbal Bahua dan Nurmi
ABSTRAK
Pertumbuhan dan Produksi Kacang Hijau (Vigna radiata L.) melalui Pemberian Pupuk
Phonska di Desa Molingkapoto Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara. Di
bawah bimbingan Moh. Ikbal Bahua sebagai pembimbing I dan Nurmi sebagai pembimbing
II.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pertumbuhan kacang hijau (Vigna
radiata L.) melalui pemberian pupuk phonska dan produksi kacang hijau (Vigna radiata L.)
melalui pemberian pupuk phonska. Penelitian ini disusun menggunakan rancangan acak
kelompok (RAK) dengan empat perlakuan yakni P0 (tanpa pupuk), P1 (200 kg/ha), P2 (250
kg/ha), dan P3 (300 kg/ha) dan diulang sebanyak tiga kali. Hasil penelitian menunjukan
pertumbuhan kacang hijau melalui pemberian pupuk phonska berpengaruh nyata terhadap
tinggi tanaman dan jumlah tangkai pada umur 30 HST dan 57 HST pada perlakuan pupuk
phonska dengan dosis pupuk 300 kg/ha. Produksi kacang hijau melalui pemberian phonska
berpengaruh nyata terhadap jumlah polong setiap tangkai, jumlah biji per polong, panjang
polong, dan produksi real pada perlakuan pupuk phonska dengan dosis pupuk 300 kg/ha.
Kata Kunci : Pertumbuhan, Produksi kacang hijau, Pupuk Phonska
PENDAHULUAN
Kacang hijau merupakan jenis tanaman leguminose dan tahan akan kekeringan,
sehingga mempunyai potensi besar untuk dikembangkan. Dalam hal pengembangan
potensinya. Untuk itu dalam mencapai pertumbuhan dan produktivitas yang maksimal perlu
adanya pemupukan yang baik dan benar. Pemupukan merupakan faktor penting guna
menunjang pertumbuhan dan produksi suatu tanaman. Dengan adanya pemupukan, tanaman
dapat tumbuh optimal dan berproduksi maksimal. Pemupukan yang tepat sesuai aturan, baik
dari segi jenis pupuk, dan dosis dapat meningkatkan laju pertumbuhan tanaman. Kacang hijau
dalam pertumbuhannya mampu mengikat Nitrogen (N) dari udara bebas, karena mempunyai
bintil akar yang berfungsi sebagai bakteri rhizobium. Untuk itu pemberian pemupukan N
perlu diperhatikan pada proses budidaya kacang hijau.
Terdapat dua jenis pupuk yang digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan dan
produksi tanaman, yaitu: pupuk organik dan pupuk anorganik. Pupuk organik adalah pupuk
yang berasal dari pupuk kandang atau kotoran hewan yang sudah mengalami dekomposisi
oleh mikroorganisme tanah, sedangkan pupuk anorganik adalah pupuk yang dibuat dari
pabrik yang unsur haranya sengaja ditambahkan ke dalam pupuk tersebut sebagai suatu unsur
hara yang dikandung oleh pupuk itu. Umumnya pupuk organik yang dikenal oleh petani
berupa pupuk kompos, pupuk hijau dan pupuk kandang, sedangkan pupuk anorganik
merupakan pupuk yang dibuat di pabrik-pabrik dari bahan-bahan kimia yang berkadar tinggi
yang dapat membantu pertumbuhan dan produksi tanaman. Pupuk anorganik mengandung
beberapa keutamaan seperti kadar unsur hara yang tinggi, kemampuan menyerap dan
melepaskan airnya tinggi serta mudah larut dalam air, sehingga mudah diserap tanaman.
Umumnya dikenal petani adalah pupuk urea, SP-36, dan pupuk KCl. Sesuai dengan
perkembangan potensi pasar dan kadar kandungan pupuk SP-36 yang setiap saat berubah-
2
ubah, maka pupuk SP-36 yang merupakan unsur dari pupuk P (phospor), maka dikenal pupuk
phonska sebagai pengganti pupuk P dikalangan petani (Hardjowigeno, 1987).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka perlu dilakukan suatu penelitian tentang
pertumbuhan dan produksi kacang hijau (Vigna radiata L.) melalui pemberian pupuk
phonska. Dengan dilaksanakannya penelitian ini untuk melihat potensi produksi dan
pertumbuhan kacang hijau sebagai salah satu alternatif untuk meningkatkan pendapatan
petani.
METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Molingkapoto Kecamatan Kwandang Kabupaten
Gorontalo Utara. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai dengan Juni 2013.
Alat dan bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini, terdiri dari: cangkul, tajak, potongan
bambu sebagai patok atau sebagai penanda (sampel), tali rapia, gunting, meteran, tugal,
timbangan, wadah plastik, kantong plastik, alat tulis menulis dan kamera. Bahan-bahan yang
digunakan dalam penelitian ini, terdiri dari: Benih Kacang Hijau varietas Vima 1, Pupuk
phonska.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan empat
perlakuan dan diulang sebanyak tiga kali. Perlakuan yang diujicobakan sebagai berikut :
1. P0 = Tanpa Pupuk.
2. P1 = 200 Kg/ha
3. P2 = 250 Kg/ha
4. P3 = 300 Kg/ha
Prosedur Penelitian
Sebelum melakukan penelitian terlebih dahulu melakukan peninjauan lokasi penelitian.
Tanah yang digunakan pada penelitian ini di analisis menggunakan PUTK (Perangkat Uji
Tanah Kering). Analsis tanah bertujuan untuk mengetahui kandungan unsur hara pada tanah
tersebut. Prosedur penelitian yang dilaksanakan adalah sebagai berikut :
a. Penyiapan Lahan
Lahan yang akan ditanami diolah hingga cukup gembur untuk pertumbuhan tanaman
yang optimal. Selain itu, lahan sebaiknya bebas dari gulma. Penyiapan lahan meliputi
pengolahan tanah yakni dengan menggunakan traktor. Kemudian dilakukan pembuatan plot
yakni dengan ukuran 2 m x 3 m, jarak antar plot 1 m.
b. Penanaman
Kacang hijau yang ditanam adalah benih yang bersertifikat agar bisa menunjang
penelitian berhasil. Penanaman benih dilakukan dengan cara ditugal sedalam 3 - 4 cm dari
permukaan tanah dan disetiap lubangnya diisi satu butir lalu ditutup kembali dengan tanah.
Jarak tanam kacang hijau yaitu 30 cm x 20 cm.
c. Pemupukan
Pupuk yang diaplikasikan pada kacang hijau adalah pupuk anorganik phonska.
Pemupukan kacang hijau diberikan sebanyak dua kali yaitu pada saat tanaman berumur satu
minggu setelah tanam dan 30 hari setelah tanam. Pupuk diberikan ke masing-masing
perlakuan dengan dosis yang berbeda, berikut dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
3
Tabel 1. Dosis pupuk phonska pada pemupukan pertama dan kedua
Perlakuan
Jumlah penggunaan pupuk phonska (kg/ha)
Pemupukan I Pemupukan II
Tanpa pupuk 0 0
200 120 80
250 150 100
300 180 120
Tabel 2. Dosis pemberian pupuk phonska pertama dan kedua diberikan dalam setiap
perlakuan (gram)
Perlakuan
Jumlah penggunaan pupuk phonska (g)
Pemupukan I Pemupukan II
Tanpa pupuk 0 0
200 1.125 0.75
250 1.406 0.935
300 1.688 1.125
d. Pemeliharaan
Pemeliharaan kacang hijau meliputi pengairan, penyulaman, penyiangan pengendalian
hama dan penyakit. Kacang hijau relatif tahan kering, namun tetap memerlukan pengairan
terutama pada periode kritis yaitu pada waktu perkecambahan, menjelang berbunga dan
pembentukkan polong. Penyulaman dilakukan pada tanaman yang mati atau tumbuh
abnormal, penyulaman dilakukan 2 minggu setelah tanam. Penyiangan dilakukan dua kali
yakni pada umur 2 dan 4 minggu tergantung dengan pertumbuhan gulma. Untuk
pengendalian hama dan penyakit dilakukan saat tanaman mulai berbunga, yakni dengan
menyemprotkan pestisida.
e. Panen
Panen kacang hijau dilakukan pada saat tanaman sudah berumur 57 hari atau sesuai
umur varietas yakni dengan memiliki ciri-cirinya adalah berubahnya warna polong dari hijau
menjadi hitam atau coklat dan kering serta mudah pecah. Panen dilakukan dengan cara
dipetik.
Variabel yang diamati
Komponen variabel yang diamati pada penelitian ini adalah tinggi tanaman, jumlah
tangkai, jumlah polong setiap tangkai, jumlah biji perpolong, panjang polong, dan produksi
real.
Analisis Data
Data hasil penelitian ini dianalisis dengan menggunakan analisis of varians (anova).
Apabila terdapat perlakuan yang menunjukan perbedaan yang nyata dilakukan uji lanjut
dengan uji BNT pada taraf 5 % dan menggunakan Tabel notasi untuk menentukan perbedaan
terhadap setiap perlakuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
a. Tinggi Tanaman
Data tinggi tanaman dan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pertumbuhan
dan produksi kacang hijau melalui pemberian pupuk phonska berpengaruh nyata terhadap
tinggi tanaman kacang hijau pada umur 30 HST dan umur 57 HST. Rataan tinggi tanaman
kacang hijau dapat dilihat pada Tabel 3.
4
Tabel 3. Rataan Tinggi Tanaman Kacang Hijau melalui Pemberian Pupuk Phonska
Perlakuan
Rataan Tinggi Tanaman Kacang Hijau (cm)
30 HST 57 HST
Tanpa Pupuk Phonska 16.30 a 38.20 a
Pupuk Phonska 200 kg/ha 23.80 b 49.40 b
Pupuk Phonska 250 kg/ha 24.40 b 51.60 b
Pupuk Phonska 300 kg/ha 28.77 b 54.87 b
BNT 5 % 6.29 7.98
KK (%) 3 8
Ket: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata terhadap tinggi tanaman kacang hijau
pada taraf nyata 5%
Hasil uji BNT pada Tabel 3 di atas menunjukan bahwa pemberian pupuk phonska
terhadap tinggi tanaman kacang hijau dengan rataan tertinggi terdapat pada perlakuan pupuk
phonska 300 kg/ha yaitu umur 30 HST (28,77 cm) dan umur 57 HST (54,87 cm), sedangkan
yang terendah terdapat pada perlakuan tanpa pupuk phonska yaitu umur 30 HST (16,30 cm)
dan umur 57 HST (38,20 cm). Perlakuan pupuk phonska 300 kg/ha berbeda nyata dengan
perlakuan pupuk phonska 250 kg/ha, 200 kg/ha, dan tanpa perlakuan pupuk pada uji BNT
5%.
b. Jumlah Tangkai
Data jumlah tangkai dan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pertumbuhan
dan produksi kacang hijau melalui pemberian pupuk phonska berpengaruh nyata terhadap
jumlah tangkai kacang hijau pada 30 HST dan umur 57 HST. Rataan jumlah tangkai kacang
hijau dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Rataan Jumlah Tangkai Kacang Hijau melalui Pemberian Pupuk Phonska
Perlakuan
Rataan Jumlah Tangkai Kacang Hijau (Cabang)
30 HST 57 HST
Tanpa Pupuk Phonska 3.35 a 4.67 a
Pupuk Phonska 200 kg/ha 4.52 a 5.47 a
Pupuk Phonska 250 kg/ha 5.19 ab 6.00 a
Pupuk Phonska 300 kg/ha 5.76 b 7.77 b
BNT 5 % 1.25 1.88
KK (%) 13
Ket: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata terhadap tinggi tanaman kacang hijau
pada taraf nyata 5%
Hasil uji BNT pada Tabel 4 di atas menunjukan bahwa pemberian pupuk phonska
terhadap jumlah tangkai kacang hijau dengan rataan tertinggi pada umur 30 HST diperoleh
pada perlakuan pupuk phonska 300 kg/ha yaitu 5,76 cabang dan terendah terdapat pada
perlakuan tanpa pupuk yaitu 3,35 cabang. Perlakuan pupuk phonska 300 kg/ha berbeda nyata
dengan perlakuan pupuk phonska 300 kg/ha, 250 kg/ha dan tanpa perlakuan pupuk pada
uji BNT 5%.
Umur 57 HST jumlah tangkai kacang hijau rataan terendah terdapat pada perlakuan
tanpa pupuk yaitu 4,67 cabang sedangkan rataan yang tertinggi terdapat pada perlakuan
pupuk phonska 300 kg/ha yaitu 7,77 cabang. Perlakuan pupuk phonska 300 kg/ha berbeda
nyata dengan perlakuan pupuk phonska 200 kg/ha, 250 kg/ha dan tanpa perlakuan pada uji
BNT 5%.
c. Jumlah Polong setiap Tangkai
Data jumlah polong setiap tangkai dan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa
pertumbuhan dan produksi kacang hijau melalui pemberian pupuk phonska berpengaruh
5
nyata terhadap jumlah polong setiap tangkai kacang hijau. Rataan jumlah polong setiap
tangkai kacang hijau dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Rataan Jumlah Polong setiap Tangkai Kacang Hijau melalui Pemberian Pupuk
Phonska
Perlakuan Rataan Jumlah Polong setiap Tangkai Kacang Hijau (Polong)
Tanpa Pupuk Phonska 9.47 a
Pupuk Phonska 200 kg/ha 12.73 b
Pupuk Phonska 250 kg/ha 13.53 bc
Pupuk Phonska 300 kg/ha 15.20 c
BNT 5 % 2.23
KK (%) 8
Ket: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata terhadap tinggi tanaman kacang hijau
pada taraf nyata 5%
Hasil uji BNT pada Tabel 5 di atas menunjukan bahwa rataan jumlah polong setiap
tangkai rataan tertinggi terdapat pada perlakuan pupuk phonska 300 kg/ha yaitu 15,20
polong, sedangkan rataan yang terendah terdapat pada perlakuan tanpa pupuk phonska yaitu
9,47 polong. Perlakuan pupuk phonska 250 kg/ha berbeda nyata dengan perlakuan pupuk
phonska 250 kg/ha, 200 kg/ha dan tanpa perlakuan pupuk pada uji BNT 5%.
d. Jumlah Biji Perpolong
Data jumlah biji perpolong dan hasil analisis sidik ragam menunjukan bahwa jumlah
biji perpolong kacang hijau berpengaruh nyata akibat pemberian pupuk phonska. Selanjutnya
dilakukan Uji BNT (Beda Nyata Terkecil) untuk melihat perbedaan dari masing-masing dosis
perlakuan phonska yang diberikan pada kacang hijau. Rataan jumlah biji perpolong kacang
hijau dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Rataan Jumlah Biji Perpolong Kacang Hijau melalui Pemberian Pupuk Phonska.
Perlakuan
Rataan Jumlah Bji Perpolong Kacang Hijau
(biji)
Tanpa Pupuk Phonska 7.03 a
Pupuk Phonska 200 kg/ha 7.70 a
Pupuk Phonska 250 kg/ha 9.22 ab
Pupuk Phonska 300 kg/ha 10.35 b
BNT 5% 1.86
KK (%) 10.88
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata terhadap jumlah biji perpolong kacang
hijau.
Tabel 6 di atas menjelaskan bahwa perlakuan dengan dosis pupuk phonska 300 kg/ha
yang memiliki jumlah biji perpolong tertinggi (10.35 biji) dan perlakuan dengan jumlah biji
perpolong terendah (7.03 biji) adalah perlakuan tanpa pupuk.
e. Panjang Polong
Data pajang polong dan hasil analisis sidik ragam menunjukan bahwa pupuk phonska
berpengaruh nyata pada panjang polong kacang hijau. dan untuk melihat perbedaan dari
masing-masing perlakuan pupuk phonska yang diberikan pada kacang hijau dilakukan Uji
BNT (Beda Nyata Terkecil). Dari ke empat macam perlakuan yang diberikan pada kacang
hijau, perlakuan yang meghasilkan panjang polong tertinggi adalah perlakuan dengan dosis
pupuk phonska 300 kg/ha yakni 9,02 cm dan perlakuan yang menghasilkan panjang polong
terendah adalah perlakuan tanpa pupuk yakni 6,36 cm. Rataan panjang polong kacang hijau
dapat dilihat pada Tabel 7 dibawah ini.
6
Tabel 7. Rataan Panjang Polong Kacang Hijau melalui Pemberian Pupuk Phonska.
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata terhadap panjang polong kacang hijau.
f. Produksi Real
Data produksi real dan hasil analisis sidik ragam menunjukan bahwa pemberian
pemberian pupuk phonska berpengaruh nyata pada produksi real kacang hijau. Selanjutnya
dilakukan Uji BNT untuk melihat perbedaan dari masing-masing perlakuan yang diuji
cobakan pada kacang hijau. Rataan produksi real kacang hijau dapat dilihat pada Tabel 8 di
bawah ini.
Tabel 8. Rataan Produksi Real Kacang Hijau melalui Pemberian Pupuk Phonska
Perlakuan
Rataan Produksi Real Kacang Hijau
(kg)
Tanpa Pupuk Phonska 83.33 a
Pupuk Phonska 200 kg/ha 106.67 a
Pupuk Phonska 350 kg/ha 136.67 a
Pupuk Phonska 300 kg/ha 208.33 b
BNT 5% 61.33
KK (%) 3069.79
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata terhadap produksi real kacang hijau.
Tabel 8 di atas menjelaskan bahwa produksi real kacang hijau yang tertinggi terdapat
pada perlakuan pupuk phonska dengan dosis 300 kg/ha yakni 208,33 kg dan produksi real
kacang hijau terendah terdapat pada perlakuan tanpa pupuk yakni 83,33 kg. Perlakuan pupuk
phonska dengan dosis tertinggi 300 kg/ha berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (tanpa
pupuk, 200 kg/ha, dan 250 kg/ha).
B. Pembahasan
a. Tinggi Tanaman
Hasil analisis data pertumbuhan dan produksi kacang hijau melalui pemberian pupuk
phonska menunjukan bahwa tinggi tanaman kacang hijau berpengaruh nyata pada umur 30
HST dan umur 57 HST, ini ditunjukkan dengan pertumbuhan tinggi tanaman kacang hijau
terbaik terdapat pada perlakuan pupuk phonska dengan dosis 300 kg/ha dan berbeda nyata
dengan perlakuan pupuk phonska 250 kg/ha, 200 kg/ha dan tanpa perlakuan pupuk. Hal ini
karena pemberian pupuk phonska dengan dosis 300 kg/ha mampu mencukupi kebutuhan
unsur hara di dalam tanah dan tanaman, pernyataan ini sesuai dengan penelitian Hamidah
(2009) bahwa pemupukan phonska berbeda sangat nyata terhadap tinggi tanaman, hal ini
disebabkan karena tercukupinya kebutuhan unsur hara oleh tanaman melalui pemupukan
dengan pupuk phonska. Sedangkan tanaman yang tidak diberi perlakuan pupuk
memperlihatkan tinggi tanaman kacang hijau lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan
yang diberi pupuk, hal ini karena tanaman kacang hijau hanya memperoleh kebutuhan unsur
Perlakuan Rataan Panjang Polong Kacang Hijau
(cm)
Tanpa Pupuk Phonska 6.36 a
Pupuk Phonska 200 kg/ha 7.73 a
Pupuk Phonska 250 kg/ha 8.03 ab
Pupuk Phonska 300 kg/ha 9.02 b
BNT 5% 1.52
KK (%) 9.79
7
hara dari tanah itu sendiri tanpa ada tambahan unsur hara berupa pupuk. Pupuk itu sendiri
sebagai tambahan unsur hara yang diberikan untuk memenuhi pertumbuhan dan produksi dari
suatu tanaman agar optimal. Secara teoritis menurut Jumin (2008) nitrogen berfungsi
menambah tinggi tanaman, merangsang pertunasan dan mempertinggi kandungan protein.
Fosfor berfungsi memperbaiki perkembangan perakaran khususnya akar lateral dan sekunder.
Kalium berfungsi lebih tahan terhadap penyakit, dan penting bagi pembentukan karbohidrat
dan proses translokasi gula dalam tanaman.
b. Jumlah Tangkai
Hasil analisis data pertumbuhan dan produksi kacang hijau melalui pemberian pupuk
phonska menunjukan bahwa pemberian pupuk phonska berpengaruh nyata terhadap jumlah
tangkai pada umur 30 HST dan umur 57 HST. Tabel 4 memperlihatkan jumlah tangkai
kacang hijau dengan dosis 300 kg/ha memberikan jumlah tangkai (cabang) lebih banyak
dibandingkan dengan pemberian pupuk dengan dosis 200 kg/ha, 350 kg/ha, dan perlakuan
tanpa pupuk. Hal ini karena kecukupan unsur hara yang diberikan mampu mensuplai unsur
hara di dalam tanah sehingga mempengaruhi pertumbuhan jumlah tangkai (cabang) kacang
hijau. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Saleh (Puguh Faluvi Kurniadi, 2011) bahwa
ketersediaan unsur hara yang dapat diserap oleh tanaman merupakan salah satu faktor yang
dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Jenis dan jumlah unsur hara pada dasarnya harus
tersedia dalam keadaan yang cukup dan berimbang agar tanaman dapat tumbuh dengan baik.
Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 4) pada perlakuan tanpa pemberian pupuk memberikan
pertumbuhan jumlah tangkai lebih rendah yakni 3,34 cabang (30 HST) dan 4,67 cabang
(50 HST) bila dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya, hal ini karena tanaman hanya
mencukupi kebutuhan unsur hara tersebut hanya dari dalam tanah, sehingga jumlah
tangkainya lebih sedikit. Secara teoritis penelitian ini sejalan dengan pendapat Munawar
(2011) tentang unsur nitrogen membantu pertumbuhan tanaman dan peningkatan produksi
biji. Unsur fosfor berfungsi sebagai pembentuk inti sel, pembelahan dan perbanyakan sel, dan
pembentukan lemak dan albumin. Unsur K berfungsi dalam pembentukan lapisan kutikula
yang sangat penting untuk pertahanan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit dan
pemasakan buah.
c. Jumlah Polong setiap Tangkai
Hasil analisis data pertumbuhan dan produksi kacang hijau melalui pemberian pupuk
phonska berpengaruh nyata terhadap jumlah polong setiap tangkai kacang hijau. Tabel 5,
terlihat jumlah polong setiap tangkai terdapat pada perlakuan pupuk phonska dengan dosis
350 kg/ha dan terendah terdapat pada perlakuan tanpa pupuk. Hal ini disebabkan
kemungkinan pemberian pupuk phonska dalam jumlah tersebut dapat meningkatkan jumlah
polong dalam setiap tangkai kacang hijau dan mempengaruhi pengisian biji kacang hijau.
Tananaman yang tidak diberi perlakuan menghasilkan jumlah polong per tangkai lebih
rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya, hal ini karena tanaman kacang hijau hanya
mensuplai pupuk dari dalam tanah tanpa ada tambahan unsur hara berupa pupuk.
Pertambahan jumlah cabang kacang hijau mempengaruhi jumlah polong, hal ini sesuai
dengan hasil penelitian Handayani (2012), yang menyatakan bahwa memiliki tinggi tanaman
dan jumlah cabang per tanaman yang tinggi, maka memiliki jumlah polong per tanaman
tinggi pula. Ditambahkan yang dikemukakan oleh Khan (Handayani, 2012) bahwa tanaman
yang tinggi memungkinkan banyak terbentuk cabang. Apabila cabang yang terbentuk
tersebut produktif (menghasilkan polong), maka produksi polong tanaman tersebut lebih
tinggi daripada tanaman yang pendek atau memiliki cabang produksi yang sedikit.
8
d. Jumlah Biji Perpolong
Dari Tabel 6 rataan jumlah biji perpolong kacang hijau terlihat bahwa perlakuan
dengan dosis pupuk phonska tertinggi 300 kg/ha memberikan hasil rataan jumlah biji
perpolong tertinggi yakni 10,35 biji dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini
disebabkan karena pemberian pupuk phonska yang sesuai dapat memicu pertumbuhan dan
produksi yang optimal. Kacang hijau merupakan jenis tanaman legume yakni mempunyai
bintil akar yang mampu menambat N dari udara bebas. Meskipun demikian kacang hijau juga
membutuhkan unsur lain dalam proses pertumbuhan dan produksinya. Oleh karenanya dalam
penelitian ini menggunakan pupuk phonska yang merupakan pupuk majemuk terdiri dari
unsur N, P, K, dan S. Selanjutnya menurut teori Kuo (Ahadiyat Yugi. R dan Tri Harjoso,
2012) menyebutkan bahwa pada fase generatif P mampu merangsang pembentukan bunga,
buah dan biji bahkan mampu mempercepat pemasakan buah dan membuat biji menjadi lebih
bernas.
e. Panjang Polong
Hasil analisis sidik ragam menunjukan bahwa perlakuan dosis pupuk phonska
berpengaruh nyata pada parameter panjang polong kacang hijau yang diteliti, dan perlakuan
yang memberikan hasil tertinggi adalah perlakuan dengan dosis pupuk phonska 300 kg/ha.
Hal ini diduga karena pupuk phonska sangat efisien diserap dan digunakan oleh tanaman
kacang hijau saat fase pertumbuhan maupun fase produksi. Menurut Purwono dan Hartono
(Silvi Syafrina, 2009) buah kacang hijau berbentuk polong. Panjang polong sekitar 5-16 cm.
Setiap polong berisi 10-15 biji. Polong kacang hijau berbentuk bulat silindris atau setelah tua
berubah menjadi kecoklatan atau kehitaman. Polongnya mempunyai rambut-rambut
pendek/berbulu.Secara teori menurut Sutejo (Daud S. Saribun, 2008) pemberian pupuk NPK
Phonska terhadap tanah dapat berpengaruh baik pada kandungan hara tanah dan dapat
berpengaruh baik bagi pertumbuhan tanaman karena unsur hara makro yang terdapat dalam
unsur N, P dan K diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang akan
diambil oleh tanaman dalam bentuk anion dan kation. Sehingga akan membuat fase produksi
juga akan menjadi baik.
f. Produksi Real
Berdasarkan hasil Uji BNT pada taraf α = 5% menunjukan bahwa perlakuan dengan
dosis pupuk phonska 300 kg/ha memberikan hasil produksi real yang tertinggi dibandingkan
dengan perlakuan lainnya. Penggunaan pupuk Phonska mendorong penggunaan pupuk secara
seimbang sesuai program peningkatan produksi, karena memudahkan petani untuk
mendapatkan pupuk sebagai sumber hara N, P dan K secara bersamaan. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh Budi Santoso et. all (2012) mengenai “Pengaruh
Jarak Tanam Dan Dosis Pupuk NPK Majemuk Terhadap Pertumbuhan, Produksi Bunga, dan
Analisis Usaha Tani Rosela Merah” yang memberikan respon positif; artinya bahwa
penggunaan pupuk majemuk NPK lebih menghemat biaya dibanding dengan penggunaan
pupuk N, P, dan K tunggal. Setiap fase pertumbuhan dan perkembangan tanaman
berpengaruh terhadap produksi. Suatu tanaman akan menghasilkan produksi yang baik jika
pertumbuhannya baik pula, sebaliknya suatu tanaman akan menghasilkan produksi buruk jika
pertumbuhannya terganggu. Penggunaan pupuk majemuk phonska dapat meningkatkan
produksi, berarti bisa meningkatkan pendapatan petani (Umar Permadi, 2007).
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa (1)
Pertumbuhan kacang hijau melalui pemberian pupuk phonska berpengaruh nyata terhadap
tinggi tanaman dan jumlah tangkai pada umur 30 HST dan 57 HST pada perlakuan pupuk
9
phonska dengan dosis pupuk 300 kg/ha, dan (2) Produksi kacang hijau melalui pemberian
phonska berpengaruh nyata terhadap jumlah polong setiap tangkai, jumlah biji per polong,
panjang polong, dan produksi real pada perlakuan pupuk phonska dengan dosis pupuk 300
kg/ha. Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan dan kesimpulan, maka pada penelitian ini
dapat disarankan hal-hal sebagai berikut (1) Diharapkan para petani dapat memanfaatkan
pupuk phonska sebagai pupuk dasar dan pupuk susulan yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan produksi kacang hijau, dan (2) Perlu dilakukan penelitian lanjutan
menggunakan pupuk phonska yang dikombinasikan dengan pupuk organik sehingga
pertumbuhan dan produksi tanaman lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Ahadiyat, Yugi, R., Harjoso Tri. 2012. Karakter Hasil Biji Kacang Hijau pada Kondisi
Pemupukan P dan Intensitas Penyiangan Berbeda. Jurnal Agrivigor 11(2). Program
Studi Agroteknologi. Fakultas Pertanian.
Universitas Jenderal Soedirman. http://www.google.co.id/url?q=http://www.researchgat
e.net/publication/236672983_KARAKTER_HASIL_BIJI_KACANG_HIJAU_PADA_
KONDISI_PEMUPUKAN_P_DAN_INTENSITAS_PENYIANGAN_BERBEDA/file/
e0b49518da1459d2e6.pdf&sa=U&ei=mA_iUZ6EFsXsrAeVlYGwDw&ved=0CCQQFj
AE&usg=AFQjCNH9RuTUZ9CBNvBzYk4hm0Li0y--eg [ 12 Juli 2013].
Daud, S. Saribun. 2008. Pengaruh Pupuk Majemuk NPK pada Berbagai Dosis terhadap pH,
P-Potensial dan P-Tersedia Serta Hasil Caysin (Brassica juncea) pada Fluventic
Eutrudepts Jatinangor. Jurusan Ilmu Tanah.
Fakultas Pertanian. Universitas Padjadjaran. Jatinangor. http://www.google.co.id/url?
q=http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2011/10/pustaka_unpad_pengaruh_p
upuk_majemuk_npk_pada_berbagai_dosis_terhadap_ph.pdf&sa=U&ei=ZhviUczO83
HrQfq4YC4Dw&ved=0CCYQFjAFOAo&usg=AFQjCNFsLcIHnFrRHhzSDlFO-
N3vNEvA5Q [14 Juli 2013].
Hamidah. 2009. Pengaruh Pengendalian Gulma dan Pemberian Pupuk NPK Phonska
Terhadap Pertumbuhan Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) Klon PB 260.
Fakultas Pertanian Universitas Widya Gama
Mahakam Samarinda. http://kopertis11.net/jurnal/HAMIDAHPENGARUH%20PEN
GENDALIAN%20GULMA%20DAN%20PEMBERIAN%20PUPUK%20NPK%20P
HONSKA%20TERHADAP%20PERTUMBUHAN%20TANAMAN%20KARET.pdf
[10 Juli 2013].
Handayani, T. Hidayat, IM. 2012. Keragaman Genetik dan Heritabilitas Beberapa Karakter
Utama Kedelei Sayur dan Implikasinya Untuk Seleksi Perbaikan Produksi. J. Hort.
22(4):327-33,2012. http://hortikultura.litbang.deptan.go.id/jurnal_pdf/224/4-
Handayani-Genetik.pdf [11 Juli 2013]
Jumin, H.S. 2008. Dasar-Dasar Agonomi. PT. Raja Grafido Persada. Jakarta.
Munawar, A. 2011. Kesuburan Tanah dan Nutrisi Tanaman. PT. Penerbit IPB Press. Bogor
Puguh Faluvi Kurnadi., Husni Yetti., Edison Anom. 2011. Peningkatan Produksi Kacang
Hijua (Vigna radiata L.) dengan Pemberian Pupuk Kandang
Ayam dan NPK. http://repository.unri.ac.id/bitstream/123456789/1786/1/KARYA%2
0ILMIAH%20PUGUH%20FALUVI%20KURNIADI.pdf [10 Juli 2013].
10
Santoso, Budi., Budi., Setyo, Untung., Nurnasari, Elda. 2012. Pengaruh Jarak Tanam dan
Dosis Pupuk NPK Majemuk terhadap Pertumbuhan, Produksi Bunga, dan Analisis
Usaha Tani Rosela Merah. Jurnal Littri 18(1). Balai Penelitian Tanaman Tembakau
dan Serat.
http://perkebunan.litbang.deptan.go.id/upload.files/File/publikasi/jurnal/Jurnal-Littri-
2012/Jurnal%20Littri%2018%281%292012-BudiS.pdf [12 Juli 2013].
Silvi, Syafrina. 2009. Respon Pertumbuhan dan Produksi Kacang Hijau (Phaseolus radiata
L.) pada Media Subsoil terhadap Pemberian Beberapa Jenis Bahan Organik dan
Pupuk Organik Cair. Departemen Budidaya Pertanian. Skripsi. Dipublikasikan.
Medan. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/7597/1/09E02913.pdf [12 Juli 2013]
Umar, Permadi. 2007. Pegaruh Pemberian Pupuk Majemuk Phonska terhadap Pertumbuhan
Vertical dan Produksi Rumput Gajah (Pennisetum purpureum Sehum) sebagai Pakan
Ternak. Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Skripsi. Dipublikasikan.
Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/49705/D07upe.pdf [12 Juli
2013]
Tersedia online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/tlingkungan
Jurnal Teknik Lingkungan, Vol. 6, No. 3 (2017)
1 *) Penulis
**) Dosen Pembimbing
PENGARUH PENAMBAHAN PUPUK KOTORAN KAMBING
TERHADAP HASIL PENGOMPOSAN DAUN KERING DI TPST UNDIP
Trisna Afriadi Muhammad*)
, Badruz Zaman**)
, Purwono**)
Departemen Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Diponegoro
JL. Prof. H. Sudarto, SH Tembalang, Semarang, Indonesia, 50275
Email: trisnaapriadi3004@gmail.com
Abstrak
Universitas Diponegoro merupakan salah satu perguruan tinggi di Indonesia yang mampu
mengelola sampah secara mandiri dengan mendirikan fasilitas pengolahan sampah terpadu.
Jumlah sampah organik yang dihasilkan sekitar 5,06 m3
/ hari dan didominasi oleh sampah
daun. Salah satu metode yang efektif untuk menghindari potensi masalah yang disebabkan
oleh timbunan sampah organik yaitu dengan proses pengomposan. Tujuan penelitian ini
adalah untuk menganalisis pengaruh dan mencari rasio optimum penambahan pupuk
kotoran kambing pada pembuatan kompos. Pengomposan dilakukan secara aerobik selama
28 hari. Pupuk Kotoran Kambing dapat menambah ketersediaan hara bagi tanaman dan
meningkatkan kesuburan tanah. Penentuan komposisi bahan kompos dengan memvariasikan
pupuk kotoran kambing (Sampah daun:Pupuk kotoran kambing) dengan kontrol (1:0); K1
(4:1); K2 (7:3) dan K3 (3:2). Hasil penelitian ini menunjukkan kompos yang paling optimal
adalah variasi K3(3:2) dengan hasil kadar C-Organik 26,53%; N-Total 2,4%; rasio C/N
11,06%; P-Total 0,45%; K-Total 0,74%; GI 147% dan Total koliform 210 MPN/gr.
Kata kunci: Kompos, Pupuk Kotoran Kambing, Sampah Organik
Abstract
[The Effect of Goat Manure Fertilizer on Leaves Litter Composting at TPST UNDIP].
Diponegoro University is one of the universities in Indonesia that can manage waste
independently by establishing an integrated waste treatment facility. The amount of organic
waste produced is about 5.06 m3
/ day and dominated by leaves litter. One effective method to
avoid potential problems caused by the pile of organic waste is by the composting process.
The aim of this study are to analyze the effect and to find the optimum ratio of goat manure
added in the composting process. Composting was an aerobic process with composting time
of just 28 days. Goat manure fertilizer can increase the availability of nutrients for plants and
improve soil fertility. Determination of compost material composition by varying goat
manure (Leaf litter: Goat manure) with control (1:0); K1 (4:1); K2 (7:3) and K3 (3:2). The
results of this study showed that the most optimal compost was K3 variation (3:2) with results
of C-Organic 26.53%; N-Total 2.4%; C / N ratio 11.06%; P-Total 0.45%, K-Total 0.74%; GI
147% and Coliforms 210 MPN / gr.
Keywords : Compost, Goat Manure Fertilizer, Organic Waste
1. PENDAHULUAN
Sampah dapat didefinisikan
sebagai semua buangan yang
dihasilkan dari aktifitas manusia dan
hewan yang berupa padatan, yang
dibuang karena sudah tidak berguna
atau diperlukan lagi
(Tchobanoglous,et,al., 1993).
2 *) Penulis
**) Dosen Pembimbing
Tersedia online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/tlingkungan
Jurnal Teknik Lingkungan, Vol. 6, No. 3 (2017)
menurut Undang-Undang RI No.18
tahun 2008 tentang pengelolaan
sampah,sampah adalah sisa kegiatan
sehari-hari manusia dan/atau proses
alam yang berbentuk padat.
Pengelolaan sampah adalah
kegiatan yang meliputi
pengumpulan, pengangkutan,
pemrosesan, pendauran ulang atau
pembuangan dari material sampah
(Alex,2012).Berawal dari besarnya
volume sampah yang dihasilkan
diingkungan Universitas Diponegoro
maka diperlukan pengolahan yang
tepat dan bermanfaat untuk bisa
mereduksi sampah tersebut. Hal
inilah yang mendorong Universitas
Diponegoro Untuk membangun
fasilitas Tempat Pengelolaan Sampah
Terpadu (TPST) di kawasan kampus
undip tembalang,semarang.
TPST Universitas Diponegoro
dibangun pada tahun 2015 sebagai
kampus percontohan dalam kegiatan
pengelolaan sampah di kawasan
pendidikan., sampah ini dapat berupa
sampah organik dan sampah
anorganik, dimana sampah anorganik
ini biasanya bersumber pada
akitivitas perkuliahan seperti kertas,
plastik dan sampah-sampah jenis lain
yang tidak dapat terurai. Selanjutnya
untuk sampah organik pada
umumnya bersumber pada daun daun
yang berguguran di sekitar
lingkungan Kampus Universitas
Diponegoro, berdasarkan penelitian
Sudomo (2012), Undip
menghasilkan pada sampah sebesar
836, 23 kg/hari dengan volume 20,23
m3
/hari dengan komposisi timbulan
sampah organik (56,02%), sampah
kertas (23,6%) , sampah plastik
(13,23%) dan sampah lainnya
sebanyak (7,15%). ini merupakan
potensi yang pantas diperhitungkan
agar menjadi bahan yang bernilai
guna, salah satunya dengan
melakukan pengomposan.
Pengomposan adalah proses
dimana bahan organik mengalami
penguraian secara biologis, khusunya
mikroba – mikroba yang
memanfaatkan bahan organik
sebagai sumber energy. Membuat
kompos adalah mengatur dan
mengontrol proses alami tersebut
agar kompos dapat terbentuk lebih
cepat. Proses ini meliputi membuat
campuran bahan yang seimbang,
pemberian air yang cukup,
pengaturan aerasi dan penambahan
activator pengomposan.proses
pengomposan dapat berlangsung
beberapa hari hingga beberapa
minggu.suhu akan meningkat sejalan
dengan proses penguraian bahan
organik itu.ciri fisik yang dapat
dilihat pada kompos yang telah
matang,antara lain, terjadinya
penurunan volume,warnanya
menjadi coklat kehitaman dan
bahannya menjadi lunak/hancur
(Isroi dan Yuliarti,2009).
Pupuk Kotoran kambing
mengandung nilai rasio C/N sebesar
21,12% (Cahaya dan Nugroho,
2009). Selain itu, kadar hara kotoran
kambing mengandung N sebesar
1,41%, kandungan P sebesar 0,54%,
dan kandungan K sebesar 0,75%
(Hartatik, 2006). Pengomposan
membutuhkan rasio C/N dan kadar
hara untuk aktivitas mikroorganisme.
Kandungan pada kotoran kambing
menunjukkan bahwa bahan tersebut
dapat digunakan sebagai bahan
pembuatan kompos. Penambahan
kotoran kambing merupakan faktor
yang harus diperhatikan dalam
pembuatan kompos.
Proses pengomposan juga
membutuhkan bantuan
mikroorganisme untuk
3 *) Penulis
**) Dosen Pembimbing
Tersedia online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/tlingkungan
Jurnal Teknik Lingkungan, Vol. 6, No. 3 (2017)
mendekomposisi bahan dan
mempercepat proses pengomposan.
Mikroorganisme yang digunakan
untuk mempercepat proses
pengomposan adalah Effective
Microorganism (EM4) sebagai salah
satu faktor pengomposan. proses
pengomposan juga membutuhkan
bantuan mikroorganisme untuk
mendekomposisi bahan dan
mempercepat proses pengomposan.
Mikroorganisme yang digunakan
untuk mempercepat proses
pengomposan adalah Effective
Microorganism (EM4) sebagai salah
satu faktor pengomposan. EM4
berfungsi untuk mempercepat
penguraian bahan organik,
menghilangkan bau yang timbul
selama proses penguraian, menekan
pertumbuhan mikroorganisme
patogen, dan meningkatkan aktivitas
mikroorganisme yang
menguntungkan (Darmasetiawan,
2004).
Dari uraian diatas, penulis
tertarik untuk melakukan penelitian
tentang pengaruh penambahan
Kotoran kambing dan EM-4 terhadap
hasil pengomposan sampah daun
kering di TPST Universitas
Diponegoro,Semarang.
2. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada
bulan Desember 2016 – Februari
2017 di TPST Universitas
Diponegoro. Bahan-bahan yang
diperlukan pada proses pembuatan
kompos antara lain : sampah daun
kering, kotoran kambing, dan EM-4.
Sebelum pengomposan dilaksanakan
terlebih dahulu dilakukan uji
pendahuluan untuk mengetahui
karakteristik dari sampah daun
kering dan kotoran kambing, yang
meliputi nilai C-organik, N-total,
rasio C/N, P-total, K-total, kadar air,
temperatur, dan pH.
Setelah bahan dan wadah telah
siap, maka akan dilakukan penentuan
variasi komposisibahan kompos.
Variasi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Variasi Perbandingan Bahan
Kompos
Bahan Kontr
ol
K
1
K
2
K
3
Daun
Kering
5 kg 4
kg
3.
5
kg
3
kg
Kotoran
Kambing
0 kg 1
kg
1.
5
kg
2
kg
Total
Tumpuka
n
5 kg 5
kg
5
kg
5
kg
Keterangan :
(K1) Sampah daun kering : Pupuk
kotoran kambing = 4 : 1
(K2) Sampah daun kering : Pupuk
kotoran kambing = 7 : 3
(K3) Sampah daun kering : Pupuk
kotoran kambing = 3 : 2
Selama proses pengomposan,
setiap hari dilakukan pengukuran
temperatur, pH, dan kadar air.
Setelah 28 hari dilakukan pengujian
hasil kompos. Analisis ini dilakukan
untuk mengetahui karakteristik
kompos. Adapun metode analisis
yang dilakukan sama dengan analisis
yang dilakukan pada uji pendahuluan
serta ditambah dengan uji toksisitas
kompos (Germination Index) dan
kandungan mikrobiologi kompos.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil Uji Pendahuluan Bahan
Kompos
4 *) Penulis
**) Dosen Pembimbing
Tersedia online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/tlingkungan
Jurnal Teknik Lingkungan, Vol. 6, No. 3 (2017)
Tabel 2. Hasil Uji Pendahuluan
Kualitas Bahan Kompos
Parame
ter
Sam
pah
Daun
Kotor
an
Kamb
ing
Referensi
Kondisi
Awal
Pengompos
an
Ph 6.53 7.08 6 - 8
(Murbandono,200
0)
Kadar
air (%)
10.1 50.89 40 – 60
(Indriani,20
1)
C-
Organik
(%)
51.41 22.78 -
N-Total
(%)
0.75 1.14 -
P (%) 0.178 0.264 -
K (%) 0.242 0.423 -
Rasio
C/N
68.08 19.9 40-80
(Dalzell,et al
(1987)
3.2 Hasil Uji Kompos
3.2.1 Analisis Proses Pengomposa
3.2.1.1 Analisis Temperatur
Pengomposan
Pengukuran temperatur
dilakukan setiap hari pada tumpukan
kompos. Berikut Grafik perubahan
suhu pada gambar 1 :
Gambar 1. Grafik Perubahan
Temperatur Kompos
Gambar 1 merupakan grafik
perubahan Suhue pada kompos.
Distribusi Suhu dalam gundukan selain
dipengaruhi oleh aktivitas mikroba juga
ikut dipengaruhi oleh kondisi iklim dan
suplai oksigen atau aerasi yang
diberikan (Epstein,1997). Suhu puncak
pada tumpukan kompos yang tidak
diberikan kotoran kambing atau KO
terjadi pada hari ke-2 yaitu 40o
C
sedangkan pada variasi yang diberikan
kotoran kambing Suhue puncak terjadi
pada hari ke-1 yaitu 41o
C pada variasi
K1, 36o
C pada variasi K2, dan 37o
C
pada variasi K3, sehingga dapat
diketahui fase termofilik pada proses
pengomposan tidak tercapai. Hal ini
dikarenakan penelitian dilakukan
dengan skala laboratories dengan
ketinggian tumpukan sekitar 50 cm.
Semakin besar tumpukan panas yang
didapat dalam tumpukan semakin besar
sehingga Suhue tumpukan semakin
tinggi (Wahyono,2003). Penurunan
Suhu yang cepat dapat terjadi karena
tumpukan kompos yang terlalu rendah,
sehingga panas yang dihasilkan tidak
dapat diisolasi. Menurut setyorini
(2006), semakin tinggi volume timbunan
kompos, maka semakin besar isolasi
panas. Timbunan yang telalu dangkal
akan mudah untuk kehilangan panas
karena bahan tidak cukup untuk
menahan panas.
Suhu kompos matang ditandai
kurang lebih sama dengan Suhu air
tanah (28-30o
C) yang tercantum dalam
SNI 19-7030-2004. Kondisi tersebut
terlihat pada tiap tumpukan kompos
yaitu pada hari ke-28 dengan suhu akhir
pengomposan K3 28o
C, K2 28o
C, K1
28o
C dan KO 28o
C
3.2.1.2 Analisis pH
Pengomposan
Pengukuran pH dilakukan
setiap hari selama 28 hari.
Berdasarkan pH tersebut dapat
menggambarkan tahapan
pengomposan dan kematangan
kompos. Pada awal pengomposan,
5 *) Penulis
**) Dosen Pembimbing
Tersedia online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/tlingkungan
Jurnal Teknik Lingkungan, Vol. 6, No. 3 (2017)
pH awal kompos variasi K3 (6.5),
variasi K2 (6.78), variasi K1 (6.79),
dan kontrol (6.53).
Rekapitulasi data perubahan
pH hasil pengomposan seluruh
variasi kompos dilampirkan
selengkapnya pada Lampiran A dan
Gambar 2.berikut menunjukan grafik
perubahan pH yang dialami oleh di
semua variasi.
Gambar 2. Grafik Perubahan pH
Kompos
Berdasarkan gambar 2 dapat
diketahui bahwa pada awal
pengomposan pH mengalami
penurunan bersamaan dengan
peningkatan suhu. Penurunan pH di
awal pengomposan sempat terjadi
pada pengomposan. Fahruddin &
Abdullah (2010) menjelaskan bahwa
derajat keasaman atau pH pada awal
dekomposisi turun karena sejumlah
mikroba tertentu pada bahan limbah
organik menjadi asam organik.
Pada hari ke-11, proses
pengomposan, pH tumpukan mulai
naik dan cenderung menjadi basa.
Adanya peningkatan nilai pH pada
proses pengomposan disebabkan
oleh terbentuknya NH3 selama
proses dekomposisi. (Polprasert,
1989). Setelah mengalami kenaikan
sampai titik pH tertinggi yaitu 8,09
untuk K3, 8,46 untuk K2, 8,24 untuk
K1. Selanjutnya,.Penurunan pH pada
akhir pengomposan terjadi karena
adanya oksidasi enzimatik senyawa
inorganik hasil proses dekomposisi.
Pada reaksi enzimatik tersebut
dihasilkan sejumlah kation H+
(Bahruddin,et al., 2009).
Di akhir pengomposan pH
kompos pada variasi yang tidak
diberikan kotoran kambing atau KO
adalah (7.64) sedangkan dengan
penambahan kotoran kambing adalah
variasi K3 (7.46), variasi K2 (7.48),
variasi K1 (7.49). ini menunjukkan
penambahan kotoran kambing
mempengaruhi pH disbanding tidak
diberikan kotoran kambing atau KO.
semua variasi telah memenuhi
standar kualitas kompos jadi menurut
SNI: 19-7030-2004 yaitu antara 6.8-
7.49
3.2.1.3 Analisis Kadar Air
Pengomposan
Kadar air awal variasi bahan
kompos adalah untuk variasi K3
(30.97 %), K2 (26.38%), K1
(24.1%), dan KO (14.4). Kondisi ini
menunjukkan bahwa kadar air awal
kurang optimal untuk dilakukan
Pengomposan. Maka harus dilakukan
penambahan air agar mencapai 40 –
60 % . setelah dilakukan
penambahan air kadar air H0
berubah menjadi K3 (57.46 %), K2
(60.62%), K1 (57.46%), dan Kontrol
(53.08%). Pembalikan bahan kompos
dilakukan setelah pengujian kadar
air, yaitu seminggu sekali jika hasil
perhitungan kadar air masih berada
di bawah 50 %. Semakin basah
timbunan tersebut, harus makin
sering diaduk atau dibalik untuk
menjaga dan mencegah pembiakan
bakteri anaerobik.
Gambar 3 berikut merupakan grafik
perubahan kadar air setiap harinya
selama 28 hari pengomposan.
6 *) Penulis
**) Dosen Pembimbing
Tersedia online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/tlingkungan
Jurnal Teknik Lingkungan, Vol. 6, No. 3 (2017)
Gambar 3. Grafik Kadar Air Kompos
Hasil kadar akhir
pengomposan pada hari ke-28 pada
setiap variasi pengomposan adalah
K3 (54.13%), K2 (58.36%), K1
(55.52), dan kontrol (56.18%) yang
bearti melebihi ketentuan kadar air
akhir SNI-19 7030-2004 yaitu >
50%. Hal tersebut dapat
ditanggulangi dengan cara
melakukan pengeringan atau
penjemuran di bawah sinar matahari
pada kompos agar kadar airnya turun
menjadi di bawah 50%.
3.2.1.4 Analisis C-Organik
Pengomposan
Analisa C-Organik dilakukan
setiap minggu selama empat minggu
(28 hari). Di awal pengomposan
kadar C-Organik kompos pada
variasi K3 (37.89), K2 (36.40),
K1(36.97), dan KO (46.32). Menurut
Rynk,et al.,(1992) sampah daun
mengandung karbon yang tinggi.
Gambar 4 berikut ini merupakan
grafik hasil pengujian akhir dari
kadar C-Organik kompos:
Nilai maksimal C-Organik
menurut SNI 19-7030-2004 (9,8-32)
Gambar 4. Grafik Kadar C-Organik
Kompos
Dari gambar 4 diketahui kadar
C-Organik pada variasi yang tidak
diberikan kotoran kambing atau KO
(38.37%) sedangkan dengan
pemberian kotoran kambing yang
paling rendah yaitu variasi K3
(26.53%), kemudian K2 (27.13%),
dan kadar C-Organik paling tinggi
pada variasi K1 (29.30%). Ini
membuktikan pemberian kotoran
kambing pada setiap variasi
menghasilkan kadar C-organik yang
cenderung stabil disbanding dengan
Kontrol. Semakin besar variasi
pemberian kotoran kambing maka
kadar C-organiknya juga semakin
tinggi begitu pula sebaliknya. Maka
dapat disimpulkan bahwa C-Organik
pada akhir pengomposan telah
memenuhi hasil akhir menurut SNI
19-7030-2004 yaitu 9.8% - 32%.
Penurunan C-organik pada
semua variasi bahan dan dosis terjadi
dikarenakan C-organik pada bahan
kompos berfungsi sebagai sumber
energi bagi mikroorganisme untuk
aktivitas metabolismenya dan terurai
dalam bentuk CO2 ke udara sehingga
jumlahnya akan terus berkurang.
Sebaliknya, peningkatan kadar C-
organik diduga terjadi karena
penurunan aktivitas mikroorganisme
dan terdapat pula mikroorganisme
7 *) Penulis
**) Dosen Pembimbing
Tersedia online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/tlingkungan
Jurnal Teknik Lingkungan, Vol. 6, No. 3 (2017)
yang mati. Kematian
mikroorganisme pengomposan akan
menambah biomassa sehingga
meningkatkan C-organik (Setyorini,
et al., 2006).
3.2.1.5 Analisis N-Total Pengomposan
Unsur nitrogen dipergunakan
mikroba sebagai sumber makanan
untuk pertumbuhan sel-selnya
(Wahyono, 2003). Kekuragan
nitrogen dalam tanaman
menyebabkan tanaman secara cepat
berubah menjadi kuning karena N
yang tersedia tidak cukup untuk
membentuk protein dan klorofil dan
menyebabkan kemampuan tanaman
memproduksi karbohidrat menjadi
berkurang hingga lama kelamaan
menjadi tumbuh lambat dan kerdil
(Hardjowigeno,2007).
Setelah dilakukan
pengomposan, kandungan N-total
dari kompos meningkat,seperti
terdapat pada tabel 5 sebagai berikut:
Nilai minimal kadar N-Total
menurut SNI 19-7030-2004 (>0,4%)
Gambar 5. Grafik Kadar N-Total
Kompos
Berdasarkan gambar 5, secara
keseluruhan kadar N-total yang
paling tinggi terdapat pada variasi
K1 (2.79%), sedangkan yang paling
rendah pada variasi yang tidak
diberikan kotoran kambing atau KO
(1.1%). Nilai N-total menunjukkan
peningkatan selama proses
pengomposan dan pada akhir
pengomposan nilai N-total pada
masing-masing variasi tidak
menunjukkan perbedaan yang
signifikan. Hasil yang berbeda
diperlihatkan pada variasi K2 pada
minggu ke-3 atau hari ke-21, dan
Kontrol pada minggu ke-2 atau hari
ke-14 ,N-total menurun, Hal ini
disebabkan pH yang cenderung asam
sehingga NH3 tidak dapat diubah
menjadi nitrat (Purwati,2006).
Menurut Tobing (2009), Penurunan
N-total disebabkan karena dalam
proses pengomposan nitrogen
organik diubah terlebih dahulu
menjadia ammonia (NH3
) yang
mudah menguap. kadar N-total pada
semua variasi kompos telah
memenuhi standar SNI 19-7030-
2004 yaitu > 0.4%.
3.2.1.6 Analisis Rasio C/N
Pengomposan
Besarnya rasio C/N tergantung
pada jenis bahan yang digunakan
(Miftahul,2003). Rasio C/N awal
bahan kompos daun variasi K3
(51.97%), K2 (49.79%), 2OK (41.34
%) dan KO (75.43%). Rasio C/N
awal telah sesuai dengan rasio awal
C/N menurut Dalzel et al., (1987)
rasio C/N awal pengomposan yang
optimal berkisar 40-80 %. Gambar 6
menunjukkan perubahan Rasio C/N
selama proses pengomposan :
Nilai Rasio C/N optimal
menurut SNI 19-7030-2004 (10-20)
Berdasarkan gamabr 6 Nilai
8 *) Penulis
**) Dosen Pembimbing
Tersedia online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/tlingkungan
Jurnal Teknik Lingkungan, Vol. 6, No. 3 (2017)
Rasio C/N menunjukkan penurunan
selama proses pengomposan dan
pada akhir pengomposan nilai Rasio
C/N pada masing-masing variasi
tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan. Hasil yang berbeda pada
variasi KO atau kontrol yaitu terjadi
kenaikan rasio C/N pada hari ke-14.
Intan (2013) menuturkan bahwa nilai
rasio C/N yang sempat naik juga
dipengaruhi oleh tumpukan kompos
dalam keadaan basa, sehingga H+
tidak mencukupi NH3 untuk diubah
menjadi NH4 sehingga NH3
tervolatilasi menjadi N2 ke udara,
dan mengakibatkan kadar N
mengalami peningkatan yang sedikit.
Nilai rasio C/N akhir yang
paling rendah terdapat pada variasi
K1 (10.5%), sedangkan yang paling
tinngi pada variasi yang tidak
diberikan kotoran kambing atau KO
(35.64%). Ini menunjukkan bahwa
variasi dengan pemberian kotoran
kambing paling kecil menghasilkan
rasio C/N paling optimal. Dari
seluruh variasi pengomposan rasio
C/N akhir telah mencapai standar
SNI 19-7030-2004 yaitu 10-20 %.
3.2.1.7 Analisis P-Total Pengomposan
Unsur hara P pada tanaman memiliki
peranan sebagai pemacu pertmbuhan
akar dan pembentukan system
perakaran yang lebih baik,
pemasakan buah dan biji dan sebagai
penyusun inti sel lemak dan protein.
Ini sesuai dengan pendapat Menurut
Hardjowigeno (2007). Pengujian
kadar P-Total dilakukan setiap
minggu selama proses
pengomposan.Pengukuran unsur P-
Total dilakukan secara
spektrofotometri dengan gelombang
693 mm. Setelah dilakukan
pengomposan, kadar P-Total akhir
dapat dilihat pada 7 sebagai berikut :
Nilai P-Total optimal
menurut SNI 19-7030-2004 (>0,1%)
Gambar 7. Grafik Kadar P-Total
Kompos
Pada gambar 7 diatas
menunjukkan perubahan kadar P-
Total yang dialami seluruh variasi
kompos. Nilai P-total akhir yang
paling rendah terdapat pada variasi
K3 (10.5%), sedangkan yang paling
tinngi pada variasi yang tidak
diberikan kotoran kambing atau KO
(0.55%). Hasil tersebut menunjukkan
bahwa variasi yang tidak diberikan
kotoran kambing memiliki kadar P-
total yang paling tinggi Dan kadar P-
Total paling rendah pada variasi
pemberiana kotoran kambing
terbanyak atau K3. dari grafik diatas
lamanya waktu pengomposan
berpengaruh terhadap kenaikan nilai
P, ini dapat dilihat pada fase hari ke
7 sampai 14. Pada fase hari ke-21
sampai hari ke-28 kadar P mencapai
kondisi maksimum.terjadi penurunan
kadar P pada fase hari 0 sampai fase
hari ke-7 hal ini disebabkan oleh
kondisi lingkungan pengomposan
yang terlalu asam, sehingga bakteri
protelotik dan bakteri pelarut fosfor
tidak dapat bekerja secara optimal.
Hal tersebut dapat mengakibatkan
terjadinya pengikatan fosfor oleh
senyawa oksidator seperti Fe, Mg, Al
dan Ca (Suswardany,2006).
9 *) Penulis
**) Dosen Pembimbing
Tersedia online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/tlingkungan
Jurnal Teknik Lingkungan, Vol. 6, No. 3 (2017)
3.2.1.8 Analisis K-Total Pengomposan
Pengukuran nilai K-total
dilakukan secara spektrofotometri
serapan atom (AAS). Kadar . Setelah
dilakukan pengomposan, Kadar K-
total meningkat seperti pada tabel 8
sebagai berikut:
Nilai K-Total optimal menurut
SNI 19-7030-2004 (>0,2)
Gambar 8. Grafik K-Total Kompos
Dari grafik gambar 8 diatas
melihatkan bahwa terjadi kenaikan
kadar K-total di semua variasi. Kadar
K-total paling tinggi terdapat pada
variasi K3 yaitu sebesar 0.741 (%)
dan kadar K-total terendah pada
variasi yang tidak diberikan
perlakuan atau Kontrol yaitu 0.413
(%). Hal tersebut menunjukkan
bahwa penambahan kotoran kambing
mempengaruhi kadar K-total.
Kenaikan kadar K-total disebabkan
karena semakin lama waktu
pengomposan dilakukan akan
semakin banyak mikroba yang
tumbuh dan menguraikan kalium
yang terdapat pada bahan kompos
tersebut (Kusumayanti, 2002).
Menurut Murbandono (1989),
apabila proses pengomposan
berlangsung dengan baik, maka
pembentukan senyawa K yang dapat
diserap oleh tanaman pun dapat
berjalan dengan baik karena sebagian
besar kalium pada kompos dalam
bentuk terlarut.Penurunan nilai K-
total terjadi karena kemungkinan
adanya pencucian unsur K pada saat
proses pengomposan atau perlindian
(Syakir, et al., 2009).
3.2.1.9 Analisis Toksisitas Kompos
Kematangan kompos dapat
diketahui melalui pengujian
toksisitas. Pengujian toksisitas
dilakukan dengan uji Indeks
Kecambahan (Selim dkk, 2012).
Penentua kestabilan dan kematangan
dengan uji Indeks perkecambahan
didasarkan pada nilai GI
(Germination Index) yang
dihasilkan. Semakin besar nilai GI
mengidentifikasi penurunan
fitotoksitas, dengan demikian
produk/kompos jadi lebih matang
(Zucconi dan De Bertoldi, 1987).
Analisa toksisitas dilakukan
menggunakan uji Germination Index
(GI) atau indeks
perkecambahan.Tabel 9 berikut
merupakan hasil dari uji toksisitas
kompos :
Batas minimum nilai
Germination Index (GI) kompos
80% menurut Zucconi, dkk (1981)
Gambar 9. Grafik Hasil Uji GI
(Germination Index)
3.2.1.10 Kandungan Mikrobiologi
Pengomposan
Pada analisis keberadaan total
koliform pada kompos, diketahui
bahwa seluruh sampel uji
mengandung total koliform berada di
bawah baku mutu SNI 19-7030-2004
10 *) Penulis
**) Dosen Pembimbing
Tersedia online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/tlingkungan
Jurnal Teknik Lingkungan, Vol. 6, No. 3 (2017)
yaitu 210 MPN/gram yang berarti
tidak lebih dari 1000 MPN/gram.
3.2.2 Penentuan Hasil Optimum
Pengomposan
Dapat disimpulkan setelah
dilakukannya analisa beberapa
parameter seperti Kadar air, suhu,
pH, C-organik, N-total, rasio C/N, P-
total, K-total, uji toksisitas, dan uji
mirobiologis yang mengacu
berdasarkan SNI-7030-2004. Variasi
K3 menunjukan hasil yang lebih
optimal dibandingkan dengan variasi
yang lainnya. Rekapitulasi hasil
kompos matang dapat dilihat pada
tabel 3 sebagai berikut:
Kompos dengan variasi dosis
optimum
1. PENUTUP
2.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat
diambil berdasarkan penelitian
ini antara lain:
1. Penambahan Pupuk Kotoran
Kambing memberikan
pengaruh lebih baik pada
kualitas kompos matang
dibandingkan dengan kontrol
atau yang tidak dengan
penambahan Kotoran kambing.
Dengan variasi terbaik pada
variasi K3 dengan kandungan
hasil akhir yaitu C/N 11.06 %,
C-organik 26.53 %, N-total 2.4
%, P-total 0.45 %, K-total 0.74
%, Germination Index 147 %,
Total Koliform 210 MPN/gr.
Seluruh variasi telah
memenuhi standar SNI 19-
7030-2004 .
2. Dosis optimum pemberian
pupuk kotoran kambing pada
variasi K3 dengan
perbandingan Sampah daun
kering dan kotoran kambing (
3:2 ) .
2.2 Saran
Saran yang dapat diberikan
setelah adanya penelitian ini
antara lain:
1. Perlu adanya penelitian
penambahan bahan baku lain
seperti sayur-sayuran, sampah
domestik (sampah dapur),
sehingga tidak hanya
menggunakan sampah daun
kering.
2. Perlu adanya penelitian dengan
penambahan Pupuk Organik lain
terhadap hasil pengomposan
sampah daun kering.
3. Sebaiknya penelitian dilakukan
ditempat yang tidak
mengganggu proses
pengomposan (misalnya: hujan,
11 *) Penulis
**) Dosen Pembimbing
Tersedia online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/tlingkungan
Jurnal Teknik Lingkungan, Vol. 6, No. 3 (2017)
hewan, dan terik matahari
langsung)
DAFTAR PUSTAKA
Baharuddin, A.S., M. Wakisaka, Y.
Shirai, S. Abd-Aziz, N.A.A.
Rahman, and M.A. Hassan.
2009. Co-Composting of
Empty Fruit Bunches and
Partially Treated Palm Oil
Mill Effluents in Pilot Scale.
International Journal of
Agricultural Research. 4 (2) :
69 –78.
Cahaya, A.T. dan Nugroho D.A.
2008. Pembuatan Kompos
dengan Menggunakan Limbah
Padat Organik (Sampah
Sayuran dan Ampas Tebu).
Semarang: Teknik Kimia
Universitas Diponegoro.
Dalzell, H.W. 1987. Soil
Management Compost
Production and Use in
Tropical and Subtropical
Environment. Rome.
Darmasetiawan, Martin Ir. 2004.
Daur Ulang Sampah dan
Pembuatan Kompos. Jakarta :
Ekamitra Engineering.
Epstein, E. 1997. Soil Improvers and
Growing Media. Science
Direct.
Fahruddin dan A. Abdullah. 2010.
Pendayagunaan Sampah Daun
di Kampus Unhas Sebagai
Bahan Pembuatan Kompos.
Makassar: Fakultas Mipa
Universitas Hasanuddin
Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah.
Jakarta: Akademika Pressindo.
Hartatik, W. Dan Widowati, L.R.
2006. Pupuk Kandang, Pupuk
Organik dan Pupuk Hayati.
Bogor: Balai Besar Penelitian
dan Pengembangan Sumber
Daya Lahan Pertanian.
Indriani,Yovita Hety. 2011.
Membuat Kompos Secara
Kilat. Jakarta : Penebar
Swadaya
Intan, B. L. 2012. Pengomposan
Sludge Hasil Pengolahan
Limbah Cair PT. Indofood
CBP dengan Penambahan
Lumpur Aktif dan EM4 dengan
Variasi Sampah Domestik dan
Kulit Bawang. Semarang:
Teknik Lingkungan Fakultas
Teknik Universitas
Diponegoro.
Isroi. 2008. Kompos. Bogor: Balai
Penelitian Bioteknologi
Perkebunan Indonesia.
Kusumayanti, D. 2002. Uji
Keefektifan lindi sampah
sebagai Biostater dalam
mempercepat proses
kematangan kompos. ITS :
Surabaya.
Murbandono H.S., L.1989. Membuat
Kompos. Penebar Swadaya:
Jakarta
Polpraset, C. 1996. Organik Waste
Recycling Environment.
Thailand: Asian Institut of
Technology Bangkok
Purwati, Sri. 2006. Pengaruh
Kompos dan Limbah Lumpur
IPAL industry Kertas terhadap
Tanaman dan air Perkolat
Tanah. Jakarta : Jurnal balai
Besar Pulp dan kertas Vol.41
Rynk, R., M. van de Kamp, G.B.
Willson, M.E. Singley, T.L.
Richard, J.J. Kolega, F.R.
Gouin, L. Laliberty Jr., D. Kay,
D.W. Murphy, H.A.J. Hoitink,
and W.F. Brinton. 1992. On-
Farm Composting Handbook.
New York : The Northeast
Regional Agricultural
Engineering Service,
Coorperative Extension.
12 *) Penulis
**) Dosen Pembimbing
Tersedia online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/tlingkungan
Jurnal Teknik Lingkungan, Vol. 6, No. 3 (2017)
Selim, Sh. M., Zayed, M. S., Atta, H.
M. 2012. Evaluation of
Phytotoxicity of Compost
During Composting Process.
Setyorini, D., Rasti S., dan Ea
Kosman A. 2006. Kompos.
Bogor: Balai Besar Litbang
Sumberdaya Lahan Pertanian
Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
Standar Nasional Indonesia. 2004.
Spesifikasi Kompos dari
Sampah Organik Domestik SNI
19-7030-2004. Jakarta: Badan
Standar Nasional Indonesia.
Sudomo, N. F. S. 2012. Optimalisasi
Sistem Pengelolaan sampah di
Lingkungan Kampus
Universitas Diponegoro,
Tembalang : Upaya Menuju
UNDIP ECOCAMPUS.
Semarang : Universitas
Diponegoro.
Suswardany, Dwi Linna,
Ambarawati, Yuli
Kusumawati. 2006. Peran
Effective Microorganism-4
(EM-4) Dalam Meningkatkan
Kualitas Kimia Kompos Ampas
Tahu. Universitas
Muhammadiyah Surakarta :
Surakarta
Syakir, M., David Allorerung,
Sumanto, dan Jati Purwani.
2009. Dekomposisi Limbah
Jarak Pagar dan
Pemanfaatannya untuk Pupuk
Organik. Bogor: Pusat
Penelitian dan Pengembangan
Perkebunan.
Tobing, Esther L. 2009. Studi
tentang kandungan Nitrogen,
Karbon C-organik dan C/N
Dari Kompos Tumbuhan
Kembang Bulan. Medan :
Universitas Sumatera Utara
Wahyono, Sri Firman L., Sahwan,
dan Feddy S. 2003. Mengolah
Sampah Menjadi Kompos
Sistem Open Windrow Bergulir
Skala Kawasan. Jakarta: Badan
Pengkajian dan Penerapan
Teknologi
Zucconi, F., dan M. de
Bertoldi.1987. Copost
Specification For The
Production and
Characterization of Compost
from Municicipial Solid Waste.
Dalam Selim, Sh. M., M. S.
Zayed, H. M. Atta. 2012.
Evaluation of Phytotoxicity of
Compost During Composting
JURNAL BETA (BIOSISTEM DAN TEKNIK PERTANIAN)
Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Udayana
http://ojs.unud.ac.id/index.php/beta
Volume 5, Nomor 1, Januari, 2017
111
Pengaruh Perbandingan Komposisi Bahan Baku
terhadap Kualitas Kompos dan Lama Waktu Pengomposan
The Effect Composition Ratio of Raw Material on Compost Quality and Timing for
Composting
1
I Ketut Merta Atmaja, 2
I Wayan Tika, 2
I Md. Anom S. Wijaya
1
Mahasiswa (Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana)
2
Dosen (Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana)
Email: ketutmerta1604@gmail.com
Abstrak
Potensi biomassa padi beras merah (varietas lokal) seperti jerami padi dan kotoran
ayam dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku kompos. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui perbandingan komposisi bahan baku yang terbaik dan mengetahui waktu
minimal yang diperlukan untuk menghasilkan kompos yang berkualitas. Penelitian ini
menggunakan perlakuan perbandingan komposisi jerami dan kotoran ayam dimana P1 =
(6: 8), P2 = (6: 7), P3 = (6: 6), P4 = (6: 5), dan P5 = (6: 4). Panjang tumpukan bahan baku
kompos adalah 1 m, tinggi 1 m, dan lebar 1 m. Berat bahan untuk masing-masing
perlakuan diasumsikan 50 kg. Tumpukan bahan baku kompos pada setiap perlakuan
ditutup menggunakan terpal untuk menjaga suhu dan melindungi dari faktor gangguan
luar selama proses pengomposan. Parameter yang diukur adalah suhu, kadar air,
rendemen, pH, nitrogen, karbon, dan C/N rasio. Proses pengomposan berlangsung selama
78 hari dengan suhu berkisar 30,1 - 51,1°C. Kadar air kompos berkisar antara 31,74 -
32,59%. Rendemen kompos berkisar 59 -64%, dan pH berkisar antara 7,2 - 7,5. Secara
umum, kualitas kompos yang dihasilkan sesuai dengan SNI 19-7030-2004 dengan C/N
ratio akhir adalah 16 - 33. P1 yang memiliki perbandingan komposisi jerami padi dan
kotoran ayam 6: 8 adalah perlakuan terbaik dengan C/N rasio 16 dan proses
pengomposannya terjadi selama 63 hari.
Kata kunci : jerami padi, kotoran ayam, pengomposan, kualitas kompos.
Abstract
The rice biomass potential of red rice (local varieties) such as rice straw and chicken
manure can be utilized as a raw material for composting. This research aimed to
determine the best composition ratio of compost raw materials and to find the minimum
time to produce compost with such quality. This research used a treatment composition
ratio of rice straw and chicken manure where P1 = (6 : 8), P2 = (6 : 7), P3 = (6 : 6), P4 =
(6 : 5), and P5 = (6 : 4 ). The dimension of composting pile were 1 m length, 1 m height,
and 1 m wide. Each treatment material assumed 50 kg. Piles of compost material in each
treatment were covered using a tarp to keep the temperature and protect from outside
interference during the composting process. The parameters measured were temperature,
moisture content, yield, pH, nitrogen, carbon, and C/N ratio. The composting process
lasted for 78 days with temperature ranged 30,1 – 51,1°C. Compost moisture ranged from
31,74 – 32,59%. Compost yield ranged 59 -64%, and pH ranged between 7,2 – 7,5. In
general, the quality of the produced compost accordance to SNI 19-7030-2004 with a final
C/N ratio was 16 - 33. The P1 which have composition ratio of rice straw and chicken
manure 6 : 8 was the best treatment which have C/N ratio of 16 and for 63 days of
composting process.
Keyword : rice straw, chicken manure, composting, compost quality.
112
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Daerah Bali memiliki lahan pertanian yang
potensial, pada tahun 2013 luas total lahan sawah
seluruh kabupaten/kota di Bali mencapai 81.165 Ha
(Anon, 2014). Sebagian besar lahan persawahan
pada beberapa wilayah di Bali digunakan untuk
budidaya tanaman padi oleh petani, saat ini varietas
padi yang ditanam petani diantaranya adalah varietas
unggul dan tanaman padi varietas lokal yaitu padi
beras merah yang banyak ditanam di daerah
Penebel, Kabupaten Tabanan.
Selain memiliki potensi pertanian, daerah
Tabanan khususnya di wilayah Penebel juga
memiliki potensi peternakan salah satunya yang
banyak dikembangkan adalah peternakan ayam
pedaging dan petelur. Banyaknya jumlah ayam yang
diternakkan menimbulkan masalah baru yaitu
limbah peternakan berupa kotoran ayam yang
menumpuk setiap harinya. Salah satu cara yang
dapat dilakukan untuk memanfaatkan limbah
kotoran ayam tersebut adalah dengan mengolahnya
menjadi pupuk kompos.
Pengembangan sektor pertanian selama ini lebih
mengutamakan pengolahan lahan dengan
penggunakan pupuk anorganik (kimia) untuk
meningkatkan hasil pertanian, namun dalam jangka
panjang penggunaan pupuk anorganik tersebut
berdampak buruk terhadap sifat fisik, kimia, dan
biologi tanah (Parnata, 2004). Dalam upaya
meningkatkan kualitas tanah dan penanganan limbah
jerami serta limbah kotoran ayam yang dihasilkan,
maka perlu dilakukan salah satu upaya pemanfaatan
limbah organik tersebut menjadi pupuk kompos.
Menurut Cayuela et al (2009), proses pengomposan
merupakan cara terbaik mendaur ulang limbah
organik yang berguna dalam memperbaiki tanah
yang terdegradasi untuk pengelolaan lahan pertanian
berkelanjutan.
Melihat kondisi dan potensi yang ada, maka
solusi yang dapat dilakukan adalah mengolahnya
menjadi pupuk kompos untuk memanfaatkan limbah
jerami padi sebagai sumber nutrisi yang sudah
tersedia di lahan (sawah) dan menambahkan bahan
organik lainnya yaitu limbah kotoran ayam. Jerami
padi mengandung 35,65% selulosa dan 6,55%
senyawa lignin menyebabkan jerami sulit diuraikan
oleh mikroorganisme sehingga membutuhkan waktu
yang lebih lama untuk didekomposisi (Ekawati,
2003). Penambahan bahan organik lain yaitu kotoran
ayam yang mengandung kadar nitrogen (N) tinggi
yang dicampur dengan limbah jerami yang memiliki
kandungan senyawa karbon (C) dan lignin tinggi
diharapkan akan mempercepat dekomposisi bahan
dan penurunan C/N rasio bahan kompos, selain juga
akan meningkatkan kandungan unsur hara lainnya
pada kompos.
Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan
penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui
komposisi bahan yang terbaik antara jerami padi dan
kotoran ayam serta mengetahui waktu minimal yang
dibutuhkan untuk menghasilkan kompos yang
berkualitas.
Rumusan Masalah
1. Berapakah perbandingan komposisi yang terbaik
antara jerami dan kotoran ayam untuk
menghasilkan kompos yang sesuai dengan
standar SNI?
2. Berapakah waktu mininimal yang dibutuhkan
untuk menghasilkan pupuk kompos dengan
bahan dasar jerami dan kotoran ayam yang
sesuai dengan standar SNI?
Tujuan
1. Mengetahui komposisi yang terbaik antara
jerami dan kotoran ayam untuk menghasilkan
pupuk kompos yang sesuai dengan standar SNI.
2. Mengetahui waktu minimal untuk
menghasilkan pupuk kompos dengan bahan
dasar jerami dan kotoran ayam yang sesuai
dengan standar SNI.
Manfaat
Manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini antara
lain.
1. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini
diharapkan mampu memberikan pengetahuan
mengenai bagaimana kualitas kompos yang
dihasilkan dari beberapa perbandingan
komposisi antara jerami dan kotoran ayam.
2. Adanya sistem online sebagai sarana memuat
hasil dari penelitian ini diharapakan mampu
memberikan informasi kepada mahasiswa yang
tertarik melakukan penelitian sejenis.
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Proses pengomposan dilaksanakan di Subak
Sigaran, Desa Jegu, Kec. Penebel, Kab. Tabanan.
Uji kadar air awal bahan baku kompos dilakukan di
Laboratorium PSDA Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Udayana dan uji kualitas kompos
dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas
Pertanian Universitas Udayana. Penelitian ini
dilakukan pada bulan Februari sampai Juni 2016.
Bahan dan Alat
1. Bahan yang digunakan pada penelitian ini antara
lain: jerami padi beras merah (padi varietas
lokal), kotoran (feses) ayam petelur (ayam ras),
air untuk pembasahan bahan, larutan inokulan
113
(EM4), larutan molase, serta zat kimia untuk
analisis kimia kualitas kompos.
2. Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara
lain: thermohygrometer (Suncare, Model: 303),
timbangan gantung (Dunlop Tools), sabit, pisau
besar (parang), cangkul jenis garpu tanah, sekop,
ember, sarung tangan karet, garu, karung plastik,
tali rafia, dan terpal ukuran 3x4 m. Sedangkan
untuk uji kualitas kompos menggunakan
peralatan antara lain:, pH meter (Activon,
Model:209), timbangan analitik (Mettler Toledo,
PB3002), oven tanah (Precision Scientific), dan
peralatan gelas laboratorium untuk analisis
kimia kualitas kompos.
Rancangan Percobaan
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian
eksperimental. Perlakuan yang diberikan pada
penelitian ini adalah pemberian perbandingan
komposisi jerami dan kotoran ayam yang berbeda
pada setiap perlakuan. Pada penelitian ini terdapat
lima jenis perlakuan perbandingan komposisi basis
berat antara jerami dan kotoran ayam yaitu, P1 (6:8),
P2 (6:7), P3 (6:6), P4 (6:5), dan P5 (6:4). Penentuan
perbandingan untuk setiap perlakuan berdasarkan
C/N rasio bahan baku. Perbandingan komposisi
bahan untuk masing-masing perlakuan berdasarkan
berat total bahan baku yaitu 50kg untuk satu
tumpukan. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3
kali, sehingga terdapat 15 unit percobaan.
Proses Pembuatan Kompos
Jerami yang digunakan pada penelitian ini
dikumpulkan dari sisa panen padi dengan jarak
pengambilan jerami yaitu 1 (satu) minggu setelah
proses panen. Jerami yang telah terkumpul
selanjutnya dipotong menggunakan pisau besar
(parang) menjadi beberapa bagian dengan ukuran ±
5cm. Bahan lainnya yang disiapkan adalah kotoran
ayam petelur (ayam ras) berumur 1- 10 hari dengan
kadar air terukur 40% yang diambil dari peternakan
ayam petelur yang ada disekitar Desa Jegu,
Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan.
Setelah semua bahan siap selanjutnya jerami
dicampur dengan kotoran ayam petelur dengan
perbandingan sesuai komposisi masing-masing
perlakuan. Selanjutnya campuran bahan baku
ditumpuk setiap perlakuan dengan dimensi p x l x t
adalah 100cm x 100cm x 100cm.
Setelah semua bahan baku kompos tertumpuk,
selanjutnya untuk setiap tumpukan bahan dilakukan
pembasahan awal bahan dengan air sebanyak 10
liter. Selanjutnya setiap tumpukan ditambahkan
campuran 50ml larutan inokulan (larutan EM4)
molase sebanyak 50ml, dan dicampur 2500ml yang
sebelumnya telah difermentasi selama 5 hari sebagai
starter untuk mempercepat proses pengomposan.
Tumpukan bahan baku kompos kemudian ditutup
menggunakan terpal untuk menjaga suhu kompos
dan melindungi dari faktor gangguan luar selama
proses pengomposan.
Setelah proses pengomposan mulai berjalan
dilakukan pengamatan suhu dan kelembaban
tumpukan bahan. Suhu dan kelembaban bahan
diukur mengunakan thermohygrometer setiap 3 hari
sekali. Pembalikan dan pembasahan setiap
tumpukan bahan baku kompos dilakukan setiap 2
minggu sekali tergantung kondisi suhu dan
kelembaban bahan sampai minggu ke- 7 dengan air
sebanyak ±10 liter untuk menjaga suhu dan
kelembaban bahan kompos tetap terjaga selama fase
mesofilik dan fase termofilik proses pengomposan.
Variabel Yang Diamati
Suhu dan kelembaban bahan selama proses
pengomposan diamati 3 hari sekali. Pengukuran
suhu dan kelembaban bahan dilakukan dengan cara
menancapkan ujung sensor alat tepat ditengah-
tengah tumpukan dengan kedalaman ± 40 cm,
kemudian hasil pengukuran dibaca pada display alat
ukur. Indikator untuk menentukan waktu
kematangan kompos adalah: suhu kompos yang
telah matang akan turun mendekati suhu lingkungan,
warna kompos yang telah matang umumnya
memiliki warna coklat kehitaman menyerupai warna
tanah, dan memiliki tekstur yang remah/gembur.
Uji Kualitas Kompos dan Uji Statistik
Setelah proses pengomposan berakhir, dilakukan
uji kualitas kompos yaitu uji derajat keasaman (pH)
kompos dengan pH meter, uji kadar air kompos (%)
dengan metode Gravimetri, uji kadar C-organik (%)
dengan metode Walkley dan Black, uji kadar N-total
(%) dengan metode Kjeldhal, dan menghitung rasio
C/N kompos tersebut. Pengujian kualitas kompos
dilakukan di Laboratorium Tanah, Fakultas
Pertanian, Universitas Udayana. Selanjutnya data
hasil uji kualitas kompos dianalisis (uji statistik)
menggunakan analisis sidik ragam (Anova) dan uji
BNT (Beda Nyata Terkecil) untuk mengetahui
pengaruh perlakuan terhadap variabel yang diamati
dengan bantuan software IBM SPSS 20.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Parameter Pada Proses Pengomposan
Suhu
Hasil dari pengamatan suhu pada proses
pengomposan diilustrasikan pada Gambar 1. Pada
awal proses pengomposan tumpukan bahan baku
kompos mengalami proses aklamasi yaitu proses
penyesuaian suhu bahan kompos, dimana aktivitas
mikroorganisme dalam bahan untuk beradaptasi
dengan kondisi mesofilik (Madrini, 2016). Pada hari
ke-3 suhu tumpukan bahan masing-masing
114
perlakuan mulai mengalami peningkatan, hal ini
menunjukkan jika proses penguraian bahan oleh
mikroorganisme mulai aktif.
Setelah memasuki minggu ke-2 proses
pengomposan memasuki fase thermofilik yang
ditandai dengan peningkatan suhu kompos yang
signifikan >40o
C. Pada fase termofilik ini
berlangsung suhu kompos terus mengalami
peningkatan dan mencapai titik suhu maksimal.
Perlakuan P1, perlakuan P2, dan perlakuan P3
mencapai titik suhu maksimal saat kompos berumur
15 hari pada kisaran suhu 50,4 – 51,1o
C dengan suhu
maksimal tertinggi diperoleh pada perlakuan P1.
Berbeda halnya dengan perlakuan P4 dan perlakuan
P5 titik suhu maksimal yang dicapai pada fase
thermofilik terjadi pada hari ke-18 dengan suhu 50,4
- 50,5o
C.
Gambar 1. Perubahan suhu bahan selama proses
pengomposan
Kelima perlakuan setelah mengalami fase
mesofilik dan thermofilik, selanjutnya memasuki
fase pematangan kompos, suhu tumpukan bahan
mulai mengalami penurunan yang diakibatkan oleh
aktivitas mikroorganisme mulai berkurang sehingga
energi yang dihasilkan juga berkurang dan suhu
mengalami penurunan. Selain penurunan suhu
setelah mengalami fase mesofilik dan termofilik,
kematangan kompos juga terlihat dari perubahan
tekstur remah serta warna bahan kompos menjadi
coklat kehitaman. Pada gambar 2 terlihat perlakuan
P1 mengalami penurunan suhu yang paling cepat
mendekati suhu lingkungan yaitu 31,4°C pada hari
ke-63 yang diikuti oleh empat perlakuan lainnya.
Suhu perlakuan P2, P3, P4, dan P5 mengalami
penurunan mendekati suhu lingkungan berturut-turut
pada hari ke-66, 69, 75, dan 78.
Perbandingan komposisi jerami dan kotoran
ayam berpengaruh pada tingginya aktivitas
mikroorganisme pengurai dalam mendekomposisi
bahan baku kompos. Kotoran ayam yang kaya akan
mikroorganisme didalamnya berfungsi sebagai
aktivator alami. Selain itu juga kandungan N
(nitrogen) yang tinggi pada kotoran ayam
berpengaruh pada meningkatnya aktivitas
mikroorganisme pengurai dalam bahan kompos.
Senyawa nitrogen (N) pada kotoran ayam
dimanfaatkan oleh mikroba untuk sintesis protein
dan unsur karbon (C) yang terdapat pada jerami
merupakan sumber energi bagi mikroorganisme
dalam proses pengomposan dan menghasilkan
energi dalam bentuk panas pada tumpukan kompos.
Tabel 1.
Nilai rata-rata suhu bahan selama proses
pengomposan
Perlakuan Suhu Rata-rata (o
C)
P1 (6:8) 37,82 a
P2 (6:7) 37,67 a
P3 (6:6) 37,89 a
P4 (6:5) 38,31 a
P5 (6:4) 37,77 a
Keterangan : Huruf yang sama dibelakang nilai rata-
rata menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (p>0,05)
Hasil uji statistik dari seluruh perlakuan tidak
memiliki nilai yang berbeda nyata. Dapat
disimpulkan kelima perlakuan dengan perbandingan
komposisi jerami dan kotoran ayam yang berbeda
tidak memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap suhu rata-rata bahan selama pengomposan.
Rata-rata suhu bahan baku kompos nilainya
tidak berbeda jauh dipengaruhi oleh proses
pengomposan yang dilakukan langsung di lahan
terbuka (sawah) sehingga peningkatan suhu kompos
yang terjadi tidak begitu signifikan. Faktor lainnya
yang mempengaruhi perubahan suhu selama
pengomposan nilainya adalah penggunaan jenis
bahan yang sama yaitu jerami padi beras merah
(padi varietas lokal), antara perlakuan satu dengan
perlakuan lainnya hanya dibedakan perbandingan
komposisi jerami dan kotoran ayam.
Menurut Djuarnani et al (2008), proses
penguraian bahan organik yang memiliki rasio C/N
tinggi seperti jerami padi atau jerami gandum,
sebaran suhunya tidak dapat melebihi 52o
C. Kondisi
tersebut menunjukkan jika sebaran suhu dalam
proses pengomposan juga dipengaruhi oleh jenis
bahan organik yang dikomposkan.
Kelembaban Bahan
Hasil pengukuran perubahan kelembaban bahan
selama proses pengomposan menunjukkan berada
pada kisaran angka 41,3 – 54,7% seperti yang
diilustrasikan pada Gambar 2.
25.0
30.0
35.0
40.0
45.0
50.0
55.0
0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 78
P1 P2 P3
P4 P5 Lingkungan
Suhu(°C)
Waktu pengomposan (hari)
115
Gambar 2. Perubahan kelembaban bahan selama
proses pengomposan
Selama proses pengomposan dilakukan
pembasahan untuk menjaga kelembaban kompos
pada kisaran 40 - 60%. Hal ini dikarenakan jika
kelembaban bahan kompos terlalu tinggi,
mengakibatkan aktifitas mikroorganisme terhambat
dikarenakan rongga pada tumpukan kompos
terhalang oleh air yang terlalu banyak yang sehingga
kadar oksigen dalam tumpukan berkurang.
Sebaliknya, jika kelembaban bahan terlalu rendah
akan mengakibatkan aktifitas mikroorganisme akan
menurun karena kekurangan air. Bahan kompos
dengan kadar air 60% memiliki karakteristik akan
terasa basah jika diremas tetapi air tidak menetes
(Indriani, 2011).
Tabel 2.
Nilai rata-rata kelembaban bahan selama proses
pengomposan
Perlakuan Kelembaban Rata-rata (%)
P1 (6:8) 50,97 a
P2 (6:7) 50,95 a
P3 (6:6) 51,01 a
P4 (6:5) 51,04 a
P5 (6:4) 52,18 a
Keterangan : Huruf yang sama dibelakang nilai rata-
rata menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (p>0,05)
Berdasarkan hasil uji statistik, seperti yang
disajikan pada Tabel 2 didapatkan hasil bahwa dari
seluruh perlakuan tidak menunjukkan nilai yang
berbeda nyata. Lima perlakuan dengan perbandingan
komposisi jerami dan kotoran ayam yang berbeda
tidak memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap kelembaban bahan kompos.
Waktu Pengomposan
Hasil penelitian yang telah dilaksanakan dapat
dilihat pada Tabel 3, menunjukkan bahwa antara
perlakuan P1, P2, P3, P4, dan P5 memiliki
perbedaan lama waktu pengomposan. Adapun
indikator yang digunakan dalam menentukan
kematangan kompos diantaranya; suhu yang mulai
stabil mendekati suhu lingkungan, tekstur kompos
yang remah, perubahan warna kompos menjadi
coklat kehitaman, dan memiliki bau seperti
tanah/daun lapuk.
Tabel 3.
Nilai rata-rata lama waktu pengomposan
Perlakuan Waktu (hari) Suhu (°C)
P1 (6:8) 63 31,4
P2 (6:7) 66 31,4
P3 (6:6) 69 31,5
P4 (6:5) 75 31,4
P5 (6:4) 78 31,3
Berdasarkan grafik perubahan suhu bahan
selama proses pengomposan yang diilustrasikan
pada Gambar 1 yang telah dibahas sebelumnya, saat
umur kompos memasuki 78 hari keseluruhan suhu
kompos dari kelima perlakuan sudah mulai stabil
turun mendekati suhu lingkungan dan tekstur
kompos telah berubah menjadi remah serta berwarna
coklat kehitaman, yang menandakan kompos telah
matang.
Perlakuan P1 merupakan perlakuan terbaik
dengan perubahan suhu paling cepat diantara empat
perlakuan lainnya. Pada tahap awal pengomposan
setelah mengalami proses aklamasi suhu perlakuan
P1 meningkat signifikan memasuki fase termofilik
dan pada hari ke-15 mencapai titik suhu maksimal
yaitu 51,1°C. Selanjutnya setelah mencapai titik
suhu maksimal, terjadi penurunan suhu sampai
memasuki fase pematangan kompos. Perlakuan P1
juga mengalami pematangan kompos yang paling
cepat dengan indikator suhu tumpukan bahan
kembali turun mendekati suhu lingkungan yaitu
31,4°C pada hari ke-63 yang diikuti oleh empat
perlakuan lainnya.
Cepat atau lambatnya proses pengomposan juga
dipengaruhi faktor suhu dan aktivitas
mikroorganisme pengurai yang ada dalam proses
pengomposan. Aktivitas mikroorganisme pada suhu
rendah (10-45o
C) yang terjadi pada tahap awal
pengomposan (fase mesofilik) berfungsi dalam
memperkecil partikel bahan organik sehingga akan
memperluas permukaan bahan dan mempercepat
proses penguraian. Selanjutnya pada fase thermofilik
mikroorganisme (45-65o
C) pengurai mengambil
karbohidrat dan protein untuk metabolisme mereka
sehingga akan mempercepat proses pengomposan
(Djuarnani et al, 2008).
Jenis bahan baku kompos yang digunakan
berupa jerami (padi beras merah Jatiluwih) yang
memiliki kandungan karbon (C) tinggi menjadi salah
satu faktor lamanya proses pengomposan. Menurut
40.0
45.0
50.0
55.0
60.0
65.0
0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 78
P1 P2 P3 P4 P5
waktu pengomposan (hari)
Kelembaban(%)
116
Jutono (1993), kandungan selulose dan lignin yang
semakin tinggi pada bahan organik, menyebabkan
nilai C/N rasio bahan semakin besar sehingga proses
dekomposisi bahan semakin lambat.
Ukuran bahan juga dapat berpengaruh terhadap
proses pengomposan. Pada proses pengomposan
dilakukan pemotongan jerami menjadi bagian yang
lebih kecil dan seragam bertujuan mempermudah
dan mempercepat proses pengomposan yang
dilakukan. Menurut Djuarnani et al (2008), bahan
yang berukuran kecil akan cepat didekomposisi
karena luas permukaannya meningkat dan
mempermudah aktivitas mikroorganisme pengurai.
Ukuran bahan mentah yang terlalu besar akan
menyebabkan rongga udara berkurang sehingga
pasokan oksigen ke dalam tumpukan akan semakin
berkurang. Jika pasokan oksigen berkurang,
mikroorganisme yang ada di dalamnya tidak bisa
bekerja secara optimal.
Parameter Kualitas Kompos
Pada penelitian ini, standar SNI No. 19-7030-
2004 digunakan sebagai acuan kualitas kompos hasil
penelitian.
1. pH Kompos
Setelah proses pengomposan berlangsung
selama 78 hari didapatkan hasil pengukuran pH
seperti pada Tabel 4.
Tabel 4.
Nilai rata-rata pH kompos
Perlakuan pH Standar pH SNI
P1 (6:8) 7,23 b
P2 (6:7) 7,27 b
P3 (6:6) 7,32 ab 6,80 – 7,49
P4 (6:5) 7,41 ab
P5 (6:4) 7,51 a
Keterangan : Huruf yang sama dibelakang nilai rata-
rata menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (p>0,05)
Hasil uji statistik pH kompos menunjukkan nilai
yang berbeda nyata, seperti pada Tabel 4. Nilai rata-
rata pH nampak bervariasi yang berkisar mulai dari
pH terendah 7,2 pada perlakuan P1, dan untuk pH
tertinggi dicapai pada perlakuan P5 yaitu 7,5.
Menurut Indriani (2011), pada proses
pengomposan mikroorganisme akan aktif pada
kondisi pH netral sampai sedikit asam yaitu pada pH
5,5 – 8. Pada tahap awal pengomposan akan
terbentuk asam-asam organik. Kondisi asam ini
memicu pertumbuhan jamur dan akan menguraikan
senyawa lignin dan selulosa pada bahan organik.
Selama proses dekomposisi bahan ini berlangsung,
asam-asam organik tersebut akan menjadi netral dan
pH kompos setelah proses pematangan biasanya
berkisar 6 – 8.
2. Kadar Air Kompos
Berdasarkan hasil uji kadar air akhir kompos
yang dilakukan di laboratorium didapatkan hasil
pengukuran seperti pada Tabel 5. Hasil uji statistik
data pengukuran kadar air akhir kompos
menunjukkan hasil bahwa, dari seluruh perlakuan
tidak memiliki nilai yang berbeda nyata antara
perlakuan P1, perlakuan P2, perlakuan P3, perlakuan
P4, dan perlakuan P5. Hal ini menunjukkan jika
kadar air akhir kompos dari kelima perlakuan
cenderung seragam, sehingga dapat disimpulkan
pemberian perbandingan komposisi jerami dan
kotoran ayam yang berbeda tidak memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap kadar air akhir
kompos.
Tabel 5.
Nilai rata-rata kadar air kompos
Perlakuan Kadar air (%) Standar SNI
P1 (6:8) 32,13 a
P2 (6:7) 31,75 a
P3 (6:6) 31,99 a < 50%
P4 (6:5) 31,93 a
P5 (6:4) 31,66 a
Keterangan : Huruf yang sama dibelakang nilai rata-
rata menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (p>0,05)
3. C-organik Kompos
Hasil pengujian kandungan C-organik yang
disajikan pada Tabel 6 menunjukkan perlakuan P1
memiliki kandungan C-organik paling rendah yaitu
26,28%, sedangkan kandungan C-organik paling
tinggi terdapat pada perlakuan P5 yaitu 36,75%.
Tabel 6.
Nilai rata-rata C-organik kompos
Perlakuan C-organik (%) Standar SNI
P1 (6:8) 26,28 c
P2 (6:7) 29,93 b
P3 (6:6) 35,02 a 9,8 – 32%
P4 (6:5) 35,76 a
P5 (6:4) 36,75 a
Keterangan : Huruf yang sama dibelakang nilai rata-
rata menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (p>0,05)
Hasil uji statistik menunjukkan perlakuan P1,
P2, P3, P4, dan P5 memiliki nilai yang berbeda
nyata. Kadar C-organik yang berbeda pada
perlakuan P1, P2, P3, P4, dan P5 dipengaruhi
komposisi bahan jerami dan kotoran ayam. Jika
dilihat perlakuan dengan jumlah jerami lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah kotoran ayam
117
menghasilkan kompos dengan kandungan karbon
(C) lebih besar.
Jumlah komposisi jerami yang semakin banyak
mengakibatkan aktivitas mikroorganisme pengurai
semakin berat sehingga membutuhkan waktu yang
lebih lama untuk mendekomposisi bahan. Proses
pengomposan yang semakin lama berpengaruh pada
kandungan C-organik akan semakin berkurang
karena sudah diuraikan oleh mikroorganisme
menjadi senyawa yang lebih sederhana. Selama
proses pengomposan, senyawa organik akan
berkurang dan terjadi pelepasan karbon dioksida
karena adanya aktivitas mikroorganisme sehingga
mempengaruhi kadar C-organik kompos yang
dihasilkan (Harizena, 2012 dalam Pratiwi dkk,
2013). Menurut Graves et al (2000), selama proses
pengomposan akan terjadi perubahan rasio C/N yang
diakibatkan oleh aktivitas mikroorganisme pengurai
yang menggunakan unsur karbon (C) sebagai
sumber energi untuk mengurai bahan organik
sehingga kandungan karbon semakin lama akan
semakin berkurang.
4. N-total Kompos
Setelah dilakukan pengukuran kadar N-total
kompos yang telah matang didapatkan hasil
pengukuran seperti pada Tabel 7. Perlakuan P1
dengan perbandingan komposisi jerami dan kotoran
ayam 6 : 8 memiliki kadar nitrogen yang paling
tinggi yaitu 1,66 %, sedangkan kadar N-total
terendah yaitu 1,10 % diperoleh dari perlakuan P5
dengan perbandingan komposisi jerami dan kotoran
ayam 6 : 4.
Tabel 7.
Nilai rata-rata N-total kompos
Perlakuan N-total (%) Standar SNI
P1 (6:8) 1,67 a
P2 (6:7) 1,66 a
P3 (6:6) 1,57 ab >0,40%
P4 (6:5) 1,19 bc
P5 (6:4) 1,10 c
Keterangan : Huruf yang sama dibelakang nilai rata-
rata menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (p>0,05)
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa lima
perlakuan yang diberikan memiliki nilai yang
berbeda nyata seperti yang disajikan pada Tabel 7.
Dapat simpulkan jika perlakuan perbedaan
komposisi jerami dan kotoran ayam yang diberikan
pada P1, P2, P3, P4, dan P5 berpengaruh signifikan
terhadap kadar N-total kompos.
Semakin banyak kotoran ayam yang digunakan
pada bahan baku kompos maka kadar nitrogen (N-
total) semakin tinggi. Hal ini dikarenakan kotoran
ayam memiliki kadar nitrogen yang tinggi sehingga
mempengaruhi kadar N-total dalam kompos yang
dihasilkan. Limbah ternak ayam berupa kotoran
ayam memiliki kadar nitrogen (N) yang cukup tinggi
yaitu mencapai 1,602 % (Agustina, 2004) . Menurut
Supadma dan Arthagama (2008), kadar nitrogen (N)
bahan dasar kompos yang semakin tinggi akan
berpengaruh pada semakin cepatnya proses
dekomposisi dan menghasilkan kadar N-total
kompos yang semakin tinggi pula.
5. C/N rasio Kompos
Hasil pengukuran C/N rasio seperti yang
disajikan pada Tabel 8, dari lima perlakuan hanya
dua perlakuan yang memenuhi standar kualiatas
kompos dengan C/N rasio sebesar 16,16 – 18,26
yaitu P1 dan P2. Berbeda dengan P3, P4, dan P5
memiliki C/N rasio yang masih tinggi (> 20)
sehingga kompos yang dihasilkan dengan tiga
perlakuan ini belum memenuhi Standar Nasional
Indonesia (SNI 19-7030-2004) yaitu harus memiliki
C/N rasio 10 – 20. Perlakuan terbaik yang
memenuhi SNI adalah perlakuan P1 dengan
komposisi jerami dan kotoran ayam 6 : 8 yang
memiliki C/N rasio sebesar 16,16.
Tabel 8.
Nilai rata-rata C/N rasio kompos
Perlakuan C/N rasio Standar SNI
P1 (6:8) 16,16 c
P2 (6:7) 18,26 bc
P3 (6:6) 22,28 b 10 - 20
P4 (6:5) 29,89 a
P5 (6:4) 33,69 a
Keterangan : Huruf yang sama dibelakang nilai rata-
rata menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (p>0,05)
Hasil uji statistik menunjukkan jika perlakuan
perbedaan komposisi jerami dan kotoran ayam
memiliki nilai yang berbeda nyata. Hal ini
menandakan jika pemberian perlakuan komposisi
jerami dan kotoran ayam yang berbeda berpengaruh
pada C/N rasio kompos. Terlihat pada Tabel 8,
bahwa perlakuan P1dengan komposisi kotoran ayam
paling banyak yaitu (6 : 8) memiliki C/N rasio
paling rendah dan merupakan perlakuan terbaik
dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Jumlah
kotoran ayam yang semakin banyak pada
perbandingan komposisi bahan baku kompos
mengakibatkan peningkatan kadar nitrogen (N).
Kadar nitrogen yang tinggi pada kotoran ayam
memicu cepatnya peningkatan suhu karena aktivitas
mikroorganisme yang semakin meningkat pula
dalam proses dekomposisi jerami yang mengandung
unsur karbon yang tinggi.
Rasio C/N bahan baku kompos yang tinggi
setelah mengalami proses dekomposisi dalam waktu
118
lebih dari 40 hari nilai C/N akan semakin kecil
dikarenakan unsur karbon dan bahan organik lainnya
dalam bahan telah terurai. Unsur karbon (C) adalah
sumber energi bagi mikroorganisme, sedangkan
senyawa nitrogen (N) digunakan sebagai sumber
untuk membangun struktur sel tubuhnya. Aktivitas
mikroorganisme yang memanfaatkan unsur karbon
dan nitrogen yang terkandung dalam bahan
menyebabkan rasio C/N kompos semakin menurun
(Kusuma, 2006 dalam Sidabutar, 2012).
Menurut Irvan et al., 2014, penuruan C/N rasio
dapat terjadi karena adanya proses perubahan pada
nitrogen dan karbon selama proses pengomposan
berlangung, perubahan kadar nitrogen dan karbon
tersebut terjadi dikarenakan penguraian senyawa
organik kompleks menjadi asam organik sederhana
dan penguraian bahan organik yang mengandung
nitrogen.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari kelima perlakuan hanya dua perlakuan
yang memenuhi standar SNI yaitu perlakuan P1 dan
P2. Perlakuan P1 dengan perbandingan komposisi
jerami dan kotoran ayam (6 : 8) merupakan
perlakuan yang terbaik diantara keempat perlakuan
lainnya. Suhu maksimal pengomposan pada fase
termofilik mencapai 51,1°C. Kadar air kompos P1
adalah 32,13% dengan pH akhir kompos 7,23.
Kompos yang dihasilkan berwarna coklat
kehitaman, memiliki terkstur remah, serta memiliki
rasio C/N sebesar 16,16.
Proses pengomposan dari lima jenis perlakuan
yang diberikan secara umum berlangsung selama 78
hari, namun setiap perlakuan memiliki waktu
kematangan kompos yang berbeda. Perlakuan yang
mengalami proses puncak fase termofilik dan fase
pematangan kompos paling cepat adalah perlakuan
P1 yaitu pada hari ke-63 dengan indikator
kematangan kompos adalah kembali turunnya suhu
kompos mendekati suhu lingkungan serta
pengamatan visual sesuai standar SNI setelah
mengalami fase mesofilik, termofilik, dan
pematangan. Jadi waktu minimal yang dibutuhkan
untuk menghasilkan kompos dengan perlakuan yang
terbaik adalah selama 63 hari.
Saran
Adapun saran yang dapat diberikan berdasarkan
hasil penelitian yang telah dilakukan adalah perlu
dilakukan penelitian lanjutan mengenai pengaruh
jerami varietas padi yang berbeda dan
menambahkan jenis kotoran ternak yang lain sebagai
bahan baku untuk mengetahui perbedaan kualitas
kompos yang dihasilkan.
Daftar Pustaka
Anonimus. 2014. Luas Lahan (Hektar) Per
Kabupaten/Kota Menurut Penggunaannya
Tahun 2013. Badan Pusat Statistik Provinsi
Bali.
http://bali.bps.go.id/tabel_detail.php?ed=607
001&od=7&id=7
Cayuela, M.L., Mondini, C., Insam, H., Sinicco,T.,
and Franke-Whittle, I. 2009. Plant and
animal wastes composting : Effects of the N
source on process performance. Bioresource
Technology, 100. 3097-3106.
Djuarnani, N. Kristiani dan B. S. Setiawan. 2008.
Cara Cepat Membuat Kompos.
Penerbit PT. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Ekawati, I. 2003. Pengaruh Pemberian Inokulum
Terhadap Kecepatan Pengomposan Jerami
Padi. Jurnal Penelitian Pertanian 11 (2)
Graves,R.E., Hattemer, G.M., Stetter, D., Krider,
J.N. dan Dana, C.(2000). National
Engineering Handbook. United States
Departement of Agriculture.
Indriani, Novita Hety. 2011. Membuat Kompos
Secara Kilat. Penebar Swadaya. Jakarta.
Irvan, Permata Mhardela, Bambang Trisakti. 2014.
Pengaruh Penambahan Berbagai Aktivator
Dalam Proses pengomposan Sekam Padi
(Oryza Sativa). Jurnal Teknik Kimia USU
Vol. 30 No. 2. Medan
Jutono. 1993. Perombakan Bahan Organik Tanah.
Program Pasca Sarjana Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta.
Madrini, I. A. G. B. 2016. Community-based
Composting and Management of Leftover
Food for Urban Agriculture. Thesis.
Agricultural and Environmental
Engineering, United Graduate School of
Agricultural Science, Tokyo University of
Agriculture and Technology.
Parnata, A. S. 2004. Pupuk Organik Cair Aplikasi
dan Mamfaatnya. Jakarta : Agromedia
Pustaka.
Pratiwi, I. G. A. P., Atmaja, Ii. W. D., Soniari, N. N.
2013. Analisis Kualitas Kompos Limbah
Persawahan dengan Mol Sebagai
Dekomposer. Jurnal Online
Agroekoteknologi Tropika 2 (4) : 2301-
6515.
Sidabutar, N.V. 2012. Peningkatan Kualitas Kompos
UPS Permata Regency Dengan Penambahan
Kotoran ayam Menggunakan Windrow
Composting. Skripsi. Program Studi Teknik
Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas
Indonesia.
Supadma, A. A. N., dan Athagama, D. M. 2008. Uji
Formulasi Kualitas Pupuk Kompos Yang
Bersumber Dari Sampah Organik Dengan
Penambahan Limbah Ternak Ayam, Sapi,
119
Babi dan Tanaman Pahitan. Jurnal Bumi
Lestari Vol. 8 (2) : 113-121.
65
PERBEDAAN FISIK DAN KIMIA KOMPOS DAUN YANG
MENGGUNAKAN BIOAKTIVATOR MOL DAN EM4
Priyantini Widiyaningrum, Lisdiana
Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang
Email: wiwiedeka@yahoo.co.id
Abstrak. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kemampuan mikroorganisme
lokal (MOL) sebagai aktivator dalam proses pengomposan sampah daun, serta
membandingkan penampilan fisik, penyusutan bahan, kadar air dan C/N rasio
kompos yang dihasilkan dengan kompos yang menggunakan EM4
sebagai
bioaktivator. Bahan baku kompos terdiri dari daun kering cacah dan kotoran
kambing. Kompos dipanen setelah proses pengomposan berlangsung selama
6 minggu. Setiap perlakuan dibuat tiga ulangan. Data kualitatif yang diamati
meliputi tekstur, warna dan bau, sedangkan data kuantitatif yang diukur meliputi
persentase penyusutan bahan, persentase kompos yang terbentuk, kadar air, dan
C/N rasio. Analisis data kualitatif dilakukan secara deskriptif, sedangkan data
kuantitatif menggunakan uji t. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kompos
kedua perlakuan memiliki penampilan fisik tidak berbeda. Berdasarkan uji t, rata-
rata penyusutan bahan, kadar air dan C/N rasio kompos matang tidak berbeda
nyata, akan tetapi persentase kompos yang terbentuk menunjukkan perbedaan
nyata. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa kompos daun kedua perlakuan
memperlihatkan penampilan fisik, penyusutan, kadar air dan C/N rasio yang tidak
berbeda, sedangkan persentase kompos yang terbentuk pada kompos + EM4
lebih
tinggi dibanding kompos + MOL. Secara umum kedua kompos masuk kategori
layak digunakan berdasarkan standar SNI No. 19-7030-2004.
Kata kunci: kompos daun; mikroorganisme lokal; EM4
PENDAHULUAN
Ketidakpedulian terhadap permasalahan pengelolaan sampah akan berakibat terjadinya
degradasi kualitas lingkungan yang merusak kenyamanan hidup dan menurunkan kualitas
kesehatan masyarakat (Hadi, 2000). Mengacu pola edukasi pengelolaan sampah organik seperti
yang telah banyak diaplikasikan di berbagai daerah, prinsip 3 R (Reduce, Reuse, Recycle). paling
banyak diterapkan (Anonimus, 2007). Oleh karena itu seyogyanya pada tahap pengumpulan
sampah sudah mulai dipilah, dan pada tahap selanjutnya diharapkan hanya sampah yang tidak
memiliki prinsip 3R yang dibuang ke TPA (Widyatmoko dan Moerdjoko, 2002).
Priyantini Widiyaningrum, Lisdiana
66 Vol. 11 No.1 Juli 2013
Saat ini hampir seluruh pengelolaan sampah di perkotaan berakhir di Tempat Pembuangan
SampahAkhir(TPA)yangdikelolaolehpemerintah,padahalmenurutKustiah(2005)kemampuan
pemerintah kota mengelola sampah hanya 49,09 % dan 1,02% di pedesaan. Semakin banyaknya
sampah yang dibebankan kepada TPA disebabkan antara lain karena belum dilakukannya upaya
pengurangan volume sampah secara sungguh-sungguh sejak dari sumbernya. Syafrudin (2004)
mengemukakan cara terbaik yang ditempuh untuk mengurangi atau mengendalikan volume
sampah agar beban TPA tidak semakin berat adalah dengan melakukan pemilahan sampah
dan penerapan prinsip 3 R (Reduce, Reuse, Recycle) yaitu prinsip pengurangan, penggunaan
kembali dan daur ulang terhadap sampah. Dengan prinsip tersebut jumlah sampah yang benar-
benar dibuang tinggal 35% sehingga meringankan beban TPA sekaligus memperpanjang masa
pemakaiannya. Dari situs International Institute for Sustainable Development (2012), dijelaskan
bahwa pengelolaan limbah tidak hanya mencakup 3R, melainkan 4R, yaitu reduction, reuse,
recycling dan recovery.
Di lain pihak, pembentukan humus secara alami berlangsung sangat lama tergantung
keberadaan mikroorganisme pengurai dan kondisi cuaca. (Suryani, 2010). Lingga (2008)
mengungkapkan bahwa proses pembentukan humus yang relatif lama disebabkan oleh kondisi
yang tidak terkendali, dimana mikroba aerobik dan anaerobik saling bergantian mengambil peran
sesuai kondisi lingkungannya serta ada atau tidaknya oksigen. Berbeda dengan humus, proses
pembentukan kompos kondisinya lebih terkontrol karena manusia terlibat dalam mengendalikan
jenis mikroba pengurai, komponen bahan, maupun kadar air, sehingga proses pembusukan lebih
cepat. Keberhasilan dan kecepatan proses pembentukan kompos sangat ditentukan oleh banyak
faktor, antara lain rasio C/N bahan, ukuran partikel bahan, jumlah mikroorganisme, temperatur,
kelembaban, aerasi, dan pH (Indriani,2006).
Menurut Sofian (2006) Cara yang paling umum dalam membuat kompos saat ini adalah
menggunakan campuran bahan organik sumber nitrogen dan sumber carbon dalam komposisi
tertentu, kemudian ditambahkan bioaktivator. Campuran tersebut kemudian difermentasi dengan
cara menutupnya dengan menggunakan penutup dan membiarkannya selama 5-7 hari. Pada hari
kedua dan ketiga, temperatur bahan kompos akan meningkat menjadi 40-600C. Jika temperatur
meningkat, tumpukan bahan tersebut harus dibalik, kemudian ditutup lagi. Tiga hari kemudian
temperatur akan turun kembali dan berangsur-angsur stabil. Jika temperatur sudah stabil, bahan
tersebut sudah menjadi kompos dan siap dikemas atau digunakan.
Karakteristik kompos yang telah selesai mengalami proses dekomposisi menurut Djuarnani
(2005), antara lain : (1).Penurunan temperatur diakhir proses. (2).Penurunan kandungan organik
kompos, kandungan air, dan rasio C/N.3. (3) Berwarna coklat tua sampai kehitam-hitaman dan
tekstur seperti tanah (4) .Berkurangnya pertumbuhan larva dan serangga diakhir proses. (5)
Hilangnya bau busuk. (6).Adanya warna putih atau abu-abu, karena pertumbuhan mikroba. (7)
67
.Memiliki temperatur yang hampir sama dengan temperatur udara. (8) .Tidak mengandung asam
lemak yang menguap.
Menurut Isroi (2009), mikroorganisme lokal (MOL) adalah kumpulan mikro organisme
yang bisa “diternakkan”, fungsinya dalam konsep zero waste adalah untuk starter yang berfungsi
sebagai bioaktivator dalam pembuatan kompos organik. MOL menurut Purwasasmita (2009)
dapat digunakan baik sebagai bioaktivator pupuk hayati dan sebagai pestisida organik terutama
sebagai fungisida. Menurut Hersanti (2007), MOL mudah dibuat, dan secara rinci MOL terdiri
dari 3 komponen yaitu: (a) karbohidrat yang dapat berasal dari air tajin, air cucian beras, nasi basi,
singkong, kentang, gandum, dan lain-lain (b) glukosa, dapat berasal dari gula merah diencerkan,
gula pasir, gula batu, air gula atau air kelapa (c) sumber bakteri berasal dari bahan-bahan makanan
yang membusuk. Peran MOL dalam proses pengomposan selain sebagai nutrisi juga berperan
sebagai komponen bioreaktor, juga sangat ekonomis karena hampir tanpa biaya. Hasil analisis
Kurnia et al. (2003) setiap MOL dengan bahan baku berbeda, akan mengandung jenis mikroba
yang berbeda. MOL bisa dikembangbiakkan sendiri dari berbagai limbah atau sisa bahan
pangan. MOL memiliki kelebihan karena : (a) efektif mengurangi volume timbunan sampah dan
membantumempercepatprosesdegradasisampahmenjadihumus,(c)efektifmenekantimbulnya
masalah sosial/mengganggu kenyamanan lingkungan, (d) dari aspek lingkungan, kompos efektif
memperbaiki sifat fisik dan biologis tanah, dapat digunakan kapan saja, aman dan tidak merusak
lingkungan. MOL berbahan dasar nasi basi diketahui menghasilkan bakteri pengurai yang dapat
digunakan sebagai aktivator pada pembuatan kompos organik. Untuk mengetahui bagaimana
kemampuan MOL dalam proses pengomposan, telah dilakukan uji coba pembuatan kompos
daun dengan pemanfaatan MOL, kemudian membandingkan penampilan fisik dan kimia kompos
yang dihasilkan dengan kompos daun yang dibuat dengan EM4 sebagai aktivator.
METODE
Penelitian ini dimulai dengan persiapan bahan berupa sampah daun kering yang dicacah
hingga berukuran lebar ± 1 cm; kotoran kambing; MOL yang berasal dari fermentasi nasi basi;
serta EM4.Alat yang digunakan antara lain pencacah daun, sekop pengaduk, embrat, dan plastik
terpal. Kompos dibuat dalam dua perlakuan yaitu pengomposan + MOL dan pengomposan +
EM4. Masing-masing perlakuan dibuat 3 ulangan, dan proses pengomposan berlangsung selama
6 minggu. Setiap ulangan menggunakan bahan sebanyak 25 kg terdiri dari daun kering dan
kotoran kambing dalam perbandingan 3 : 2. Pengamatan terhadap kompos matang meliputi data
kualitatif (tekstur, warna dan bau), serta data kuantitatif meliputi : penyusutan bahan, persentase
kompos halus, kadar air dan C/N rasio. Langkah-langkah pengomposan yang dilakukan seperti
terlihat pada Gambar 1 berikut.
Priyantini Widiyaningrum, Lisdiana
68 Vol. 11 No.1 Juli 2013
Gambar 1. Langkah-langkah pembuatan kompos daun
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kompos matang yang dipanen setelah proses fermentasi selama 6 minggu kemudian di
amati secara kualitatif penampilan fisiknya, serta diukur secara kuantitatif Tabel 1.
Tabel 1. Hasil pengamatan fisik dan kimia kompos daun setelah 6 minggu
No. Aspek yang diamati
Hasil pengamatan
Kompos +MOL Kompos + EM4
1. Kompos halus yang terbentuk (kg) 14,7 16,8
Kompos yang terbentuk (dalam %) 58,8 67,2*)
2.
Remah-remah bahan yang tertinggal setelah
diayak dengan ayakan Ø 5 mm (kg)
3,8 2,7
3. Bahan yang hilang/penyusutan 6,5 5,5
Bahan yang hilang/penyusutan (%) 26 22
4. Tekstur Halus, lembab Halus, lembab
5. Warna Hitam tanah Hitam tanah
6. Bau Tidak berbau Tidak berbau
7. Kadar air (%)1
43,82 41,20
8. C organik (%)1
44,17 43,52
9. N total (%)1
2,67 2,47
10. C/N rasio1
16,54 17,62
1)
Hasil analisis laboratorium PAU UGM (2012)
*)
menunjukkan perbedaan nyata berdasarkan uji t pada taraf 5%
69
Secara fisik (tekstur, warna, bau), penampilan kompos yang menggunakan MOL ternyata
tidak berbeda dibanding kompos yang menggunakan EM4. Tekstur yang halus dan lembab
relatif sama karena bahan dasar, ruang percobaan dan proses fermentasi diperlakukan sama dan
homogen. Demikian pula rata-rata penyusutan, kadar air dan C/N rasio secara statistik tidak
berbeda nyata meskipun pada kompos + MOL menunjukkan angka- yang sedikit lebih rendah.
Menurut SNI No. 19-7030-2004 (BSN, 2004), spesifikasi kompos dari sampah organik domestik
yang masuk kategori memenuhi standar antara lain apabila kadar C/N rasio kompos berkisar
antara 10 – 20; dengan kadar air maksimum 50%. Dengan demikian, kadar air dan C/N rasio
kedua kompos perlakuan masih termasuk kategori baik dan layak digunakan sesuai standar SNI.
Menurut Isroi (2011), penyusutan volume pada proses pembuatan kompos berkisar antara 20
– 40% dari bahan awal, tergantung dari macam sampah yang digunakan. Proses pengomposan
tergantung dari : (a) karakteristik bahan yang dikomposkan; (b) aktivator yang digunakan (c)
metode pengomposan yang digunakan.
Proses pengomposan akan segera berlangsung setelah bahan-bahan mentah dicampur.
Secara sederhana proses pengomposan dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan
tahap pematangan. Menurut Sulistyorini (2005), selama tahap-tahap awal proses, oksigen dan
senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik.
Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat. Demikian pula akan diikuti dengan
peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat hingga di atas 50o
– 70o
C selama waktu tertentu.
Mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba termofilik, yaitu mikroba yang aktif pada
suhu tinggi. Pada saat ini terjadi dekomposisi/penguraian bahan organik yang sangat aktif.
Mikroba-mikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan
organik menjadi CO2, uap air dan panas. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka
suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan kompos
tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi
penyusutan volume maupun biomassa bahan.
Pada Tabel 1, perbedaan yang cukup mencolok antara kedua perlakuan terutama terlihat
pada persentase kompos yang terbentuk. Hasil analisis statistik menunjukkan perbedaan nyata,
dimana persentase kompos yang menggunakan EM4 sebagai aktivator lebih tinggi dibanding
kompos yang menggunakan MOL. Pada pembuatan kompos dengan penambahan MOL, daun
yang belum terdegradasi pada minggu ke-6 masih cukup tinggi dibanding kompos dengan
penambahan EM4. Hal ini diduga disebabkan oleh total mikroorganisme pengurai yang
terkandung di dalam larutan MOLtidak sebanyak total mikroorganisme dalam larutan EM4 pada
dosis yang sama. Total bakteri MOL yang dibuat memang belum dianalisis, sementara EM4
yang sudah dijual secara komersial memang telah terstandar dalam dosis pemakaiannya. Dalam
uji coba ini dosis MOL hanya mengikuti dosis yang digunakan pada EM4. Jika mikroorganisme
Priyantini Widiyaningrum, Lisdiana
70 Vol. 11 No.1 Juli 2013
pengurai pada MOL lebih sedikit dibanding EM4, maka kemampuan mendegradasi bahan
organik tentu tidak secepat dan sebaik mikroorganisme pengurai pada EM4. Menurut Wasis
dan Sandrasari (2011), jenis bakteri juga memiliki kemampuan berbada dalam mendegradasi
sampah. Bakteri pengurai yang terdapat pada MOLdiduga berbeda dengan bakteri yang terdapat
pada EM4, meskipun secara spesifik belum diidentifikasi. Menurut Asngad dan Suparti (2005)
dalam EM4 ini terdapat sekitar 80 genus mikroorganisme fermentor, yang dikategorikan menjadi
5 golongan pokok yaitu: bakteri fotosintetik, Lactobacillus sp, Streptomycetes sp, Ragi (yeast),
dan Actinomycetes. Sedangkan bakteri pengurai yang terdapat dalam MOL dengan media nasi
basi, mengandung unsur mikro dan makro serta mengandung bakteri yang berpotensi sebagai
perombak bahan organik, perangsang tumbuhan, dan sebagai agens pengendali hama dan
penyakit tanaman, sehingga MOL dapat digunakan baik sebagai pendekomposer pupuk hayati
dan sebagai pestisida organik terutama sebagai fungisida (Purwasasmita, 2009). Hal yang
menguntungkan adalah, meskipun komposisi MOL yang digunakan saat pelatihan tidak sebaik
EM4, akan tetapi kompos yang dihasilkan relatif sama kualitasnya baik secara fisik maupun
C/N rasionya. Selain itu, pemanfaatan MOL lebih efisien secara ekonomis karena tidak perlu
membeli, sedangkan EM4 seharga Rp. 18.000,- per liter.
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Cahaya dan Nugroho (2009) yang memanfaatkan
sampah sayuran + kotoran kambing + EM4, ternyata menghasilkan kompos matang pada minggu
ke – 4 dengan komposisi C/N rasio 17,45; kadar air 49,71; pH 7 serta temperatur stabil pada
26,33O
C. Hal ini menunjukkan bahwa produk kompos daun dengan MOL maupun EM4 dalam
uji coba ini masih dalam kisaran kualitas yang tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian lain.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Penelitian ini menyimpulkan bahwa penampilan fisik kompos daun yang menggunakan
MOLtidak berbeda dibanding kompos daun yang menggunakan EM4, demikian pula persentase
penyusutan, kadar air dan C/N rasio tidak menunjukkan perbedaan. Kompos yang menggunakan
EM4 menghasilkan persentase kompos yang terbentuk lebih baik dibanding kompos yang
menggunakan MOL, dan secara umum kedua kompos yang dihasilkan masuk kategori baik dan
layak untuk digunakan sesuai standar SNI No. 19-7030-2004.
Saran
Berdasarkan hasil evaluasi proses dan evaluasi hasil, dapat disarankan sebagai berikut:
(1) Perlu dianalisis lebih lanjut berapa kandungan total mikroorganisme pengurai dalam MOL,
sehingga dapat ditentukan dosis yang tepat dalam penggunaannya. (2) Untuk mempercepat masa
71
proses pengomposan, selain dosis MOL yang ditambah, ukuran cacahan daun mahoni perlu
diperkecil serta dicampur dengan jenis-jenis daun yang mudah hancur seperti angsana, glodogan,
dll. (3) Perlu dibuatkan kotak/bak khusus yang didesain untuk pengomposan aerob, sehingga
proses pengomposan bebas dari gangguan hewan, serta mampu mengolah dalam kapasitas lebih
besar.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus 2007. Kisah sukses pengelolaan persampahan di berbagai wilayah Indonesia. Jakarta:
Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Cipta Karya. Direktorat Pengembangan
Penyehatan Lingkungan Permukiman.
Asngad,A& Suparti. 2005. Model Pengembangan Pembuatan Pupuk Organik Dengan Inokulan
(Studi Kasus Sampah Di TPAMojosongo Surakarta). Jurnal Penelitian Sains & Teknologi
6(2): 101-113
Cahaya, A.T.S & D.A. Nugroho. 2009. Pembuatan kompos dengan menggunakan limbah padat
organik (sampah sayuran dan ampas tebu). Laporan penelitian. Semarang: Jurusan Teknik
Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro.
Djuarnani, N., 2005. Cara Cepat Membuat Kompos.Jakarta: PT. Agromedia Pustaka
Hadi, S. 2000. Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan. Yogyakarta. Gadjah Mada
University Press.
Hersanti. 2007. Isolasi bakteri asal larutan mikroorganisme lokal, uji antagonis, uji pertumbuhan
semai padi. Laporan penelitian. Bandung: Fakultas Pertanian UNPAD.
Indriani, Y. H., 2006. Membuat Kompos Secara Kilat. Jakarta: Penebar Swadaya
Isroi. 2009. Pupuk organik granul. Buku petunjuk praktis. Yogyakarta. Diunduh di http://www.
isroi.wordpress.com tanggal 8 Februari 2012.
Kurnia K., P. Arbianto dan I.N.P. Aryantha. 2003. Studi patogenesitas bakteri entomopatogenik
lokal pada larva hyposidra talaca walk. dan optimasi medium pertumbuhannya. Makalah
seminar bioteknologi tanggal 15 September 2003. Bandung: PPAU Bioteknologi ITB.
Lingga,P., 2008. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Jakarta: Penebar Swadaya
Priyantini Widiyaningrum, Lisdiana
72 Vol. 11 No.1 Juli 2013
Sulistyorini, L. 2005. Pengelolaan Sampah dengan Cara Menjadikannya Kompos. Jurnal
Kesehatan Lingkungan. 2(1): 77-84
Purwasasmita, M. 2009. Mikroorganisme Lokal Sebagai Pemicu Siklus Kehidupan Dalam
Bioreaktor Tanaman. Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia, 19-20 Oktober 2009.
Sofian, 2006. Sukses Membuat Kompos Dari Sampah. Jakarta: PT. Agromedia Pustaka
Suryani, S. 2010. Pembuatan kompos jerami padi dengan aktivator Trichoderma. Laporan
penelitian. Bengkulu: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian.
Syafrudin 2004. Model Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat (Kajian awal untuk kota
Semarang). Makalah pada diskusi interaktif : Pengelolaan sampah perkotaan secara
terpadu. Semarang: Program Magister Ilmu Lingkungan UNDIP.
Wasis, B dan A. Sandrasari. 2011. Pengaruh Pemberian Pupuk Kompos terhadap Pertumbuhan
Semai Mahoni (Swietenia macrophylla King.) pada Media Tanah Bekas Tambang Emas
(Tailing). Jurnal Silvikultur Tropika 3(01): 109-112
Widyatmoko dan S. Moerdjoko. 2002. Menghindari, mengolah dan menyingkirkan sampah. Jakarta:
PT. Abadi Tandur.

Laporan kompos

  • 1.
    1 Laporan Sistandu PEMBUATAN PUPUKKOMPOS Oleh: LA ODE SYAWAL SULAEMAN L1A1 15 166 JURUSAN PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2017
  • 2.
    2 I. PENDAHULUAN 1.1. LatarBelakang Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campurab bahan-bahan organik yang dapat dipercepat dengan secara artifial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik atau anaerobik. Pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oelh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi pembuatan campuran, mengatur aerasi, dan penambahan activator pengomposan. Limbah peternakan dan pertanian, bila tidak dimanfaatkan akan menimbulkan dampak bagi lingkungan berupa pencemaran udara, air dan tanah, menjadi sumber penyakit, dapat memacu peningkatan gas metan dan juga gangguan pada estetika dan kenyamanan. Limbah peternakan selamai ini maasih belum termafaatkan dengan baik sehingga menimbulkan bau yang dapat menggannggu kesehatan masyarakat. Daur ulang limbah ternak mempunyai peranan penting dalam mencegah terjadinya pencemaran lingkungan. Limbah ternak sebagai hasil akhir dari usaha peternakan memiliki potensi untuk dikelola menjadi pupuk organik seperti kompos yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan daya dukung lingkungan, meningkatkan produksi tanaman, meningkatkan pendapatan petani dan mengurangi dampak pencemaran terhadap lingkungan. Masyarakat biasanya langsung menggunakan kotoran padat kambingsebagai pupuk untuk tanaman tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu,sehingga tanaman yang dipupuk dengan kotoran padat kambing tidak dapattumbuh dengan maksimal karena kotoran padat kambing memiliki struktur yangcukup keras dan lama diuraikan oleh tanah. Unsur hara dalam kotoran kambingN 2,10%, P2O50,66%, K2O 1,97%, Ca 1,64%, Mg 0,60%, Mn 233 ppm dan Zn90,8 ppm (Semekto, 2006). Effective Microorganism–4 (EM4) akan
  • 3.
    3 mempercepat fermentasi bahanorganik sehingga unsur hara yang terkandung akan cepat terserap dan tersedia bagi tanaman Penggunaan mikrobia terpilih EM4 dapat mempercepat dekomposisi bahan organikdari 3 bulan menjadi 7 – 14 hari. Oleh karena itu penggunaan EM4 bertujuan untuk mempercepat proses fermentasi dalam pengomposan. Dalam pembuatan pupuk kompos masalah yang sering terjadi adalah tingkat kematangan pupuk yang belum sempurna. Hal ini disebabkan oleh tingkat kelembaban dan suhu dalam proses pembuatan tidak stabil. Penggunaan pupuk kompos yang belum matang secara keseluruhan dapat menghambat pertumbuhan tanaman dikarenakan kekurangan nitrogen tersedia. Sehingga diperlukannya suatu sistem yang dapat mengatur proses pembuatan pupuk kompos. Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka perlu dilakukan praktikum mengenai pembuatan pupuk kompos. 1.2. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam praktikum pembuatan pupuk kompos adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana proses pembuatan pupuk kompos? 2. Berapa suhu pupuk kompos yang optimal? 1.3. Tujuan Adapun tujuan dari praktikum pembuatan pupuk kompos adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui bagaimana proses pembuatan pupuk kompos 2. Untuk mengetahui suhu pupuk kompos yang optimak 1.4. Manfaat Adapun manfaat dari praktikum pembuatan pupuk kompos adalah sebagai berikut: 1. Dapat mengetahui proses pembuatan pupuk kompos 2. Dapat mengetahui suhu pupuk kompos
  • 4.
    4 II. METODOLOGI PRAKTIKUM 2.1Waktu Dan Tempat Praktikum Nutrisi Ternak Dasar tentang “Pembuatan Pupuk Kompos” dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 7 sampai 14 April 2018, bertempat di Kandang atas Fakultas Peternakan Universitas Halu Oleo, Kendari 2.2 Alat Dan Bahan Alat yang digunakan dalam perktikum pembuatan pupuk kompos dapat dilihat pada tabel 1 berikut. Tabel 1. Alat dan kegunaan No Alat Kegunaan 1 Sekop Untuk mencampur bahan-bahan praktikum 2 Pacul Untuk mencampur bahan-bahan praktikum 3 Karung Untuk menyimpan kompos penutup kompos 4 Thermometer Untuk mengukur suhu kompos 5 Camera Untuk dokumentasi praktikum 6 Alat tulis Untuk menulis hasil pengamatan 7 Embe Untuk menyimpan air 8 Gunting Untuk menggunting karung Bahan yang digunakan dalam praktikum pembuatan pupuk kompos dapat dilihat pada tabel 2 berikut. Tabel 2, bahan dan kegunaan No Alat Kegunaan 1 Feses kambing Sebagai bahan pembuatan pupuk kompos 2 Serbuk gergaji Sebagai bahan pembuatan pupuk kompos 3 Daun gamal Sebagai bahan pembuatan pupuk kompos 4 Dedak Sebagai bahan pembuatan pupuk kompos 5 EM4 Sebagai bahan sumber mikroorganisme 6 Air Sebagai bahan pembuatan pupuk kompos 2.3 Prosedur kerja prosedur kerja dalam praktikum pembuatan pupuk kompos adalah sebagai berikut: 1. Menyiapkan alat dan bahaan yang digunakann dalam pembuatan kompos 2. Memisahkan daun gamal dari batangnya
  • 5.
    5 3. Mencampur bahanberupa feses kambing, sekam gergaji, dedak, dan daun gamal menjadi satu 4. Menyiramkan air yang mengandung EM4 ke dalam bahan hingga bahan menjadi lembab 5. Membolak-balik bahan hingga merata 6. Menutup bahan dengan mengunakan karung agar proses penghancuran oleh mikroba dapat terjadi secara cepat 7. Melakukan pengontrolan suhu setiap dua kali sehari 8. Membolak-balik bahan apabila suhu bahan mencapai suhu yang panas 9. Memasukan kompos yang telah jadi kedalam karung
  • 6.
    6 III. TINJAUAN PUSTAKA Kotorankambing merupakan jenis pupuk panas dimana perubahan- perubahan dalam penyediakan unsur hara bagi tanaman berlangsung cepat. Kotoran kambing merupakan bahan yang menpunyai kandungan unsur hara lengkap dengan proporsi yang berbeda dan saling melengkapi satu sama lain. Selain memiliki unsur hara makro (Nirtogen, Fosfot, Kalium) kotoran kambing juga mengandung unsur hara mikro (Kalium, Magnesium) yang menyediakan unsur-unsur dan zat makanan bagi tanaman. Kotoran kambing memiliki kelebihan yaitu memperbaiki unsur fisik, kimia serta biologis tanah, menaikan daya serap tanah terhadap air (Sutejho, 2002). Pupuk kotoan kambing mengandung nilai rasio C/N sebesar 21,12%, selain itu kadar hara kotoran kambing mengandung N sebesar 1,4%, kandungan P sebesar 0,54%, dan kandungan K sebesar 0,75%. Kotoran kambing mengandung bahan organik yang dapat menyediakan zat hara bagi tanaman melalui proses penguraian, proses ini terjadi secara bertahap dengan melepaskan bahan organik yang sederhana untuk pertumbuhan tanaman, kotoran kambing mengandung sedikit air sehingga mudah diurai (Pranata, Y. B, 2017). Dedak padi merupakan hasil ikutan penggilingan padi yang berasal dari lapisan luar beras pecah kulit dalam proses penyosohan beras. Dedak padi mengandung energi metabolis sebesar 2980 kkal/kg, protein kasar 12,9%, lemak 13%, serat kasar 11,4%, Ca 0,07%, P 0,22%. C/N sebesar 36. Gamal berasal dari wilayah kawasan pantai Pasifik Amerika Tengah yang bermusim kering. Tanaman ini dapat tumbuh mulai dari dataran rendah hingga ketinggian tempat 1.300 m dpl, beradaptasi di beberapa jenis tanah, termaksud jenis tanah yang kurang subur. Batang gamal berukuran kecil hingga sedang, tingginya dapat mencapai 1012 m, sering bercabang dari dasar dengan diameter basal mencapai 50-70cm. Kulit batang halus dengan warna bervariasi, dari putih abu-abu kemerah tua-coklat. Batang dan cabang-cabang pada umumnya ada bercak putih kecil. Daun gamal menyirip ganjil, biasanya perpasangan sepanjang sekitar 30cm melebar 5-20 cm, helai daun berbentuk ovale atau elips, panjang
  • 7.
    7 daun 2-7cm,dan lebardaun1-3cm. Helai daun, pelepah dan tulang belakang kadang-kadang bergaris-garismerah. Bunga berwarna merah muda ke unguan, sedikit warna putih, biasanyadengan titik kuning pucat menyebar di dasar kelopak. Dasar kelopak bunga bulat dan hampir tegak, dengan ukuran sekitar 20 mm, panjang kelopak bunga 15-20 mm, dan lebarnya 4-7 mm. Pemanfaatan daun gamal sebagai bahan baku pembuatan Mol karena daun gamal yang berumur satu tahun mengandung 3-6% N, 0,31% P, 0,77% K, 15-30% SK, dan 10% abu K (Sutanto, 2002). Pupuk organik adalah pupuk yang terdiri dari bahan-bahan oganik yang berasal dari sisa tanaman atau makhluk hidup yang telah mengalami perubahan struktur dalam pembuatannya. Bahan-bahan organik yang terdapat pada pupuk organik banyak mengandung unsur baik mikro maupun makro. Pada umumnya bahan dasar pembembuatan pupuk organik adalah bahan- bahan atau organisme yang telah mati. Bahan-bahan tersebut mudah didapatkan disekitar kita, seperti limbah rumah tangga, sisa produk makanan, sampah basah dan sebainya. Bahan yang terdapat pada pupuk organik berperan untuk menyuburkan tanah serta pembentuk granulasi dalam tanah dan sangat penting dalam pembentukan agregat tanah yang stabil (Murni, dkk, 2012). Pupuk organik merupakan hasil akhir dan hasil antara dari hasil perubahan atau penguraian bagian dari sisa tanaman dan hewan, pupuk organic berasal dari bahan organic yang mengandung berbagai macam unsur meskipun ditandai dengan adanya unsur nitrogen dalam bentuk persenyawaan organic sehingga mudah diserap oleh tanaman. Pupuk kompos tidak meninggalkan sisa asam anorgani di dalam tanah dan mempunyai kadar persenyawaan C-organik yang tinggi. Pupuk organi kebanyakan tersedia dialam misalnya kompos, pupuk kandang (Sumakto, 2006). Dalam pembuatannya pupuk organik terdiri dari beberapa bahan alami diantaranya kotoran ternak, jerami, arang sekam, air, bubuk gergaji, dan bakteri aktifator. Pembuatan pupuk organik menggunakan bahan-bahan mengalami berbagai perubahan reaksi kimia diantaranya.
  • 8.
    8 a. Lemak, karbohidrat,selulosa, hemiselulosa, dan lilin berubah menjadi CO2 dan air. b. Protein menjadi amonia, CO2 dan air. c. Senyawa organik terurai menjadi senyawa yang akan diserap oleh tanaman. d. Terjadi pengikatan beberapa jenis unsur hara dalam sel mikroorganisme terutama nitrogen, fosfor, dan kalium. Pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khusunya mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, pengaturan aerasi dan penambahan activator pengomposan. Proses pengomposan dapat berlangsung beberapa hari hingga beberapa minggu.suhu akan meningkat sejalan dengan proses penguraian bahan organik itu (Trisna, dkk, 2017). Karakteristik kompos yang telah selesai mengalami proses dekomposisi, antara lain: Penurunan temperatur diakhir proses, penurunan kandungan organik kompos, kandungan air, dan rasio C/N.3, Berwarna coklat tua sampai kehitam- hitaman dan tekstur seperti tanah, berkurangnya pertumbuhan larva dan serangga diakhir proses, hilangnya bau busuk, adanya warna putih atau abu-abu, karena pertumbuhan mikroba, memiliki temperatur yang hampir sama dengan temperatur udara dan tidak mengandung asam lemak yang menguap (Priyantini, dan Lisdiana, 2013) Prinsip pengomposan adalah menurunkan nilai nisbah C/N bahan organik menjadi sama dengan nisbah C/N tanah. Nisbah C/N adalah hasil perbandingan antara karbon dan nitrogen yang terkandung didalam suatu bahan. Nilai nisbah C/N tanah adalah 10-12. Bahan organik yang memiliki nisbah C/N sama dengan tanah memungkinkan bahan tersebut dapat diserap oleh tanaman. Dalam proses pengomposan terjadi perubahan seperti 1) karbon, selulosa, hemiselulosa, lemak, dan lilin menjadi CO2 dan air 2) zat putih telur menjadi amoniak, CO2 dan air 3) peruraian senyawa organik menjadi senyawa yang dapat diserap tanaman. Dengan perubahan tersebut kadar karbon akan hilang atau turun dan senyawa N yang larut
  • 9.
    9 (amonia) meningkat. Prosesperombakan bahan organik terjadi secara aerob dan anaerob akan menghasilkan hara dan humus, proses bisa berlangsung jika tersedia C, N, P, K, dengan perbandingan 30:1:0,1:0,5. Hal ini dubutuhkan untuk aktivitas metabolisme sel mikroba decomposer, dengan demikian C/N semakin rendah dan relatif stabil mendekati C/N tanah (Isroi, 2008). Menurut (Sumekto, 2006) menyatakan bahwa ada dua mekanisme proses pengomposan berdasarkan ketersediaan oksigen bebas, yakni pengomposan secara aerobik dan anaerobik. a. Pengomposan secara aerobik Pada pengomposan secara aeorobik, oksigen mutlak dibutuhkan. Mikroorganisme yang terlibat dalam proses pengomposan membutuhkan oksigen dan air untuk merombak bahan organik dan mengasimilasikan sejumlah karbon, nitrogen, fosfor, belerang dan unsur lainnya untuk sintesis protoplasma sel tubuhnya. Dalam sistem ini kurang lebih 2/3 unsur karbon (C) menguap menjadi CO2 dan sisanya 1/3 bagian bereaksi dengan nitrogen dalam sel hidup. Selama proses pengomposan aerobik tidak timbul bau busuk. Selama proses pengomposan berlangsung akan terjadi reaksi eksotermik sehingga timbul panas akibat pelepasan energi. dekomposisi bahan organik secara aerobik adalah CO2, H2O (air), humus dan energi. b. Pengomposan secara Anaerobik Dekomposisi secara anaerobik merupakan modifikasi biologis secara struktur kimia dan biologi bahan organik tanpa kehadiran oksigen (hampa udara). Proses ini merupakan proses yang dingin dan tidak terjadi fluktuasi temperatur seperti yang terjadi pada proses pengomposan secara aerobik.Namun,pada proses anaerobik perlu tambahan panas dari luar sebesar 300 C. Pengomposan anaerobik akan menghasilkan gas mentah (CH4), karbondioksida (CO2), dan asam organik yang memiliki bobot molekul rendah seperti asam asetat, asam propionate, asam butirat, asam laktat, dan asam suksinat. Gas metan bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternative (biogas). Sisanya berupa lumpur yang mengandung bagian padatan dan
  • 10.
    10 cairan. Bagian padatanini yang disebut kompos. Namun, kadar airnya masih tinggi sehingga sebelum digunakan harus dikeringkan. Menurut (Setyorini, dkk, 2007) menyatakan bahwa agar pembuatan kompos berhasil maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain: 1. Ukuran bahan Bahan yang berukuran kecil akan cepat didekomposisi kerena luas permukaannya meningkat dan mempermudah aktivitas mikroorganisme perombak. Ukuran bahan mentah yang terlalu kecil akan menyebabkan rongga udara berkurang sehingga timbunan menjadi lebih mampat dan pasokan oksigen ke dalam timbunan akan semakin berkurang. Jika pasokan oksigen berkurang, mikroorganisme yang ada di dalamnya tidak bisa bekerja secara optimal. Bahan organik perlu dicacah sehingga berukuran kecil. Bahan yang keras sebaliknya dicacah hingga berukuran 0.5-1 cm, sedangkan bahan yang tidak keras dicacah dengan ukuran yang agak besar sekitar 5 cm. 2. Nisbah C/N Kondisi kelengasan dan bahan dasar kompos menentukan nisbah C/N dan nilai pupuk kompos. Hasil akhir kompos hara mengandung antara 30- 60% bahan organik. Pengujian kimiawi termasuk pengukuran C, N dan nisbah C/N merupakan indikator kematangankompos. Apabila nisbah C/N kompos 20 atau lebih kecil berarti kompos siap digunakan. Akan tetapi, nisbah C/N bahan kompos yang baik dapat berkisar antara 5 dan 20. Mikroba merombak bahan organik memerlukan karbon dan nitrogen dari bahan asal. Karbon dibutuhkan oleh mikroba sebagai sumber energi untuk pertumbuhannya dan nitrogen diperlukan untuk membentuk protein. Bahan dasar kompos yang mempunyai rasio C/N 20:1 hingga 35:1 sesuai untuk dikomposkan. 3. Kelembaban dan Aerasi Bahan mentah yang baik untuk penguraian atau perombakan berkadar air 50-70%. Bahan dari hijauan biasanya tidak memerlukan tambahan air, sedangkan cabang tanaman yang kering atau rumput-rumputan harus diberi air saat dilakukan penimbunan. Kelembaban timbunan secara menyeluruh
  • 11.
    11 diusahakan sekitar 40-60%.Aaerasi yang tidak seimbang akan menyebabkan timbunan berada dalam keadaan anaerob dan akan menyebabkan bau busuk dari gas yang banyak mengandung belerang. Kandungan kelembaban udara optimum sangat diperlukan dalam proses pengomposan. Kisaran kelembaban yang ideal adalah 40-60% dengan nilai yang paling baik adalah 50%. Kelembaban yang optimum harus dijaga untuk memperoleh jumlah mikroorganisme yang maksimal sehingga proses pengomposan dapat berjalan dengan cepat. 4. Temperatur Pada pengomposan secara aerobik akan terjadi kenaikan temperatur yang cukup cepat selama 3-5 hari pertama dan temperatur kompos dapat mencapai 55-700 C. Kisaran temperatur tersebut merupakan yang terbaik bagi pertumbuhan mikrooranisme. Pada kisaran temperatur ini, mikroorganisme dapat tumbuh 3 kali lipat dibandingkan dengan temperatur yang kurang dari 550 C. Selain itu, pada temperatur tersebut enzim yang dihasilkan juga paling efektif menguraikan bahan organik. Penurunan nisbah C/N juga dapat berjalan dengan sempurna. Berdasarkan kemampuan bertahan hidup, mikroba terbagi atas 3 kelompok, yaitu psycrofilik (5–100 C), mesofilik (10-150 C) dan termofilik (45/500 C-700 C). 5. Keasaman (pH) Keasaman atau pH dalam tumpukan kompos juga mempengaruhi aktivitas mikroorganisme. Kisaran pH yang baik yaitu sekitar 6,5-7,5 (netral). Oleh karena itu, dalam proses pengomposan sering diberi tambahan kapur atau abu dapur untuk menaikkan pH. pH yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6,57,5. pH kotoran ternak umumnya berkisar antara 6,8 hingga 7,4. Proses pengomposan sendiri akan menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri. 6. Pengadukan atau Pembalikan Tumpukan Pengadukan sangat diperlukan agar cepat tercipta kelembaban yang dibutuhkan saat proses pengomposan berlangsung. Pengadukan pun dapat menyebabkan terciptanya udara dibagian dalam timbunan, terjadinya
  • 12.
    12 penguraian bahan organikyang mampat, dan proses penguraian berlangsung merata. Hal ini terjadi karena lapisan pada bagian tengah tumpukan akan terjadi pengomposan cepat. Proses pembalikan dilakukan apabila suhu kompos pada pagi hari mencapai suhu 400 C dan sore hari 41-450 C. Effective Microorganisms 4 (EM4) merupakan kultur campuran dalam medium cair berwarna coklat kekuningan, berbau asam dan terdiri dari mikroorganisme yang menguntungkan bagi kesuburan tanah. Adapun jenis mikroorganisme yang berada dalam EM 4 antara lain : Lactobacillus sp. Khamir, Actinomycetes, Streptomyces. EM 4 dalam keadaan belum aktif mengandung 90 % Lactobacillus sp dan sisanya genus yang lain dan pada keadaan asam maka bakteri streptomyces sp akan berperan lebih aktif dan jika sudah diaktifkan dengan pemberian air, bahan organik maka total kandungan mikroorganismenya adalah 80 genus atau 109 /gram dari kesemuanya ada lima kelompok mikroorganisme yang sama, yaitu: Lactobacillus sp, Actinomycetes sp, ragi, bakteri fotosintetik Rhodopseudomonas sp) dan bakteri fermentasi (Pennicillium dan Aspergillus niger). Kadar pH EM 4 yang masih dormant jika belum rusak sekitar < 3,5 jika sudah melebihi 4 dan tidak berbau sedap lagi berarti EM 4 tersebut sudah rusak. EM 4 dapat bekerja optimal jika prosesnya dalam keadaan anaerob, pH rendah (3-4), kadar garam dan kadar gula tinggi, kandungan air sedang antara 30-40 %, suhu fermentasi sekitar 40-500 C dan untuk pengomposan secara umum pHnya sebesar 6,5-7,5 %. (Indriyani, 2007). Proses pengomposan juga membutuhkan bantuan mikroorganisme untuk mendekomposisi bahan dan mempercepat proses pengomposan. Mikroorganisme yang digunakan untuk mempercepat proses pengomposan adalah Effective Microorganism (EM4) sebagai salah satu faktor pengomposan. EM4 berfungsi untuk mempercepat penguraian bahan organik, menghilangkan bau yang timbul selama proses penguraian, menekan pertumbuhan mikroorganisme patogen, dan meningkatkan aktivitas mikroorganisme yang menguntungkan (Trisna, dkk, 2017).
  • 13.
    13 IV. HASIL DANPEMBAHASAN 4.1. Hasil Pengamatan Hasil pengamatan organoleptik pupuk kompos yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Pengamatan Organoleptik Pupuk Kompos No Pengamatan Sensorik Hasil Pengamatan Sensorik 1 Warna Hitam kecoklat-coklatan 2 Tekstur Bertekstur gembur dan halus 3 Aroma Tidak berbau Hasil pengukuran suhu pembuatan pupuk kompos selama 14 hari dapat dilihat pada Tabel 4 berikut. Tabel 3. Hasil Pengamatan No Hari/Tanggal penggukuran Suhu kompos Rata-rata Pagi Sore 1 Minggu, 8 41,6 45,3 43,4 2 Senin, 9 49,3 45,3 47,3 3 Selasa, 10 43 46,6 44,8 4 Rabu, 11 46 44,7 45,3 5 Kamis, 12 38,6 39 38,8 6 Jumat, 13 40,3 39,7 40 7 Sabtu, 14 39,3 38,7 39 8 Minggu, 15 39,2 40,2 39,7 9 Senin, 16 38 39 38,5 10 Selasa, 17 37 39 38 11 Rabu, 18 36,8 37 36,9 12 Kamis, 19 35 36 35,5 13 Jumat, 20 34 35 34,5 4.2. Pembahasan Kompos merupakan suatu bahan organik yang telah mengalami proses dekomposisi oleh mikroorganisme pengurai yang terjadi secara aerob atau anaerob, sehingga dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki sifat-sifat tanah dan untuk meningkatkan produktifitas tanaman. Pembuatan kompos dilakukan selama 14 hari dengan cara melakukan pengukuran suhu kompos yang dilakukan dua kali.
  • 14.
    14 Dalam pembuatan pupukkompos yang kami lakukan menggunakan bahan yang terdiri dari feses kambing, daun gamal, sekam, dedak, air secukupnya dan EM4 sebagai decomposes yang membantu proses penguraian bahan. EM4 merupakam activator kompos yang mengandung mikroorganisme yang dapat meningkatkan keragaman mikroorganisme tanah dan dapat mempercepat proses pengomposan. Menurut (Murni, dkk, 2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa dengan penambahan EM4 dengan konsentrasi yang tinggi dapat mempercepat proses pengomposan karena semakin banyak bakteri yang bekerja dalam proses penguraian bahan sehingga terjadi penurunan rasio C dalam bahan dan C/N dalam bahan dikarenakan dalam proses pengomposan terjadi fermentasi terjadi reaksi C menjadi CO2 dan CH4 menjadi gas. Sehingga pengomposan yang membutuhkan waktu sampai berbulan-bulan dapat dipercepat menjadi 14 hari dengan penambahan EM4. Proses pengomposan akan segera berlangsung setelah bahan-bahan mentah dicampur. Secara sederhana proses pengomposan dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Menurut Sulistyorini (2005), selama tahap-tahap awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat. Demikian pula akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat hingga di atas 50-700 C selama waktu tertentu. Mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba termofilik, yaitu mikroba yang aktif pada suhu tinggi. Pada saat ini terjadi dekomposisi/penguraian bahan organik yang sangat aktif. Mikroba-mikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap air dan panas. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur- angsur mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Adapun hasil pengamatan organoleptik yang kami lakukan pada praktikum pembuatan pupuk kompos selama 14 hari, pada hari pertama sampai hari ke 11 kompos memiliki warna kecoklatan, bau yang busuk, dan tekstur yang masih
  • 15.
    15 sangat kasar karenapupuk mengalami peningkatan suhu yang optimal hingga mencapai 500 C. Pupuk kompos yang telah matang memiliki warna coklat kehitam-hitaman, tekstur remah dan gambur, dan memiliki aroma yang tidak berbau busuk, hal ini sesuai dengan pendapat Priyantini, dan Lisdiana (2013) yang menyatakan bahwa tekstur kompos yang telah matang memiliki tekstur halus dan lembab, bau tidak berbau, dan warna yang coklat kehitam-hitaman seperti warna tanah, penurunan temperature di akhir proses pengomposan, tidak mengandung asam lemak yang menguap, penurunan kandungan organik kompos, kandungan air, dan rasio C/N lebih kecil dari 20. Pengukuran suhu kompos dilakukan sampai pupuk kompos memiliki suhu normal yaitu 30o C sampai 38o C. Pengukuran suhu kompos yang kami lakukan selama 11 hari. Suhu yang kami peroleh hari pertama 43,4o C, hari kedua, 47,3o C, hari ketiga 44,8o C, hari keempat 45,3o C, hari kelima 38,8 o C, hari keenam 40o C, hari ketujuh 39o C, hari kedelapan 39,7o C, hari ke Sembilan 38,5o C, hari kesepuluh 38o C, hari kesebelas 36,9o C, hari ke duabelas 35,5o C, dan hari ketigabelas 34,5o C. Hasil pengukuran suhu yang kami lakukan berbeda dengan yang dilakukan oleh Dahuri dan Deri (2004) bahwa pengukuran suhu dilakukan selama 2 minggu dengan suhu pada hari pertama 40o C, hari kedua 45o C, hari ketiga 39,2o C, hari keempat 40,6o C, hari kelima 38o C, hari keenam 42 o C, hari ketujuh 41 o C, hari kedelapan 40o C, hari kesembilan 36o C, hari kesepuluh 38o C, hari kesebelas 40 o C, hari kedua belas 37o C, hari ketiga belas 38o C, dan hari keempat belas 38o C. hal ini sesuai dengan pendapat (Atmaja, dkk, 2017) yang menyatakan bawa Pada hari pertama perlakuan mulai mengalami peningkatan suhu, hal ini menunjukkan jika proses penguraian bahan oleh mikroorganisme mulai aktif. Pada hari pertama sampai hari keempat proses pengomposan memasuki fase thermofilik yang ditandai dengan peningkatan suhu kompos yang signifikan >400 C. Pada fase termofilik ini berlangsung suhu kompos terus mengalami peningkatan dan mencapai titik suhu maksimal. selanjutnya memasuki fase pematangan kompos, suhu tumpukan bahan mulai mengalami penurunan yang diakibatkan oleh aktivitas mikroorganisme mulai berkurang sehingga energi yang dihasilkan juga berkurang dan suhu mengalami penurunan. Kematangan kompos juga terlihat dari perubahan tekstur remah serta warna bahan kompos menjadi coklat kehitaman.
  • 16.
    16 V. PENUTUP 5.1. Kesimpulan Berdasarkantujuan dan pembahasan diatas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan antara lain: 1. Kompos merupakan suatu bahan organik yang telah mengalami proses dekomposisi oleh mikroorganisme pengurai yang terjadi secara aerob atau anaerob, sehingga dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki sifat-sifat tanah dan untuk meningkatkan produktifitas tanaman. 2. Pupuk kompos yang telah matang memiliki warna coklat kehitam-hitaman, tekstur remah dan gambur, dan memiliki aroma yang tidak berbau busuk 3. Pengukuran suhu kompos yang kami lakukan selama 11 hari. Suhu yang kami peroleh hari pertama 43,4o C, hari kedua, 47,3o C, hari ketiga 44,8o C, hari keempat 45,3o C, hari kelima 38,8 o C, hari keenam 40o C, hari ketujuh 39o C, hari kedelapan 39,7o C, hari ke Sembilan 38,5o C, hari kesepuluh 38o C, hari kesebelas 36,9o C, hari ke duabelas 35,5o C, dan hari ketigabelas 34,5o C. 5.2. Saran Adapun saran yang dapat saya ajukan pada praktikum pembuatan pupuk kompos adalah sebaiknya dalam pelaksanaan praktikum agar alat dan bahan yang akan digunakan pada saat praktikum disediakan dengan lengkap agar memudahkan praktikan dalam melaksanakan praktikum, memperhatikan suhu kompos dengan hati-hati agar data yang diperoleh sesuai dengan yang diharapkan, melakukan pembalikan kompos dengan cara perlahan agar suhu yang dihasilkan maksimal.
  • 17.
    17 DAFTAR PUSTAKA Atmaja, IK. M, Tika, W, dan Wijaya, A.S. 2017. Pengaruh Perbandingan Komposisi Bahan Baku terhadap Kualitas Kompos dan Lama Waktu Pengomposan. JURNAL BETA (Biosistem Dan Teknik Pertanian). Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Udayana. Dahuri dan Deri. 2004. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penerba Swadaya. Depok Indriyani, Y. H. 2007. Pembuatan Pupuk Organi Secara Singkat. Penerba Swadaya. Jakarta. Isroi. 2008. Kompos. Bogor: Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Muhammad T. A, Badruz Zaman, dan Purwono. 2007. Pengaruh Penambahan Pupuk Kotoran Kambing Terhadap Hasil Pengomposan Daun Kering Di TPST UNDIP. Jurnal Teknik Lingkungan, Vol. 6, No. 3. Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Pranata, Y. B, 2017. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Kotoran Kambing dengan Pupuk Probiotik Nopkor Terhadap Petrumbuhan dan Produktivitas Tanaman Sorgum Putih (Sirghum bicolor L). Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Setyorini, D, Saraswati, R, dan Anwar E. K. 2007. Pupuk Organik Dan Pupuk Hayati. Jakatra. Sumekto, Riyo.2006. Pupuk-Pupuk Organik. PT Intan Sejati. Klaten. Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Kanisius, Yogyakarta. Widiyaningrum, P, dan Lisdiana. 2013. Perbedaan Fisik Dan Kimia Kompos Daun Yang Menggunakan Bioaktivator Mol Dan EM4. Jurnal Sainteknol. Vol 11 No 1. Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang Yuniati, M, Iskarima, F, dan Padulemba, A. 2012. Optimasi Kondisi Proses Pembuatan Kompos Dari Sampah Organik dengan Cara Fermentasi Menggunakan EM4. Jurnal Teknologi Vol 5:2 (hal 172-181). Fakultas Teknologi Industri Institut Sains dan Teknologi. Yogyakarta.
  • 18.
    18 Lampiran Dokumentasi Pengukuran suhukompos pengukuran suhu kompos Pembalikan kompos
  • 19.
    Pupuk Organik danPupuk Hayati 11 2. KOMPOS Diah Setyorini, Rasti Saraswati, dan Ea Kosman Anwar Summary Compost. Composts are organic matter such as leaves, straw, grasses, rice bran, corn stovers, vines, tendrils, and animal manure which have been decomposed by decomposer microorganisms in order to be applied to improve soil health and fertility and to provide nutrients to plants. Generally composts or organic fertilizers are characterized by relatively low content of macro and micro nutrients, slow nurient availability, and providing limited nutrients. Organic fertilizers can improve soil physical characteristics (bulk density, aeration, pores, soil density), soil chemical characteristics (cation exchange capacity, macro and micro nutrients, organic acids), soil biological characteristics (energy for soil microbes and other biological activities), social conditions (recycle of municipal wastes, job opportunites, public income) and environment (beauty). Various composting methods which are often applied: (1) Indore method, (2) Heap method, (3) Bangalore method, (4) Berkeley method, and (5) Vermicomposting. The selection of composting method depends on ability and material condition and composting site. The method which is very often applied currently is Berkeley method producing mature compost within 2 weeks by using microorganisms. In order to apply for fertilizing soil, compost should be really stable (mature). Parameters to be used to determine compost maturity are among others: (1) carbon/nitrogen ratio (2) pH, (3) dark brown compost color, (4) not rotten smell but earthy, (5) crumble or loose. Composts are low in nutrient content in comparison to synthethic fertilizers. However, composts have some other advantages which mineral fertilizers do not have, the role in improving soil physical structure and microbiology. Compost enrichment is intended to increase its nutrient status. Rockphosphate, bone meal, and dry blood can be added because the material contains macro nutrients as well as micro nutrients and cost relatively cheap compared to synthetic fertilizers. Nitrogen can be
  • 20.
    Setyorini et al. 12 addedmicrobiologically by inoculating with Azotobacter, while the addition of phosphate-solubilizing microorganisms can increase the availability of P in compost. Inoculation of compost with microorganisms can be done when compost temperature has been stable at about 30-35 o C. Kompos merupakan bahan organik, seperti daun-daunan, jerami, alang-alang, rumput-rumputan, dedak padi, batang jagung, sulur, carang-carang serta kotoran hewan yang telah mengalami proses dekomposisi oleh mikroorganisme pengurai, sehingga dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki sifat-sifat tanah. Kompos mengandung hara-hara mineral yang esensial bagi tanaman. Sisa tanaman, hewan, atau kotoran hewan, juga sisa jutaan makhluk kecil yang berupa bakteri jamur, ganggang, hewan satu sel, maupun banyak sel merupakan sumber bahan organik yang sangat potensial bagi tanah, karena perannya yang sangat penting terhadap perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah, namun bila sisa hasil tanaman tidak dikelola dengan baik maka akan berdampak negatif terhadap lingkungan, seperti mengakibatkan rendahnya keberhasilan pertumbuhan benih karena imobilisasi hara, allelopati, atau sebagai tempat berkembangbiaknya patogen tanaman. Bahan-bahan ini menjadi lapuk dan busuk bila berada dalam keadaan basah dan lembap, seperti halnya daun- daun menjadi lapuk bila jatuh ke tanah dan menyatu dengan tanah. Selama proses perubahan dan peruraian bahan organik, unsur hara akan bebas menjadi bentuk yang larut dan dapat diserap tanaman. Sebelum mengalami proses perubahan, sisa hewan dan tumbuhan ini tidak berguna bagi tanaman, karena unsur hara masih dalam bentuk terikat yang tidak dapat diserap oleh tanaman. Di lingkungan alam terbuka, proses pengomposan bisa terjadi dengan sendirinya. Lewat proses alami, rumput, daun-daunan dan kotoran hewan serta sampah lainnya lama kelamaan membusuk karena adanya kerja sama antara mikroorganisme dengan cuaca. Proses tersebut bisa dipercepat oleh perlakuan manusia, yaitu dengan menambahkan mikroorganisme pengurai sehingga dalam waktu singkat akan diperoleh kompos yang berkualitas baik. Sifat dan karakterisasi kompos Penggunaan kompos sebagai bahan pembenah tanah (soil conditioner) dapat meningkatkan kandungan bahan organik tanah sehingga mempertahankan dan menambah kesuburan tanah pertanian. Karakteristik umum dimiliki kompos antara lain: (1) mengandung unsur hara dalam jenis
  • 21.
    Pupuk Organik danPupuk Hayati 13 dan jumlah bervariasi tergantung bahan asal; (2) menyediakan unsur hara secara lambat (slow release) dan dalam jumlah terbatas; dan (3) mempunyai fungsi utama memperbaiki kesuburan dan kesehatan tanah. Berikut ini diuraikan fungsi kompos dalam memperbaiki kualitas kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah. Sifat fisika tanah Kompos memperbaiki struktur tanah yang semula padat menjadi gembur sehingga mempermudah pengolahan tanah. Tanah berpasir menjadi lebih kompak dan tanah lempung menjadi lebih gembur. Penyebab kompak dan gemburnya tanah ini adalah senyawa-senyawa polisakarida yang dihasilkan oleh mikroorganisme pengurai serta miselium atau hifa yang berfungsi sebagai perekat partikel tanah. Dengan struktur tanah yang baik ini berarti difusi O2 atau aerasi akan lebih banyak sehingga proses fisiologis di akar akan lancar. Perbaikan agregat tanah menjadi lebih remah akan mempermudah penyerapan air ke dalam tanah sehingga proses erosi dapat dicegah. Kadar bahan organik yang tinggi di dalam tanah memberikan warna tanah yang lebih gelap (warna humus coklat kehitaman), sehingga penyerapan energi sinar matahari lebih banyak dan fluktuasi suhu di dalam tanah dapat dihindarkan. Institut Pertanian Bogor (IPB) melaporkan bahwa takaran kompos sebanyak 5 t ha -1 meningkatkan kandungan air tanah pada tanah-tanah yang subur (CPIS, 1991). Sifat kimia tanah Kompos merupakan sumber hara makro dan mikromineral secara lengkap meskipun dalam jumlah yang relatif kecil (N, P, K, Ca, Mg, Zn, Cu, B, Zn, Mo, dan Si). Dalam jangka panjang, pemberian kompos dapat memperbaiki pH dan meningkatkan hasil tanaman pertanian pada tanah- tanah masam. Pada tanah-tanah yang kandungan P-tersedia rendah, bentuk fosfat organik mempunyai peranan penting dalam penyediaan hara tanaman karena hampir sebagian besar P yang diperlukan tanaman terdapat pada senyawa P-organik. Sebagian besar P-organik dalam organ tanaman terdapat sebagai fitin, fosfolipid, dan asam nukleat. Kedua yang terakhir hanya terdapat sedikit dalam bahan organik tanah karena senyawa tersebut mudah digunakan oleh jasad renik tanah. Turunan senyawa- senyawa tersebut sangat penting dalam tanah (karena kemampuannya membentuk senyawa dengan kation polivalen), terdapat dalam jumlah relatif tinggi, tetapi yang dekomposisinya lambat ialah inositol. Pada tanah alkalin, terbentuk inositol fosfat dengan Ca atau Mg, sedangkan pada tanah masam dengan Al atau Fe. P-anorganik dalam bentuk Al-Fe; Ca-P yang tidak tersedia bagi tanaman, akan dirombak oleh organisme pelarut P menjadi P- anorganik yang larut atau tersedia bagi tanaman.
  • 22.
    Setyorini et al. 14 Selainitu, kompos juga mengandung humus (bunga tanah) yang sangat dibutuhkan untuk peningkatan hara makro dan mikro dan sangat dibutuhkan tanaman. Misel humus mempunyai kapasitas tukar kation (KTK) yang lebih besar daripada misel lempung (3-10 kali) sehingga penyediaan hara makro dan mikromineral lebih lama. Kapasitas tukar kation (KTK) asam-asam organik dari kompos lebih tinggi dibandingkan mineral liat, namun lebih peka terhadap perubahan pH karena mempunyai sumber muatan tergantung pH (pH dependent charge). Pada nilai pH 3,5, KTK liat dan C-organik sebesar 45,5 dan 199,5 me 100 g -1 sedangkan pada pH 6,5 meningkat menjadi 63 dan 325,5 me 100 g -1 . Nilai KTK mineral liat kaolinit (3-5 me 100 g -1 ), illit (30-40 me 100 g -1 ), montmorilonit (80-150 me 100 g -1 ), sedangkan pada asam humat (485-870 me 100 g -1 ) dan asam fulfat (1.400 me 100 g -1 ). Oleh karena itu, penambahan kompos ke dalam tanah dapat meningkatkan nilai KTK tanah (Tan, 1991). Peranan bahan organik yang juga penting pada tanah ialah kemampuannya bereaksi dengan ion logam untuk membentuk senyawa kompleks. Dengan demikian ion logam yang bersifat meracuni tanaman serta merugikan penyediaan hara pada tanah seperti Al, Fe, dan Mn dapat diperkecil dengan adanya khelat dengan bahan organik. Sifat biologi tanah Kompos banyak mengandung mikroorganisme (fungi, aktinomisetes, bakteri, dan alga). Dengan ditambahkannya kompos ke dalam tanah tidak hanya jutaan mikroorganisme yang ditambahkan, akan tetapi mikroorganisme yang ada dalam tanah juga terpacu untuk berkembang. Proses dekomposisi lanjut oleh mikro-organisme akan tetap terus berlangsung tetapi tidak mengganggu tanaman. Gas CO2 yang dihasilkan mikroorganisme tanah akan dipergunakan untuk fotosintesis tanaman, sehingga pertumbuhan tanaman akan lebih cepat. Amonifiksi, nitrifikasi, dan fiksasi nitrogen juga meningkat karena pemberian bahan organik sebagai sumber karbon yang terkandung di dalam kompos. Aktivitas berbagai mikroorganisme di dalam kompos menghasilkan hormon-hormon pertumbuhan, misalnya auksin, giberelin, dan sitokinin yang memacu pertumbuhan dan perkembangan akar-akar rambut sehingga daerah pencarian makanan lebih luas. Pemberian kompos pada lahan sawah akan membantu mengendalikan atau mengurangi populasi nematoda, karena bahan organik memacu perkembangan musuh alami nematoda, yaitu cendawan dan bakteri serta memberi kondisi yang kurang menguntungkan bagi perkembangan nematoda. Munculnya serangan nematoda penyebab penyakit bintil akar pada akar tanaman padi di beberapa daerah dipicu oleh penggunaan pupuk urea yang intensif.
  • 23.
    Pupuk Organik danPupuk Hayati 15 Bahan organik memberikan efek positif pada aktivitas berbagai enzim hidrolase yang kemungkinan disebabkan oleh meningkatkan biomassa mikroba (Garcia et al., 1994). Setelah 10 tahun penambahan bahan organik, siklus biokimia N, aktivitas (urease dan protease-BAA), P (phosphatase) dan karbon (ß-glucosidase) dapat di reaktivasi, sehingga kesuburan tanah meningkat (Ladd, 1985). Jenis dan sumber bahan kompos Bahan organik yang dapat digunakan sebagai sumber pupuk organik dapat berasal dari limbah/hasil pertanian dan nonpertanian (limbah kota dan limbah industri) (Kurnia et al., 2001). Dari hasil pertanian antara lain berupa sisa tanaman (jerami dan brangkasan), sisa hasil pertanian (sekam padi, kulit kacang tanah, ampas tebu, dan belotong), pupuk kandang (kotoran sapi, kerbau, ayam, itik, dan kuda), dan pupuk hijau. Limbah kota atau sampah organik kota biasanya dikumpulkan dari pasar-pasar atau sampah rumah tangga dari daerah pemukiman serta taman-taman kota. Limbah industri yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik antara lain limbah industri pangan. Berbagai bahan organik tersebut dapat dijadikan pupuk organik melalui teknologi pengomposan sederhana maupun dengan penambahan mikroba perombak serta pengkayaan dengan hara lain. Pupuk organik yang berasal dari pupuk kandang merupakan bahan pembenah tanah yang paling baik dibanding bahan pembelah lainnya. Kadar hara yang dikandung pupuk organik pada umumnya rendah dan sangat bervariasi. Sebagai bahan pembenah tanah, pupuk organik membantu dalam mencegah terjadinya erosi dan mengurangi terjadinya retakan tanah. Pemberian bahan organik mampu meningkatkan kelembapan tanah dan memperbaiki porositas tanah. Sisa tanaman Kandungan hara beberapa tanaman pertanian ternyata cukup tinggi dan bermanfaat sebagai sumber energi utama mikroorganisme di dalam tanah. Apabila digunakan sebagai mulsa, maka ia akan mengontrol kehilangan air melalui evaporasi dari permukaan tanah, dan pada saat yang sama dapat mencegah erosi tanah. Hara dalam tanaman dapat dimanfaatkan setelah tanaman mengalami dekomposisi. Kandungan haranya sangat bervariasi tergantung dari jenis bahan tanaman (Tabel 1). Rasio C/N sisa tanaman bervariasi dari 80:1 pada jerami gandum hingga 20:1 pada tanaman legum. Selama proses dekomposisi ini nilai rasio C/N akan menurun mendekati 10:1 pada saat bahan tersebut bercampur dengan tanah. Berbagai sumber bahan kompos dari limbah pertanian dengan nilai C/N rasio disajikan pada Tabel 2 (FAO, 1987).
  • 24.
    Setyorini et al. 16 Tabel1. Komposisi hara dalam tanaman Tanaman N P K Ca Mg Fe Cu Zn Mn B % mg kg -1 Gandum Jagung Kc. tanah Kedelai Kentang Ubi jalar 2,80 2,97 4,59 5,55 3,25 3,76 0,36 0,30 0,25 0,34 0,20 0,38 2,26 2,39 2,03 2,41 7,50 4,01 0,61 0,41 1,24 0,88 0,43 0,78 0,58 0,16 0,37 0,37 0,20 0,68 155 132 198 190 165 126 28 12 23 11 19 26 45 21 27 41 65 40 108 117 170 143 160 86 23 17 28 39 28 53 Sumber: Tan (1993) Tabel 2. Sumber bahan kompos, kandungan nitrogen, dan rasio C/N Jenis bahan Nitrogen per berat kering C/N rasio % Limbah cair dari hewan Darah kering Kuku dan tanduk Limbah ikan Limbah minyak biji-bijian Night soil Lumpur limbah Kotoran ternak unggas Tulang Rumput Sisa tanaman hijauan Limbah pabrik bir Limbah rumah tangga Kulit biji kopi Eceng gondok Kotoran babi Kotoran ternak Limbah lumpur padat Millet Jerami gandum Daun-daunan Limbah tebu Serbuk gergaji Kertas 15 - 18 10 - 14 12 4 - 10 3 - 9 5,5 - 6,5 5 - 6 4 2 - 4 2 - 4 3 - 5 3 - 5 2 - 3 1,0 - 2,3 2,2 - 2,5 1,9 1,0 -1,8 1,2 - 1,8 0,7 0,6 0,4 -1,0 0,3 0,1 0,0 0,8 3 - 4 - 5 3 - 15 6 - 10 6 - 8 12 10 - 15 15 10 - 16 8 20 - - - 70 80 40 - 80 150 500 * Sumber: FAO, 1987 Keterangan: - tidak ditentukan, * tidak tertentu
  • 25.
    Pupuk Organik danPupuk Hayati 17 Kotoran hewan Kotoran hewan yang berasal dari usaha tani pertanian antara lain adalah kotoran ayam, sapi, kerbau, kambing, kuda, dan sebagainya. Komposisi hara pada masing-masing kotoran hewan berbeda tergantung pada jumlah dan jenis makanannya. Secara umum, kandungan hara dalam kotoran hewan jauh lebih rendah daripada pupuk kimia (Tabel 3) sehingga takaran penggunaannya juga akan lebih tinggi. Namun demikian, hara dalam kotoran hewan ini ketersediaannya (release) lambat sehingga tidak mudah hilang. Ketersediaan hara sangat dipengaruhi oleh tingkat dekomposisi/mineralisasi dari bahan-bahan tersebut. Rendahnya ketersediaan hara dari pupuk kandang antara lain disebabkan karena bentuk N, P serta unsur lain terdapat dalam bentuk senyawa kompleks organo protein atau senyawa asam humat atau lignin yang sulit terdekomposisi. Selain mengandung hara bermanfaat, pupuk kandang juga mengandung bakteri saprolitik, pembawa penyakit, dan parasit mikroorganisme yang dapat membahayakan hewan atau manusia. Contohnya: kotoran ayam mengandung Salmonella sp. Oleh karena itu pengelolaan dan pemanfaatan pupuk kandang harus hati-hati. Tabel 3. Kandungan hara beberapa jenis kotoran hewan Sumber N P K Ca Mg S Fe % Sapi perah Sapi daging Kuda Unggas Domba 0,53 0,65 0,70 1,50 1,28 0,35 0,15 0,10 0,77 0,19 0,41 0,30 0,58 0,89 0,93 0,28 0,12 0,79 0,30 0,59 0,11 0,10 0,14 0,88 0,19 0,05 0,09 0,07 0,00 0,09 0,004 0,004 0,010 0,100 0,020 Sumber: Tan (1993) Hasil penelitian pembuatan kompos dari kotoran hewan di Jepang menunjukkan bahwa 10-25% dari N dalam bahan asal kompos akan hilang sebagai gas NH3 selama proses pengomposan. Selain itu dihasilkan pula 5% CH4 dan sekitar 30% N2O yang berpotensi untuk mencemari lingkungan sekitarnya. Sebaliknya akan terjadi penyusutan volume bahan dan mempunyai rasio C/N yang lebih rendah dan suhu 60-65 o C saat proses pengomposan berakhir. Sampah kota Sampah (waste) didefinisikan sebagai bahan-bahan yang sudah tidak digunakan dan tidak bermanfaat sehingga disebut bahan buangan.
  • 26.
    Setyorini et al. 18 Menurutsumbernya, sampah dibagi menjadi sampah domestik/kota dan sampah industri. Berdasarkan data di berbagai tempat, sampah kota ini relatif kurang tertangani dibandingkan sampah bahan lain. Hal ini terjadi karena bahan tersebut banyak terkontaminasi B3 (bahan beracun berbahaya), seperti logam berat sehingga apabila dimanfaatkan sebagai kompos untuk tanaman pangan dapat mencemari hasil. Tertimbunnya sampah domestik dalam waktu lama akan mengundang risiko penurunan kualitas sanitasi, keindahan lingkungan serta berjangkitnya penyakit tertentu. Di beberapa kota besar di Indonesia, masalah sampah kota banyak menjadi sorotan seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan perbaikan kualitas hidup masyarakatnya. Hasil buangan sampah rumah tangga, tempat fasilitas umum kota, pasar dan sebagainya di ibukota Jakarta telah mencapai volume sekitar 26.750 m 3 hari -1 , Semarang 1.500 m 3 ha -1 dan Bogor sekitar 2.000 m 3 hari -1 (Sibuea et al., 1993). Kondisi ini sudah sangat mengkhawatirkan dan mengganggu kenyamanan dan kebersihan lingkungan bila tidak ditangani secara baik. Salah satu kendala pemanfaatan sampah kota adalah kurang praktisnya pemakaian secara langsung dan memerlukan biaya relatif tinggi untuk pendistribusiannya di lapangan. Menurut jenis dan asalnya sampah domestik dibedakan menjadi sampah kertas, plastik, kaca, karet, dan logam yang biasanya dimanfaat-kan oleh pemulung untuk didaur ulang menjadi produk yang bermanfaat. Sedangkan sampah organik yang proporsinya (volume) jauh lebih besar daripada sampah anorganik biasanya tertimbun tanpa ada yang memanfaatkan. Sampah organik terdiri atas sisa sayuran, tanaman, dan sisa makanan yang mengandung karbon (C) berupa senyawa sederhana maupun kompleks. Selulosa merupakan salah satu senyawa kompleks yang memerlukan proses dekomposisi relatif lama namun dapat dipecah oleh enzim selulosa yang dihasilkan oleh bakteri menjadi senyawa monosakarida, alkohol, CO2, dan asam-asam organik lain (Rao, 1975). Ditinjau dari ketersediaan dan jenis bahan bakunya, ketiga bentuk sampah organik (sisa tanaman, kotoran hewan, dan sampah kota) ini berpotensi besar untuk didaur ulang melalui proses pengomposan menjadi pupuk organik. Dengan memanfaatkan teknologi yang ada diharapkan dapat membuka peluang usaha baru yang hasilnya (berupa pupuk organik) dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas lahan-lahan pertanian di Indonesia. Vermikompos Vermikompos disebut juga kompos cacing, vermicast atau pupuk kotoran cacing, yang merupakan hasil akhir dari hasil penguraian bahan organik oleh jenis-jenis cacing tertentu. Vermikompos merupakan bahan yang
  • 27.
    Pupuk Organik danPupuk Hayati 19 kaya hara, dapat digunakan sebagai pupuk alami atau soil conditioner (pembenah tanah). Proses pembuatan vermikompos disebut vermikomposting. Cacing yang digunakan dalam proses pembuatan vermikompos diantaranya brandling-worms (Eisenia foetida), dan redworms (cacing merah) (Lumbricus rubellus). Cacing-cacing ini jarang ditemukan di dalam tanah, dan dapat menyesuaikan dengan kondisi tertentu di dalam pergiliran tanaman. Di luar negeri ”bibit” cacing-cacing telah diperjualbelikan di toko- toko pertanian. Vermikomposting dalam skala kecil dapat mendaur ulang sampah dapur menjadi vermikompos yang berkualitas dengan menggunakan ruang terbatas. Kandungan hara vermikompos yang dihasilkan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Kandungan hara vermikompos Parameter sifat kimia Nilai pH 6,5 -7,5 C-organik % 20,43 – 30,31 Nitrogen % 1,80 – 2,05 Fosfor % 1,32 – 1,93 Kalium % 1,28 – 1,50 Rasio Karbon: nitrogen 14-15 : 1 Kalsium % 3,0 – 4,5 Magnesium % 0,4 – 0,7 Natrium % 0,02 – 0,30 Sulfur % Traces to 0,40 Fe (ppm) 0,3 – 0,7 Seng (ppm) 0,028 – 0,036 Mangan (ppm) Traces to 0,40 Tembaga (ppm) 0,0027 – 0,0123 Boron (ppm) 0,0034 – 0,0075 Aluminium (ppm) Traces to 0,071 Kobalt, Molibdenum (ppm) - Proses pengomposan Sejarah proses pengomposan Pengomposan merupakan praktek tertua untuk menyiapkan pupuk organik yang selanjutnya dikembangkan menjadi kunci teknologi untuk mendaur ulang limbah permukiman dan perkotaan. Di Indonesia, pemanfaatan kotoran ternak sebagai pupuk kandang sudah sejak lama dipraktekkan oleh petani tradisional. Meskipun tidak ada catatan sejarah sejak kapan petani memanfaatkan kotoran ternak sebagai pupuk organik.
  • 28.
    Setyorini et al. 20 Tidakada catatan sejarah tentang pendekatan ilmiah proses pengomposan di Indonesia, kemungkinan besar ini diperkenalkan oleh pakar pertanian Belanda. Pengomposan merupakan praktek yang biasa di- lakukan di pekarangan dengan memanfaatkan sampah pekarangan untuk bahan kompos, atau di desa dengan memanfaatkan kotoran ternak. Tetapi beberapa publikasi populer lama menjelaskan bahwa kompos yang baik dibuat dari campuran sisa tanaman dan kotoran ternak dengan perbandingan 3:1. Prinsip proses pengomposan Bahan organik tidak dapat digunakan secara langsung oleh tanaman karena perbandingan kandungan C/N dalam bahan tersebut tidak sesuai dengan C/N tanah. Rasio C/N merupakan perbandingan antara karbohidrat (C) dan nitrogen (N). Rasio C/N tanah berkisar antara 10-12. Apabila bahan organik mempunyai rasio C/N mendekati atau sama dengan rasio C/N tanah, maka bahan tersebut dapat digunakan tanaman. Namun pada umumnya bahan organik segar mempunyai rasio C/N tinggi (jerami 50-70; dedaunan tanaman 50-60; kayu-kayuan >400; dan lain-lain). Prinsip pengomposan adalah untuk menurunkan rasio C/N bahan organik hingga sama dengan C/N tanah (<20). Semakin tinggi rasio C/N bahan organik maka proses pengomposan atau perombakan bahan semakin lama. Waktu yang dibutuhkan bervariasi dari satu bulan hingga beberapa tahun tergantung bahan dasar. Proses perombakan bahan organik terjadi secara biofisiko-kimia, melibatkan aktivitas biologi mikroba dan mesofauna. Secara alami proses peruraian tersebut bisa dalam keadaan aerob (dengan O2) maupun anaerob (tanpa O2). Proses penguraian aerob dan anaerob secara garis besar sebagai berikut: Mikroba aerob Bahan organik + O2 ----------------------------> H2O + CO2 + hara + humus + enersi N, P, K Mikroba anaerob Bahan organik -----------------------------> CH4 + hara + humus N, P, K Proses perombakan tersebut, baik secara aerob maupun anaerob akan menghasilkan hara dan humus, proses bisa berlangsung jika tersedia N, P, dan K. Penguraian bisa berlangsung cepat apabila perbandingan antara kadar C (C-organik):N:P:K dalam bahan yang terurai setara 30:1:0,1:0,5. Hal ini disebabkan N, P, dan K dibutuhkan untuk aktivitas metabolisme sel mikroba dekomposer (Gaur, 1980a). Oleh karena itu penggunaan bahan organik segar (belum mengalami proses dekomposisi)
  • 29.
    Pupuk Organik danPupuk Hayati 21 (nilai C/N >25) secara langsung yang dicampur/dibenam di dalam tanah akan mengalami proses penguraian secara aerob (pemberian bahan organik di lahan kering) atau anaerob (pemberian bahan organik di lahan sawah) lebih dahulu. Hal ini menyebabkan ketersediaan hara N, P, dan K tanah menurun, karena diserap dan digunakan oleh mikroba dekomposer untuk aktivitas peruraian bahan organik. Akibatnya terjadi persaingan antara tanaman dengan mikroba dekomposer dalam pengambilan unsur N, P, dan K. Selain terjadi persaingan dalam pengambilan hara, proses peruraian aerob juga menghasilkan enersi/suhu sehingga suhu tanah meningkat. Kedua hal tersebut dapat menyebabkan tanaman kekurangan hara (pertumbuhan tanaman terhambat) atau bahkan tanaman mati, oleh karena itu penggunaan bahan organik yang mempunyai kadar C tinggi tetapi kadar N, P, dan K rendah, sebaiknya sebelum digunakan diproses lebih dahulu sampai bahan organik tersebut menjadi kompos. Pada bahan organik yang telah terdekomposisi (menjadi kompos) telah terjadi proses mineralisasi unsur hara dan terbentuk humus yang sangat bermanfaat bagi kesuburan dan kesehatan tanah. Di lingkungan alam terbuka, kompos bisa terjadi dengan sendirinya. Proses pembusukan terjadi secara alami namun tidak dalam waktu yang singkat, melainkan secara bertahap. Lewat proses alami, rumput, daun- daunan, dan kotoran hewan serta sampah lainnya lama kelamaan membusuk karena kerja sama antara mikroorganisme dengan cuaca. Lamanya proses pembusukan tersebut lebih kurang sekitar 5 minggu hingga 2 bulan. Namun jika kita ingin waktu yang lebih singkat, 2 minggu, proses tersebut dapat dipercepat dengan menggunakan bioaktivator perombak bahan organik, seperti Trichoderma sp. Komponen utama limbah padat pertanian adalah selulosa. Selulosa merupakan senyawa yang secara alami sulit untuk didekomposisi. Hal ini menyebabkan petani lebih suka membakar jeraminya di lahan pertanian daripada mengembalikannya lagi ke tanah dalam bentuk kompos, sebab pengomposan secara alami membutuhkan waktu yang lama (4-5 bulan), terlebih pada bahan organik berlignin pada tanaman perkebunan seperti pelepah daun dan tandan kosong kelapa sawit yang mengandung lignin tinggi. Lignin merupakan polimer struktural fenilpropan pada tanaman vaskuler yang membuat kekakuan tanaman dan mengikat serat dinding sel, berfungsi menurunkan permeasi air melintasi dinding jaringan xilem dan membuat kayu resisten terhadap serangan mikroba. Di dalam tanah lignin dari tanaman mati didegradasi oleh mikroba menjadi humus, air dan karbon dioksida. Humus pada permukaan tanah penting untuk struktur tanah, meningkatkan aerasi dan moisture-holding capacity. Humus berfungsi sebagai penukar ion dasar dan mampu menyimpan serta melepaskan hara di sekitar tanaman (Eriksson et al., 1989). Walaupun manfaat penggunaan bahan organik untuk meningkat-
  • 30.
    Setyorini et al. 22 kankesuburan kimia, fisik, dan biologi tanah telah dipahami betul oleh para ahli dan praktisi pertanian, tetapi sampai sekarang masih sulit petani memanfaatkan kembali sisa tanaman untuk menyuburkan lahannya. Hal ini disebabkan karena secara alami perombakan limbah pertanian memerlukan waktu yang lama, sedangkan apabila memakai kompos yang telah jadi selain diperlukan biaya yang mahal juga diperlukan tenaga karena kompos harus diberikan dalam jumlah yang besar (bulky). Komponen penyusun struktur tanaman terbesar setelah selulosa adalah hemiselulosa (xylan) yang merupakan polimer karbohidrat kompleks dengan xylan dan glukomanan sebagai komponen utama. Hemiselulosa merupakan polimer dari unit-unit gula pentosa dan hexosa dimana fibril- fibrilnya membentuk susunan amorf. Struktur hemiselulosa yang banyak dipelajari adalah dari kelompok xylan karena menempati 7-30% dari bobot tanaman. Degradasi dari hemiselulosa secara enzimatis memerlukan suatu kompleks enzim yang mampu menghidrolisis xylan dan kerangka glukomanan. Hemiselulosa umumnya relatif mudah didekomposisi dan merupakan polisakarida yang mula-mula didekomposisi terlebih dahulu oleh mikroba di alam, sehingga penyusutan bobot tanaman pada suatu proses dekomposisi terjadi karena terurainya hemiselulosa. Proses pengomposan juga bermanfaat untuk mengubah limbah yang berbahaya, seperti misalnya tinja, sampah, dan limbah cair lain menjadi bahan yang aman dan bermanfaat. Organisme yang bersifat patogen akan mati karena suhu yang tinggi pada saat proses pengomposan berlangsung. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kompos merupakan sumber bahan organik dan nutrisi tanaman. Kemungkinan bahan dasar kompos mengandung selulosa 15-40%, bahan mineral (abu) 3-5%, selain itu terdapat bahan larut air panas dan dingin (gula, pati, asam amino, urea, dan garam amonium) sebanyak 2-30%, dan 1-15% lemak larut eter dan alkohol, minyak dan lilin. Komponen organik ini mengalami proses dekomposisi di bawah kondisi mesofilik dan termofilik. Pengomposan dengan metode timbunan di permukaan tanah, lubang galian tanah, sistem Indore menghasilkan bahan yang terhumufikasi berwarna gelap setelah 3-4 bulan dan merupakan sumber bahan organik untuk pertanian berkelanjutan. a. Proses mikrobiologi Konversi biologi bahan organik dilaksanakan oleh bermacam- macam kelompok mikroorganisme heterotropik seperti bakteri, fungi, aktinomisetes, dan protozoa. Organisme tersebut mewakili jenis tanaman dan hewan (Biddlestone dan Gray,1985).
  • 31.
    Pupuk Organik danPupuk Hayati 23 Selama proses pengomposan berlangsung, perubahan secara kualitatif dan kuantitatif terjadi, pada tahap awal akibat perubahan lingkungan beberapa spesies flora menjadi aktif, makin berkembang dalam waktu yang cepat, dan kemudian hilang untuk memberikan kesempatan pada populasi lain untuk menggantikan. Pada minggu kedua dan ketiga, kelompok fisiologi yang berperan aktif pada proses pengomposan dapat diidentifikasikan yaitu bakteri sebanyak 10 6 –10 7 , bakteri amonifikasi (10 4 ), pektinolitik (10 3 ), dan bakteri penambat nitrogen (10 3 ). Mulai hari ketujuh kelompok mikrobia meningkat dan setelah hari ke-14 terjadi penurunan jumlah kelompok. Kemudian kembali terjadi kenaikan populasi selama minggu keempat. Mikroorganisme yang berperanan adalah mikroorganisme selulopatik dan lignolitik demikian juga fungi (Tabel 5). Tabel 5. Organisme yang aktif dalam proses pengomposan Kelompok Organisme Jumlah/g kompos lembap Miklofora Bakteri 10 8 – 10 9 Fungi 10 5 - 10 8 Mikrofauna Protozoa 10 4 – 10 8 Makroflora Fungi 10 4 - 10 5 Makrofauna Cacing tanah, rayap, semut, kumbang Sumber: Sutanto (2002) Pengomposan aerob: Dalam sistem ini, kurang lebih dua pertiga unsur karbon (C) menguap (menjadi CO2) dan sisanya satu pertiga bagian bereaksi dengan nitrogen dalam sel hidup. Selama proses pengomposan aerob tidak timbul bau busuk. Selama proses pengomposan berlangsung akan terjadi reaksi eksotermik sehingga timbul panas akibat pelepasan energi. Kenaikan suhu dalam timbunan bahan organik menghasilkan suhu yang menguntungkan mikroorganisme temofilik. Akan tetapi, apabila suhu melampaui 65-70 o C, kegiatan mikroorganisme akan menurun karena kematian organisme akibat panas yang tinggi. Pengomposan anaerob: penguraian bahan organik terjadi pada kondisi anaerob (tanpa oksigen). Tahap pertama, bakteri fakultatif penghasil asam menguraikan bahan organik menjadi asam lemak, aldehida, dan lain- lain.; proses selanjutnya bakteri dari kelompok lain akan mengubah asam lemak menjadi gas metan, amoniak, CO2 dan hidrogen. Pada proses aerob energi yang dilepaskan lebih besar (484-674 kcal mole glukosa -1 ) sedangkan pada proses anaerob hanya 25 kcal mole glukosa -1 (Sutanto, 2002).
  • 32.
    Setyorini et al. 24 b.Tahapan proses pengomposan Proses dekomposisi bahan organik dapat dibagi menjadi tiga tahap seperti disajikan dalam Tabel 6 (Sutanto, 2002). Pada tahap awal atau dekomposisi intensif berlangsung, dihasilkan suhu yang cukup tinggi dalam waktu yang relatif pendek dan bahan organik yang mudah terdekomposisi akan diubah menjadi senyawa lain. Pada tahap pematangan utama dan pasca pematangan, bahan yang sukar akan terdekomposisi akan terurai dan membentuk ikatan kompleks lempung-humus. Produk yang dihasilkan adalah kompos matang yang mempunyai ciri antara lain: (1) tidak berbau; (2) remah; (3) berwarna kehitaman; (4) mengandung hara yang tersedia bagi tanaman; dan (5) kemampuan mengikat air tinggi. Tabel 6. Tahapan pengomposan No. Tahapan Pematangan bahan Produk Kategori pematangan 1. Tahap dekomposisi dan sanitasi Pra-matang/ dekomposisi intensif Kompos segar II 2. Tahap konversi Pematangan utama Kompos segar III 3. Tahap sintetik Pasca pematangan Kompos matang IV & V Sumber: Sutanto (2002) Perkembangan proses dekomposisi yang kurang baik pada umumnya disebabkan oleh kandungan lengas tidak sesuai dan atau campuran bahan campuran kompos yang tidak sesuai. Selama proses dekomposisi berlangsung harus dilakukan monitoring terhadap kelembapan dan suhu dengan tujuan mengidentifikasi dan memperbaiki kesalahan pada tahap awal dekomposisi. Pada Tabel 7 disajikan daftar permasalahan yang mungkin timbul selama proses pengomposan, identifikasi penyebab, dan cara memperbaikinya.
  • 33.
    Pupuk Organik danPupuk Hayati 25 Tabel 7. Diagnosis permasalahan yang mungkin timbul, identifikasi penyebabnya, dan cara memperbaikinya Permasalahan Penyebab Cara menanggulangi Bahan baku terlalu kering, proses dekomposisi berhenti - Kelembapan turun di bawah batas ambang yang dibutuhkan mikroba karena suhu meningkat - Bahan dasar kompos terlalu kering - Kompos dibalik secara berkala - Menambah bahan kompos segar - Menutup timbunan kompos untuk mengurangi penguapan Bahan baku terlalu basah, warna kehitaman, kekurangan oksigen - Curah hujan terlalu tinggi - Bahan campuran mengandung air tinggi, namun kandungan nitrogen rendah - Kompos dibalik secara berkala, bagian dasar diberi alas kering berupa potongan kayu atau ranting - Menambah tanah, batuan yang dihaluskan atau kapur Dekomposisi berjalan lambat - Prosentase kandungan lignin terlalu tinggi sehingga rasio C/N tinggi - Terlalu kering - Kompos dibalik secara berkala - Menambahkan bahan yang kaya nitrogen (kotoran ternak, limbah dapur/rumah tangga) Bau busuk - Tergenang - Kekurangan oksigen - Prosentase bahan yang mengandung nitrogen terlalu tinggi - Kekurangan bahan yang ruah - Bahan memadat - Kompos dibalik secara berkala - Menambahkan bahan yang ruah Kompos mengandung benih gulma - Selama proses dekomposisi suhu terlalu rendah - Kelembapan dan aerasi diatur - Bahan yang mengandung biji gulma diletakkan di bagian tengah timbunan agar mencapai peningkatan suhu yang tinggi Kompos diserang kecoa - Tersisa makanan dan hewan di sekitar timbunan dan tidak ditutup - Menempatkan bahan limbah dapur di bagian tengah timbunan kemudian ditutup. Sumber: Diolah dari Sutanto (2002)
  • 34.
    Setyorini et al. 26 (a)(b) (c) Gambar 1. Pembuatan pupuk organik yang berasal dari campuran kotoran ternak dan sisa tanaman yang dilakukan dalam skala kecil: (a) bahan dasar; (b) pencampuran; dan (c) pemberian air untuk menjaga kelembapan Foto: Ladiyani Retno W. (2004) Gambar 2. Pembuatan pupuk organik berbentuk padat yang berasal dari sampah kota (atas) dan pupuk organik cair dari urine ternak (bawah) dalam skala industri milik PT Agro Duta, Bandung Foto: Diah Setyorini (2006)
  • 35.
    Pupuk Organik danPupuk Hayati 27 c. Syarat-syarat pembuatan kompos Agar pembuatan kompos berhasil, beberapa syarat yang diperlukan antara lain: Ukuran bahan mentah. Sampai pada batas tertentu, semakin kecil ukuran potongan bahan mentahnya, semakin cepat pula waktu pembusukannya. Penghalusan bahan akan meningkatkan luas permukaan spesifik bahan kompos sehingga memudahkan mikroba dekomposer untuk menyerang dan menghancurkan bahan-bahan tersebut. Meskipun demikian, kalau penghalusan bahan terlalu kecil, timbunan akan menjadi mampat sehingga udara sedikit. Ukuran bahan sekitar 5-10 cm sesuai untuk pengomposan ditinjau dari aspek sirkulasi udara yang mungkin terjadi. Untuk mempercepat proses pelapukan, dilakukan pemotongan/mencacah daun-daunan, ranting-ranting dan material organis lainnya secara manual dengan tangan atau mesin. Untuk pembuatan kompos skala industri, tersedia mesin penggilingan bertenaga listrik yang dirancang khusus untuk memotong atau mencacah bahan organis limbah pertanian menjadi potongan-potongan yang cukup kecil hingga bisa melapuk dengan cepat. Suhu dan ketinggian timbunan kompos. Timbunan bahan yang mengalami dekomposisi akan meningkat suhunya hingga 65-70 o C akibat terjadinya aktivitas biologi oleh mikroba perombak bahan organik (Gaur, 1980). Penjagaan panas sangat penting dalam pembuatan kompos agar proses dekomposisi berjalan merata dan sempurna. Hal yang menentukan tingginya suhu adalah nisbah volume timbunan terhadap permukaan. Makin tinggi volume timbunan dibanding permukaan, makin besar isolasi panas dan makin mudah timbunan menjadi panas. Timbunan yang terlalu dangkal akan kehilangan panas dengan cepat, karena bahan tidak cukup untuk menahan panas dan menghindari pelepasannya. Dalam keadaan suhu kurang optimum, bakteri-bakteri yang menyukai panas (yang bekerja di dalam timbunan itu) tidak akan berkembang secara wajar. Akibatnya pembuatan kompos akan berlangsung lebih lama. Sebaliknya timbunan yang terlampau tinggi dapat mengakibatkan bahan memadat karena berat bahan kompos itu sendiri. Hal tersebut akan mengakibatkan suhu terlalu tinggi dan udara di dasar timbunan berkurang. Panas yang terlalu banyak juga akan mengakibat-kan terbunuhnya mikroba yang diinginkan. Sedang kekurangan udara mengakibatkan tumbuhnya bakteri anaerobik yang baunya tidak enak. Tinggi timbunan yang memenuhi syarat adalah sekitar 1,25-2 m. Pada waktu proses pembusukan berlangsung, pada timbunan material yang tingginya 1,5 m akan menurun sampai kira-kira setinggi 1 atau 1,25 m.
  • 36.
    Setyorini et al. 28 NisbahC/N. Mikroba perombak bahan organik memerlukan karbon dan nitrogen dari bahan asal. Karbon dibutuhkan oleh mikroba sebagai sumber energi untuk pertumbuhannya dan nitrogen diperlukan untuk membentuk protein. Bahan dasar kompos yang mempunyai rasio C/N 20:1 hingga 35:1 sesuai untuk dikomposkan. Menurut Mathur (1980) mikroorganisme memerlukan 30 bagian C terhadap satu bagian N, sehingga rasio C/N 30 merupakan nilai yang diperlukan untuk proses pengomposan yang efisien. Terlalu besar rasio C/N (>40) atau terlalu kecil (<20) akan mengganggu kegiatan biologis proses dekomposisi. Bahan berkadar C/N tinggi bisa menyebabkan timbunan membusuk perlahan-lahan karena mikroba utama yang aktif pada suhu rendah adalah jamur. Hal ini berarti bahwa pembuatan kompos dari bahan-bahan keras seperti kulit biji-bijian yang keras dan berkayu, tanaman menjalar atau pangkasan-pangkasan pohon (semua dengan kadar C/N tinggi) harus dicampur dengan bahan- bahan berair seperti pangkasan daun dan sampah-sampah lunak. Bila tidak ada bahan hijauan yang mengandung nitrogen, dapat diganti dengan berbagai pupuk organik. Kelembapan. Timbunan kompos harus selalu lembap, dengan kandungan lengas 50-60%, agar mikroba tetap beraktivitas. Kelebihan air akan mengakibatkan volume udara jadi berkurang, sebaliknya bila terlalu kering proses dekomposisi akan berhenti. Semakin basah timbunan tersebut, harus makin sering diaduk atau dibalik untuk menjaga dan mencegah pembiakan bakteri anaerobik. Pada kondisi anaerob, penguraian bahan akan menimbulkan bau busuk. Sampah-sampah yang berasal dari hijauan, biasanya tidak membutuhkan air sama sekali pada waktu awal, tetapi untuk bahan dari cabang atau ranting kering dan rumput-rumputan memerlukan penambahan air yang cukup. Sirkulasi udara (aerasi). Aktivitas mikroba aerob memerlukan oksigen selama proses prombakan berlangsung (terutama bakteri dan fungi). Ukuran partikel dan struktur bahan dasar kompos mempengaruhi sistem aerasi. Makin kasar struktur maka makin besar volume pori udara dalam campuran bahan yang didekomposisi. Pembalikan timbunan bahan kompos selama proses dekomposisi berlangsung sangat dibutuhkan dan berguna mengatur pasokan oksigen bagi aktivitas mikroba. Nilai pH. Bahan organik dengan nilai pH 3-11 dapat dikomposkan. pH optimum berkisar antara 5,5-8,0. Bakteri lebih menyukai pH netral, sedangkan fungi aktif pada pH agak masam. Pada pH yang tinggi, terjadi kehilangan nitrogen akibat volatilisasi, oleh karena itu dibutuhkan kehati- hatian saat menambahkan kapur pada saat pengomposan. Pada awal proses pengomposan, pada umumnya pH agak masam karena aktivitas
  • 37.
    Pupuk Organik danPupuk Hayati 29 bakteri yang menghasilkan asam. Namun selanjutnya pH akan bergerak menuju netral. Variasi pH yang ekstrem selama proses pengomposan menunjukkan adanya masalah dalam proses dekomposisi. d. Metode pengomposan Beberapa metode pengomposan yang sering digunakan dan dipraktekkan secara sederhana adalah: 1. Metode Indore Bahan dasar yang digunakan adalah campuran antara sisa/residu tanaman, kotoran ternak, urine ternak, abu bakaran kayu, dan air. Bahan yang keras seperti ranting kayu tidak boleh melebihi 10% total berat bahan dasar. Semua bahan yang tersedia kemudian disusun menurut lapisan-lapisan dengan ketebalan masing-masing 15 cm, dengan total ketebalan timbunan 1,0-1,5 m. Lokasi pembuatan kompos dipilih yang agak tinggi dekat kandang ternak agar terbebas dari masalah penggenangan air. Lubang galian dibuat dengan kedalaman 1 m dan lebar 1,5-2,0 m dengan panjang lubang ter-gantung ketersediaan lahan. Selanjutnya, kotoran ternak yang telah disiapkan dimasukkan ke dalam lubang setebal 10-15 cm secara merata kemudian ditaburi dengan urine ternak yang dicampur tanah. Kelembapan tumpukan bahan dijaga pada kelembapan sekitar 90%. Selama proses pengomposan dilakukan pembalikan tiga kali pada 15, 30, dan 60 hari setelah kompos mulai dibuat. 2. Metode Heap Pengomposan dilakukan di permukaan tanah berukuran dasar 2 m, tinggi 1,5 m dan panjang 2 m. Bagian tepi dipadatkan dan di sekitar timbunan diberi peneduh atau pelindung. Sebagai lapisan dasar pertama adalah bahan yang kaya karbon setebal 15 cm (dedaunan, jerami, serbuk gergaji, dan batang jagung) kemudian lapisan berikutnya adalah bahan yang kaya nitrogen setebal 10-15 cm (residu sisa tanaman, rumput segar, kotoran ternak, dan sampah organik). Demikian seterusnya disusun bertumpuk hingga ketinggian 1,5 m, bahan dasar harus bervariasi agar proses dekomposisi berjalan dengan baik dan bila perlu dicacah agar lebih halus. Kelembapan dijaga dengan menambahkan air secukupnya dan proses pembalikan dilakukan setelah 6 dan 12 minggu proses pengomposan berlangsung.
  • 38.
    Setyorini et al. 30 3.Metode Bangalore Metode ini direkomendasikan apabila bahan dasar pembuat kompos yang digunakan adalah tinja dan sampah kota di daerah yang mempunyai curah hujan rendah. Metode ini mempunyai banyak kelemahan, dimana selama proses pengomposan bahan-bahan selalu berada di dalam lubang atau bak pengomposan. Selama proses pengomposan sekitar 3 bulan, tidak dilakukan proses penyiraman atau pembalikan. Permukaan kompos yang ditutup dengan lumpur menyebabkan kehilangan kelembapan dapat ditekan sehingga laju dekomposisi bahan-bahan berjalan sangat lambat dan dapat berlangsung hingga 6-8 bulan sampai kompos matan. Dalam proses ini tidak terjadi kehilangan karbon dan nitrogen sehingga kualitas kompos sangat tergantung pada bahan dasar yang digunakan. Metode yang dikembangkan di Bangalore, India ini kurang populer karena kesulitan dalam pengelolaan, waktu lama dan menimbulkan bau busuk dan lalat yang banyak. Gambar 3. Jerami, sumber bahan organik yang melimpah di lahan sawah dan proses pengomposan jerami secara langsung di lahan meng- gunakan mikroba dekomposer Foto: Diah Setyorini (2006)
  • 39.
    Pupuk Organik danPupuk Hayati 31 4. Metode Berkeley Metode pengomposan ini relatif cepat hanya sekitar 2 minggu dengan menggunakan bahan dasar campuran dua bagian bahan organik kaya selulosa dan satu bagian bahan organik yang kaya nitrogen dengan nilai rasio C/N sekitar 30:1. Bahan disusun berlapis-lapis 2,4 x 2,2 x 1,5 m dan dikomposkan dalam waktu 2 minggu. Selama 2-3 hari proses pengomposan berjalan terbentuk suhu tinggi sehingga secara berkala kompos harus dibalik dan diaduk. Setelah hari ke-10, suhu mulai menurun dan bahan berubah menjadi remah dan berwarna coklat gelap. 5. Vermikompos Prinsip dari metode ini adalah memanfaatkan cacing sebagai perombak bahan organik. Cacing tanah dapat memakan semua jenis bahan organik dengan kemampuan makan setara dengan berat badannya per hari. Kotoran cacing yang disebut kascing ini kaya nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, dan magnesium bentuk tersedia bagi tanaman, mengandung vitamin, enzim, dan mikroorganisme. Tapiador (1981) memprediksi dari sekitar 1.000 t bahan organik lembap dapat diubah menjadi 300 t vermikompos. Vermikompos dapat dibuat dalam skala kecil (sederhana) maupun skala besar (industri). Pada pembuatan skala kecil digunakan kotak dari papan kayu atau kotak plastik yang sudah tidak terpakai. Stirofoam atau logam tidak dianjurkan untuk membuat kotak vermikompos karena mengeluarkan racun ke dalam lingkungan hidup cacing, sedangkan logam menyerap panas, mudah berkarat dan mengeluarkan logam berat ke dalam vermikompos. Terdapat tiga cara pembuatan yaitu: (1) kotak tidak bersekat dimana cacing dan bahan organik ditempatkan di atas alas pada bagian dasar. Tipe ini sering digunakan namun mempunyai kesulitan saat memanen kompos karena cacing dan material kompos menyatu; (2) kotak bersekat vertikal berupa nampan- nampan yang disusun secara vertikal berisi bahan organik. Diharapkan, sebagian cacing akan bermigrasi ke lapisan nampan diatasnya. Apabila cacing yang bermigrasi sudah cukup, kompos di bawah bisa dipanen; dan (3) kotak bersekat horizontal dimana nampan diletakkan berdampingan untuk memberi kesempatan cacing tanah bermigrasi mencari sumber makanan pada kotak disampingnya. Ketika migrasi cacing ke kotak sebelahnya telah dianggap cukup, kompos yang sudah matang beserta cacing yang masih tertinggal bisa dipanen. Pembuatan vermikompos berskala besar menggunakan tempat terbuka, terdiri atas hamparan bahan organik lalu cacing melakukan pengomposan dengan memakan bahan organik tersebut. Cacing pada
  • 40.
    Setyorini et al. 32 umumnyatetap tinggal dan tidak meloloskan diri dari hamparan karena melimpahnya bahan makanan. Permukaan hamparan bahan organik sering diperkeras dengan beton untuk mencegah predators memakan populasi cacing tanah. Proses pembuatan vermikompos dilaksanakan melalui tiga tahap: (1) pengadaan bahan organik; (2) perbanyakan cacing tanah; dan (3) proses pengomposan. Bahan organik berupa campuran limbah dapur dan bahan mengandung karbon (kertas koran, serbuk gergaji, jerami, kardus, gambut, bahan-bahan lapuk, dan daun kering) diperlukan sebagai media berstruktur lepas untuk memudahkan cacing bernafas dan sebagai sarana proses dekomposisi aerobik. Aktivitas cacing optimal pada suhu 12-21 O C, cacing Pheretima hupiensis, optimal pada suhu media sekitar 28 o C, pada suhu 30 o C, kokon menetas, dan pada suhu 32 o C anak cacing mati. e. Waktu pengomposan Waktu yang diperlukan untuk proses pengomposan guna memperoleh kompos matang dan stabil tergantung pada beberapa faktor yaitu: (1) rasio C/N bahan dasar; (2) ukuran partikel; (3) keberadaan udara (keadaan aerobik); dan (4) kelembapan (Jain dalam FAO, 1980). Selama proses pengomposan, bahan kompos mengalami perombakan oleh beberapa spesies mikroorganisme yang akan berubah selama proses pengomposan berlangsung. Bakteri dan fungi yang tahan suhu tinggi akan dijumpai terutama pada tahap pertengahan dari periode pengomposan dimana pada saat ini suhu dalam tumpukan kompos (pile) tinggi. Dengan berlanjutnya proses pengomposan, kandungan (total) karbon akan menurun sementara kandungan nitrogen meningkat, kemudian suhu menjadi stabil. Pada akhir proses akan terbentuk kompos matang yang secara biologis bersifat stabil dengan C/N rasio relatif rendah. Kematangan kompos merupakan aspek yang penting dalam penentuan kualitas kompos. Penggunaan kompos yang tidak matang akan mendatangkan efek yang merugikan terhadap pertumbuhan tanaman karena panas yang ditimbulkan selama proses pengomposan berlangsung. Nilai C/N rasio dari suatu bahan organik merupakan aspek penting dalam pengomposan dan laju dekomposisi bahan organik. Mikro-organisme membutuhkan sumber karbon untuk pertumbuhan dan nitrogen untuk sintesis protein. Organisme biasanya membutuhkan 30 bagian dari berat karbon terhadap satu bagian nitrogen sehingga rasio C/N 30 merupakan nilai yang paling efisien untuk proses pengomposan. Pengomposan bahan- bahan yang mempunyai C/N rasio lebih tinggi memerlukan waktu pengomposan yang lebih lama. Untuk memperpendek waktu pengomposan
  • 41.
    Pupuk Organik danPupuk Hayati 33 digunakan bahan-bahan yang kaya akan nitrogen. Bahan tersebut dinamakan aktivator. Aktivator adalah segala bentuk substansi yang secara mikrobiologis akan menstimulir proses dekomposisi di dalam tumpukan kompos. Aktivator organik adalah materi yang mengandung nitrogen yang tinggi dalam berbagai bentuk seperti protein, asam amino, urea, dan lain-lain. Bahan- bahan tersebut terdapat dalam manure, darah, sampah, kompos, dan tanah yang mengandung humus. Faktor yang mempengaruhi mutu kompos Mutu kompos dipengaruhi oleh tipe dan mutu dari bahan dasar-nya, serta mutu dari proses pengomposannya. Proses pengomposan dipengaruhi oleh beberapa parameter, seperti ukuran partikel, kandungan air, skrening, formasi timbunan, aerasi, dan sebagainya. Mutu kompos yang sudah siap dipakai sangat tergantung kepada tingkat kontaminan dari bahan pembentuknya. Bahan organik dapat tercemar melalui air yang tercemar, sumber bahan organik, dan residu pestisida. Sumber logam berat yang mencemari kompos tersebut antara lain: baterai (merkuri, kadminium, plumbum, dan seng), kulit (kromium), cat (kromium, plumbum, dan kadmium), plastik (kadmium, plumbum, dan nikel), pelapis cahaya (plumbum), kertas (plumbum), elektronik (plumbum dan kadmium), keramik (plumbum dan kadmium), kosmetika (kadmium dan seng), dan debu. Masalah logam berat Masalah yang paling utama pada produksi kompos adalah hadirnya logam atau bahan beracun yang berbahaya, baik untuk kesehatan manusia maupun untuk pertumbuhan tanaman. Bahan dasar kompos yang paling banyak digunakan adalah sampah kota dan sewage. Bahan tersebut dapat mengandung logam berat yang cukup tinggi seperti arsen (As), kadmium (Cd), dan timah (Pb). Unsur-unsur ini akan terserap oleh tanaman dan termakan oleh manusia dan akhirnya akan mengkontaminasi seluruh rantai makanan. Tiap negara mempunyai peraturan yang berbeda untuk nilai logam berat yang diperbolehkan berada dalam kompos yang dihasilkan. Di Florida maksimum Cd dan Pb dalam kompos adalah masing-masing 15 mg kg -1 dan 500 mg kg -1 . Canada 3 mg kg -1 dan 150 mg kg -1 . Korea 5 mg kg -1 dan 150 mg kg -1 (Setyorini dan Prihatini, 2003). Petunjuk atau peraturan ini merupakan bentuk pengamanan terhadap kualitas kompos yang harus diikuti dengan cara monitoring secara teratur yang dilakukan oleh pihak produsen juga oleh pemerintah. Di Korea telah dibuat suatu peraturan mengenai kriteria kandungan logam berat dalam bahan dasar kompos yang akan digunakan, yaitu: (dalam mg kg -1 ) As (<50), Hg (<2), Pb (<150), Cd
  • 42.
    Setyorini et al. 34 (<5),Cu (<500), Cr (<300), Zn (<900), dan Ni (<50) (Myung and Youn Lee, 2001 dalam Setyorini dan Prihatini, 2003). Seleksi ini penting dilakukan terutama untuk material kompos yang berasal dari sampah kota, industri makanan, tekstil, pembuatan oli, aki, dan lain-lain. Hasil yang dicapai dengan adanya peraturan ini sangat signifikan, karena saat itu banyak produsen pupuk organik yang ingin mencari keuntungan maksimal dengan menggunakan bahan dasar kompos yang kurang baik. Dengan adanya peraturan tersebut, maka pemalsuan pupuk organik dapat dikendalikan. Kematangan kompos Agar dapat digunakan sebagai bahan penyubur tanah, kompos harus benar-benar stabil (matang). Beberapa metode dan parameter yang diuji untuk menentukan derajat kestabilan kompos, antara lain: (1) karbon/nitrogen (rasio C/N); (2) stabilitas terhadap pemanasan; (3) reduksi dalam bahan organik; dan (4) parameter humifikasi. Peneliti lain menunjukkan indikator kematangan kompos seperti disajikan pada (Tabel 8) antara lain penetapan rasio C/N, pH, KTK, sedangkan sifat-sifat yang perlu diketahui pada tingkat petani yaitu warna kompos serta aroma. Kompos yang sudah matang berwarna coklat gelap dan berbau tanah (earthy) (Yang, 1996). Tabel 8. Beberapa indikator kematangan kompos Parameter Indikator Pustaka Suhu Stabil Stickelberger, 1975 pH Alkalis Jaun et al.,1959 COD Stabil Yang et al.,1993 BOD Stabil Yang et al.,1993 C/N rasio < 20 Juste,1980 Laju respirasi < 10 mg g -1 kompos Morel et al., 1979 Warna Coklat tua Sugahara et al.,1982 Bau Earthy Chanyasak et al.,1982 KTK > 60 me 100g -1 abu Harada et al.,1971 Sumber: Yang,1996 Departemen Pertanian RI telah menerbitkan Permentan No. 02/Pert/III/2006 tentang tata cara pendaftaran pupuk organik yang juga mengatur tentang kriteria minimal mutu pupuk organik. Pembicaraan mengenai standarisasi pupuk organik ini akan disampaikan pada Bab 11 di dalam buku ini.
  • 43.
    Pupuk Organik danPupuk Hayati 35 Keuntungan dan kelemahan penggunaan kompos Selain bernilai positif, penggunaan kompos juga mempunyai pengaruh yang negatif atau merugikan. Penggunaan kompos yang belum matang akan menyebabkan dekomposisi pada kondisi anaerobik. Hal tersebut akan menghasilkan senyawa fitotoksik dari asam-asam organik, amoniak, nitrit-nitrogen, besi, dan mangan. Untuk mengatasi hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan kompos yang telah memenuhi standar yang telah ditentukan. Salah satu kriteria mutu kompos yang baik adalah nisbah C/N. Nisbah C/N yang tinggi (30:1) pada kompos yang belum matang menyebabkan dekomposisi yang lambat dan menghambat pertumbuhan tanaman karena kekurangan nitrogen tersedia. Sedangkan nisbah C/N yang rendah (15:1) menyebabkan nitrat-N yang dapat mengurangi mutu tanaman pertanian atau perkolasi ke dalam suplai air. Rasio C/N kompos yang matang menurut MSW sekitar 20. Mutu kompos tidak hanya ditentukan oleh kematangan kompos tersebut dan kandungan haranya tetapi juga ditentukan oleh kandungan polutan terutama logam berat dan bahan kimia organik seperti pestisida. Penggunaan kompos yang tercemar oleh bahan- bahan polutan dalam waktu yang lama akan menyebabkan terakumulasinya bahan pencemar tersebut dalam tanah. Akumulasi bahan polutan tersebut akan menyebabkan toksik bagi tanaman, atau juga diambil dan diserap oleh tanaman lalu dikonsumsi oleh hewan atau manusia sehingga bersifat toksik juga pada hewan atau manusia yang mengkosumsinya. Logam berat yang merupakan polutan bagi tanaman, hewan dan kesehatan manusia antara lain arsenik (As), boron (B), kadminium (Cd), kuprum (Cu), merkuri (Hg), molibdenum (Mo), nikel (Ni), plumbum (Pb), selenium (Se), dan seng (Zn). Namun demikian banyak negara telah membuat standar untuk kandungan logam berat ini kecuali untuk boron, molibdenum, dan selenium. Beberapa bahan yang dapat dikomposkan dapat merupakan masalah bagi kesehatan manusia. Kebanyakan sisa-sisa organik dari manusia dan hewan mengandung berbagai macam mikroorganisme patogenik. Namun demikian jika dalam proses pengomposan mengikuti proses produksi yang aman untuk pengomposan, hal tersebut dapat dicegah. Penggunaan suhu 55 o C selama 2-3 hari pada waktu pengomposan dapat mematikan mikroorganisme yang patogen tersebut. Dalam pembuatan vermikompos, masalah yang sering timbul adalah bau busuk disebabkan terlalu banyak hijauan di dalam kotak, terutama terlalu banyak nitrogen yang bercampur dengan hidrogen dan membentuk amoniak. Untuk menetralkan bau ini, dapat ditambahkan sejumlah bahan karbon lalu dicampur. Karbon akan menyerap nitrogen dan membentuk
  • 44.
    Setyorini et al. 36 campuranyang tidak berbau. Kertas dan daun kering merupakan sumber karbon yang bagus. Penambahan karbon terlalu banyak menyebabkan proses dekomposisi lambat. Pengkayaan kompos untuk peningkatan kualitas Dasar pemikiran Kompos mempunyai kandungan hara yang rendah dibandingkan dengan pupuk sintetis pabrik. Namun kompos memiliki keuntungan lain yang tidak dimiliki oleh pupuk mineral, seperti peran untuk memperbaiki struktur fisik tanah dan mikrobiologi tanah. Berbagai substansi dapat meningkatkan status hara dalam kompos. Meskipun penambahan pupuk pabrik dapat meningkatkan kandungan hara dalam kompos, tetapi cara ini tidak dianjurkan karena pupuk nitrogen yang ditambahkan akan menguap selain itu penambahan pupuk tidak akan menyebabkan meningkatnya hara kompos. Pupuk mineral tergolong mahal dan hanya mampu menyuplai satu atau dua nutrisi untuk pertumbuhan tanaman. Pengkayaan kompos dimaksudkan untuk meningkatkan status nutrisinya. Pupuk P-alam, tepung tulang serta darah kering dapat ditambahkan karena bahan-bahan tersebut, selain mengandung hara makro juga mengandung hara mikro serta harganya relatif murah dibandingkan pupuk pabrik. Penambahan nitrogen dapat dilakukan secara mikrobiologis yaitu dengan cara inokulasi dengan bakteri Azotobacter, sedangkan penambahan mikroorganisme pelarut fosfat dapat meningkatkan ketersediaan P dalam kompos. Inokulasi kompos dengan mikroorganisme harus dilakukan pada saat suhu kompos sudah stabil yaitu sekitar 30-35 o C (Gaur, 1980b). Pengapuran pada timbunan kompos Hasil kompos terbaik mempunyai pH mendekati netral atau sedikit ke arah alkali. Untuk mencapai nilai pH netral, untuk bahan kompos yang sifatnya masam perlu ditambahkan kapur pada saat proses pengomposan. Bahan kapur yang biasa digunakan adalah kapur pertanian (kaptan), dolomit, dan kalsium karbonat. Selain itu, limbah atau hasil samping industri berupa ampas bijih atau terak dapat pula digunakan sebagai bahan pengapuran kompos. Pengkayaan dengan fosfor Pengkayaan kompos dengan fosfor dilakukan dengan menambahkan superfosfat atau fosfat alam sebanyak 5% saat proses pengomposan. Sumber lain yang bisa digunakan adalah bahan alami seperti tulang yang dijadikan tepung, dan darah kering. Batuan fosfat alam yang dipakai sebaiknya mengandung kadar fosfat rendah (<11%). Batuan ini lebih
  • 45.
    Pupuk Organik danPupuk Hayati 37 menguntungkan karena mengandung kalsium dan unsur mikro. Selain fosfor, tepung tulang juga menyediakan nitrogen sekitar 2-4%. Tepung tulang yang telah direbus mengandung nitrogen lebih sedikit dibanding yang alami. Terak baja mengandung kalsium, magnesium, dan hara lain setara dengan sumber fosfor yang lain. Sedangkan pohon pisang mengandung 1- 1,5% fosfor saat berbentuk abu. Pengkayaan dengan kalium Serbuk granit atau kalium bubuk mengandung material seperti feldspar yang dapat ditambahkan untuk memperkaya kompos. Bunga bakung air, kulit dan batang pisang merupakan tanaman yang kaya unsur kalium dan mineral lain yang diperlukan tanaman. Kulit dan batang pisang mengandung 34-42% kalium, rumput laut kaya akan iodine, boron, tembaga, magnesium, kalsium, dan fosfor. Dedaunan seperti tithonia (kirinyu dan kipait) merupakan salah satu sumber yang dapat ditambahkan dalam bahan dasar kompos. Kulit kentang dan kentang kering mengandung 1% kalium, 4% kalsium, dan 1% magnesium. Pengkayaan dengan nitrogen Penambahan senyawa nitrogen yang mengandung 2% N akan menurunkan rasio C/N sampai ke angka 10, namun aplikasi ini tidak ekonomis karena biaya produksi menjadi mahal. Padahal teknologi pengomposan menghendaki bahan pengkaya yang murah dan dapat diperoleh dengan mudah. Pengkayaan dengan mikroba Kompos merupakan media dan lingkungan yang baik untuk pertumbuhan bakteri heterotrof dan kemoautotrof. Faktor yang membatasi pertumbuhan mikroba menguntungkan adalah kadar nitrogen serta bahan dasar kompos yang mempunyai rasio C/N yang besar. Dalam kondisi seperti ini, dapat diupayakan untuk menambah mikroba penambat nitrogen dari atmosfer untuk mengurangi kompetisi dari mikroorganisme lain yang tidak dapat menambat nitrogen. Organisme-organisme ini secara aktif dapat menurunkan rasio C/N kompos dan memperkayanya dengan bakteri penambat nitrogen seperti Azotobacter. Penambahan mikroba pelarut fosfor akan meningkatkan kualitas kompos setara dengan penambahan fosfor dari hewan dan tumbuhan. Mikroba pelarut fosfor ini akan merombak batuan fosfat yang tidak larut dan bentuk mineral fosfor yang tidak tersedia menjadi bentuk yang tersedia bagi tanaman.
  • 46.
    Setyorini et al. 38 Gambar4. Bahan pengkaya kompos seperti P-alam, dolomit, dan mikroba (kiri) dan proses pengayakan kompos yang telah matang sebelum ditambah bahan pengkaya (kanan) Gambar 5. Proses pencampuran bahan pengkaya dolomit, P-alam, dan mikroba multiguna (MTM) pada kompos yang telah matang dan diayak Foto: Saraswati (2006) DAFTAR PUSTAKA Alexander, M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. New York: John Wiley and Sons. Anonim. 1991. Penelitian dan Pengembangan Pupuk Kompos Sampah Kota. Kerjasama Penelitian antara Center for Policy and Implementation Studies dengan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
  • 47.
    Pupuk Organik danPupuk Hayati 39 Biddlestone, A.J., and K.R. Gray. 1985. Composting. In C.W. Robinson and J.A. Howel (Eds.). Comprehensive Biotechnology. Vol. 4. Pergamon Press, Oxford, U.K. CPIS (Centre for Policy and Implementation Studies) dan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. (1991). Penelitian dan Pengembangan Pupuk Kompas Sampah Kota. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Eriksson, K.E.L., R.A. Blanchette, and P. Ander. 1989. Microbial and Enzymatic Degradation of Wood and Wood Components. Springer- Verlag Heildeberg. New York. FAO. 1980. Mechanized compost plant, Delhi. In Compost Technology. Project Field Document No. 13. FAO. 1987. Princples of composting. In Soil Management: Compost Production and use in Tropical and Sub-tropical Environments. FAO Soils Bulletin 56. Gaur, A.C.1980a. Rapid composting. In Compost Technology. Project Field Document No. 13. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Gaur, A.C. 1980b. A Manual of Rural Composting. Project Field Document No. 15. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Garcia C, Hernandez T, Costa F, Ceccanti B. 1994. Biochemical parameters in soils regenerated by the addition of organic wastes. Wastes Management and Res. 12: 457-466. Haug, R.T. 1980. Composting Engineering and Practices. Ann Arbor Science, Michigan. Kurnia, U., D. Setyorini, T. Prihatini, S. Rochayati, Sutono dan H. Suganda. 2001. Perkembangan dan Penggunaan Pupuk Organik di Indonesia. Rapat Koordinasi Penerapan Penggunaan Pupuk Berimbang dan Peningkatan Penggunaan Pupuk Organik. Direktorat Pupuk dan Pestisida, Direktorat Jendral Bina Sarana Pertanian, Jakarta, Nopember 2001. Ladd, J.N. 1985. Soil enzymes. p. 175-221. In D. Vaughan and R.E. Malcolm (Eds.). Soil Organik Matter and Biological Activity. The Hague, the Netherlands, Nijhoff & Junk Publ. Mathur, R.S. 1980. Use of Indigenous Materials for Accelerating Composting In. Compost Technology. FAO Project Field Document No. 13. Myung Ho Un and Youn Lee. 2001. Evaluation of organic waste for composting and quality control of commercial composts in Korea.
  • 48.
    Setyorini et al. 40 InternationalWorkshop on Recent Technologies of Composting and their Application. Ladd, J.N. 1985. Soil enzymes. p. 175-221. In D. Vaughan and R.E. Malcolm (Eds.). Soil Organik Matter and Biological Activity. The Hague, the Netherlands, Nijhoff & Junk Publ.. Mathur, R.S. 1980. Use of Indigenous Materials for Accelerating Composting In. Compost Technology. FAO Project Field Document No. 13. Rao, S.S.N. 1975. Soil Microorganism and Plant Growth. Oford & IBH Publ. Co. New Delhi, India. Sibuea, L.H., K. Prastowo, Moersidi S., dan Edi Santoso. 1993. Penambahan pupuk untuk mempercepat pembuat kompos dari bahan sampah pasar. hlm. 267-280 dalam Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah dan Agroklimat: Bidang Kesuburan dan Produktivitas Tanah. Bogor, 18-21 Februari 1993. Puslittanak, Bogor. Setyorini, D. 2003. Persyaratan mutu pupuk organik untuk menunjang budidaya pertanian organik. Disampaikan pada Seminar Sehari Penggunaan Pupuk Organik. BPTP DI Yogyakarta. Setyorini, D. dan Prihatini, T. 2003. Menuju “quality control” pupuk organik di Indonesia. Disampaikan dalam Pertemuan Persiapan Penyusunan Persyaratan Minimal Pupuk Organik di Dit. Pupuk dan Pestisida, Ditjen Bina Sarana Pertanian, Jakarta 27 Maret 2003. Sutanto, R. 2002. Pertanian Organik: Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Tan, K.H. 1991. Dasar-dasar Kimia Tanah. Didiek, H.G (penerjemah). Edisi I. Gadjah Mada University Press. Tan, K.H. 1993. Environmental Soil Science. Marcel Dekker. Inc. New York. Tapiador, D.D. 1981. Vermiculite and its potential in Thailand and other Asian countries. First National Earthworm Grower’s Convention, Manila Philippines. Yang, S.S. 1996. Preparation and characterization of compost. In Proceedings of International Training Workshop on Microbial Fertilizers and Composting. October 15-22, 1996 Taiwan Agricultural Research Institute Taichung, Taiwan, Republic of China.FFTC and TARI.
  • 59.
    1 PERTUMBUHAN DAN PRODUKSIKACANG HIJAU (Vigna radiata L.) MELALUI PEMBERIAN PUPUK PHONSKA Mesty W. Rahman Pembimbing : Moh. Ikbal Bahua dan Nurmi ABSTRAK Pertumbuhan dan Produksi Kacang Hijau (Vigna radiata L.) melalui Pemberian Pupuk Phonska di Desa Molingkapoto Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara. Di bawah bimbingan Moh. Ikbal Bahua sebagai pembimbing I dan Nurmi sebagai pembimbing II. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pertumbuhan kacang hijau (Vigna radiata L.) melalui pemberian pupuk phonska dan produksi kacang hijau (Vigna radiata L.) melalui pemberian pupuk phonska. Penelitian ini disusun menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan empat perlakuan yakni P0 (tanpa pupuk), P1 (200 kg/ha), P2 (250 kg/ha), dan P3 (300 kg/ha) dan diulang sebanyak tiga kali. Hasil penelitian menunjukan pertumbuhan kacang hijau melalui pemberian pupuk phonska berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman dan jumlah tangkai pada umur 30 HST dan 57 HST pada perlakuan pupuk phonska dengan dosis pupuk 300 kg/ha. Produksi kacang hijau melalui pemberian phonska berpengaruh nyata terhadap jumlah polong setiap tangkai, jumlah biji per polong, panjang polong, dan produksi real pada perlakuan pupuk phonska dengan dosis pupuk 300 kg/ha. Kata Kunci : Pertumbuhan, Produksi kacang hijau, Pupuk Phonska PENDAHULUAN Kacang hijau merupakan jenis tanaman leguminose dan tahan akan kekeringan, sehingga mempunyai potensi besar untuk dikembangkan. Dalam hal pengembangan potensinya. Untuk itu dalam mencapai pertumbuhan dan produktivitas yang maksimal perlu adanya pemupukan yang baik dan benar. Pemupukan merupakan faktor penting guna menunjang pertumbuhan dan produksi suatu tanaman. Dengan adanya pemupukan, tanaman dapat tumbuh optimal dan berproduksi maksimal. Pemupukan yang tepat sesuai aturan, baik dari segi jenis pupuk, dan dosis dapat meningkatkan laju pertumbuhan tanaman. Kacang hijau dalam pertumbuhannya mampu mengikat Nitrogen (N) dari udara bebas, karena mempunyai bintil akar yang berfungsi sebagai bakteri rhizobium. Untuk itu pemberian pemupukan N perlu diperhatikan pada proses budidaya kacang hijau. Terdapat dua jenis pupuk yang digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman, yaitu: pupuk organik dan pupuk anorganik. Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari pupuk kandang atau kotoran hewan yang sudah mengalami dekomposisi oleh mikroorganisme tanah, sedangkan pupuk anorganik adalah pupuk yang dibuat dari pabrik yang unsur haranya sengaja ditambahkan ke dalam pupuk tersebut sebagai suatu unsur hara yang dikandung oleh pupuk itu. Umumnya pupuk organik yang dikenal oleh petani berupa pupuk kompos, pupuk hijau dan pupuk kandang, sedangkan pupuk anorganik merupakan pupuk yang dibuat di pabrik-pabrik dari bahan-bahan kimia yang berkadar tinggi yang dapat membantu pertumbuhan dan produksi tanaman. Pupuk anorganik mengandung beberapa keutamaan seperti kadar unsur hara yang tinggi, kemampuan menyerap dan melepaskan airnya tinggi serta mudah larut dalam air, sehingga mudah diserap tanaman. Umumnya dikenal petani adalah pupuk urea, SP-36, dan pupuk KCl. Sesuai dengan perkembangan potensi pasar dan kadar kandungan pupuk SP-36 yang setiap saat berubah-
  • 60.
    2 ubah, maka pupukSP-36 yang merupakan unsur dari pupuk P (phospor), maka dikenal pupuk phonska sebagai pengganti pupuk P dikalangan petani (Hardjowigeno, 1987). Berdasarkan penjelasan di atas, maka perlu dilakukan suatu penelitian tentang pertumbuhan dan produksi kacang hijau (Vigna radiata L.) melalui pemberian pupuk phonska. Dengan dilaksanakannya penelitian ini untuk melihat potensi produksi dan pertumbuhan kacang hijau sebagai salah satu alternatif untuk meningkatkan pendapatan petani. METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Molingkapoto Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai dengan Juni 2013. Alat dan bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini, terdiri dari: cangkul, tajak, potongan bambu sebagai patok atau sebagai penanda (sampel), tali rapia, gunting, meteran, tugal, timbangan, wadah plastik, kantong plastik, alat tulis menulis dan kamera. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini, terdiri dari: Benih Kacang Hijau varietas Vima 1, Pupuk phonska. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan empat perlakuan dan diulang sebanyak tiga kali. Perlakuan yang diujicobakan sebagai berikut : 1. P0 = Tanpa Pupuk. 2. P1 = 200 Kg/ha 3. P2 = 250 Kg/ha 4. P3 = 300 Kg/ha Prosedur Penelitian Sebelum melakukan penelitian terlebih dahulu melakukan peninjauan lokasi penelitian. Tanah yang digunakan pada penelitian ini di analisis menggunakan PUTK (Perangkat Uji Tanah Kering). Analsis tanah bertujuan untuk mengetahui kandungan unsur hara pada tanah tersebut. Prosedur penelitian yang dilaksanakan adalah sebagai berikut : a. Penyiapan Lahan Lahan yang akan ditanami diolah hingga cukup gembur untuk pertumbuhan tanaman yang optimal. Selain itu, lahan sebaiknya bebas dari gulma. Penyiapan lahan meliputi pengolahan tanah yakni dengan menggunakan traktor. Kemudian dilakukan pembuatan plot yakni dengan ukuran 2 m x 3 m, jarak antar plot 1 m. b. Penanaman Kacang hijau yang ditanam adalah benih yang bersertifikat agar bisa menunjang penelitian berhasil. Penanaman benih dilakukan dengan cara ditugal sedalam 3 - 4 cm dari permukaan tanah dan disetiap lubangnya diisi satu butir lalu ditutup kembali dengan tanah. Jarak tanam kacang hijau yaitu 30 cm x 20 cm. c. Pemupukan Pupuk yang diaplikasikan pada kacang hijau adalah pupuk anorganik phonska. Pemupukan kacang hijau diberikan sebanyak dua kali yaitu pada saat tanaman berumur satu minggu setelah tanam dan 30 hari setelah tanam. Pupuk diberikan ke masing-masing perlakuan dengan dosis yang berbeda, berikut dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
  • 61.
    3 Tabel 1. Dosispupuk phonska pada pemupukan pertama dan kedua Perlakuan Jumlah penggunaan pupuk phonska (kg/ha) Pemupukan I Pemupukan II Tanpa pupuk 0 0 200 120 80 250 150 100 300 180 120 Tabel 2. Dosis pemberian pupuk phonska pertama dan kedua diberikan dalam setiap perlakuan (gram) Perlakuan Jumlah penggunaan pupuk phonska (g) Pemupukan I Pemupukan II Tanpa pupuk 0 0 200 1.125 0.75 250 1.406 0.935 300 1.688 1.125 d. Pemeliharaan Pemeliharaan kacang hijau meliputi pengairan, penyulaman, penyiangan pengendalian hama dan penyakit. Kacang hijau relatif tahan kering, namun tetap memerlukan pengairan terutama pada periode kritis yaitu pada waktu perkecambahan, menjelang berbunga dan pembentukkan polong. Penyulaman dilakukan pada tanaman yang mati atau tumbuh abnormal, penyulaman dilakukan 2 minggu setelah tanam. Penyiangan dilakukan dua kali yakni pada umur 2 dan 4 minggu tergantung dengan pertumbuhan gulma. Untuk pengendalian hama dan penyakit dilakukan saat tanaman mulai berbunga, yakni dengan menyemprotkan pestisida. e. Panen Panen kacang hijau dilakukan pada saat tanaman sudah berumur 57 hari atau sesuai umur varietas yakni dengan memiliki ciri-cirinya adalah berubahnya warna polong dari hijau menjadi hitam atau coklat dan kering serta mudah pecah. Panen dilakukan dengan cara dipetik. Variabel yang diamati Komponen variabel yang diamati pada penelitian ini adalah tinggi tanaman, jumlah tangkai, jumlah polong setiap tangkai, jumlah biji perpolong, panjang polong, dan produksi real. Analisis Data Data hasil penelitian ini dianalisis dengan menggunakan analisis of varians (anova). Apabila terdapat perlakuan yang menunjukan perbedaan yang nyata dilakukan uji lanjut dengan uji BNT pada taraf 5 % dan menggunakan Tabel notasi untuk menentukan perbedaan terhadap setiap perlakuan. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian a. Tinggi Tanaman Data tinggi tanaman dan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pertumbuhan dan produksi kacang hijau melalui pemberian pupuk phonska berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman kacang hijau pada umur 30 HST dan umur 57 HST. Rataan tinggi tanaman kacang hijau dapat dilihat pada Tabel 3.
  • 62.
    4 Tabel 3. RataanTinggi Tanaman Kacang Hijau melalui Pemberian Pupuk Phonska Perlakuan Rataan Tinggi Tanaman Kacang Hijau (cm) 30 HST 57 HST Tanpa Pupuk Phonska 16.30 a 38.20 a Pupuk Phonska 200 kg/ha 23.80 b 49.40 b Pupuk Phonska 250 kg/ha 24.40 b 51.60 b Pupuk Phonska 300 kg/ha 28.77 b 54.87 b BNT 5 % 6.29 7.98 KK (%) 3 8 Ket: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata terhadap tinggi tanaman kacang hijau pada taraf nyata 5% Hasil uji BNT pada Tabel 3 di atas menunjukan bahwa pemberian pupuk phonska terhadap tinggi tanaman kacang hijau dengan rataan tertinggi terdapat pada perlakuan pupuk phonska 300 kg/ha yaitu umur 30 HST (28,77 cm) dan umur 57 HST (54,87 cm), sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan tanpa pupuk phonska yaitu umur 30 HST (16,30 cm) dan umur 57 HST (38,20 cm). Perlakuan pupuk phonska 300 kg/ha berbeda nyata dengan perlakuan pupuk phonska 250 kg/ha, 200 kg/ha, dan tanpa perlakuan pupuk pada uji BNT 5%. b. Jumlah Tangkai Data jumlah tangkai dan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pertumbuhan dan produksi kacang hijau melalui pemberian pupuk phonska berpengaruh nyata terhadap jumlah tangkai kacang hijau pada 30 HST dan umur 57 HST. Rataan jumlah tangkai kacang hijau dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Rataan Jumlah Tangkai Kacang Hijau melalui Pemberian Pupuk Phonska Perlakuan Rataan Jumlah Tangkai Kacang Hijau (Cabang) 30 HST 57 HST Tanpa Pupuk Phonska 3.35 a 4.67 a Pupuk Phonska 200 kg/ha 4.52 a 5.47 a Pupuk Phonska 250 kg/ha 5.19 ab 6.00 a Pupuk Phonska 300 kg/ha 5.76 b 7.77 b BNT 5 % 1.25 1.88 KK (%) 13 Ket: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata terhadap tinggi tanaman kacang hijau pada taraf nyata 5% Hasil uji BNT pada Tabel 4 di atas menunjukan bahwa pemberian pupuk phonska terhadap jumlah tangkai kacang hijau dengan rataan tertinggi pada umur 30 HST diperoleh pada perlakuan pupuk phonska 300 kg/ha yaitu 5,76 cabang dan terendah terdapat pada perlakuan tanpa pupuk yaitu 3,35 cabang. Perlakuan pupuk phonska 300 kg/ha berbeda nyata dengan perlakuan pupuk phonska 300 kg/ha, 250 kg/ha dan tanpa perlakuan pupuk pada uji BNT 5%. Umur 57 HST jumlah tangkai kacang hijau rataan terendah terdapat pada perlakuan tanpa pupuk yaitu 4,67 cabang sedangkan rataan yang tertinggi terdapat pada perlakuan pupuk phonska 300 kg/ha yaitu 7,77 cabang. Perlakuan pupuk phonska 300 kg/ha berbeda nyata dengan perlakuan pupuk phonska 200 kg/ha, 250 kg/ha dan tanpa perlakuan pada uji BNT 5%. c. Jumlah Polong setiap Tangkai Data jumlah polong setiap tangkai dan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pertumbuhan dan produksi kacang hijau melalui pemberian pupuk phonska berpengaruh
  • 63.
    5 nyata terhadap jumlahpolong setiap tangkai kacang hijau. Rataan jumlah polong setiap tangkai kacang hijau dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Rataan Jumlah Polong setiap Tangkai Kacang Hijau melalui Pemberian Pupuk Phonska Perlakuan Rataan Jumlah Polong setiap Tangkai Kacang Hijau (Polong) Tanpa Pupuk Phonska 9.47 a Pupuk Phonska 200 kg/ha 12.73 b Pupuk Phonska 250 kg/ha 13.53 bc Pupuk Phonska 300 kg/ha 15.20 c BNT 5 % 2.23 KK (%) 8 Ket: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata terhadap tinggi tanaman kacang hijau pada taraf nyata 5% Hasil uji BNT pada Tabel 5 di atas menunjukan bahwa rataan jumlah polong setiap tangkai rataan tertinggi terdapat pada perlakuan pupuk phonska 300 kg/ha yaitu 15,20 polong, sedangkan rataan yang terendah terdapat pada perlakuan tanpa pupuk phonska yaitu 9,47 polong. Perlakuan pupuk phonska 250 kg/ha berbeda nyata dengan perlakuan pupuk phonska 250 kg/ha, 200 kg/ha dan tanpa perlakuan pupuk pada uji BNT 5%. d. Jumlah Biji Perpolong Data jumlah biji perpolong dan hasil analisis sidik ragam menunjukan bahwa jumlah biji perpolong kacang hijau berpengaruh nyata akibat pemberian pupuk phonska. Selanjutnya dilakukan Uji BNT (Beda Nyata Terkecil) untuk melihat perbedaan dari masing-masing dosis perlakuan phonska yang diberikan pada kacang hijau. Rataan jumlah biji perpolong kacang hijau dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Rataan Jumlah Biji Perpolong Kacang Hijau melalui Pemberian Pupuk Phonska. Perlakuan Rataan Jumlah Bji Perpolong Kacang Hijau (biji) Tanpa Pupuk Phonska 7.03 a Pupuk Phonska 200 kg/ha 7.70 a Pupuk Phonska 250 kg/ha 9.22 ab Pupuk Phonska 300 kg/ha 10.35 b BNT 5% 1.86 KK (%) 10.88 Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata terhadap jumlah biji perpolong kacang hijau. Tabel 6 di atas menjelaskan bahwa perlakuan dengan dosis pupuk phonska 300 kg/ha yang memiliki jumlah biji perpolong tertinggi (10.35 biji) dan perlakuan dengan jumlah biji perpolong terendah (7.03 biji) adalah perlakuan tanpa pupuk. e. Panjang Polong Data pajang polong dan hasil analisis sidik ragam menunjukan bahwa pupuk phonska berpengaruh nyata pada panjang polong kacang hijau. dan untuk melihat perbedaan dari masing-masing perlakuan pupuk phonska yang diberikan pada kacang hijau dilakukan Uji BNT (Beda Nyata Terkecil). Dari ke empat macam perlakuan yang diberikan pada kacang hijau, perlakuan yang meghasilkan panjang polong tertinggi adalah perlakuan dengan dosis pupuk phonska 300 kg/ha yakni 9,02 cm dan perlakuan yang menghasilkan panjang polong terendah adalah perlakuan tanpa pupuk yakni 6,36 cm. Rataan panjang polong kacang hijau dapat dilihat pada Tabel 7 dibawah ini.
  • 64.
    6 Tabel 7. RataanPanjang Polong Kacang Hijau melalui Pemberian Pupuk Phonska. Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata terhadap panjang polong kacang hijau. f. Produksi Real Data produksi real dan hasil analisis sidik ragam menunjukan bahwa pemberian pemberian pupuk phonska berpengaruh nyata pada produksi real kacang hijau. Selanjutnya dilakukan Uji BNT untuk melihat perbedaan dari masing-masing perlakuan yang diuji cobakan pada kacang hijau. Rataan produksi real kacang hijau dapat dilihat pada Tabel 8 di bawah ini. Tabel 8. Rataan Produksi Real Kacang Hijau melalui Pemberian Pupuk Phonska Perlakuan Rataan Produksi Real Kacang Hijau (kg) Tanpa Pupuk Phonska 83.33 a Pupuk Phonska 200 kg/ha 106.67 a Pupuk Phonska 350 kg/ha 136.67 a Pupuk Phonska 300 kg/ha 208.33 b BNT 5% 61.33 KK (%) 3069.79 Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata terhadap produksi real kacang hijau. Tabel 8 di atas menjelaskan bahwa produksi real kacang hijau yang tertinggi terdapat pada perlakuan pupuk phonska dengan dosis 300 kg/ha yakni 208,33 kg dan produksi real kacang hijau terendah terdapat pada perlakuan tanpa pupuk yakni 83,33 kg. Perlakuan pupuk phonska dengan dosis tertinggi 300 kg/ha berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (tanpa pupuk, 200 kg/ha, dan 250 kg/ha). B. Pembahasan a. Tinggi Tanaman Hasil analisis data pertumbuhan dan produksi kacang hijau melalui pemberian pupuk phonska menunjukan bahwa tinggi tanaman kacang hijau berpengaruh nyata pada umur 30 HST dan umur 57 HST, ini ditunjukkan dengan pertumbuhan tinggi tanaman kacang hijau terbaik terdapat pada perlakuan pupuk phonska dengan dosis 300 kg/ha dan berbeda nyata dengan perlakuan pupuk phonska 250 kg/ha, 200 kg/ha dan tanpa perlakuan pupuk. Hal ini karena pemberian pupuk phonska dengan dosis 300 kg/ha mampu mencukupi kebutuhan unsur hara di dalam tanah dan tanaman, pernyataan ini sesuai dengan penelitian Hamidah (2009) bahwa pemupukan phonska berbeda sangat nyata terhadap tinggi tanaman, hal ini disebabkan karena tercukupinya kebutuhan unsur hara oleh tanaman melalui pemupukan dengan pupuk phonska. Sedangkan tanaman yang tidak diberi perlakuan pupuk memperlihatkan tinggi tanaman kacang hijau lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan yang diberi pupuk, hal ini karena tanaman kacang hijau hanya memperoleh kebutuhan unsur Perlakuan Rataan Panjang Polong Kacang Hijau (cm) Tanpa Pupuk Phonska 6.36 a Pupuk Phonska 200 kg/ha 7.73 a Pupuk Phonska 250 kg/ha 8.03 ab Pupuk Phonska 300 kg/ha 9.02 b BNT 5% 1.52 KK (%) 9.79
  • 65.
    7 hara dari tanahitu sendiri tanpa ada tambahan unsur hara berupa pupuk. Pupuk itu sendiri sebagai tambahan unsur hara yang diberikan untuk memenuhi pertumbuhan dan produksi dari suatu tanaman agar optimal. Secara teoritis menurut Jumin (2008) nitrogen berfungsi menambah tinggi tanaman, merangsang pertunasan dan mempertinggi kandungan protein. Fosfor berfungsi memperbaiki perkembangan perakaran khususnya akar lateral dan sekunder. Kalium berfungsi lebih tahan terhadap penyakit, dan penting bagi pembentukan karbohidrat dan proses translokasi gula dalam tanaman. b. Jumlah Tangkai Hasil analisis data pertumbuhan dan produksi kacang hijau melalui pemberian pupuk phonska menunjukan bahwa pemberian pupuk phonska berpengaruh nyata terhadap jumlah tangkai pada umur 30 HST dan umur 57 HST. Tabel 4 memperlihatkan jumlah tangkai kacang hijau dengan dosis 300 kg/ha memberikan jumlah tangkai (cabang) lebih banyak dibandingkan dengan pemberian pupuk dengan dosis 200 kg/ha, 350 kg/ha, dan perlakuan tanpa pupuk. Hal ini karena kecukupan unsur hara yang diberikan mampu mensuplai unsur hara di dalam tanah sehingga mempengaruhi pertumbuhan jumlah tangkai (cabang) kacang hijau. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Saleh (Puguh Faluvi Kurniadi, 2011) bahwa ketersediaan unsur hara yang dapat diserap oleh tanaman merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Jenis dan jumlah unsur hara pada dasarnya harus tersedia dalam keadaan yang cukup dan berimbang agar tanaman dapat tumbuh dengan baik. Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 4) pada perlakuan tanpa pemberian pupuk memberikan pertumbuhan jumlah tangkai lebih rendah yakni 3,34 cabang (30 HST) dan 4,67 cabang (50 HST) bila dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya, hal ini karena tanaman hanya mencukupi kebutuhan unsur hara tersebut hanya dari dalam tanah, sehingga jumlah tangkainya lebih sedikit. Secara teoritis penelitian ini sejalan dengan pendapat Munawar (2011) tentang unsur nitrogen membantu pertumbuhan tanaman dan peningkatan produksi biji. Unsur fosfor berfungsi sebagai pembentuk inti sel, pembelahan dan perbanyakan sel, dan pembentukan lemak dan albumin. Unsur K berfungsi dalam pembentukan lapisan kutikula yang sangat penting untuk pertahanan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit dan pemasakan buah. c. Jumlah Polong setiap Tangkai Hasil analisis data pertumbuhan dan produksi kacang hijau melalui pemberian pupuk phonska berpengaruh nyata terhadap jumlah polong setiap tangkai kacang hijau. Tabel 5, terlihat jumlah polong setiap tangkai terdapat pada perlakuan pupuk phonska dengan dosis 350 kg/ha dan terendah terdapat pada perlakuan tanpa pupuk. Hal ini disebabkan kemungkinan pemberian pupuk phonska dalam jumlah tersebut dapat meningkatkan jumlah polong dalam setiap tangkai kacang hijau dan mempengaruhi pengisian biji kacang hijau. Tananaman yang tidak diberi perlakuan menghasilkan jumlah polong per tangkai lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya, hal ini karena tanaman kacang hijau hanya mensuplai pupuk dari dalam tanah tanpa ada tambahan unsur hara berupa pupuk. Pertambahan jumlah cabang kacang hijau mempengaruhi jumlah polong, hal ini sesuai dengan hasil penelitian Handayani (2012), yang menyatakan bahwa memiliki tinggi tanaman dan jumlah cabang per tanaman yang tinggi, maka memiliki jumlah polong per tanaman tinggi pula. Ditambahkan yang dikemukakan oleh Khan (Handayani, 2012) bahwa tanaman yang tinggi memungkinkan banyak terbentuk cabang. Apabila cabang yang terbentuk tersebut produktif (menghasilkan polong), maka produksi polong tanaman tersebut lebih tinggi daripada tanaman yang pendek atau memiliki cabang produksi yang sedikit.
  • 66.
    8 d. Jumlah BijiPerpolong Dari Tabel 6 rataan jumlah biji perpolong kacang hijau terlihat bahwa perlakuan dengan dosis pupuk phonska tertinggi 300 kg/ha memberikan hasil rataan jumlah biji perpolong tertinggi yakni 10,35 biji dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan karena pemberian pupuk phonska yang sesuai dapat memicu pertumbuhan dan produksi yang optimal. Kacang hijau merupakan jenis tanaman legume yakni mempunyai bintil akar yang mampu menambat N dari udara bebas. Meskipun demikian kacang hijau juga membutuhkan unsur lain dalam proses pertumbuhan dan produksinya. Oleh karenanya dalam penelitian ini menggunakan pupuk phonska yang merupakan pupuk majemuk terdiri dari unsur N, P, K, dan S. Selanjutnya menurut teori Kuo (Ahadiyat Yugi. R dan Tri Harjoso, 2012) menyebutkan bahwa pada fase generatif P mampu merangsang pembentukan bunga, buah dan biji bahkan mampu mempercepat pemasakan buah dan membuat biji menjadi lebih bernas. e. Panjang Polong Hasil analisis sidik ragam menunjukan bahwa perlakuan dosis pupuk phonska berpengaruh nyata pada parameter panjang polong kacang hijau yang diteliti, dan perlakuan yang memberikan hasil tertinggi adalah perlakuan dengan dosis pupuk phonska 300 kg/ha. Hal ini diduga karena pupuk phonska sangat efisien diserap dan digunakan oleh tanaman kacang hijau saat fase pertumbuhan maupun fase produksi. Menurut Purwono dan Hartono (Silvi Syafrina, 2009) buah kacang hijau berbentuk polong. Panjang polong sekitar 5-16 cm. Setiap polong berisi 10-15 biji. Polong kacang hijau berbentuk bulat silindris atau setelah tua berubah menjadi kecoklatan atau kehitaman. Polongnya mempunyai rambut-rambut pendek/berbulu.Secara teori menurut Sutejo (Daud S. Saribun, 2008) pemberian pupuk NPK Phonska terhadap tanah dapat berpengaruh baik pada kandungan hara tanah dan dapat berpengaruh baik bagi pertumbuhan tanaman karena unsur hara makro yang terdapat dalam unsur N, P dan K diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang akan diambil oleh tanaman dalam bentuk anion dan kation. Sehingga akan membuat fase produksi juga akan menjadi baik. f. Produksi Real Berdasarkan hasil Uji BNT pada taraf α = 5% menunjukan bahwa perlakuan dengan dosis pupuk phonska 300 kg/ha memberikan hasil produksi real yang tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Penggunaan pupuk Phonska mendorong penggunaan pupuk secara seimbang sesuai program peningkatan produksi, karena memudahkan petani untuk mendapatkan pupuk sebagai sumber hara N, P dan K secara bersamaan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh Budi Santoso et. all (2012) mengenai “Pengaruh Jarak Tanam Dan Dosis Pupuk NPK Majemuk Terhadap Pertumbuhan, Produksi Bunga, dan Analisis Usaha Tani Rosela Merah” yang memberikan respon positif; artinya bahwa penggunaan pupuk majemuk NPK lebih menghemat biaya dibanding dengan penggunaan pupuk N, P, dan K tunggal. Setiap fase pertumbuhan dan perkembangan tanaman berpengaruh terhadap produksi. Suatu tanaman akan menghasilkan produksi yang baik jika pertumbuhannya baik pula, sebaliknya suatu tanaman akan menghasilkan produksi buruk jika pertumbuhannya terganggu. Penggunaan pupuk majemuk phonska dapat meningkatkan produksi, berarti bisa meningkatkan pendapatan petani (Umar Permadi, 2007). KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa (1) Pertumbuhan kacang hijau melalui pemberian pupuk phonska berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman dan jumlah tangkai pada umur 30 HST dan 57 HST pada perlakuan pupuk
  • 67.
    9 phonska dengan dosispupuk 300 kg/ha, dan (2) Produksi kacang hijau melalui pemberian phonska berpengaruh nyata terhadap jumlah polong setiap tangkai, jumlah biji per polong, panjang polong, dan produksi real pada perlakuan pupuk phonska dengan dosis pupuk 300 kg/ha. Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan dan kesimpulan, maka pada penelitian ini dapat disarankan hal-hal sebagai berikut (1) Diharapkan para petani dapat memanfaatkan pupuk phonska sebagai pupuk dasar dan pupuk susulan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi kacang hijau, dan (2) Perlu dilakukan penelitian lanjutan menggunakan pupuk phonska yang dikombinasikan dengan pupuk organik sehingga pertumbuhan dan produksi tanaman lebih baik. DAFTAR PUSTAKA Ahadiyat, Yugi, R., Harjoso Tri. 2012. Karakter Hasil Biji Kacang Hijau pada Kondisi Pemupukan P dan Intensitas Penyiangan Berbeda. Jurnal Agrivigor 11(2). Program Studi Agroteknologi. Fakultas Pertanian. Universitas Jenderal Soedirman. http://www.google.co.id/url?q=http://www.researchgat e.net/publication/236672983_KARAKTER_HASIL_BIJI_KACANG_HIJAU_PADA_ KONDISI_PEMUPUKAN_P_DAN_INTENSITAS_PENYIANGAN_BERBEDA/file/ e0b49518da1459d2e6.pdf&sa=U&ei=mA_iUZ6EFsXsrAeVlYGwDw&ved=0CCQQFj AE&usg=AFQjCNH9RuTUZ9CBNvBzYk4hm0Li0y--eg [ 12 Juli 2013]. Daud, S. Saribun. 2008. Pengaruh Pupuk Majemuk NPK pada Berbagai Dosis terhadap pH, P-Potensial dan P-Tersedia Serta Hasil Caysin (Brassica juncea) pada Fluventic Eutrudepts Jatinangor. Jurusan Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Universitas Padjadjaran. Jatinangor. http://www.google.co.id/url? q=http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2011/10/pustaka_unpad_pengaruh_p upuk_majemuk_npk_pada_berbagai_dosis_terhadap_ph.pdf&sa=U&ei=ZhviUczO83 HrQfq4YC4Dw&ved=0CCYQFjAFOAo&usg=AFQjCNFsLcIHnFrRHhzSDlFO- N3vNEvA5Q [14 Juli 2013]. Hamidah. 2009. Pengaruh Pengendalian Gulma dan Pemberian Pupuk NPK Phonska Terhadap Pertumbuhan Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) Klon PB 260. Fakultas Pertanian Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda. http://kopertis11.net/jurnal/HAMIDAHPENGARUH%20PEN GENDALIAN%20GULMA%20DAN%20PEMBERIAN%20PUPUK%20NPK%20P HONSKA%20TERHADAP%20PERTUMBUHAN%20TANAMAN%20KARET.pdf [10 Juli 2013]. Handayani, T. Hidayat, IM. 2012. Keragaman Genetik dan Heritabilitas Beberapa Karakter Utama Kedelei Sayur dan Implikasinya Untuk Seleksi Perbaikan Produksi. J. Hort. 22(4):327-33,2012. http://hortikultura.litbang.deptan.go.id/jurnal_pdf/224/4- Handayani-Genetik.pdf [11 Juli 2013] Jumin, H.S. 2008. Dasar-Dasar Agonomi. PT. Raja Grafido Persada. Jakarta. Munawar, A. 2011. Kesuburan Tanah dan Nutrisi Tanaman. PT. Penerbit IPB Press. Bogor Puguh Faluvi Kurnadi., Husni Yetti., Edison Anom. 2011. Peningkatan Produksi Kacang Hijua (Vigna radiata L.) dengan Pemberian Pupuk Kandang Ayam dan NPK. http://repository.unri.ac.id/bitstream/123456789/1786/1/KARYA%2 0ILMIAH%20PUGUH%20FALUVI%20KURNIADI.pdf [10 Juli 2013].
  • 68.
    10 Santoso, Budi., Budi.,Setyo, Untung., Nurnasari, Elda. 2012. Pengaruh Jarak Tanam dan Dosis Pupuk NPK Majemuk terhadap Pertumbuhan, Produksi Bunga, dan Analisis Usaha Tani Rosela Merah. Jurnal Littri 18(1). Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. http://perkebunan.litbang.deptan.go.id/upload.files/File/publikasi/jurnal/Jurnal-Littri- 2012/Jurnal%20Littri%2018%281%292012-BudiS.pdf [12 Juli 2013]. Silvi, Syafrina. 2009. Respon Pertumbuhan dan Produksi Kacang Hijau (Phaseolus radiata L.) pada Media Subsoil terhadap Pemberian Beberapa Jenis Bahan Organik dan Pupuk Organik Cair. Departemen Budidaya Pertanian. Skripsi. Dipublikasikan. Medan. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/7597/1/09E02913.pdf [12 Juli 2013] Umar, Permadi. 2007. Pegaruh Pemberian Pupuk Majemuk Phonska terhadap Pertumbuhan Vertical dan Produksi Rumput Gajah (Pennisetum purpureum Sehum) sebagai Pakan Ternak. Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Skripsi. Dipublikasikan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/49705/D07upe.pdf [12 Juli 2013]
  • 69.
    Tersedia online di:http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/tlingkungan Jurnal Teknik Lingkungan, Vol. 6, No. 3 (2017) 1 *) Penulis **) Dosen Pembimbing PENGARUH PENAMBAHAN PUPUK KOTORAN KAMBING TERHADAP HASIL PENGOMPOSAN DAUN KERING DI TPST UNDIP Trisna Afriadi Muhammad*) , Badruz Zaman**) , Purwono**) Departemen Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Diponegoro JL. Prof. H. Sudarto, SH Tembalang, Semarang, Indonesia, 50275 Email: [email protected] Abstrak Universitas Diponegoro merupakan salah satu perguruan tinggi di Indonesia yang mampu mengelola sampah secara mandiri dengan mendirikan fasilitas pengolahan sampah terpadu. Jumlah sampah organik yang dihasilkan sekitar 5,06 m3 / hari dan didominasi oleh sampah daun. Salah satu metode yang efektif untuk menghindari potensi masalah yang disebabkan oleh timbunan sampah organik yaitu dengan proses pengomposan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh dan mencari rasio optimum penambahan pupuk kotoran kambing pada pembuatan kompos. Pengomposan dilakukan secara aerobik selama 28 hari. Pupuk Kotoran Kambing dapat menambah ketersediaan hara bagi tanaman dan meningkatkan kesuburan tanah. Penentuan komposisi bahan kompos dengan memvariasikan pupuk kotoran kambing (Sampah daun:Pupuk kotoran kambing) dengan kontrol (1:0); K1 (4:1); K2 (7:3) dan K3 (3:2). Hasil penelitian ini menunjukkan kompos yang paling optimal adalah variasi K3(3:2) dengan hasil kadar C-Organik 26,53%; N-Total 2,4%; rasio C/N 11,06%; P-Total 0,45%; K-Total 0,74%; GI 147% dan Total koliform 210 MPN/gr. Kata kunci: Kompos, Pupuk Kotoran Kambing, Sampah Organik Abstract [The Effect of Goat Manure Fertilizer on Leaves Litter Composting at TPST UNDIP]. Diponegoro University is one of the universities in Indonesia that can manage waste independently by establishing an integrated waste treatment facility. The amount of organic waste produced is about 5.06 m3 / day and dominated by leaves litter. One effective method to avoid potential problems caused by the pile of organic waste is by the composting process. The aim of this study are to analyze the effect and to find the optimum ratio of goat manure added in the composting process. Composting was an aerobic process with composting time of just 28 days. Goat manure fertilizer can increase the availability of nutrients for plants and improve soil fertility. Determination of compost material composition by varying goat manure (Leaf litter: Goat manure) with control (1:0); K1 (4:1); K2 (7:3) and K3 (3:2). The results of this study showed that the most optimal compost was K3 variation (3:2) with results of C-Organic 26.53%; N-Total 2.4%; C / N ratio 11.06%; P-Total 0.45%, K-Total 0.74%; GI 147% and Coliforms 210 MPN / gr. Keywords : Compost, Goat Manure Fertilizer, Organic Waste 1. PENDAHULUAN Sampah dapat didefinisikan sebagai semua buangan yang dihasilkan dari aktifitas manusia dan hewan yang berupa padatan, yang dibuang karena sudah tidak berguna atau diperlukan lagi (Tchobanoglous,et,al., 1993).
  • 70.
    2 *) Penulis **)Dosen Pembimbing Tersedia online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/tlingkungan Jurnal Teknik Lingkungan, Vol. 6, No. 3 (2017) menurut Undang-Undang RI No.18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah,sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Pengelolaan sampah adalah kegiatan yang meliputi pengumpulan, pengangkutan, pemrosesan, pendauran ulang atau pembuangan dari material sampah (Alex,2012).Berawal dari besarnya volume sampah yang dihasilkan diingkungan Universitas Diponegoro maka diperlukan pengolahan yang tepat dan bermanfaat untuk bisa mereduksi sampah tersebut. Hal inilah yang mendorong Universitas Diponegoro Untuk membangun fasilitas Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) di kawasan kampus undip tembalang,semarang. TPST Universitas Diponegoro dibangun pada tahun 2015 sebagai kampus percontohan dalam kegiatan pengelolaan sampah di kawasan pendidikan., sampah ini dapat berupa sampah organik dan sampah anorganik, dimana sampah anorganik ini biasanya bersumber pada akitivitas perkuliahan seperti kertas, plastik dan sampah-sampah jenis lain yang tidak dapat terurai. Selanjutnya untuk sampah organik pada umumnya bersumber pada daun daun yang berguguran di sekitar lingkungan Kampus Universitas Diponegoro, berdasarkan penelitian Sudomo (2012), Undip menghasilkan pada sampah sebesar 836, 23 kg/hari dengan volume 20,23 m3 /hari dengan komposisi timbulan sampah organik (56,02%), sampah kertas (23,6%) , sampah plastik (13,23%) dan sampah lainnya sebanyak (7,15%). ini merupakan potensi yang pantas diperhitungkan agar menjadi bahan yang bernilai guna, salah satunya dengan melakukan pengomposan. Pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khusunya mikroba – mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energy. Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, pengaturan aerasi dan penambahan activator pengomposan.proses pengomposan dapat berlangsung beberapa hari hingga beberapa minggu.suhu akan meningkat sejalan dengan proses penguraian bahan organik itu.ciri fisik yang dapat dilihat pada kompos yang telah matang,antara lain, terjadinya penurunan volume,warnanya menjadi coklat kehitaman dan bahannya menjadi lunak/hancur (Isroi dan Yuliarti,2009). Pupuk Kotoran kambing mengandung nilai rasio C/N sebesar 21,12% (Cahaya dan Nugroho, 2009). Selain itu, kadar hara kotoran kambing mengandung N sebesar 1,41%, kandungan P sebesar 0,54%, dan kandungan K sebesar 0,75% (Hartatik, 2006). Pengomposan membutuhkan rasio C/N dan kadar hara untuk aktivitas mikroorganisme. Kandungan pada kotoran kambing menunjukkan bahwa bahan tersebut dapat digunakan sebagai bahan pembuatan kompos. Penambahan kotoran kambing merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam pembuatan kompos. Proses pengomposan juga membutuhkan bantuan mikroorganisme untuk
  • 71.
    3 *) Penulis **)Dosen Pembimbing Tersedia online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/tlingkungan Jurnal Teknik Lingkungan, Vol. 6, No. 3 (2017) mendekomposisi bahan dan mempercepat proses pengomposan. Mikroorganisme yang digunakan untuk mempercepat proses pengomposan adalah Effective Microorganism (EM4) sebagai salah satu faktor pengomposan. proses pengomposan juga membutuhkan bantuan mikroorganisme untuk mendekomposisi bahan dan mempercepat proses pengomposan. Mikroorganisme yang digunakan untuk mempercepat proses pengomposan adalah Effective Microorganism (EM4) sebagai salah satu faktor pengomposan. EM4 berfungsi untuk mempercepat penguraian bahan organik, menghilangkan bau yang timbul selama proses penguraian, menekan pertumbuhan mikroorganisme patogen, dan meningkatkan aktivitas mikroorganisme yang menguntungkan (Darmasetiawan, 2004). Dari uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh penambahan Kotoran kambing dan EM-4 terhadap hasil pengomposan sampah daun kering di TPST Universitas Diponegoro,Semarang. 2. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2016 – Februari 2017 di TPST Universitas Diponegoro. Bahan-bahan yang diperlukan pada proses pembuatan kompos antara lain : sampah daun kering, kotoran kambing, dan EM-4. Sebelum pengomposan dilaksanakan terlebih dahulu dilakukan uji pendahuluan untuk mengetahui karakteristik dari sampah daun kering dan kotoran kambing, yang meliputi nilai C-organik, N-total, rasio C/N, P-total, K-total, kadar air, temperatur, dan pH. Setelah bahan dan wadah telah siap, maka akan dilakukan penentuan variasi komposisibahan kompos. Variasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Tabel 1. Variasi Perbandingan Bahan Kompos Bahan Kontr ol K 1 K 2 K 3 Daun Kering 5 kg 4 kg 3. 5 kg 3 kg Kotoran Kambing 0 kg 1 kg 1. 5 kg 2 kg Total Tumpuka n 5 kg 5 kg 5 kg 5 kg Keterangan : (K1) Sampah daun kering : Pupuk kotoran kambing = 4 : 1 (K2) Sampah daun kering : Pupuk kotoran kambing = 7 : 3 (K3) Sampah daun kering : Pupuk kotoran kambing = 3 : 2 Selama proses pengomposan, setiap hari dilakukan pengukuran temperatur, pH, dan kadar air. Setelah 28 hari dilakukan pengujian hasil kompos. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik kompos. Adapun metode analisis yang dilakukan sama dengan analisis yang dilakukan pada uji pendahuluan serta ditambah dengan uji toksisitas kompos (Germination Index) dan kandungan mikrobiologi kompos. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Uji Pendahuluan Bahan Kompos
  • 72.
    4 *) Penulis **)Dosen Pembimbing Tersedia online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/tlingkungan Jurnal Teknik Lingkungan, Vol. 6, No. 3 (2017) Tabel 2. Hasil Uji Pendahuluan Kualitas Bahan Kompos Parame ter Sam pah Daun Kotor an Kamb ing Referensi Kondisi Awal Pengompos an Ph 6.53 7.08 6 - 8 (Murbandono,200 0) Kadar air (%) 10.1 50.89 40 – 60 (Indriani,20 1) C- Organik (%) 51.41 22.78 - N-Total (%) 0.75 1.14 - P (%) 0.178 0.264 - K (%) 0.242 0.423 - Rasio C/N 68.08 19.9 40-80 (Dalzell,et al (1987) 3.2 Hasil Uji Kompos 3.2.1 Analisis Proses Pengomposa 3.2.1.1 Analisis Temperatur Pengomposan Pengukuran temperatur dilakukan setiap hari pada tumpukan kompos. Berikut Grafik perubahan suhu pada gambar 1 : Gambar 1. Grafik Perubahan Temperatur Kompos Gambar 1 merupakan grafik perubahan Suhue pada kompos. Distribusi Suhu dalam gundukan selain dipengaruhi oleh aktivitas mikroba juga ikut dipengaruhi oleh kondisi iklim dan suplai oksigen atau aerasi yang diberikan (Epstein,1997). Suhu puncak pada tumpukan kompos yang tidak diberikan kotoran kambing atau KO terjadi pada hari ke-2 yaitu 40o C sedangkan pada variasi yang diberikan kotoran kambing Suhue puncak terjadi pada hari ke-1 yaitu 41o C pada variasi K1, 36o C pada variasi K2, dan 37o C pada variasi K3, sehingga dapat diketahui fase termofilik pada proses pengomposan tidak tercapai. Hal ini dikarenakan penelitian dilakukan dengan skala laboratories dengan ketinggian tumpukan sekitar 50 cm. Semakin besar tumpukan panas yang didapat dalam tumpukan semakin besar sehingga Suhue tumpukan semakin tinggi (Wahyono,2003). Penurunan Suhu yang cepat dapat terjadi karena tumpukan kompos yang terlalu rendah, sehingga panas yang dihasilkan tidak dapat diisolasi. Menurut setyorini (2006), semakin tinggi volume timbunan kompos, maka semakin besar isolasi panas. Timbunan yang telalu dangkal akan mudah untuk kehilangan panas karena bahan tidak cukup untuk menahan panas. Suhu kompos matang ditandai kurang lebih sama dengan Suhu air tanah (28-30o C) yang tercantum dalam SNI 19-7030-2004. Kondisi tersebut terlihat pada tiap tumpukan kompos yaitu pada hari ke-28 dengan suhu akhir pengomposan K3 28o C, K2 28o C, K1 28o C dan KO 28o C 3.2.1.2 Analisis pH Pengomposan Pengukuran pH dilakukan setiap hari selama 28 hari. Berdasarkan pH tersebut dapat menggambarkan tahapan pengomposan dan kematangan kompos. Pada awal pengomposan,
  • 73.
    5 *) Penulis **)Dosen Pembimbing Tersedia online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/tlingkungan Jurnal Teknik Lingkungan, Vol. 6, No. 3 (2017) pH awal kompos variasi K3 (6.5), variasi K2 (6.78), variasi K1 (6.79), dan kontrol (6.53). Rekapitulasi data perubahan pH hasil pengomposan seluruh variasi kompos dilampirkan selengkapnya pada Lampiran A dan Gambar 2.berikut menunjukan grafik perubahan pH yang dialami oleh di semua variasi. Gambar 2. Grafik Perubahan pH Kompos Berdasarkan gambar 2 dapat diketahui bahwa pada awal pengomposan pH mengalami penurunan bersamaan dengan peningkatan suhu. Penurunan pH di awal pengomposan sempat terjadi pada pengomposan. Fahruddin & Abdullah (2010) menjelaskan bahwa derajat keasaman atau pH pada awal dekomposisi turun karena sejumlah mikroba tertentu pada bahan limbah organik menjadi asam organik. Pada hari ke-11, proses pengomposan, pH tumpukan mulai naik dan cenderung menjadi basa. Adanya peningkatan nilai pH pada proses pengomposan disebabkan oleh terbentuknya NH3 selama proses dekomposisi. (Polprasert, 1989). Setelah mengalami kenaikan sampai titik pH tertinggi yaitu 8,09 untuk K3, 8,46 untuk K2, 8,24 untuk K1. Selanjutnya,.Penurunan pH pada akhir pengomposan terjadi karena adanya oksidasi enzimatik senyawa inorganik hasil proses dekomposisi. Pada reaksi enzimatik tersebut dihasilkan sejumlah kation H+ (Bahruddin,et al., 2009). Di akhir pengomposan pH kompos pada variasi yang tidak diberikan kotoran kambing atau KO adalah (7.64) sedangkan dengan penambahan kotoran kambing adalah variasi K3 (7.46), variasi K2 (7.48), variasi K1 (7.49). ini menunjukkan penambahan kotoran kambing mempengaruhi pH disbanding tidak diberikan kotoran kambing atau KO. semua variasi telah memenuhi standar kualitas kompos jadi menurut SNI: 19-7030-2004 yaitu antara 6.8- 7.49 3.2.1.3 Analisis Kadar Air Pengomposan Kadar air awal variasi bahan kompos adalah untuk variasi K3 (30.97 %), K2 (26.38%), K1 (24.1%), dan KO (14.4). Kondisi ini menunjukkan bahwa kadar air awal kurang optimal untuk dilakukan Pengomposan. Maka harus dilakukan penambahan air agar mencapai 40 – 60 % . setelah dilakukan penambahan air kadar air H0 berubah menjadi K3 (57.46 %), K2 (60.62%), K1 (57.46%), dan Kontrol (53.08%). Pembalikan bahan kompos dilakukan setelah pengujian kadar air, yaitu seminggu sekali jika hasil perhitungan kadar air masih berada di bawah 50 %. Semakin basah timbunan tersebut, harus makin sering diaduk atau dibalik untuk menjaga dan mencegah pembiakan bakteri anaerobik. Gambar 3 berikut merupakan grafik perubahan kadar air setiap harinya selama 28 hari pengomposan.
  • 74.
    6 *) Penulis **)Dosen Pembimbing Tersedia online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/tlingkungan Jurnal Teknik Lingkungan, Vol. 6, No. 3 (2017) Gambar 3. Grafik Kadar Air Kompos Hasil kadar akhir pengomposan pada hari ke-28 pada setiap variasi pengomposan adalah K3 (54.13%), K2 (58.36%), K1 (55.52), dan kontrol (56.18%) yang bearti melebihi ketentuan kadar air akhir SNI-19 7030-2004 yaitu > 50%. Hal tersebut dapat ditanggulangi dengan cara melakukan pengeringan atau penjemuran di bawah sinar matahari pada kompos agar kadar airnya turun menjadi di bawah 50%. 3.2.1.4 Analisis C-Organik Pengomposan Analisa C-Organik dilakukan setiap minggu selama empat minggu (28 hari). Di awal pengomposan kadar C-Organik kompos pada variasi K3 (37.89), K2 (36.40), K1(36.97), dan KO (46.32). Menurut Rynk,et al.,(1992) sampah daun mengandung karbon yang tinggi. Gambar 4 berikut ini merupakan grafik hasil pengujian akhir dari kadar C-Organik kompos: Nilai maksimal C-Organik menurut SNI 19-7030-2004 (9,8-32) Gambar 4. Grafik Kadar C-Organik Kompos Dari gambar 4 diketahui kadar C-Organik pada variasi yang tidak diberikan kotoran kambing atau KO (38.37%) sedangkan dengan pemberian kotoran kambing yang paling rendah yaitu variasi K3 (26.53%), kemudian K2 (27.13%), dan kadar C-Organik paling tinggi pada variasi K1 (29.30%). Ini membuktikan pemberian kotoran kambing pada setiap variasi menghasilkan kadar C-organik yang cenderung stabil disbanding dengan Kontrol. Semakin besar variasi pemberian kotoran kambing maka kadar C-organiknya juga semakin tinggi begitu pula sebaliknya. Maka dapat disimpulkan bahwa C-Organik pada akhir pengomposan telah memenuhi hasil akhir menurut SNI 19-7030-2004 yaitu 9.8% - 32%. Penurunan C-organik pada semua variasi bahan dan dosis terjadi dikarenakan C-organik pada bahan kompos berfungsi sebagai sumber energi bagi mikroorganisme untuk aktivitas metabolismenya dan terurai dalam bentuk CO2 ke udara sehingga jumlahnya akan terus berkurang. Sebaliknya, peningkatan kadar C- organik diduga terjadi karena penurunan aktivitas mikroorganisme dan terdapat pula mikroorganisme
  • 75.
    7 *) Penulis **)Dosen Pembimbing Tersedia online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/tlingkungan Jurnal Teknik Lingkungan, Vol. 6, No. 3 (2017) yang mati. Kematian mikroorganisme pengomposan akan menambah biomassa sehingga meningkatkan C-organik (Setyorini, et al., 2006). 3.2.1.5 Analisis N-Total Pengomposan Unsur nitrogen dipergunakan mikroba sebagai sumber makanan untuk pertumbuhan sel-selnya (Wahyono, 2003). Kekuragan nitrogen dalam tanaman menyebabkan tanaman secara cepat berubah menjadi kuning karena N yang tersedia tidak cukup untuk membentuk protein dan klorofil dan menyebabkan kemampuan tanaman memproduksi karbohidrat menjadi berkurang hingga lama kelamaan menjadi tumbuh lambat dan kerdil (Hardjowigeno,2007). Setelah dilakukan pengomposan, kandungan N-total dari kompos meningkat,seperti terdapat pada tabel 5 sebagai berikut: Nilai minimal kadar N-Total menurut SNI 19-7030-2004 (>0,4%) Gambar 5. Grafik Kadar N-Total Kompos Berdasarkan gambar 5, secara keseluruhan kadar N-total yang paling tinggi terdapat pada variasi K1 (2.79%), sedangkan yang paling rendah pada variasi yang tidak diberikan kotoran kambing atau KO (1.1%). Nilai N-total menunjukkan peningkatan selama proses pengomposan dan pada akhir pengomposan nilai N-total pada masing-masing variasi tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hasil yang berbeda diperlihatkan pada variasi K2 pada minggu ke-3 atau hari ke-21, dan Kontrol pada minggu ke-2 atau hari ke-14 ,N-total menurun, Hal ini disebabkan pH yang cenderung asam sehingga NH3 tidak dapat diubah menjadi nitrat (Purwati,2006). Menurut Tobing (2009), Penurunan N-total disebabkan karena dalam proses pengomposan nitrogen organik diubah terlebih dahulu menjadia ammonia (NH3 ) yang mudah menguap. kadar N-total pada semua variasi kompos telah memenuhi standar SNI 19-7030- 2004 yaitu > 0.4%. 3.2.1.6 Analisis Rasio C/N Pengomposan Besarnya rasio C/N tergantung pada jenis bahan yang digunakan (Miftahul,2003). Rasio C/N awal bahan kompos daun variasi K3 (51.97%), K2 (49.79%), 2OK (41.34 %) dan KO (75.43%). Rasio C/N awal telah sesuai dengan rasio awal C/N menurut Dalzel et al., (1987) rasio C/N awal pengomposan yang optimal berkisar 40-80 %. Gambar 6 menunjukkan perubahan Rasio C/N selama proses pengomposan : Nilai Rasio C/N optimal menurut SNI 19-7030-2004 (10-20) Berdasarkan gamabr 6 Nilai
  • 76.
    8 *) Penulis **)Dosen Pembimbing Tersedia online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/tlingkungan Jurnal Teknik Lingkungan, Vol. 6, No. 3 (2017) Rasio C/N menunjukkan penurunan selama proses pengomposan dan pada akhir pengomposan nilai Rasio C/N pada masing-masing variasi tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hasil yang berbeda pada variasi KO atau kontrol yaitu terjadi kenaikan rasio C/N pada hari ke-14. Intan (2013) menuturkan bahwa nilai rasio C/N yang sempat naik juga dipengaruhi oleh tumpukan kompos dalam keadaan basa, sehingga H+ tidak mencukupi NH3 untuk diubah menjadi NH4 sehingga NH3 tervolatilasi menjadi N2 ke udara, dan mengakibatkan kadar N mengalami peningkatan yang sedikit. Nilai rasio C/N akhir yang paling rendah terdapat pada variasi K1 (10.5%), sedangkan yang paling tinngi pada variasi yang tidak diberikan kotoran kambing atau KO (35.64%). Ini menunjukkan bahwa variasi dengan pemberian kotoran kambing paling kecil menghasilkan rasio C/N paling optimal. Dari seluruh variasi pengomposan rasio C/N akhir telah mencapai standar SNI 19-7030-2004 yaitu 10-20 %. 3.2.1.7 Analisis P-Total Pengomposan Unsur hara P pada tanaman memiliki peranan sebagai pemacu pertmbuhan akar dan pembentukan system perakaran yang lebih baik, pemasakan buah dan biji dan sebagai penyusun inti sel lemak dan protein. Ini sesuai dengan pendapat Menurut Hardjowigeno (2007). Pengujian kadar P-Total dilakukan setiap minggu selama proses pengomposan.Pengukuran unsur P- Total dilakukan secara spektrofotometri dengan gelombang 693 mm. Setelah dilakukan pengomposan, kadar P-Total akhir dapat dilihat pada 7 sebagai berikut : Nilai P-Total optimal menurut SNI 19-7030-2004 (>0,1%) Gambar 7. Grafik Kadar P-Total Kompos Pada gambar 7 diatas menunjukkan perubahan kadar P- Total yang dialami seluruh variasi kompos. Nilai P-total akhir yang paling rendah terdapat pada variasi K3 (10.5%), sedangkan yang paling tinngi pada variasi yang tidak diberikan kotoran kambing atau KO (0.55%). Hasil tersebut menunjukkan bahwa variasi yang tidak diberikan kotoran kambing memiliki kadar P- total yang paling tinggi Dan kadar P- Total paling rendah pada variasi pemberiana kotoran kambing terbanyak atau K3. dari grafik diatas lamanya waktu pengomposan berpengaruh terhadap kenaikan nilai P, ini dapat dilihat pada fase hari ke 7 sampai 14. Pada fase hari ke-21 sampai hari ke-28 kadar P mencapai kondisi maksimum.terjadi penurunan kadar P pada fase hari 0 sampai fase hari ke-7 hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan pengomposan yang terlalu asam, sehingga bakteri protelotik dan bakteri pelarut fosfor tidak dapat bekerja secara optimal. Hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya pengikatan fosfor oleh senyawa oksidator seperti Fe, Mg, Al dan Ca (Suswardany,2006).
  • 77.
    9 *) Penulis **)Dosen Pembimbing Tersedia online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/tlingkungan Jurnal Teknik Lingkungan, Vol. 6, No. 3 (2017) 3.2.1.8 Analisis K-Total Pengomposan Pengukuran nilai K-total dilakukan secara spektrofotometri serapan atom (AAS). Kadar . Setelah dilakukan pengomposan, Kadar K- total meningkat seperti pada tabel 8 sebagai berikut: Nilai K-Total optimal menurut SNI 19-7030-2004 (>0,2) Gambar 8. Grafik K-Total Kompos Dari grafik gambar 8 diatas melihatkan bahwa terjadi kenaikan kadar K-total di semua variasi. Kadar K-total paling tinggi terdapat pada variasi K3 yaitu sebesar 0.741 (%) dan kadar K-total terendah pada variasi yang tidak diberikan perlakuan atau Kontrol yaitu 0.413 (%). Hal tersebut menunjukkan bahwa penambahan kotoran kambing mempengaruhi kadar K-total. Kenaikan kadar K-total disebabkan karena semakin lama waktu pengomposan dilakukan akan semakin banyak mikroba yang tumbuh dan menguraikan kalium yang terdapat pada bahan kompos tersebut (Kusumayanti, 2002). Menurut Murbandono (1989), apabila proses pengomposan berlangsung dengan baik, maka pembentukan senyawa K yang dapat diserap oleh tanaman pun dapat berjalan dengan baik karena sebagian besar kalium pada kompos dalam bentuk terlarut.Penurunan nilai K- total terjadi karena kemungkinan adanya pencucian unsur K pada saat proses pengomposan atau perlindian (Syakir, et al., 2009). 3.2.1.9 Analisis Toksisitas Kompos Kematangan kompos dapat diketahui melalui pengujian toksisitas. Pengujian toksisitas dilakukan dengan uji Indeks Kecambahan (Selim dkk, 2012). Penentua kestabilan dan kematangan dengan uji Indeks perkecambahan didasarkan pada nilai GI (Germination Index) yang dihasilkan. Semakin besar nilai GI mengidentifikasi penurunan fitotoksitas, dengan demikian produk/kompos jadi lebih matang (Zucconi dan De Bertoldi, 1987). Analisa toksisitas dilakukan menggunakan uji Germination Index (GI) atau indeks perkecambahan.Tabel 9 berikut merupakan hasil dari uji toksisitas kompos : Batas minimum nilai Germination Index (GI) kompos 80% menurut Zucconi, dkk (1981) Gambar 9. Grafik Hasil Uji GI (Germination Index) 3.2.1.10 Kandungan Mikrobiologi Pengomposan Pada analisis keberadaan total koliform pada kompos, diketahui bahwa seluruh sampel uji mengandung total koliform berada di bawah baku mutu SNI 19-7030-2004
  • 78.
    10 *) Penulis **)Dosen Pembimbing Tersedia online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/tlingkungan Jurnal Teknik Lingkungan, Vol. 6, No. 3 (2017) yaitu 210 MPN/gram yang berarti tidak lebih dari 1000 MPN/gram. 3.2.2 Penentuan Hasil Optimum Pengomposan Dapat disimpulkan setelah dilakukannya analisa beberapa parameter seperti Kadar air, suhu, pH, C-organik, N-total, rasio C/N, P- total, K-total, uji toksisitas, dan uji mirobiologis yang mengacu berdasarkan SNI-7030-2004. Variasi K3 menunjukan hasil yang lebih optimal dibandingkan dengan variasi yang lainnya. Rekapitulasi hasil kompos matang dapat dilihat pada tabel 3 sebagai berikut: Kompos dengan variasi dosis optimum 1. PENUTUP 2.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan penelitian ini antara lain: 1. Penambahan Pupuk Kotoran Kambing memberikan pengaruh lebih baik pada kualitas kompos matang dibandingkan dengan kontrol atau yang tidak dengan penambahan Kotoran kambing. Dengan variasi terbaik pada variasi K3 dengan kandungan hasil akhir yaitu C/N 11.06 %, C-organik 26.53 %, N-total 2.4 %, P-total 0.45 %, K-total 0.74 %, Germination Index 147 %, Total Koliform 210 MPN/gr. Seluruh variasi telah memenuhi standar SNI 19- 7030-2004 . 2. Dosis optimum pemberian pupuk kotoran kambing pada variasi K3 dengan perbandingan Sampah daun kering dan kotoran kambing ( 3:2 ) . 2.2 Saran Saran yang dapat diberikan setelah adanya penelitian ini antara lain: 1. Perlu adanya penelitian penambahan bahan baku lain seperti sayur-sayuran, sampah domestik (sampah dapur), sehingga tidak hanya menggunakan sampah daun kering. 2. Perlu adanya penelitian dengan penambahan Pupuk Organik lain terhadap hasil pengomposan sampah daun kering. 3. Sebaiknya penelitian dilakukan ditempat yang tidak mengganggu proses pengomposan (misalnya: hujan,
  • 79.
    11 *) Penulis **)Dosen Pembimbing Tersedia online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/tlingkungan Jurnal Teknik Lingkungan, Vol. 6, No. 3 (2017) hewan, dan terik matahari langsung) DAFTAR PUSTAKA Baharuddin, A.S., M. Wakisaka, Y. Shirai, S. Abd-Aziz, N.A.A. Rahman, and M.A. Hassan. 2009. Co-Composting of Empty Fruit Bunches and Partially Treated Palm Oil Mill Effluents in Pilot Scale. International Journal of Agricultural Research. 4 (2) : 69 –78. Cahaya, A.T. dan Nugroho D.A. 2008. Pembuatan Kompos dengan Menggunakan Limbah Padat Organik (Sampah Sayuran dan Ampas Tebu). Semarang: Teknik Kimia Universitas Diponegoro. Dalzell, H.W. 1987. Soil Management Compost Production and Use in Tropical and Subtropical Environment. Rome. Darmasetiawan, Martin Ir. 2004. Daur Ulang Sampah dan Pembuatan Kompos. Jakarta : Ekamitra Engineering. Epstein, E. 1997. Soil Improvers and Growing Media. Science Direct. Fahruddin dan A. Abdullah. 2010. Pendayagunaan Sampah Daun di Kampus Unhas Sebagai Bahan Pembuatan Kompos. Makassar: Fakultas Mipa Universitas Hasanuddin Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Pressindo. Hartatik, W. Dan Widowati, L.R. 2006. Pupuk Kandang, Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian. Indriani,Yovita Hety. 2011. Membuat Kompos Secara Kilat. Jakarta : Penebar Swadaya Intan, B. L. 2012. Pengomposan Sludge Hasil Pengolahan Limbah Cair PT. Indofood CBP dengan Penambahan Lumpur Aktif dan EM4 dengan Variasi Sampah Domestik dan Kulit Bawang. Semarang: Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Isroi. 2008. Kompos. Bogor: Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Kusumayanti, D. 2002. Uji Keefektifan lindi sampah sebagai Biostater dalam mempercepat proses kematangan kompos. ITS : Surabaya. Murbandono H.S., L.1989. Membuat Kompos. Penebar Swadaya: Jakarta Polpraset, C. 1996. Organik Waste Recycling Environment. Thailand: Asian Institut of Technology Bangkok Purwati, Sri. 2006. Pengaruh Kompos dan Limbah Lumpur IPAL industry Kertas terhadap Tanaman dan air Perkolat Tanah. Jakarta : Jurnal balai Besar Pulp dan kertas Vol.41 Rynk, R., M. van de Kamp, G.B. Willson, M.E. Singley, T.L. Richard, J.J. Kolega, F.R. Gouin, L. Laliberty Jr., D. Kay, D.W. Murphy, H.A.J. Hoitink, and W.F. Brinton. 1992. On- Farm Composting Handbook. New York : The Northeast Regional Agricultural Engineering Service, Coorperative Extension.
  • 80.
    12 *) Penulis **)Dosen Pembimbing Tersedia online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/tlingkungan Jurnal Teknik Lingkungan, Vol. 6, No. 3 (2017) Selim, Sh. M., Zayed, M. S., Atta, H. M. 2012. Evaluation of Phytotoxicity of Compost During Composting Process. Setyorini, D., Rasti S., dan Ea Kosman A. 2006. Kompos. Bogor: Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Standar Nasional Indonesia. 2004. Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik SNI 19-7030-2004. Jakarta: Badan Standar Nasional Indonesia. Sudomo, N. F. S. 2012. Optimalisasi Sistem Pengelolaan sampah di Lingkungan Kampus Universitas Diponegoro, Tembalang : Upaya Menuju UNDIP ECOCAMPUS. Semarang : Universitas Diponegoro. Suswardany, Dwi Linna, Ambarawati, Yuli Kusumawati. 2006. Peran Effective Microorganism-4 (EM-4) Dalam Meningkatkan Kualitas Kimia Kompos Ampas Tahu. Universitas Muhammadiyah Surakarta : Surakarta Syakir, M., David Allorerung, Sumanto, dan Jati Purwani. 2009. Dekomposisi Limbah Jarak Pagar dan Pemanfaatannya untuk Pupuk Organik. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Tobing, Esther L. 2009. Studi tentang kandungan Nitrogen, Karbon C-organik dan C/N Dari Kompos Tumbuhan Kembang Bulan. Medan : Universitas Sumatera Utara Wahyono, Sri Firman L., Sahwan, dan Feddy S. 2003. Mengolah Sampah Menjadi Kompos Sistem Open Windrow Bergulir Skala Kawasan. Jakarta: Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Zucconi, F., dan M. de Bertoldi.1987. Copost Specification For The Production and Characterization of Compost from Municicipial Solid Waste. Dalam Selim, Sh. M., M. S. Zayed, H. M. Atta. 2012. Evaluation of Phytotoxicity of Compost During Composting
  • 81.
    JURNAL BETA (BIOSISTEMDAN TEKNIK PERTANIAN) Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana http://ojs.unud.ac.id/index.php/beta Volume 5, Nomor 1, Januari, 2017 111 Pengaruh Perbandingan Komposisi Bahan Baku terhadap Kualitas Kompos dan Lama Waktu Pengomposan The Effect Composition Ratio of Raw Material on Compost Quality and Timing for Composting 1 I Ketut Merta Atmaja, 2 I Wayan Tika, 2 I Md. Anom S. Wijaya 1 Mahasiswa (Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana) 2 Dosen (Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana) Email: [email protected] Abstrak Potensi biomassa padi beras merah (varietas lokal) seperti jerami padi dan kotoran ayam dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku kompos. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan komposisi bahan baku yang terbaik dan mengetahui waktu minimal yang diperlukan untuk menghasilkan kompos yang berkualitas. Penelitian ini menggunakan perlakuan perbandingan komposisi jerami dan kotoran ayam dimana P1 = (6: 8), P2 = (6: 7), P3 = (6: 6), P4 = (6: 5), dan P5 = (6: 4). Panjang tumpukan bahan baku kompos adalah 1 m, tinggi 1 m, dan lebar 1 m. Berat bahan untuk masing-masing perlakuan diasumsikan 50 kg. Tumpukan bahan baku kompos pada setiap perlakuan ditutup menggunakan terpal untuk menjaga suhu dan melindungi dari faktor gangguan luar selama proses pengomposan. Parameter yang diukur adalah suhu, kadar air, rendemen, pH, nitrogen, karbon, dan C/N rasio. Proses pengomposan berlangsung selama 78 hari dengan suhu berkisar 30,1 - 51,1°C. Kadar air kompos berkisar antara 31,74 - 32,59%. Rendemen kompos berkisar 59 -64%, dan pH berkisar antara 7,2 - 7,5. Secara umum, kualitas kompos yang dihasilkan sesuai dengan SNI 19-7030-2004 dengan C/N ratio akhir adalah 16 - 33. P1 yang memiliki perbandingan komposisi jerami padi dan kotoran ayam 6: 8 adalah perlakuan terbaik dengan C/N rasio 16 dan proses pengomposannya terjadi selama 63 hari. Kata kunci : jerami padi, kotoran ayam, pengomposan, kualitas kompos. Abstract The rice biomass potential of red rice (local varieties) such as rice straw and chicken manure can be utilized as a raw material for composting. This research aimed to determine the best composition ratio of compost raw materials and to find the minimum time to produce compost with such quality. This research used a treatment composition ratio of rice straw and chicken manure where P1 = (6 : 8), P2 = (6 : 7), P3 = (6 : 6), P4 = (6 : 5), and P5 = (6 : 4 ). The dimension of composting pile were 1 m length, 1 m height, and 1 m wide. Each treatment material assumed 50 kg. Piles of compost material in each treatment were covered using a tarp to keep the temperature and protect from outside interference during the composting process. The parameters measured were temperature, moisture content, yield, pH, nitrogen, carbon, and C/N ratio. The composting process lasted for 78 days with temperature ranged 30,1 – 51,1°C. Compost moisture ranged from 31,74 – 32,59%. Compost yield ranged 59 -64%, and pH ranged between 7,2 – 7,5. In general, the quality of the produced compost accordance to SNI 19-7030-2004 with a final C/N ratio was 16 - 33. The P1 which have composition ratio of rice straw and chicken manure 6 : 8 was the best treatment which have C/N ratio of 16 and for 63 days of composting process. Keyword : rice straw, chicken manure, composting, compost quality.
  • 82.
    112 PENDAHULUAN Latar Belakang Daerah Balimemiliki lahan pertanian yang potensial, pada tahun 2013 luas total lahan sawah seluruh kabupaten/kota di Bali mencapai 81.165 Ha (Anon, 2014). Sebagian besar lahan persawahan pada beberapa wilayah di Bali digunakan untuk budidaya tanaman padi oleh petani, saat ini varietas padi yang ditanam petani diantaranya adalah varietas unggul dan tanaman padi varietas lokal yaitu padi beras merah yang banyak ditanam di daerah Penebel, Kabupaten Tabanan. Selain memiliki potensi pertanian, daerah Tabanan khususnya di wilayah Penebel juga memiliki potensi peternakan salah satunya yang banyak dikembangkan adalah peternakan ayam pedaging dan petelur. Banyaknya jumlah ayam yang diternakkan menimbulkan masalah baru yaitu limbah peternakan berupa kotoran ayam yang menumpuk setiap harinya. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memanfaatkan limbah kotoran ayam tersebut adalah dengan mengolahnya menjadi pupuk kompos. Pengembangan sektor pertanian selama ini lebih mengutamakan pengolahan lahan dengan penggunakan pupuk anorganik (kimia) untuk meningkatkan hasil pertanian, namun dalam jangka panjang penggunaan pupuk anorganik tersebut berdampak buruk terhadap sifat fisik, kimia, dan biologi tanah (Parnata, 2004). Dalam upaya meningkatkan kualitas tanah dan penanganan limbah jerami serta limbah kotoran ayam yang dihasilkan, maka perlu dilakukan salah satu upaya pemanfaatan limbah organik tersebut menjadi pupuk kompos. Menurut Cayuela et al (2009), proses pengomposan merupakan cara terbaik mendaur ulang limbah organik yang berguna dalam memperbaiki tanah yang terdegradasi untuk pengelolaan lahan pertanian berkelanjutan. Melihat kondisi dan potensi yang ada, maka solusi yang dapat dilakukan adalah mengolahnya menjadi pupuk kompos untuk memanfaatkan limbah jerami padi sebagai sumber nutrisi yang sudah tersedia di lahan (sawah) dan menambahkan bahan organik lainnya yaitu limbah kotoran ayam. Jerami padi mengandung 35,65% selulosa dan 6,55% senyawa lignin menyebabkan jerami sulit diuraikan oleh mikroorganisme sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk didekomposisi (Ekawati, 2003). Penambahan bahan organik lain yaitu kotoran ayam yang mengandung kadar nitrogen (N) tinggi yang dicampur dengan limbah jerami yang memiliki kandungan senyawa karbon (C) dan lignin tinggi diharapkan akan mempercepat dekomposisi bahan dan penurunan C/N rasio bahan kompos, selain juga akan meningkatkan kandungan unsur hara lainnya pada kompos. Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui komposisi bahan yang terbaik antara jerami padi dan kotoran ayam serta mengetahui waktu minimal yang dibutuhkan untuk menghasilkan kompos yang berkualitas. Rumusan Masalah 1. Berapakah perbandingan komposisi yang terbaik antara jerami dan kotoran ayam untuk menghasilkan kompos yang sesuai dengan standar SNI? 2. Berapakah waktu mininimal yang dibutuhkan untuk menghasilkan pupuk kompos dengan bahan dasar jerami dan kotoran ayam yang sesuai dengan standar SNI? Tujuan 1. Mengetahui komposisi yang terbaik antara jerami dan kotoran ayam untuk menghasilkan pupuk kompos yang sesuai dengan standar SNI. 2. Mengetahui waktu minimal untuk menghasilkan pupuk kompos dengan bahan dasar jerami dan kotoran ayam yang sesuai dengan standar SNI. Manfaat Manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini antara lain. 1. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan mengenai bagaimana kualitas kompos yang dihasilkan dari beberapa perbandingan komposisi antara jerami dan kotoran ayam. 2. Adanya sistem online sebagai sarana memuat hasil dari penelitian ini diharapakan mampu memberikan informasi kepada mahasiswa yang tertarik melakukan penelitian sejenis. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Proses pengomposan dilaksanakan di Subak Sigaran, Desa Jegu, Kec. Penebel, Kab. Tabanan. Uji kadar air awal bahan baku kompos dilakukan di Laboratorium PSDA Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana dan uji kualitas kompos dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai Juni 2016. Bahan dan Alat 1. Bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain: jerami padi beras merah (padi varietas lokal), kotoran (feses) ayam petelur (ayam ras), air untuk pembasahan bahan, larutan inokulan
  • 83.
    113 (EM4), larutan molase,serta zat kimia untuk analisis kimia kualitas kompos. 2. Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: thermohygrometer (Suncare, Model: 303), timbangan gantung (Dunlop Tools), sabit, pisau besar (parang), cangkul jenis garpu tanah, sekop, ember, sarung tangan karet, garu, karung plastik, tali rafia, dan terpal ukuran 3x4 m. Sedangkan untuk uji kualitas kompos menggunakan peralatan antara lain:, pH meter (Activon, Model:209), timbangan analitik (Mettler Toledo, PB3002), oven tanah (Precision Scientific), dan peralatan gelas laboratorium untuk analisis kimia kualitas kompos. Rancangan Percobaan Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimental. Perlakuan yang diberikan pada penelitian ini adalah pemberian perbandingan komposisi jerami dan kotoran ayam yang berbeda pada setiap perlakuan. Pada penelitian ini terdapat lima jenis perlakuan perbandingan komposisi basis berat antara jerami dan kotoran ayam yaitu, P1 (6:8), P2 (6:7), P3 (6:6), P4 (6:5), dan P5 (6:4). Penentuan perbandingan untuk setiap perlakuan berdasarkan C/N rasio bahan baku. Perbandingan komposisi bahan untuk masing-masing perlakuan berdasarkan berat total bahan baku yaitu 50kg untuk satu tumpukan. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali, sehingga terdapat 15 unit percobaan. Proses Pembuatan Kompos Jerami yang digunakan pada penelitian ini dikumpulkan dari sisa panen padi dengan jarak pengambilan jerami yaitu 1 (satu) minggu setelah proses panen. Jerami yang telah terkumpul selanjutnya dipotong menggunakan pisau besar (parang) menjadi beberapa bagian dengan ukuran ± 5cm. Bahan lainnya yang disiapkan adalah kotoran ayam petelur (ayam ras) berumur 1- 10 hari dengan kadar air terukur 40% yang diambil dari peternakan ayam petelur yang ada disekitar Desa Jegu, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Setelah semua bahan siap selanjutnya jerami dicampur dengan kotoran ayam petelur dengan perbandingan sesuai komposisi masing-masing perlakuan. Selanjutnya campuran bahan baku ditumpuk setiap perlakuan dengan dimensi p x l x t adalah 100cm x 100cm x 100cm. Setelah semua bahan baku kompos tertumpuk, selanjutnya untuk setiap tumpukan bahan dilakukan pembasahan awal bahan dengan air sebanyak 10 liter. Selanjutnya setiap tumpukan ditambahkan campuran 50ml larutan inokulan (larutan EM4) molase sebanyak 50ml, dan dicampur 2500ml yang sebelumnya telah difermentasi selama 5 hari sebagai starter untuk mempercepat proses pengomposan. Tumpukan bahan baku kompos kemudian ditutup menggunakan terpal untuk menjaga suhu kompos dan melindungi dari faktor gangguan luar selama proses pengomposan. Setelah proses pengomposan mulai berjalan dilakukan pengamatan suhu dan kelembaban tumpukan bahan. Suhu dan kelembaban bahan diukur mengunakan thermohygrometer setiap 3 hari sekali. Pembalikan dan pembasahan setiap tumpukan bahan baku kompos dilakukan setiap 2 minggu sekali tergantung kondisi suhu dan kelembaban bahan sampai minggu ke- 7 dengan air sebanyak ±10 liter untuk menjaga suhu dan kelembaban bahan kompos tetap terjaga selama fase mesofilik dan fase termofilik proses pengomposan. Variabel Yang Diamati Suhu dan kelembaban bahan selama proses pengomposan diamati 3 hari sekali. Pengukuran suhu dan kelembaban bahan dilakukan dengan cara menancapkan ujung sensor alat tepat ditengah- tengah tumpukan dengan kedalaman ± 40 cm, kemudian hasil pengukuran dibaca pada display alat ukur. Indikator untuk menentukan waktu kematangan kompos adalah: suhu kompos yang telah matang akan turun mendekati suhu lingkungan, warna kompos yang telah matang umumnya memiliki warna coklat kehitaman menyerupai warna tanah, dan memiliki tekstur yang remah/gembur. Uji Kualitas Kompos dan Uji Statistik Setelah proses pengomposan berakhir, dilakukan uji kualitas kompos yaitu uji derajat keasaman (pH) kompos dengan pH meter, uji kadar air kompos (%) dengan metode Gravimetri, uji kadar C-organik (%) dengan metode Walkley dan Black, uji kadar N-total (%) dengan metode Kjeldhal, dan menghitung rasio C/N kompos tersebut. Pengujian kualitas kompos dilakukan di Laboratorium Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana. Selanjutnya data hasil uji kualitas kompos dianalisis (uji statistik) menggunakan analisis sidik ragam (Anova) dan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap variabel yang diamati dengan bantuan software IBM SPSS 20. HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter Pada Proses Pengomposan Suhu Hasil dari pengamatan suhu pada proses pengomposan diilustrasikan pada Gambar 1. Pada awal proses pengomposan tumpukan bahan baku kompos mengalami proses aklamasi yaitu proses penyesuaian suhu bahan kompos, dimana aktivitas mikroorganisme dalam bahan untuk beradaptasi dengan kondisi mesofilik (Madrini, 2016). Pada hari ke-3 suhu tumpukan bahan masing-masing
  • 84.
    114 perlakuan mulai mengalamipeningkatan, hal ini menunjukkan jika proses penguraian bahan oleh mikroorganisme mulai aktif. Setelah memasuki minggu ke-2 proses pengomposan memasuki fase thermofilik yang ditandai dengan peningkatan suhu kompos yang signifikan >40o C. Pada fase termofilik ini berlangsung suhu kompos terus mengalami peningkatan dan mencapai titik suhu maksimal. Perlakuan P1, perlakuan P2, dan perlakuan P3 mencapai titik suhu maksimal saat kompos berumur 15 hari pada kisaran suhu 50,4 – 51,1o C dengan suhu maksimal tertinggi diperoleh pada perlakuan P1. Berbeda halnya dengan perlakuan P4 dan perlakuan P5 titik suhu maksimal yang dicapai pada fase thermofilik terjadi pada hari ke-18 dengan suhu 50,4 - 50,5o C. Gambar 1. Perubahan suhu bahan selama proses pengomposan Kelima perlakuan setelah mengalami fase mesofilik dan thermofilik, selanjutnya memasuki fase pematangan kompos, suhu tumpukan bahan mulai mengalami penurunan yang diakibatkan oleh aktivitas mikroorganisme mulai berkurang sehingga energi yang dihasilkan juga berkurang dan suhu mengalami penurunan. Selain penurunan suhu setelah mengalami fase mesofilik dan termofilik, kematangan kompos juga terlihat dari perubahan tekstur remah serta warna bahan kompos menjadi coklat kehitaman. Pada gambar 2 terlihat perlakuan P1 mengalami penurunan suhu yang paling cepat mendekati suhu lingkungan yaitu 31,4°C pada hari ke-63 yang diikuti oleh empat perlakuan lainnya. Suhu perlakuan P2, P3, P4, dan P5 mengalami penurunan mendekati suhu lingkungan berturut-turut pada hari ke-66, 69, 75, dan 78. Perbandingan komposisi jerami dan kotoran ayam berpengaruh pada tingginya aktivitas mikroorganisme pengurai dalam mendekomposisi bahan baku kompos. Kotoran ayam yang kaya akan mikroorganisme didalamnya berfungsi sebagai aktivator alami. Selain itu juga kandungan N (nitrogen) yang tinggi pada kotoran ayam berpengaruh pada meningkatnya aktivitas mikroorganisme pengurai dalam bahan kompos. Senyawa nitrogen (N) pada kotoran ayam dimanfaatkan oleh mikroba untuk sintesis protein dan unsur karbon (C) yang terdapat pada jerami merupakan sumber energi bagi mikroorganisme dalam proses pengomposan dan menghasilkan energi dalam bentuk panas pada tumpukan kompos. Tabel 1. Nilai rata-rata suhu bahan selama proses pengomposan Perlakuan Suhu Rata-rata (o C) P1 (6:8) 37,82 a P2 (6:7) 37,67 a P3 (6:6) 37,89 a P4 (6:5) 38,31 a P5 (6:4) 37,77 a Keterangan : Huruf yang sama dibelakang nilai rata- rata menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (p>0,05) Hasil uji statistik dari seluruh perlakuan tidak memiliki nilai yang berbeda nyata. Dapat disimpulkan kelima perlakuan dengan perbandingan komposisi jerami dan kotoran ayam yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap suhu rata-rata bahan selama pengomposan. Rata-rata suhu bahan baku kompos nilainya tidak berbeda jauh dipengaruhi oleh proses pengomposan yang dilakukan langsung di lahan terbuka (sawah) sehingga peningkatan suhu kompos yang terjadi tidak begitu signifikan. Faktor lainnya yang mempengaruhi perubahan suhu selama pengomposan nilainya adalah penggunaan jenis bahan yang sama yaitu jerami padi beras merah (padi varietas lokal), antara perlakuan satu dengan perlakuan lainnya hanya dibedakan perbandingan komposisi jerami dan kotoran ayam. Menurut Djuarnani et al (2008), proses penguraian bahan organik yang memiliki rasio C/N tinggi seperti jerami padi atau jerami gandum, sebaran suhunya tidak dapat melebihi 52o C. Kondisi tersebut menunjukkan jika sebaran suhu dalam proses pengomposan juga dipengaruhi oleh jenis bahan organik yang dikomposkan. Kelembaban Bahan Hasil pengukuran perubahan kelembaban bahan selama proses pengomposan menunjukkan berada pada kisaran angka 41,3 – 54,7% seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2. 25.0 30.0 35.0 40.0 45.0 50.0 55.0 0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 78 P1 P2 P3 P4 P5 Lingkungan Suhu(°C) Waktu pengomposan (hari)
  • 85.
    115 Gambar 2. Perubahankelembaban bahan selama proses pengomposan Selama proses pengomposan dilakukan pembasahan untuk menjaga kelembaban kompos pada kisaran 40 - 60%. Hal ini dikarenakan jika kelembaban bahan kompos terlalu tinggi, mengakibatkan aktifitas mikroorganisme terhambat dikarenakan rongga pada tumpukan kompos terhalang oleh air yang terlalu banyak yang sehingga kadar oksigen dalam tumpukan berkurang. Sebaliknya, jika kelembaban bahan terlalu rendah akan mengakibatkan aktifitas mikroorganisme akan menurun karena kekurangan air. Bahan kompos dengan kadar air 60% memiliki karakteristik akan terasa basah jika diremas tetapi air tidak menetes (Indriani, 2011). Tabel 2. Nilai rata-rata kelembaban bahan selama proses pengomposan Perlakuan Kelembaban Rata-rata (%) P1 (6:8) 50,97 a P2 (6:7) 50,95 a P3 (6:6) 51,01 a P4 (6:5) 51,04 a P5 (6:4) 52,18 a Keterangan : Huruf yang sama dibelakang nilai rata- rata menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (p>0,05) Berdasarkan hasil uji statistik, seperti yang disajikan pada Tabel 2 didapatkan hasil bahwa dari seluruh perlakuan tidak menunjukkan nilai yang berbeda nyata. Lima perlakuan dengan perbandingan komposisi jerami dan kotoran ayam yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kelembaban bahan kompos. Waktu Pengomposan Hasil penelitian yang telah dilaksanakan dapat dilihat pada Tabel 3, menunjukkan bahwa antara perlakuan P1, P2, P3, P4, dan P5 memiliki perbedaan lama waktu pengomposan. Adapun indikator yang digunakan dalam menentukan kematangan kompos diantaranya; suhu yang mulai stabil mendekati suhu lingkungan, tekstur kompos yang remah, perubahan warna kompos menjadi coklat kehitaman, dan memiliki bau seperti tanah/daun lapuk. Tabel 3. Nilai rata-rata lama waktu pengomposan Perlakuan Waktu (hari) Suhu (°C) P1 (6:8) 63 31,4 P2 (6:7) 66 31,4 P3 (6:6) 69 31,5 P4 (6:5) 75 31,4 P5 (6:4) 78 31,3 Berdasarkan grafik perubahan suhu bahan selama proses pengomposan yang diilustrasikan pada Gambar 1 yang telah dibahas sebelumnya, saat umur kompos memasuki 78 hari keseluruhan suhu kompos dari kelima perlakuan sudah mulai stabil turun mendekati suhu lingkungan dan tekstur kompos telah berubah menjadi remah serta berwarna coklat kehitaman, yang menandakan kompos telah matang. Perlakuan P1 merupakan perlakuan terbaik dengan perubahan suhu paling cepat diantara empat perlakuan lainnya. Pada tahap awal pengomposan setelah mengalami proses aklamasi suhu perlakuan P1 meningkat signifikan memasuki fase termofilik dan pada hari ke-15 mencapai titik suhu maksimal yaitu 51,1°C. Selanjutnya setelah mencapai titik suhu maksimal, terjadi penurunan suhu sampai memasuki fase pematangan kompos. Perlakuan P1 juga mengalami pematangan kompos yang paling cepat dengan indikator suhu tumpukan bahan kembali turun mendekati suhu lingkungan yaitu 31,4°C pada hari ke-63 yang diikuti oleh empat perlakuan lainnya. Cepat atau lambatnya proses pengomposan juga dipengaruhi faktor suhu dan aktivitas mikroorganisme pengurai yang ada dalam proses pengomposan. Aktivitas mikroorganisme pada suhu rendah (10-45o C) yang terjadi pada tahap awal pengomposan (fase mesofilik) berfungsi dalam memperkecil partikel bahan organik sehingga akan memperluas permukaan bahan dan mempercepat proses penguraian. Selanjutnya pada fase thermofilik mikroorganisme (45-65o C) pengurai mengambil karbohidrat dan protein untuk metabolisme mereka sehingga akan mempercepat proses pengomposan (Djuarnani et al, 2008). Jenis bahan baku kompos yang digunakan berupa jerami (padi beras merah Jatiluwih) yang memiliki kandungan karbon (C) tinggi menjadi salah satu faktor lamanya proses pengomposan. Menurut 40.0 45.0 50.0 55.0 60.0 65.0 0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 78 P1 P2 P3 P4 P5 waktu pengomposan (hari) Kelembaban(%)
  • 86.
    116 Jutono (1993), kandunganselulose dan lignin yang semakin tinggi pada bahan organik, menyebabkan nilai C/N rasio bahan semakin besar sehingga proses dekomposisi bahan semakin lambat. Ukuran bahan juga dapat berpengaruh terhadap proses pengomposan. Pada proses pengomposan dilakukan pemotongan jerami menjadi bagian yang lebih kecil dan seragam bertujuan mempermudah dan mempercepat proses pengomposan yang dilakukan. Menurut Djuarnani et al (2008), bahan yang berukuran kecil akan cepat didekomposisi karena luas permukaannya meningkat dan mempermudah aktivitas mikroorganisme pengurai. Ukuran bahan mentah yang terlalu besar akan menyebabkan rongga udara berkurang sehingga pasokan oksigen ke dalam tumpukan akan semakin berkurang. Jika pasokan oksigen berkurang, mikroorganisme yang ada di dalamnya tidak bisa bekerja secara optimal. Parameter Kualitas Kompos Pada penelitian ini, standar SNI No. 19-7030- 2004 digunakan sebagai acuan kualitas kompos hasil penelitian. 1. pH Kompos Setelah proses pengomposan berlangsung selama 78 hari didapatkan hasil pengukuran pH seperti pada Tabel 4. Tabel 4. Nilai rata-rata pH kompos Perlakuan pH Standar pH SNI P1 (6:8) 7,23 b P2 (6:7) 7,27 b P3 (6:6) 7,32 ab 6,80 – 7,49 P4 (6:5) 7,41 ab P5 (6:4) 7,51 a Keterangan : Huruf yang sama dibelakang nilai rata- rata menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (p>0,05) Hasil uji statistik pH kompos menunjukkan nilai yang berbeda nyata, seperti pada Tabel 4. Nilai rata- rata pH nampak bervariasi yang berkisar mulai dari pH terendah 7,2 pada perlakuan P1, dan untuk pH tertinggi dicapai pada perlakuan P5 yaitu 7,5. Menurut Indriani (2011), pada proses pengomposan mikroorganisme akan aktif pada kondisi pH netral sampai sedikit asam yaitu pada pH 5,5 – 8. Pada tahap awal pengomposan akan terbentuk asam-asam organik. Kondisi asam ini memicu pertumbuhan jamur dan akan menguraikan senyawa lignin dan selulosa pada bahan organik. Selama proses dekomposisi bahan ini berlangsung, asam-asam organik tersebut akan menjadi netral dan pH kompos setelah proses pematangan biasanya berkisar 6 – 8. 2. Kadar Air Kompos Berdasarkan hasil uji kadar air akhir kompos yang dilakukan di laboratorium didapatkan hasil pengukuran seperti pada Tabel 5. Hasil uji statistik data pengukuran kadar air akhir kompos menunjukkan hasil bahwa, dari seluruh perlakuan tidak memiliki nilai yang berbeda nyata antara perlakuan P1, perlakuan P2, perlakuan P3, perlakuan P4, dan perlakuan P5. Hal ini menunjukkan jika kadar air akhir kompos dari kelima perlakuan cenderung seragam, sehingga dapat disimpulkan pemberian perbandingan komposisi jerami dan kotoran ayam yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar air akhir kompos. Tabel 5. Nilai rata-rata kadar air kompos Perlakuan Kadar air (%) Standar SNI P1 (6:8) 32,13 a P2 (6:7) 31,75 a P3 (6:6) 31,99 a < 50% P4 (6:5) 31,93 a P5 (6:4) 31,66 a Keterangan : Huruf yang sama dibelakang nilai rata- rata menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (p>0,05) 3. C-organik Kompos Hasil pengujian kandungan C-organik yang disajikan pada Tabel 6 menunjukkan perlakuan P1 memiliki kandungan C-organik paling rendah yaitu 26,28%, sedangkan kandungan C-organik paling tinggi terdapat pada perlakuan P5 yaitu 36,75%. Tabel 6. Nilai rata-rata C-organik kompos Perlakuan C-organik (%) Standar SNI P1 (6:8) 26,28 c P2 (6:7) 29,93 b P3 (6:6) 35,02 a 9,8 – 32% P4 (6:5) 35,76 a P5 (6:4) 36,75 a Keterangan : Huruf yang sama dibelakang nilai rata- rata menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (p>0,05) Hasil uji statistik menunjukkan perlakuan P1, P2, P3, P4, dan P5 memiliki nilai yang berbeda nyata. Kadar C-organik yang berbeda pada perlakuan P1, P2, P3, P4, dan P5 dipengaruhi komposisi bahan jerami dan kotoran ayam. Jika dilihat perlakuan dengan jumlah jerami lebih banyak dibandingkan dengan jumlah kotoran ayam
  • 87.
    117 menghasilkan kompos dengankandungan karbon (C) lebih besar. Jumlah komposisi jerami yang semakin banyak mengakibatkan aktivitas mikroorganisme pengurai semakin berat sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mendekomposisi bahan. Proses pengomposan yang semakin lama berpengaruh pada kandungan C-organik akan semakin berkurang karena sudah diuraikan oleh mikroorganisme menjadi senyawa yang lebih sederhana. Selama proses pengomposan, senyawa organik akan berkurang dan terjadi pelepasan karbon dioksida karena adanya aktivitas mikroorganisme sehingga mempengaruhi kadar C-organik kompos yang dihasilkan (Harizena, 2012 dalam Pratiwi dkk, 2013). Menurut Graves et al (2000), selama proses pengomposan akan terjadi perubahan rasio C/N yang diakibatkan oleh aktivitas mikroorganisme pengurai yang menggunakan unsur karbon (C) sebagai sumber energi untuk mengurai bahan organik sehingga kandungan karbon semakin lama akan semakin berkurang. 4. N-total Kompos Setelah dilakukan pengukuran kadar N-total kompos yang telah matang didapatkan hasil pengukuran seperti pada Tabel 7. Perlakuan P1 dengan perbandingan komposisi jerami dan kotoran ayam 6 : 8 memiliki kadar nitrogen yang paling tinggi yaitu 1,66 %, sedangkan kadar N-total terendah yaitu 1,10 % diperoleh dari perlakuan P5 dengan perbandingan komposisi jerami dan kotoran ayam 6 : 4. Tabel 7. Nilai rata-rata N-total kompos Perlakuan N-total (%) Standar SNI P1 (6:8) 1,67 a P2 (6:7) 1,66 a P3 (6:6) 1,57 ab >0,40% P4 (6:5) 1,19 bc P5 (6:4) 1,10 c Keterangan : Huruf yang sama dibelakang nilai rata- rata menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (p>0,05) Hasil uji statistik menunjukkan bahwa lima perlakuan yang diberikan memiliki nilai yang berbeda nyata seperti yang disajikan pada Tabel 7. Dapat simpulkan jika perlakuan perbedaan komposisi jerami dan kotoran ayam yang diberikan pada P1, P2, P3, P4, dan P5 berpengaruh signifikan terhadap kadar N-total kompos. Semakin banyak kotoran ayam yang digunakan pada bahan baku kompos maka kadar nitrogen (N- total) semakin tinggi. Hal ini dikarenakan kotoran ayam memiliki kadar nitrogen yang tinggi sehingga mempengaruhi kadar N-total dalam kompos yang dihasilkan. Limbah ternak ayam berupa kotoran ayam memiliki kadar nitrogen (N) yang cukup tinggi yaitu mencapai 1,602 % (Agustina, 2004) . Menurut Supadma dan Arthagama (2008), kadar nitrogen (N) bahan dasar kompos yang semakin tinggi akan berpengaruh pada semakin cepatnya proses dekomposisi dan menghasilkan kadar N-total kompos yang semakin tinggi pula. 5. C/N rasio Kompos Hasil pengukuran C/N rasio seperti yang disajikan pada Tabel 8, dari lima perlakuan hanya dua perlakuan yang memenuhi standar kualiatas kompos dengan C/N rasio sebesar 16,16 – 18,26 yaitu P1 dan P2. Berbeda dengan P3, P4, dan P5 memiliki C/N rasio yang masih tinggi (> 20) sehingga kompos yang dihasilkan dengan tiga perlakuan ini belum memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI 19-7030-2004) yaitu harus memiliki C/N rasio 10 – 20. Perlakuan terbaik yang memenuhi SNI adalah perlakuan P1 dengan komposisi jerami dan kotoran ayam 6 : 8 yang memiliki C/N rasio sebesar 16,16. Tabel 8. Nilai rata-rata C/N rasio kompos Perlakuan C/N rasio Standar SNI P1 (6:8) 16,16 c P2 (6:7) 18,26 bc P3 (6:6) 22,28 b 10 - 20 P4 (6:5) 29,89 a P5 (6:4) 33,69 a Keterangan : Huruf yang sama dibelakang nilai rata- rata menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (p>0,05) Hasil uji statistik menunjukkan jika perlakuan perbedaan komposisi jerami dan kotoran ayam memiliki nilai yang berbeda nyata. Hal ini menandakan jika pemberian perlakuan komposisi jerami dan kotoran ayam yang berbeda berpengaruh pada C/N rasio kompos. Terlihat pada Tabel 8, bahwa perlakuan P1dengan komposisi kotoran ayam paling banyak yaitu (6 : 8) memiliki C/N rasio paling rendah dan merupakan perlakuan terbaik dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Jumlah kotoran ayam yang semakin banyak pada perbandingan komposisi bahan baku kompos mengakibatkan peningkatan kadar nitrogen (N). Kadar nitrogen yang tinggi pada kotoran ayam memicu cepatnya peningkatan suhu karena aktivitas mikroorganisme yang semakin meningkat pula dalam proses dekomposisi jerami yang mengandung unsur karbon yang tinggi. Rasio C/N bahan baku kompos yang tinggi setelah mengalami proses dekomposisi dalam waktu
  • 88.
    118 lebih dari 40hari nilai C/N akan semakin kecil dikarenakan unsur karbon dan bahan organik lainnya dalam bahan telah terurai. Unsur karbon (C) adalah sumber energi bagi mikroorganisme, sedangkan senyawa nitrogen (N) digunakan sebagai sumber untuk membangun struktur sel tubuhnya. Aktivitas mikroorganisme yang memanfaatkan unsur karbon dan nitrogen yang terkandung dalam bahan menyebabkan rasio C/N kompos semakin menurun (Kusuma, 2006 dalam Sidabutar, 2012). Menurut Irvan et al., 2014, penuruan C/N rasio dapat terjadi karena adanya proses perubahan pada nitrogen dan karbon selama proses pengomposan berlangung, perubahan kadar nitrogen dan karbon tersebut terjadi dikarenakan penguraian senyawa organik kompleks menjadi asam organik sederhana dan penguraian bahan organik yang mengandung nitrogen. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari kelima perlakuan hanya dua perlakuan yang memenuhi standar SNI yaitu perlakuan P1 dan P2. Perlakuan P1 dengan perbandingan komposisi jerami dan kotoran ayam (6 : 8) merupakan perlakuan yang terbaik diantara keempat perlakuan lainnya. Suhu maksimal pengomposan pada fase termofilik mencapai 51,1°C. Kadar air kompos P1 adalah 32,13% dengan pH akhir kompos 7,23. Kompos yang dihasilkan berwarna coklat kehitaman, memiliki terkstur remah, serta memiliki rasio C/N sebesar 16,16. Proses pengomposan dari lima jenis perlakuan yang diberikan secara umum berlangsung selama 78 hari, namun setiap perlakuan memiliki waktu kematangan kompos yang berbeda. Perlakuan yang mengalami proses puncak fase termofilik dan fase pematangan kompos paling cepat adalah perlakuan P1 yaitu pada hari ke-63 dengan indikator kematangan kompos adalah kembali turunnya suhu kompos mendekati suhu lingkungan serta pengamatan visual sesuai standar SNI setelah mengalami fase mesofilik, termofilik, dan pematangan. Jadi waktu minimal yang dibutuhkan untuk menghasilkan kompos dengan perlakuan yang terbaik adalah selama 63 hari. Saran Adapun saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan adalah perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai pengaruh jerami varietas padi yang berbeda dan menambahkan jenis kotoran ternak yang lain sebagai bahan baku untuk mengetahui perbedaan kualitas kompos yang dihasilkan. Daftar Pustaka Anonimus. 2014. Luas Lahan (Hektar) Per Kabupaten/Kota Menurut Penggunaannya Tahun 2013. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. http://bali.bps.go.id/tabel_detail.php?ed=607 001&od=7&id=7 Cayuela, M.L., Mondini, C., Insam, H., Sinicco,T., and Franke-Whittle, I. 2009. Plant and animal wastes composting : Effects of the N source on process performance. Bioresource Technology, 100. 3097-3106. Djuarnani, N. Kristiani dan B. S. Setiawan. 2008. Cara Cepat Membuat Kompos. Penerbit PT. Agromedia Pustaka. Jakarta. Ekawati, I. 2003. Pengaruh Pemberian Inokulum Terhadap Kecepatan Pengomposan Jerami Padi. Jurnal Penelitian Pertanian 11 (2) Graves,R.E., Hattemer, G.M., Stetter, D., Krider, J.N. dan Dana, C.(2000). National Engineering Handbook. United States Departement of Agriculture. Indriani, Novita Hety. 2011. Membuat Kompos Secara Kilat. Penebar Swadaya. Jakarta. Irvan, Permata Mhardela, Bambang Trisakti. 2014. Pengaruh Penambahan Berbagai Aktivator Dalam Proses pengomposan Sekam Padi (Oryza Sativa). Jurnal Teknik Kimia USU Vol. 30 No. 2. Medan Jutono. 1993. Perombakan Bahan Organik Tanah. Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Madrini, I. A. G. B. 2016. Community-based Composting and Management of Leftover Food for Urban Agriculture. Thesis. Agricultural and Environmental Engineering, United Graduate School of Agricultural Science, Tokyo University of Agriculture and Technology. Parnata, A. S. 2004. Pupuk Organik Cair Aplikasi dan Mamfaatnya. Jakarta : Agromedia Pustaka. Pratiwi, I. G. A. P., Atmaja, Ii. W. D., Soniari, N. N. 2013. Analisis Kualitas Kompos Limbah Persawahan dengan Mol Sebagai Dekomposer. Jurnal Online Agroekoteknologi Tropika 2 (4) : 2301- 6515. Sidabutar, N.V. 2012. Peningkatan Kualitas Kompos UPS Permata Regency Dengan Penambahan Kotoran ayam Menggunakan Windrow Composting. Skripsi. Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia. Supadma, A. A. N., dan Athagama, D. M. 2008. Uji Formulasi Kualitas Pupuk Kompos Yang Bersumber Dari Sampah Organik Dengan Penambahan Limbah Ternak Ayam, Sapi,
  • 89.
    119 Babi dan TanamanPahitan. Jurnal Bumi Lestari Vol. 8 (2) : 113-121.
  • 90.
    65 PERBEDAAN FISIK DANKIMIA KOMPOS DAUN YANG MENGGUNAKAN BIOAKTIVATOR MOL DAN EM4 Priyantini Widiyaningrum, Lisdiana Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang Email: [email protected] Abstrak. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kemampuan mikroorganisme lokal (MOL) sebagai aktivator dalam proses pengomposan sampah daun, serta membandingkan penampilan fisik, penyusutan bahan, kadar air dan C/N rasio kompos yang dihasilkan dengan kompos yang menggunakan EM4 sebagai bioaktivator. Bahan baku kompos terdiri dari daun kering cacah dan kotoran kambing. Kompos dipanen setelah proses pengomposan berlangsung selama 6 minggu. Setiap perlakuan dibuat tiga ulangan. Data kualitatif yang diamati meliputi tekstur, warna dan bau, sedangkan data kuantitatif yang diukur meliputi persentase penyusutan bahan, persentase kompos yang terbentuk, kadar air, dan C/N rasio. Analisis data kualitatif dilakukan secara deskriptif, sedangkan data kuantitatif menggunakan uji t. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kompos kedua perlakuan memiliki penampilan fisik tidak berbeda. Berdasarkan uji t, rata- rata penyusutan bahan, kadar air dan C/N rasio kompos matang tidak berbeda nyata, akan tetapi persentase kompos yang terbentuk menunjukkan perbedaan nyata. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa kompos daun kedua perlakuan memperlihatkan penampilan fisik, penyusutan, kadar air dan C/N rasio yang tidak berbeda, sedangkan persentase kompos yang terbentuk pada kompos + EM4 lebih tinggi dibanding kompos + MOL. Secara umum kedua kompos masuk kategori layak digunakan berdasarkan standar SNI No. 19-7030-2004. Kata kunci: kompos daun; mikroorganisme lokal; EM4 PENDAHULUAN Ketidakpedulian terhadap permasalahan pengelolaan sampah akan berakibat terjadinya degradasi kualitas lingkungan yang merusak kenyamanan hidup dan menurunkan kualitas kesehatan masyarakat (Hadi, 2000). Mengacu pola edukasi pengelolaan sampah organik seperti yang telah banyak diaplikasikan di berbagai daerah, prinsip 3 R (Reduce, Reuse, Recycle). paling banyak diterapkan (Anonimus, 2007). Oleh karena itu seyogyanya pada tahap pengumpulan sampah sudah mulai dipilah, dan pada tahap selanjutnya diharapkan hanya sampah yang tidak memiliki prinsip 3R yang dibuang ke TPA (Widyatmoko dan Moerdjoko, 2002). Priyantini Widiyaningrum, Lisdiana
  • 91.
    66 Vol. 11No.1 Juli 2013 Saat ini hampir seluruh pengelolaan sampah di perkotaan berakhir di Tempat Pembuangan SampahAkhir(TPA)yangdikelolaolehpemerintah,padahalmenurutKustiah(2005)kemampuan pemerintah kota mengelola sampah hanya 49,09 % dan 1,02% di pedesaan. Semakin banyaknya sampah yang dibebankan kepada TPA disebabkan antara lain karena belum dilakukannya upaya pengurangan volume sampah secara sungguh-sungguh sejak dari sumbernya. Syafrudin (2004) mengemukakan cara terbaik yang ditempuh untuk mengurangi atau mengendalikan volume sampah agar beban TPA tidak semakin berat adalah dengan melakukan pemilahan sampah dan penerapan prinsip 3 R (Reduce, Reuse, Recycle) yaitu prinsip pengurangan, penggunaan kembali dan daur ulang terhadap sampah. Dengan prinsip tersebut jumlah sampah yang benar- benar dibuang tinggal 35% sehingga meringankan beban TPA sekaligus memperpanjang masa pemakaiannya. Dari situs International Institute for Sustainable Development (2012), dijelaskan bahwa pengelolaan limbah tidak hanya mencakup 3R, melainkan 4R, yaitu reduction, reuse, recycling dan recovery. Di lain pihak, pembentukan humus secara alami berlangsung sangat lama tergantung keberadaan mikroorganisme pengurai dan kondisi cuaca. (Suryani, 2010). Lingga (2008) mengungkapkan bahwa proses pembentukan humus yang relatif lama disebabkan oleh kondisi yang tidak terkendali, dimana mikroba aerobik dan anaerobik saling bergantian mengambil peran sesuai kondisi lingkungannya serta ada atau tidaknya oksigen. Berbeda dengan humus, proses pembentukan kompos kondisinya lebih terkontrol karena manusia terlibat dalam mengendalikan jenis mikroba pengurai, komponen bahan, maupun kadar air, sehingga proses pembusukan lebih cepat. Keberhasilan dan kecepatan proses pembentukan kompos sangat ditentukan oleh banyak faktor, antara lain rasio C/N bahan, ukuran partikel bahan, jumlah mikroorganisme, temperatur, kelembaban, aerasi, dan pH (Indriani,2006). Menurut Sofian (2006) Cara yang paling umum dalam membuat kompos saat ini adalah menggunakan campuran bahan organik sumber nitrogen dan sumber carbon dalam komposisi tertentu, kemudian ditambahkan bioaktivator. Campuran tersebut kemudian difermentasi dengan cara menutupnya dengan menggunakan penutup dan membiarkannya selama 5-7 hari. Pada hari kedua dan ketiga, temperatur bahan kompos akan meningkat menjadi 40-600C. Jika temperatur meningkat, tumpukan bahan tersebut harus dibalik, kemudian ditutup lagi. Tiga hari kemudian temperatur akan turun kembali dan berangsur-angsur stabil. Jika temperatur sudah stabil, bahan tersebut sudah menjadi kompos dan siap dikemas atau digunakan. Karakteristik kompos yang telah selesai mengalami proses dekomposisi menurut Djuarnani (2005), antara lain : (1).Penurunan temperatur diakhir proses. (2).Penurunan kandungan organik kompos, kandungan air, dan rasio C/N.3. (3) Berwarna coklat tua sampai kehitam-hitaman dan tekstur seperti tanah (4) .Berkurangnya pertumbuhan larva dan serangga diakhir proses. (5) Hilangnya bau busuk. (6).Adanya warna putih atau abu-abu, karena pertumbuhan mikroba. (7)
  • 92.
    67 .Memiliki temperatur yanghampir sama dengan temperatur udara. (8) .Tidak mengandung asam lemak yang menguap. Menurut Isroi (2009), mikroorganisme lokal (MOL) adalah kumpulan mikro organisme yang bisa “diternakkan”, fungsinya dalam konsep zero waste adalah untuk starter yang berfungsi sebagai bioaktivator dalam pembuatan kompos organik. MOL menurut Purwasasmita (2009) dapat digunakan baik sebagai bioaktivator pupuk hayati dan sebagai pestisida organik terutama sebagai fungisida. Menurut Hersanti (2007), MOL mudah dibuat, dan secara rinci MOL terdiri dari 3 komponen yaitu: (a) karbohidrat yang dapat berasal dari air tajin, air cucian beras, nasi basi, singkong, kentang, gandum, dan lain-lain (b) glukosa, dapat berasal dari gula merah diencerkan, gula pasir, gula batu, air gula atau air kelapa (c) sumber bakteri berasal dari bahan-bahan makanan yang membusuk. Peran MOL dalam proses pengomposan selain sebagai nutrisi juga berperan sebagai komponen bioreaktor, juga sangat ekonomis karena hampir tanpa biaya. Hasil analisis Kurnia et al. (2003) setiap MOL dengan bahan baku berbeda, akan mengandung jenis mikroba yang berbeda. MOL bisa dikembangbiakkan sendiri dari berbagai limbah atau sisa bahan pangan. MOL memiliki kelebihan karena : (a) efektif mengurangi volume timbunan sampah dan membantumempercepatprosesdegradasisampahmenjadihumus,(c)efektifmenekantimbulnya masalah sosial/mengganggu kenyamanan lingkungan, (d) dari aspek lingkungan, kompos efektif memperbaiki sifat fisik dan biologis tanah, dapat digunakan kapan saja, aman dan tidak merusak lingkungan. MOL berbahan dasar nasi basi diketahui menghasilkan bakteri pengurai yang dapat digunakan sebagai aktivator pada pembuatan kompos organik. Untuk mengetahui bagaimana kemampuan MOL dalam proses pengomposan, telah dilakukan uji coba pembuatan kompos daun dengan pemanfaatan MOL, kemudian membandingkan penampilan fisik dan kimia kompos yang dihasilkan dengan kompos daun yang dibuat dengan EM4 sebagai aktivator. METODE Penelitian ini dimulai dengan persiapan bahan berupa sampah daun kering yang dicacah hingga berukuran lebar ± 1 cm; kotoran kambing; MOL yang berasal dari fermentasi nasi basi; serta EM4.Alat yang digunakan antara lain pencacah daun, sekop pengaduk, embrat, dan plastik terpal. Kompos dibuat dalam dua perlakuan yaitu pengomposan + MOL dan pengomposan + EM4. Masing-masing perlakuan dibuat 3 ulangan, dan proses pengomposan berlangsung selama 6 minggu. Setiap ulangan menggunakan bahan sebanyak 25 kg terdiri dari daun kering dan kotoran kambing dalam perbandingan 3 : 2. Pengamatan terhadap kompos matang meliputi data kualitatif (tekstur, warna dan bau), serta data kuantitatif meliputi : penyusutan bahan, persentase kompos halus, kadar air dan C/N rasio. Langkah-langkah pengomposan yang dilakukan seperti terlihat pada Gambar 1 berikut. Priyantini Widiyaningrum, Lisdiana
  • 93.
    68 Vol. 11No.1 Juli 2013 Gambar 1. Langkah-langkah pembuatan kompos daun HASIL DAN PEMBAHASAN Kompos matang yang dipanen setelah proses fermentasi selama 6 minggu kemudian di amati secara kualitatif penampilan fisiknya, serta diukur secara kuantitatif Tabel 1. Tabel 1. Hasil pengamatan fisik dan kimia kompos daun setelah 6 minggu No. Aspek yang diamati Hasil pengamatan Kompos +MOL Kompos + EM4 1. Kompos halus yang terbentuk (kg) 14,7 16,8 Kompos yang terbentuk (dalam %) 58,8 67,2*) 2. Remah-remah bahan yang tertinggal setelah diayak dengan ayakan Ø 5 mm (kg) 3,8 2,7 3. Bahan yang hilang/penyusutan 6,5 5,5 Bahan yang hilang/penyusutan (%) 26 22 4. Tekstur Halus, lembab Halus, lembab 5. Warna Hitam tanah Hitam tanah 6. Bau Tidak berbau Tidak berbau 7. Kadar air (%)1 43,82 41,20 8. C organik (%)1 44,17 43,52 9. N total (%)1 2,67 2,47 10. C/N rasio1 16,54 17,62 1) Hasil analisis laboratorium PAU UGM (2012) *) menunjukkan perbedaan nyata berdasarkan uji t pada taraf 5%
  • 94.
    69 Secara fisik (tekstur,warna, bau), penampilan kompos yang menggunakan MOL ternyata tidak berbeda dibanding kompos yang menggunakan EM4. Tekstur yang halus dan lembab relatif sama karena bahan dasar, ruang percobaan dan proses fermentasi diperlakukan sama dan homogen. Demikian pula rata-rata penyusutan, kadar air dan C/N rasio secara statistik tidak berbeda nyata meskipun pada kompos + MOL menunjukkan angka- yang sedikit lebih rendah. Menurut SNI No. 19-7030-2004 (BSN, 2004), spesifikasi kompos dari sampah organik domestik yang masuk kategori memenuhi standar antara lain apabila kadar C/N rasio kompos berkisar antara 10 – 20; dengan kadar air maksimum 50%. Dengan demikian, kadar air dan C/N rasio kedua kompos perlakuan masih termasuk kategori baik dan layak digunakan sesuai standar SNI. Menurut Isroi (2011), penyusutan volume pada proses pembuatan kompos berkisar antara 20 – 40% dari bahan awal, tergantung dari macam sampah yang digunakan. Proses pengomposan tergantung dari : (a) karakteristik bahan yang dikomposkan; (b) aktivator yang digunakan (c) metode pengomposan yang digunakan. Proses pengomposan akan segera berlangsung setelah bahan-bahan mentah dicampur. Secara sederhana proses pengomposan dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Menurut Sulistyorini (2005), selama tahap-tahap awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat. Demikian pula akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat hingga di atas 50o – 70o C selama waktu tertentu. Mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba termofilik, yaitu mikroba yang aktif pada suhu tinggi. Pada saat ini terjadi dekomposisi/penguraian bahan organik yang sangat aktif. Mikroba-mikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap air dan panas. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pada Tabel 1, perbedaan yang cukup mencolok antara kedua perlakuan terutama terlihat pada persentase kompos yang terbentuk. Hasil analisis statistik menunjukkan perbedaan nyata, dimana persentase kompos yang menggunakan EM4 sebagai aktivator lebih tinggi dibanding kompos yang menggunakan MOL. Pada pembuatan kompos dengan penambahan MOL, daun yang belum terdegradasi pada minggu ke-6 masih cukup tinggi dibanding kompos dengan penambahan EM4. Hal ini diduga disebabkan oleh total mikroorganisme pengurai yang terkandung di dalam larutan MOLtidak sebanyak total mikroorganisme dalam larutan EM4 pada dosis yang sama. Total bakteri MOL yang dibuat memang belum dianalisis, sementara EM4 yang sudah dijual secara komersial memang telah terstandar dalam dosis pemakaiannya. Dalam uji coba ini dosis MOL hanya mengikuti dosis yang digunakan pada EM4. Jika mikroorganisme Priyantini Widiyaningrum, Lisdiana
  • 95.
    70 Vol. 11No.1 Juli 2013 pengurai pada MOL lebih sedikit dibanding EM4, maka kemampuan mendegradasi bahan organik tentu tidak secepat dan sebaik mikroorganisme pengurai pada EM4. Menurut Wasis dan Sandrasari (2011), jenis bakteri juga memiliki kemampuan berbada dalam mendegradasi sampah. Bakteri pengurai yang terdapat pada MOLdiduga berbeda dengan bakteri yang terdapat pada EM4, meskipun secara spesifik belum diidentifikasi. Menurut Asngad dan Suparti (2005) dalam EM4 ini terdapat sekitar 80 genus mikroorganisme fermentor, yang dikategorikan menjadi 5 golongan pokok yaitu: bakteri fotosintetik, Lactobacillus sp, Streptomycetes sp, Ragi (yeast), dan Actinomycetes. Sedangkan bakteri pengurai yang terdapat dalam MOL dengan media nasi basi, mengandung unsur mikro dan makro serta mengandung bakteri yang berpotensi sebagai perombak bahan organik, perangsang tumbuhan, dan sebagai agens pengendali hama dan penyakit tanaman, sehingga MOL dapat digunakan baik sebagai pendekomposer pupuk hayati dan sebagai pestisida organik terutama sebagai fungisida (Purwasasmita, 2009). Hal yang menguntungkan adalah, meskipun komposisi MOL yang digunakan saat pelatihan tidak sebaik EM4, akan tetapi kompos yang dihasilkan relatif sama kualitasnya baik secara fisik maupun C/N rasionya. Selain itu, pemanfaatan MOL lebih efisien secara ekonomis karena tidak perlu membeli, sedangkan EM4 seharga Rp. 18.000,- per liter. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Cahaya dan Nugroho (2009) yang memanfaatkan sampah sayuran + kotoran kambing + EM4, ternyata menghasilkan kompos matang pada minggu ke – 4 dengan komposisi C/N rasio 17,45; kadar air 49,71; pH 7 serta temperatur stabil pada 26,33O C. Hal ini menunjukkan bahwa produk kompos daun dengan MOL maupun EM4 dalam uji coba ini masih dalam kisaran kualitas yang tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian lain. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penelitian ini menyimpulkan bahwa penampilan fisik kompos daun yang menggunakan MOLtidak berbeda dibanding kompos daun yang menggunakan EM4, demikian pula persentase penyusutan, kadar air dan C/N rasio tidak menunjukkan perbedaan. Kompos yang menggunakan EM4 menghasilkan persentase kompos yang terbentuk lebih baik dibanding kompos yang menggunakan MOL, dan secara umum kedua kompos yang dihasilkan masuk kategori baik dan layak untuk digunakan sesuai standar SNI No. 19-7030-2004. Saran Berdasarkan hasil evaluasi proses dan evaluasi hasil, dapat disarankan sebagai berikut: (1) Perlu dianalisis lebih lanjut berapa kandungan total mikroorganisme pengurai dalam MOL, sehingga dapat ditentukan dosis yang tepat dalam penggunaannya. (2) Untuk mempercepat masa
  • 96.
    71 proses pengomposan, selaindosis MOL yang ditambah, ukuran cacahan daun mahoni perlu diperkecil serta dicampur dengan jenis-jenis daun yang mudah hancur seperti angsana, glodogan, dll. (3) Perlu dibuatkan kotak/bak khusus yang didesain untuk pengomposan aerob, sehingga proses pengomposan bebas dari gangguan hewan, serta mampu mengolah dalam kapasitas lebih besar. DAFTAR PUSTAKA Anonimus 2007. Kisah sukses pengelolaan persampahan di berbagai wilayah Indonesia. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Cipta Karya. Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman. Asngad,A& Suparti. 2005. Model Pengembangan Pembuatan Pupuk Organik Dengan Inokulan (Studi Kasus Sampah Di TPAMojosongo Surakarta). Jurnal Penelitian Sains & Teknologi 6(2): 101-113 Cahaya, A.T.S & D.A. Nugroho. 2009. Pembuatan kompos dengan menggunakan limbah padat organik (sampah sayuran dan ampas tebu). Laporan penelitian. Semarang: Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro. Djuarnani, N., 2005. Cara Cepat Membuat Kompos.Jakarta: PT. Agromedia Pustaka Hadi, S. 2000. Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Hersanti. 2007. Isolasi bakteri asal larutan mikroorganisme lokal, uji antagonis, uji pertumbuhan semai padi. Laporan penelitian. Bandung: Fakultas Pertanian UNPAD. Indriani, Y. H., 2006. Membuat Kompos Secara Kilat. Jakarta: Penebar Swadaya Isroi. 2009. Pupuk organik granul. Buku petunjuk praktis. Yogyakarta. Diunduh di http://www. isroi.wordpress.com tanggal 8 Februari 2012. Kurnia K., P. Arbianto dan I.N.P. Aryantha. 2003. Studi patogenesitas bakteri entomopatogenik lokal pada larva hyposidra talaca walk. dan optimasi medium pertumbuhannya. Makalah seminar bioteknologi tanggal 15 September 2003. Bandung: PPAU Bioteknologi ITB. Lingga,P., 2008. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Jakarta: Penebar Swadaya Priyantini Widiyaningrum, Lisdiana
  • 97.
    72 Vol. 11No.1 Juli 2013 Sulistyorini, L. 2005. Pengelolaan Sampah dengan Cara Menjadikannya Kompos. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2(1): 77-84 Purwasasmita, M. 2009. Mikroorganisme Lokal Sebagai Pemicu Siklus Kehidupan Dalam Bioreaktor Tanaman. Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia, 19-20 Oktober 2009. Sofian, 2006. Sukses Membuat Kompos Dari Sampah. Jakarta: PT. Agromedia Pustaka Suryani, S. 2010. Pembuatan kompos jerami padi dengan aktivator Trichoderma. Laporan penelitian. Bengkulu: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Syafrudin 2004. Model Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat (Kajian awal untuk kota Semarang). Makalah pada diskusi interaktif : Pengelolaan sampah perkotaan secara terpadu. Semarang: Program Magister Ilmu Lingkungan UNDIP. Wasis, B dan A. Sandrasari. 2011. Pengaruh Pemberian Pupuk Kompos terhadap Pertumbuhan Semai Mahoni (Swietenia macrophylla King.) pada Media Tanah Bekas Tambang Emas (Tailing). Jurnal Silvikultur Tropika 3(01): 109-112 Widyatmoko dan S. Moerdjoko. 2002. Menghindari, mengolah dan menyingkirkan sampah. Jakarta: PT. Abadi Tandur.