Lifeline&
9 Cerpen Terpilih Lainnya
Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak
Cipta
Ketentuan Pidana :
Pasal 72
1. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan
tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 Ayat (1) atau pasal 49 Ayat
(1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/
atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu
juta rupiah), atau pidana penjara paling lama
7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan,
memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada
umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran
hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud
dalam Ayat 1 (satu) dipidana dengan penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Lifeline&
9 Cerpen Terpilih Lainnya
Faris Elky Ramadhan
Erlinda SW
Amalia Satriani
Hafsah K. Ayuningtyas
Prasanda Martha Sheila
Carly Erikson
Anisa Karima
Nadhilah Nurilina Adani
Apriani
Marizka Witya
Pt Digreat Publishing
Lifeline
dan 9 Cerpen Terpilih Lainnya
Penulis: Faris Elky dkk
Penyunting: Dadi M. Hasan Basri
Ilustrator isi & Desain Cover: Erlinda SW
Setter & Layouter Isi: Erlinda SW
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Digreat Publishing
anggota IKAPI
Cetakan pertama: November 2013
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari
Penerbit.
ISBN: 978-602-96-668025-2
PT Digreat Publishing
Jl. Kumbang No. 14
Bogor 16151
Dicetak oleh Percetakan PT Diploma Grafika
Isi di luar tanggung jawab Percetakan
Buku ini dipersembahkan untuk orang-orang yang
tidak pernah putus asa berjuang dalam hidupnya.
Bila kisah dalam buku ini menginspirasi,
bangkitlah karena kalian juga bisa jadi inspirasi!
vi
Kata Pengantar
Kehidupan itu misteri. Seperti sebuah kejutan di
tengah malam-sama halnya dengan salah satu
cerpen dalan buku ini. Ketika misteri tersebut
terpecahkan, ada berbagai macam rasa yang
kita rasakan. Itulah pahit manis kehidupan.
Begitu pula dengan buku ini. Memuat sepuluh
cerpen yang terinspirasi dari kisah hidup para
penulisnya. Dengan bahasa yang ringan dan kisah
yang sederhana tapi memiliki makna di baliknya.
Betapa beruntungnya menjadi manusia. Memiliki
akalsehinggabisaberpikir.Lantasmemetikpelajaran
dari setiap pengalaman hidup yang telah dilalui.
Tentu kesepuluh cerpenis ini patut berterima
kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
baik secara moril maupun materil. Rasa terima
kasih pun tak luput diberikan kepada dosen
yang mengampu mata kuliah Penerbitan.
vii
Daftar Isi
Kata Pengantar				 v
Daftar Isi					 vi
Sepucuk Maaf Dari Ruang Garuda Dua..	 1
Ketika Harus Mengikhlaskan			 11
Surat Merah Jambu				 23
Perempuan yang Bertutur Padaku		 33
Cinta Datang Terlambat			 41
Ibu, Aku Mencintaimu Dulu, Sekarang, dan
Selamanya					 49
Aku Ingin Bebas				 57
Dari Wangi Turun Ke Hati			 65
Lifeline						 73
Selamat Ulang Tahun, Ma…			 85
Profil para penulis				 95
Kasih ibu kepada Beta..... Tak terhingga
sepanjang masa..
Hanya memberi.. Tak harap kembali..
Bagai sang surya menyinari dunia…
Pagi ini masih sama seperti pagi kemarin.
Aku mendapati atap berwarna putih yang mulai tak
asing lagi di pikiranku. Berpadu tirai hijau yang khas
serta rasa ngilu yang kudapati dari pergelangan
tangan kiriku. Aku mulai mengenali ruangan ini
setiap harinya. Ya, aku sudah hampir 4 hari dirawat
di Rumah Sakit Salak Ruang Garuda Bawah 2. Bukan
sakit yang berat, namun tetap saja merepotkan
kedua orang tuaku. Demam berdarah, katanya.
Seorang suster berpakaian serba putih masuk
ke ruanganku dengan membawa aneka peralatan
yang serba runcing. Pukul lima pagi, itu artinya
aku harus ambil darah untuk yang ketujuh kalinya
dalam 4 hari aku dirawat.
“Nggak sakit.. sebentar yah..,” ujar suster
Sepucuk Maaf Dari Ruang Garuda Dua..
Amalia Satriani
2
yang di dadanya tercantum nama Onalisa sembari
mempersiapkan jarum suntik. Air mukaku
menegang.
“Udah tujuh kali ambil darah, masa nggak
kebal-kebal, sih?” timpal seorang ibu berperawakan
agak gemuk mengejekku. Beliau adalah ibuku.
“Tujuh kali juga tetep aja jarumnya nggak
tambah bersahabat. Tetep sakit tau!” Aku membela
diri sambil mengernyitkan dahi. Menahan sakitnya
jarum suntik yang tengah menghisap darah segarku.
“Sudah!” ujar suster Ona, panggilan akrabnya
dariku sembari tersenyum kemudian pergi.
“Makasih sus…” ucapku dan ibu bersamaan.
Ini adalah kali pertama aku merasakan
opname alias dirawat di rumah sakit sampai
berhari-hari, merasakan betapa sulitnya jika ingin
bergerak akibat selang infusan yang tidak bisa
diatur panjang-pendeknya, dan merasakan betapa
tidak berdayanya aku dalam melakukan hal-hal kecil
seperti pergi ke toilet dan tidak bisa mengambil
makanan atau minuman sendiri. Aku seperti bayi
besar saja.
Namun, dalam kurun waktu 4 hari aku terbaring
tak berdaya di rumah sakit itulah, aku sadar,
benar-benar sadar bahwa di dunia ini hanya ada
sedikit orang yang selalu bisa aku andalkan, hanya
ada segelintir orang yang selalu bisa aku jadikan
sandaran dalam setiap peristiwa kehidupanku.
Ibu, ibu, ibu, kemudian ayah.
Pantas saja Junjunganku Nabi Muhammad
3
SAW menyebutkan sosok ibu sampai tiga kali dalam
sabdanya. Ternyata memang benar adanya bahwa
seorang ibu begitu istimewa. Ibu yang selalu ada
untukku. Ibu yang selalu terjaga disaat aku tertidur
karena takut anaknya yang nakal dan manja ini
mengalami panas tinggi seperti hari pertama aku
dirawat disini. Ibu yang selalu siaga ketika waktunya
aku makan, ketika aku butuh minum dan ke toilet.
Iya, ibu yang setia itu adalah ibuku. Sosok
wanita yang jauh lebih setia dan perhatian dari
kekasih yang selama ini aku bangga-banggakan.
Pukul enam pagi. Seorang bapak pengantar
sarapan sudah melakukan tugas mulianya memberi
makanan pada setiap pasien dengan tepat waktu.
Ibukubarusajamenggulungsajadahdanmukenanya.
Sudah menjadi kebiasaan ibu melakukan ibadah
dalam waktu lama, karena setelah sembahyang, ibu
biasanya akan melanjutkan berdzikir dan bertasbih
yang tidak lain untuk mendoakan ayah, aku dan
adikku.
Ibu mengambil mangkuk yang berisi bubur
dankaldunyakemejadisebelahku.Dengancekatan,
ibu memisahkan bawang goreng yang tidak kusuka
dari bubur tersebut, Ibu juga mencampur kaldu dan
bubur yang menjadi menu sarapanku menjadi satu
dan menyuapiku dengan sabar. Seberapapun aku
bilang “sudah”, ibu selalu punya cara agar aku mau
melahap dan melahap lagi sarapanku hingga habis.
Hanya ibu, yang mau repot-repot memisahkan
bawang goreng yang tidak kusuka dalam sarapanku
4
tanpa mengeluh. Hanya ibu yang tahan dengan
sifat manja dan keras kepalaku yang sudah akut ini.
Tiba-tiba air mataku menetes. Tanpa
sepengetahuanibu,airmatakudenganliarmengalir.
Betapa tak berdayanya aku jika tidak ada ibu.
Aku adalah anak perempuan pertama di
keluarga kecil ini. Walaupun anak perempuan, tapi
perlakuan tegas tetap aku terima dalam setiap hari-
hariku. Oleh karena perlakuan tegas yang sewaktu
kecil aku pikir tidak adil itu, aku tumbuh dengan
perasaan serasa dikekang oleh kedua orang tuaku.
Betapa banyak kebodohan-kebodohan yang telah
aku lakukan semenjak aku mengenal dunia luar.
Pernah suatu hari, aku bersikeras ingin datang ke
pesta ulang tahun temanku di SMP yang diadakan
pada sore hari menjelang malam, namun ibu tidak
mengizinkanku karena saat itu ayah sedang tidak
ada di rumah.
“Nanti siapa yang mau jemput kalau kamu
pulang kemaleman terus nggak dapet angkot,
teh?” ujar ibu saat itu. Tapi, aku tetap kekeuh pada
keinginanku.
“Ia nggak akan pulang malem banget kok,
palingan jam 7 juga pulang. Angkot masih ada
jam segitu mah.” kataku sok tahu. Lalu mencium
punggung tangan ibuku dan melenggang pergi.
Lalu, benar saja apa yang dikatakan ibuku.
Aku memang pulang pukul 7 malam dari rumah
temanku di kawasan Perumda dekat dengan SMP
kami. Tapi, tidak ada satu angkutan pun yang mau
5
mengangkut aku saat itu, semuanya melewatiku
begitu saja. Umurku 14 tahun saat itu, dan masih
duduk di kelas 3 SMP. Mungkin karena faktor umur
itu para sopir angkot tidak mau mengangkut aku ke
dalam mobilnya, tentu saja para sopir lebih memilih
mengangkut orang dewasa yang membayar full
daripada anak ingusan seperti aku, walaupun aku
sudah bertekad dalam hati akan membayar ongkos
angkutan yang mau mengangkutku dengan full, tapi
tekad tetap saja hanya tekad. Faktanya aku tetap
berdiri di depan gang rumah temanku hingga pukul
setengah delapan malam karena tidak ada satupun
angkutan yang mau berhenti.
Hingga akhirnya, dengan terpaksa aku
mengeluarkan ponsel tipe nokia 3650 yang sedari
tadi bergetar yang sudah pasti itu telepon dari ibu.
“Masih di mana, Teh?” tanya ibu di sebrang
telepon.
“Masih berdiri di depan gang rumah Vevi,
mah. Nggak ada angkot yang mau berenti,” kataku
akhirnya mengaku.
“Tuh kan, apa mama bilang?! Udah malem
gini gimana atuh kamu pulangnya?” Ibu mulai
terdengar panik. Sebenarnya jangankan ibu, saat
itu aku juga bingung setengah mati bagaimana cara
agar bisa pulang. Jarak tempuh ke rumahku sangat
jauh dan melewati hutan yang seram. Sempat
beberapa kali terbesit untuk menaiki ojek, tapi tiba-
tiba aku teringat pesan ibu yang melarangku naik
ojek sendirian. Aku tidak berani lagi membantah
6
pesan ibu saat itu, aku sudah cukup menyesal
dengan keangkuhanku hari itu. Pesta ulang tahun
itu kan bukan hal yang wajib aku datangi, kalau saja
hari ini aku tidak pergi, mungkin saat ini aku sedang
bersantai di rumah, tidak seperti sekarang berdiri di
depan gang seperti ini.
“Tunggu, mama kesana yah. Nanti pulang
bareng mama aja. Jangan kemana-mana, jangan
mau diajak orang ya!” Lalu sambungan telepon
terputus. Nah, lihat kan? Aku jadi anak paling
merepotkan malam itu. Aku membuat ibu yang
tengah repot dengan adikku yang saat itu masih
berusia 7 tahun harus keluar di malam hari untuk
menjemputku dengan menaiki angkutan umum
yang belum tentu aman. Malam itu, aku merasa
jadi anak yang paling menyesal.
Aku mengusap air mataku segera setelah
ibu berbalik hendak menyuapiku lagi. Aku melihat
sedikit kantung mata tampak dibawah kedua
matanya. Sepertinya hampir semalaman ibu tidak
tidur karena menungguiku. Melihat itu, kelopak
mataku hampir tidak bisa menahan air mata yang
nyaris menetes lagi. Untung saja ibuku segera
berbalik lagi melihat tayangan infotainment
kesukaannya, memberi kesempatan pada mataku
untuk menjatuhkan air matanya dan mengingat
kembali segelintir kebodohanku di masa lalu yang
membuat aku merasa sangat berdosa.
Misalnya, pernah suatu hari aku sengaja
berbohong kepada orang tuaku terutama ibu saat
7
akan pergi keluar bersama pacar. Aku bilang akan
pergi bersama teman SMA-ku ke mall, padahal
aku pergi ke hutan pinus bersama pacarku. Sudah
sering aku berbohong kepada ibu apabila aku ingin
pergi ke suatu tempat yang menurut perkiraanku
mungkin ibu tidak akan mengizinkannya sehingga
aku terpaksa berbohong supaya tetap bisa pergi.
Selain itu, seringkali aku lebih mementingkan
hal-hal yang berkesan bersama pacar ketimbang
dengan orang tuaku.
Sebagai contoh, demi membuat hari ulang
tahun pacarku berkesan, aku menabung mati-
matian uang jajanku selama berminggu-minggu
agar mendapat dana yang cukup untuk membuat
kejutan ulang tahun serta membeli hadiah ulang
tahun yang berkesan untuk pacar yang saat itu
aku pikir adalah belahan jiwaku, bahkan aku
melibatkan kedua orang tuaku untuk membantuku
mewujudkan ide romantis tersebut. Walaupun,
ketika akhirnya putus, tetap saja ibu yang akan
menghiburku. Sedangkan ketika hari ulang tahun
ibu atau ayah tiba, aku memang tidak begitu saja
melupakannya. Tapi, persiapan yang terjadi benar-
benar tidak sebanding.
Aku tidak pernah menabung sampai harus
puasa untuk membeli hadiah ulang tahun ibu atau
ayah, karena pada dasarnya ibu atau ayah tidak
pernah mengharapkan hadiah yang aneh-aneh
dariku. Iya kan? Mereka memang tidak pernah
meminta hadiah yang romantis dan berkesan dari
8
anaknya bahkan mereka tidak pernah marah kalau
aku meminta uang pada mereka untuk hal yang
tidak ada hubungannya dengan kebutuhanku.
Tapi, belakangan aku sadar, begitu seringnya
aku membangga-banggakan kekasihku dihadapan
ibu dan ayah, begitu seringnya aku membicarakan
hal-hal yang akan membuat kekasihku terkesan
padaku dihadapan mereka, tanpa sedikitpun
memikirkan perasaan mereka? Bagaimana bisa?
Aku benar-benar anak yang tidak tahu terima kasih,
bukan?
Maka hari ini, benar kata orang bahwa ada
hikmah dibalik setiap peristiwa yang telah terjadi.
Berkat tangan Tuhan yang membawaku masuk ke
rumah sakit ini, aku belajar banyak hal tentang
kehidupaku sendiri. Bahwa ibu lah yang akan selalu
ada dan menjadi sandaran hidupku yang selalu bisa
aku andalkan. Bukan teman, apalagi si dia, kekasih
yang selama ini aku banggakan yang bahkan tidak
menjengukku karena sibuk.
Aku belajar, bahwa ibu itu lautan maaf,
seberapapun aku, atau kalian menyakitinya bahkan
berdosa padanya, ibu akan selalu membukakan
pintu maafnya untuk kita bahkan sebelum kita
mengutarakan permintaan maaf itu. Seringkali aku
merasa malu untuk meminta maaf pada ibu, tapi
hari ini, alasan itu tidak boleh berlaku lagi.
Masa bisa minta maaf sama pacar, tapi sama
ibu sendiri nggak bisa? Pikiranku meledek.
Lalu, pagi itu mungkin menjadi pagi paling
9
aneh untuk ibuku karena untuk pertama kalinya
dalamsadar,aku,anaknyayangangkuhini,memeluk
dan mencium ibu yang tengah menyuapiku sembari
berkata, “Makasih ya mah, maaf kalau selama ini
Ia ngerepotin mama terus. Hehe,” dengan agak
terbata, namun cukup berkesan. 
***
Ketika Harus Mengikhlaskan
Hafsah K. Ayuningtyas
8 Oktober 2012, Mesir…
“Ini adalah sebuah kisah nyata tanpa rekayasa dari
negeri Sungai Nil….”
Aku terhanyut dalam lamunanku ketika
semilir angin di pantai Alexandria,
Mesir, menyapa tubuhku dengan lembut. Angin
itu seolah menghadirkan episode kehidupan yang
selama ini aku jalani. Kehidupan yang membiru dan
penuh kenangan. Rasa hangat menelusup perlahan
di hatiku saat satu per satu sosok yang pernah ada
dan menjadi bagian dari hidupku hadir kembali di
benakku. Menghidupkan roman-roman ke-rinduan
di hati terhadap kejadian masa lalu yang tinggal
kenangan. Perlahan namun pasti, roman rindu
itu terus memenuhi pikiranku, dan berkelana di
dalamnya.
Matahari pagi delapan Oktober dua ribu
dua belas yang baru saja terbit di depanku, lautan
12
Alexandria yang meluas di sepanjang mataku
memandang, dan suara ombak yang terdengar
jelas di telingaku, tiba-tiba mengantarkanku untuk
mengingat kembali pada sosok sahabat kecilku
yang sudah hampir empat tahun berpisah. Sahabat
yang membuat kisah hidupku terasa lengkap, yang
membuatku tahu beragam rasa dalam cinta dan
manisnya sebuah kehidupan.
Namanya Nayla, lengkapnya Naylatul Azizah.
Aku dan Nayla sama-sama lahir di Mesir. Nayla
lahir pada bulan November 1993, sedangkan aku
dilahirkan dua bulan setelah-nya. Nayla adalah
anak pertama dari lima bersaudara, pasangan Om
Fikry dan Tante Anis.
Masa kecil yang kami lalui di Mesir adalah awal dari
kisah persahabatanku dengan Nayla.
Sebagai anak sulung, Nayla selalu menemani
adik-adiknya belajar ketika ibunya sedang sibuk
atau ayahnya yang masih di kantor. Aku ingat,
ketika beberapa tahun yang lalu, aku harus pindah
ke Sekolah Indonesia Cairo saat aku baru memasuki
kelas 3 SD. Nayla yang menuntunku masuk ke dalam
gerbang sekolah. Nayla pula yang setia berada
disampingku ketika aku takut dengan teman-teman
di sekolah baruku.
Aku merasa nyaman berteman dengan
Nayla, seorang gadis putih yang manis dan lembut.
Aku banyak belajar darinya, salah satunya adalah
pembawaannya yang dewasa, pendiam, cerdas dan
tidak banyak bicara.
13
Hingga suatu saat, kami merasa perjalanan hidup
kami begitu mulus, terasa sangat indah, sedikitpun
tidak ada kekurangan, bahkan kebahagiaan pun
nyaris sempurna.
Matahari yang kian meninggi dan menyinari
seluruh kota di Mesir, di depan pantai Alexandria
saat itu, aku mengenang kembali kejadian pada
lima tahun yang lalu, kejadian yang mengiris hati,
menggores luka, tapi menyimpan beribu kenangan
manis di dalamnya.
8 Oktober 2007, Mesir…
Udara pagi di negeri Sungai Nil kala itu begitu
dingin, seakan menusuk saraf dalam tubuh dan
memaksaku untuk berpakaian tebal dan hangat.
Ya, musim dingin di Mesir baru saja datang sejak
pertengahan September yang lalu. Berpuluh-puluh
warga yang lalu lalang kian memakai jaket tebal dan
syal yang hangat. Susu putih manis yang dibuatkan
bunda begitu cocok dengan suasana pagi itu.
Tanggal 8 Oktober 2007 saat itu adalah hari
Senin, dimana hari kedua pegawai kantor masuk
kerja, termasuk Ayahku. Ayah sudah berangkat dari
jam delapan pagi tadi. Bunda yang sudah sejam
lamanya duduk di kursi sofa terlihat asik mengobrol
dengan temannya lewat telepon rumah. Aku
berjalan dari kamar, menghampiri pianoku dan
memainkannya dengan penuh irama.
“Dek, Tante Anis ngundang kita ke rumahnya
14
nanti sore ya, mereka ngajak kita buka puasa
bersama disana,” kata Bunda sambil menutup
gagang telepon.
“Wah, yang bener, bun? Dedek bikinin
puding ya, bun,” jawabku. Dengan girang aku
langsung berlari menuju dapur. Memang, di mana
pun kami diundang, aku dan bunda selalu ingin
menyumbangkan puding caramel yang merupakan
makanan favoritku.
Kubuka lemari tempat Bunda menyimpan
segala jenis makanan dan kutemukan ada
beberapa kotak puding caramel di dalamnya.
Sembari mengaduk bubuk caramel dan susu putih,
terdengar dari jendela dapur percakapan antara
penjaga rumah dan anaknya dengan bahasa Arab,
bahasa yang sangat aku pahami.
Aku sungguh senang bisa datang lagi ke
rumah sahabatku. Sudah hampir satu bulan aku
tidak bermain dengannya lantaran tugas sekolah
yang menumpuk.
Sore pun tiba, hari itu adalah minggu terakhir
di bulan puasa tahun 2007. Sesampainya di rumah
Nayla, aku tidak menemukan Om Fikry dan Tante
Anis di sana. Kutaruh mangkok pyrek berisikan
puding caramel yang kubuat tadi di atas meja, dan
kutemui Nayla dan keempat adiknya ada di dalam
kamar. Terlihat ada beberapa mahasiswi yang
sedang sibuk menata makanan, dan mahasiswa
lainnya yang sedang asik dengan aktivitasnya
masing-masing.
15
“Assalamu’alaikum, Nay..” sapaku setelah
kutemui sahabatku ini sedang tiduran sambil
mendengarkan lagu dari ponselnya.
“Waalaikumsalam, Sya..” jawabnya lembut
sambil mendekatiku dan mencium pipi kanan dan
kiriku. Ayah dan bunda mengikutiku dari belakang,
masuk ke dalam kamar Nayla.
“Nay, ayah dan ibu kau kemano? Dak
kejingo’an di depan,” tanya ayahku dengan bahasa
palembang.
“Ayah mendadak dibawa ke rumah sakit,
Wak. Tadi siang ayah sakit dada, dan kata dokter,
ada pembuluh darah ayah yang tersumbat, jadi
harus dipompa dan cepat ngejalani operasi,” jawab
Nayla sambil menahan air matanya yang hendak
menetes.
“Loh? Kenapo dak ngabari kito? Siapo yang
nemani ayah dan ibu di sano?” tanya Bunda.
“Maaf wak bunda, tadi ayah dan ibu buru-
buru pergi. Ado dek Fadli, Kak Imam, Kak Arif samo
Kak Beni yang kesano,” jawab Nayla lagi.
Tanpa menunggu lama, ayah dan bunda
cepat-cepat pergi ke tempat Om Fikry dirawat
menyusul Tante Anis dan si bungsu Fadli disana,
sedangkan aku menemani Nayla dan adik-adiknya
di rumah.
Menjelang adzan Maghrib, aku terus
menemani Nayla yang tidak mau keluar dari kamar,
memberinya semangat dan terus menyuruhnya
berdoa agar penyakit ayahnya cepat disembuhkan.
16
Air mata sedihnya terus bercucuran, mengingat
sang ayah yang sedang dirawat dengan seluruh
tubuhnya yang dipenuhi oleh selang infus. Sembari
me-enangkan sahabatku, di dalam hati aku terus
berpikir, bagaimana jika aku berada di posisi Nayla?
Pasti sungguh khawatir. Perasaan bercampur aduk
antara takut, risau, sedih, dan masih banyak lagi.
“Nay, jangan nangis terus ya, banyak orang
disini yang nemenin kamu. Lebih baik kita sama-
sama doain ayah supaya cepet sembuh, operasinya
lancar dan bisa pulang lagi ke rumah,” kataku sambil
mengelus kepalanya yang dibalut jilbab berwarna
biru itu.
“Tapi aku khawatir, Sya.. Aku takut,” jawabnya
lirih dan masih terus menangis di pelukanku.
“Jangan takut ya sayang, kita serahin semua
sama Allah,” jawabku sambil mencoba untuk
menenangkan Nayla yang masih terus menangis.
Kamisama-samatidakmengetahuibagaimana
keadaan Om Fikry saat itu. Terdengar suara Nayla
yang terus berdzikir di balik telingaku. Sembari
memejamkan mata dan mulut seraya membaca
doa, aku melihat kedua adik Nayla yang masih kecil
itu sedang bermain dengan wajah polosnya.
Harisemakinmalam.Jamsudahmenunjukkan
pukul 23:00. Tidak ada satupun dari kami yang
tertidur, tak terkecuali sang adik yang juga masih
setia menunggu kedatangan ayahnya. Kami semua
menanti kabar dari ayahku mengenai keadaan Om
Fikry.
17
Lima belas menit berlalu, tiba-tiba telepon
rumah berdering. Adik dari Tante Anis cepat-
cepat mengangkat telepon, tidak lama berbicara,
mendadak beliau pingsan. Kami semua yang ada
di rumah begitu kaget mendengar kabar dari
ayah. Dokter telah berusaha semaksimal mungkin,
namun Allah berkehendak lain. Om Fikry meninggal
dunia, meninggalkan kami semua yang sedih akan
kepergiannya.
Tangis Nayla semakin menjadi. Matanya
semakin terlihat sembap bercucuran air mata.
Ia yang masih mengenakan mukena putihnya
terbaring lemas di atas sajadah sambil memeluk
erat Al-Qur’annya di depan dada. Matanya yang
polos itu menampakkan kesedihannya yang
mendalam, yaitu kesedihan atas kehilangan ayah
yang sangat dicintainya.
Perlahan-lahan aku tarik tangan Nayla agar
ia bersandar di pelukanku. Tangisnya yang tersedu-
sedu semakin mempengaruhiku untuk menangis.
“Ayaaaaah, kenapa ayah ninggalin Nayla
secepat ini? Kenapa ayah pergi begitu mendadak?
Kenapa ayah? Kenapa? Ayah, tolong jawab Nayla..
ayah masih ada disini, ayah nggak sakit, ayah masih
sehat, kan? Ayaaaah, jawab Nayla, ayah. Ayah nggak
boleh pergi, ayah harus tetap ada disini, Nayla
masih butuh ayaaaah….” teriak Nayla di telingaku,
air matanya pun terus berjatuhan.
“Sya….. kasih tau aku, ayahku masih ada kan?
Ayahku udah sembuh kan? Ayahku lagi pulang
18
menuju rumah kan? Iya kan, Sya?” sambung Nayla
yang terus memastikan bahwa ayahnya masih
hidup.
Aku tidak bisa berkata apa-apa saat itu.
Aku hanya terus memeluknya dengan erat,
menghapus air matanya dan mengelus kepalanya.
Aku merasakan apa yang Nayla rasakan saat itu,
aku sedih ketika kulihat sahabatku sedih. Ada rasa
kehilangan yang mendalam, terlihat dari bola mata
sahabatku ini. Dua adik Nayla yang masih kecil diam
membisu duduk di sebelah Nayla, bingung melihat
kakak sulungnya menangis tersedu-sedu.
Tidak terasa air mataku pun ikut menetes
dan membanjiri kedua pipiku. Nayla semakin
mengeratkan pelukannya yang melingkar di
pinggangku dan bersandar di bawah leherku.
Sembari terus memeluk sahabatku ini, di
dalamhatikecil,akuberkata,“YaAllah..hapuskanlah
tangis sahabatku ini, hilangkan kesedihannya, dan
tempatkanlah ayahnya Nayla di sisi-Mu, terimalah
amal ibadahnya dan ikhlaskanlah kami yang
ditinggalkannya. Allah menyayangimu, om, Allah
memanggilmu di bulan suci, bulan dimana pintu
surga terbuka luas untuk hamba-hambaNya. Om
Fikry yang tenang disana, aku berjanji akan selalu
menemani Nayla disini.”
Pukul dua belas dini hari, ayah kembali ke
rumah untuk menjemput aku, Nayla dan ketiga
adiknya menuju rumah sakit. Kutuntun sahabatku
menurunisetiapanaktanggaapartemenrumahnya,
19
sesekali ia jongkok di pinggiran lalu menangis lagi.
Ya Tuhan, aku tidak sanggup melihatnya.. Beri
aku kekuatan untuk bisa terus ada di sampingnya..
Puding caramel buatanku tadi belum sempat
dicicip Nayla, sehingga aku membawakannya
sedikit di dalam gelas plastik. Masih dengan isak
tangis yang tidak mengenal ruang dan waktu, bibir
kami keluh dan diam seribu bahasa ketika melihat
jasad Om Fikry terbaring dengan kain kafan yang
membalut di tubuhnya.
Untuk terakhir kalinya Nayla diberikan
kesempatan untuk mencium almarhum ayahnya.
Aku berjalan mendekati ayah dan bundaku yang
juga terlihat sedih dan kehilangan sahabat mereka,
bunda mencoba untuk menenangkan Tante Anis
yang tidak berhenti menangisi kepergian almarhum
suaminya.
Aku juga takut merasa kehilangan se-perti
Nayla. Aku bisa merasakan bagaimana sedihnya
ketika ia mendadak ditinggal ayah-nya. Aku terus
berbicara di dalam hati, bahwa aku belum sanggup
untuk ditinggalkan. Kupeluk erat tubuh ayah dan
bundaku. Aku takut kehilangan kedua mereka.
Selama di Mesir tanpa keberadaan Om Fikry,
Tante Anislah yang sibuk mencari biaya dengan
berjualan kerupuk dan kemplang Palembang. Dua
tahun kemudian, Tante Anis, Nayla, dan keempat
adiknya kembali ke Indonesia dan akan tinggal
selamanya disana.
Hampirlimabelastahun,Naylamenghabiskan
20
setengah hidupnya di kota kelahirannya. Aku
sebagai sahabatnya juga ikut terpukul, ketika
harus meninggalkan kota kelahiran dengan sejuta
kenangan yang pernah kita alami bersama.
Nayla meninggalkan aku, meninggalkan
Mesir pada bulan Juli 2009. Kini, aku tidak bisa lagi
bermain dengannya, berkejaran seperti layaknya
anak kecil, saling berbagi cerita dan bercanda tawa.
Kubuka mataku yang dari tadi terpejam
menghadap lautan, menikmati setiap suara ombak
yang syahdu di depanku. Matahari sudah berada di
atas sana, diantara para awan putih yang menari-
nari di sekitarnya.
Ah, aku sungguh terbawa oleh memori-
memori indah yang masih tersimpan di dalam
benakku. Kini, sahabatku Nayla sudah berada di
Palembang, menemani ibu dan keempat adiknya
disana. Kabar terakhir yang kudengar dari ayah
tentang Nayla, bahwa ia berhasil meraih juara
umum menghafal Al-Qur’an di sekolahnya, dan
mendapatkan tiket gratis Umroh ke tanah suci.
Satu hal yang membuatku bangga memiliki
sahabat sepertinya adalah Nayla mampu
mengumrohkan ibu yang melahirkannya dari
hasil jerih payahnya. Nayla mampu melawan
kesedihannya, menghentikan setiap tetes air
matanya. Nayla bukan lagi seorang perempuan
yang mudah menangis, tapi kini ia telah menjadi
Nayla yang baru, Nayla yang bisa melewati hari-
harinya tanpa sosok Ayah yang paling dicintainya.
21
Mesirsebagaiawaldanmungkinakanmenjadi
akhir dari perjalanan hidupku bersama keluarga
dan sahabat-sahabatku. Bagiku, Mesir adalah satu-
satunya kota yang indah dan menyenangkan di
mataku. Mesir menjadi saksi atas segala kejadian
yang terjadi di dalam hidupku.
Aku tidak bisa menjelaskan bagaimana
indahnyajikabanyakorangyangbertanyamengenai
Mesir. Selain masyarakatnya yang ramah, mudah
bergaul dan juga kotanya yang relatif aman, tapi
menurutku, Mesir hanya salah satu tempat yang
penuh dengan sejarah, penuh kenangan manis,
asam, dan pahit. Semua itu pernah aku alami
selama tujuh belas tahun aku hidup di Mesir. Itu
saja.
***
Hari ini aku kembali. Jalanan ramai
oleh orang-orang yang datang dan
pergi, ada yang berangkat kerja dan ke pasar. Meski
begitu ujung sepatuku masih bisa menghentak dan
menggema di keramaian, seperti menunjukkan ke
arah mana aku harus melangkah.
Ada satu pohon yang tanpa sengaja tumbuh
menjulang megah di sana. Tempat ini menjadi
tempat favoritku untuk mengenang seseorang.
Masih sangat jelas di benakku wajah lembutnya
bagai kuncup mawar yang baru mekar. Mutiara
jernih pun menetes lalu membasahi pipi. Dan
setelah itu tak terdengar apa-apa lagi. Hening. Ya,
semuanya terjadi tepat delapan tahun silam.
Saat itu aku masih menduduki bangku kelas
satu SMP. Aku anak ketiga di keluargaku dan aku
sangat dekat dengan kakakku. Rani, nama yang
sangat manis, semanis orangnya. Kami memiliki
selisih umur lima tahun. Aku le-bih banyak
menghabiskan waktu bersama dia dibandingkan
Surat Merah Jambu
Apriyani
24
bersamateman-temanku.Kamijugamemilikiwarna
favorit yang sama, yaitu merah jambu. Namun tak
jarang juga kami beradu mulut, memperdebatkan
hal-hal konyol.
Teeng teeng, bell tanda pulang pun akhirnya
berbunyi. Bersama dua teman sekelasku, kami
pun pulang menuju rumah masing-masing.
Sesampainya, rumah terasa sepi. Aku memanggil
ayah, ibu dan kakakku, namun tak juga ada sahutan.
“Mungkin mereka sedang di kamar,” pikirku.
Langkah kakiku berlanjut ke kamar kakak.
Sejenakide jahilku menyelinap untukmengagetkan
kakak yang mungkin sedang bertapa di kamarnya.
“Hahaha,” tawaku dalam hati seperti tawa
hantu yang siap menakut-nakuti mangsanya.
“Waaaaa,” teriakku keras berharap kakak
akan kaget.
Sekarang malah aku yang dikagetkan karena
tak juga kudapati kakak di kamarnya. Perasaan
kesal langsung menyergapku seketika karena kurasa
mereka semua pergi jalan-jalan tanpa menunggu
aku pulang dulu ke rumah.
Selang beberapa menit kemudian, aku
mendengar ada yang membuka pintu rumah. Dari
ruang tamu, aku melihat ayah, ibu, dan kakakku.
Perasaan kesalku langsung kutumpahkan ke mereka
tanpa basa basi, terutama ke kakakku.
Aku mengomel sambil memukul pelan tangan
kakakku. Namun dia hanya mendiamkanku dan
langsung masuk ke kamarnya. Aneh.
25
“Jangan ganggu kakakmu dulu ya sayang,”
ucap ibu dengan lembut mengusap rambutku.
Aku hanya bisa manggut dengan wajah
mengerut.
Saat malam tiba, ibu memanggil kami untuk
makan malam bersama. Kami sekeluarga memang
selalu makan malam bersama di rumah karena ibu
tidak ingin kami makan makanan luar. Saat di meja
makan, ku dapati kursi makan kakak masih kosong.
“Bu, kakak mana? Kok belum makan?”
tanyaku heran.
Ibu terdiam sejenak.
“Mungkin kakakmu lagi ga enak badan. Ya
sudah, kamu lanjut makan saja ya,” ujar ibu.
Perasaan kesal dan marahku tadi siang kini
berubah menjadi kasihan kepada kakak. Selepas
makan malam, aku berencana untuk menyapa
kakak di kamarnya.
Tok tok tok. Aku memberanikan diri mengetuk
pintukamarnya.Daridalamterdengarsuarasahutan
kakak. Aku pun membuka pintu dan masuk.
“Hai kak,” sapaku.
Kakak hanya membalas dengan senyuman
kecil di wajahnya.
“Kakak kenapa sih di kamar terus seharian?
Aku kan jadi ga ada temen main,” ujarku dengan
nada bercanda.
“Makanya kamu cari temen dong, masa mau
main sama kakak terus. Ntar kalau kakak udah
kuliah jauh dari rumah gimana?” balas kakak sambil
26
tertawa kecil.
Aku tersentak. Sedari dulu kakakku memang
ingin sekali menjadi dokter. Rencananya selepas
lulus SMA dia akan melanjutkan kuliah Kedokteran
di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Katanya
sih biar bisa sembuhin ayah ibu kalau sakit.
Sesederhana itu.
Hatiku sedih karena beberapa tahun lagi
kakak akan kuliah di tempat yang jauh.
Semenjak percakapan malam itu aku berpikir
untuk selalu menghabiskan waktu bersamanya.
Memanfaatkan waktu yang hanya tinggal sebentar
untuk bisa terus bersamanya. Namun entah kenapa
semenjak itu pula kakak sedikit berubah, menjadi
lebih pendiam dari biasanya yang suka ngoceh dan
riang. Kakak lebih sering duduk-duduk di kamar dan
jarang sekali bergerak. Sikap kakak seperti orang
sedang patah hati.
“Apa kakak abis putus dari pacarnya, ya?”
pikirku dalam hati.
Hmmm, entahlah. Yang pasti aku akan
berusaha buat kakak tersenyum lagi.
Suatu malam, tak sengaja aku melihat ibu
menangissendiriandikamarnya.Saatituayahmasih
belum pulang kerja. Aku langsung menghampiri ibu
untuk bertanya. Ibu yang kaget melihatku masuk ke
kamar segera menghapus air matanya.
“Ibu kenapa menangis?” tanyaku sedih.
“Tidak ada apa-apa nak, ibu hanya sedih,”
sahut ibuku.
27
Dengan cepat aku menjawab, “Apa yang bikin
ibu sedih?”
Ibuku hanya terdiam menahan tangis.
“Ibu tolong kasi tau aku,” ujarku penasaran.
Sementara ibu masih mengunci rapat bibirnya dan
aku terus mendesak ibuku agar berterus terang.
“Ibu, tolong jawab,” desakku.
“Baiklah, mungkin memang udah waktunya
kamu tau. Tapi janji ya, kamu jangan kasi tau
kakakmu,” kata ibu.
Aku mengangguk mantap. Dengan penuh
linangan air mata, ibu mulai menceritakan
semuanya kepadaku. Hatiku serasa hancur lebih
dari berkeping-keping mendengar penuturan demi
penuturan oleh ibuku. Air mataku pun ikut menetes
membasahi kedua pipi. Aku merasa menjadi orang
paling bodoh.
Aku kembali ke kamar. Malam itu terasa
begitu panjang. Beberapa kali aku mencoba untuk
tidur namun sia-sia. Air mata terus mengalir deras
dan kata-kata ibu terus saja terngiang di telingaku.
Keesokan paginya aku terbangun lebih awal
dari biasanya. Hari ini aku berniat untuk membuat
sarapan roti bakar coklat kacang kesukaan kakakku.
Selesai membuat roti bakar, aku langsung ke kamar
kakak untuk mengantar langsung sarapan ke
kamarnya. Kakak menyambutku dengan senyum
lebar di wajahnya. Aku juga membalasnya dengan
senyuman seolah tidak terjadi apa-apa tadi malam.
“Kakak, roti bakarnya di makan, yaa. Buatan
28
aku sendiri, loh,” ujarku sedikit pamer.
“Waah, tumben-tumbenan kamu dek. Ada
apa, nih? Kakak curiga. Mau dibeliin ikatan rambut
baru lagi yaa? Hehehe,” kata kakak dengan nada
mengejekku.
“Ya engga lah, aku cuman lagi pengen aja
kok,” jawabku singkat.
“Ya deh, tapi makasi yaa, Dek,”
Lalu kakak bangun dari tempat tidurnya
hendak membuka jendela kamarnya. Aku
melihat kakak berjalan dengan agak pincang. Lalu
kuperhatikan lagi kakinya. Aku melihat daerah lutut
kanannya bengkak. Aku segera mendekat ke dia.
“Loh, lutut kakak kok bengkak? Kenapa?”
tanyaku.
“Oo, kakak kemaren terjatuh di kamar mandi
dek. Ga terlalu sakit kok. Santai ajalah,” jawab
kakak dengan senyuman seolah ada yang dia
sembunyikan dariku.
Aku yang sebenarnya sudah tahu merasa
tidak tahan dengan kebohongan yang dia lontarkan.
Tanpa sadar aku berkata, “Kenapa kakak harus
sembunyikan semuanya dari aku?”
Senyum kakak berubah menjadi ekspresi
kaget.
“Maksud kamu apaan sih, Dek? Masih ngigo
ni kayaknya,” jawabnya bercanda. Sekali lagi aku
tak bisa membendung air mataku. Aku menangis
terisak-isak di situ. Aku memberanikan diri untuk
mengatakan hal ini kepadanya.
29
“Kenapa kakak ga jujur sama aku kalau
sebenarnya… sebenarnya kakak mengidap penyakit
kanker tulang? Kakak mau bohong sampai kapan,
Kak?” ujarku dengan nada sedikit tinggi. Tangisku
semakin menjadi-jadi. Kakak hanya terdiam
membisu dan menangisi takdirnya yang tak pernah
dia bayangkan akan menjadi seperti ini. Namun dia
tetap tegar.
“Heeei, dasar cengeng. Setiap penyakit pasti
ada obatnya. Kakak bakal menjalani beberapa
pengobatan kok dan pasti sembuh,” ucapnya untuk
menenangkanku.
Mendengar kata-katanya itu, aku merasa
ada sedikit cahaya harapan untuk kesembuhan
kakakku. Semenjak hari itu, aku selalu menemani
kakakku selama pengobatan, walaupun harus
ke luar kota. Kakakku sudah menjalani banyak
pengobatan namun perkembangannya tidak terlalu
memuaskan.
Sampai pada akhirnya orang tuaku
memutuskan untuk membawa kakak ke salah satu
rumah sakit di Singapura. Berharap akan ada setitik
keajaiban yang akan menghampiri kami semua.
Namun mereka tidak bisa mengajakku dikarenakan
jauh dan mengingat aku sudah sering sekali tidak
masuk sekolah. Aku bersikeras ingin menemani
kakakku, namun apalah daya aku tetap tidak
bisa ikut. Kakakku juga memberikan pengertian
kepadaku bahwa dia tidak keberatan untuk tidak
ditemani olehku.
30
“Udah gapapa kalau kamu ga ikut. Lagian
masih ada ayah ibu kok. Ntar kalau udah sembuh
kakak juga langsung pulang. Oke?” katanya.
Aku hanya bisa pasrah. Orang tuaku akan
tinggal di Singapura sekitar seminggu. Akhirnya aku
dititipkan di rumah tanteku.
Suatu pagi, di hari ketiga semenjak aku
ditinggalkan, dering telepon rumah membuyarkan
mimpi indahku barusan. Aku terbangun. Tak berapa
lama tante mengetuk pintu kamar.
“Yani, kamu bersiap-siap ya, Nak. Bentar lagi
kita pulang ke rumahmu,” ujar tante dari luar pintu
kamar.
“Loh kenapa tante? Kakak udah pulang ya?
Asiiik,” jawabku kegirangan.
“Iya sayang,” jawab tante.
Setibanya di rumah, aku mendapati banyak
orang berdatangan. Wajahku mengerut heran.
Sejam kemudian mobil ambulance tiba di depan
rumahku. Seketika seisi rumah penuh dengan
isak tangis keluarga. Perasaan aneh semakin
membuncah.
“Ada apa ini?” tanyaku dalam hati.
Tiba-tiba aku merasakan seseorang
memelukku perlahan.
“Sayang, ikhlaskan kepergian kakakmu yaa,”
ucap tante.
Tubuhku melemas. Aku serasa mendengar
suara gemuruh yang mendentumkan suaranya ke
telingaku. Berharap ini hanya mimpi di siang bolong.
31
Tapi… Dalam sekejap kolam mataku yang dipenuhi
mutiara jernih jatuh berlinangan dengan derasnya.
Kalau boleh ingin aku meraung sekeras-kerasnya.
Seketika itu juga aku memeluk tubuh kakak yang
terbujur kaku dan dingin.
Malam harinya, setelah berdo’a bersama
seluruh keluarga, aku melihat sepucuk surat merah
jambu di atas meja kamar. Di sampulnya tertulis
Untuk Adikku, Yani. Ku buka perlahan dan ku baca
isi surat itu.
Assalamu’alaikum adikku. Saat kamu baca
surat ini kakak sudah tidak ada lagi di antara kalian,
tapi kakak akan selalu dekat.
Ingin sekali rasanya kakak hidup lebih lama.
Tapi kakak yakin Tuhan punya rencana yang jauh
lebih indah dibanding rencana kakak. Kamu boleh
bersedih karena hati diciptakan memang untuk
merasakan sedih dan bahagia. Namun jangan
sampai terpuruk. Tetap rajin belajar ya. Hidupkan
kembali mimpi kakak yang sempat mati. Buat ibu
dan ayah bangga.
Salam Cinta, Kakakmu
Maharani
Sejak saat itu aku belajar satu hal,
persaudaraanakanselalukekaladanyabilamanakita
menerima dengan penuh ketulusan hati. Kakak, kau
mirip helai bunga mawar yang mekar, berguguran,
32
dan ku simpan di antara lipatan buku kenangan
yang indah. Sewaktu-waktu aku bisa membukanya
dan melihatmu masih ada di sana. Helai bunga
sakura yang masih utuh, seperti menyimpan segala
kenangan tentangnya yang belum pernah terhapus
sedikit pun.
***
Perempuan yang Bertutur Padaku
Carly Erikson
Jari-jari lentikmu menggamit sebatang
rokok lagi. Mungkin batang yang
ketujuh malam ini. Asap mengepul pekat, lekat
dalam lamunanmu. Kau jeda sejenak sebelum
meneruskan cerita itu lagi. Aku mulai mual karena
asap-asap itu menerobos masuk ke paru-paru.
Aku bukan perokok tapi aku bertahan, demi kamu.
Bahkan, saat derai gerimis mulai menghajar seru.
“Bagaimana itu berawal?” tanyaku.
“Ha.. ha..”, kau mulai dengan tawamu
yang berderai seperti derai gerimis dan
kita tak pernah peduli dengan gerimis ini.
Walau basah menjamah baju-baju ini tapi
kita tetap nikmati percakapan ini. Dingin seperti
menghilang karena kehangatan yang hadir berhasil
mengusirnya. Pohon mangga yang melingkupi
tempat duduk yang basah ini, mengayunkan
rantingnyayangpenuhdedaunanuntukmemercikan
air ke tubuh kita. Sedang kita tenggelam dalam
ceritamu. Dengan duduk di atas kursi kayu panjang
34
tanpa meja, tak ada teman selain kita kecuali dua
cangkir sisa capuccino yang tertutup, kau taruh
sembarangan di bawah kursi yang kita duduki.
“Aku sudah merokok sejak SMP”, kau mulai
memungut kembali kepingan kaleidoskop hidupmu.
“SejakSMPkelasduatepatnya.Senior-seniorku
dikampungyangmengajarikubagaimanamenikmati
rokok. Jadi, jangan selalu berfikir kampung itu alim,
pergaulannya tak seperti di kota. Aku bisa pastikan,
tak jauh beda!” kau mendesah lalu menghisap,
membiarkan asap rokokmu membentuk lingkaran-
lingkaran di tengah dingin dan derai gerimis.
“Itu gunanya TV!” kau
seperti menarik kesimpulan.
Lalu kau melanjutkan, “Aku tumbuh di
lingkungan yang memungkinkanku menjadi gadis
yangperiang,gampangpercayadanmudahbergaul.
Itu mungkin yang jadi masalah utama bagiku.”
Kau jentikkan jari telunjukmu ke rokokmu,
debu rokok berguguran di sampingmu.
“Masih lekat dalam ingatanku, tiap ada
kumpulan muda-mudi di kampung, disitulah
dimulainya transfer pengalaman dari senior ke
junior. Biasanya, selalu ada pertemuan rutin muda-
mudi. Selepas arisan atau rapat, kami ngumpul.
Awalnya, yang perempuan dengan perempuan
dan yang laki-laki dengan laki-laki. Lalu kami
bentuk semacam genk, hanya sedikit yang tidak
ikut. Kami selalu mengolok-olok yang tidak ikut
sebagai orang kolot! Kuper! Kampungan! Ha…
35
ha.. Padahal kami semua orang kampung, ya?!”
Tawamu kembali berderai seperti
menyambut derai gerimis yang memayungi
wajahmu. Bunting-bunting air meleleh pelan di
pipimu menuju ke dagu. Sejuk. Kupikir saat itu
tak ada yang lebih menyejukkan daripada pipimu.
“Tiap malam minggu genk kami ngumpul.
Awalnya, kami yang yunior, yang masih SMP
hanya coba-coba merokok. Sebatang-dua
batang. Makin lama kami nyoba ikut menegak
minuman, satu-dua rolling. Tapi jangan salah,
kami tak pernah nyoba nge-drugs! Hanya rokok
dan minum. Soal minuman, kami lebih suka ciu
atau topi miring. Pertama nyoba mau muntah.
Baunya menyengat, hidungku serasa ditusuk-
tusuk jarum. Tapi keinginan untuk jadi anggota
genk, biar gak diolok-olok, membuatku bertahan.
Saat minuman mulai menerobos tenggorokan,
tenggorokan ini serasa terbakar. Rasanya pening,
saat itu dunia seolah gelap dan berputar-putar
seperti komedi putar yang di tarik kencang.”
Kauberjedasejenakserayamenatarambutmu
yang terkulai basah yang melekat pada jaket coklat
matang-mu. Kau terlihat alami dengan rambut
yang basah. Ah.. mirip Dian Sastro? Bukan! E..
Luna Maya? Tidak juga, karena matamu tak sebiru
miliknya. Nah.. seperti bidadari selepas mandi!
Lalu, kau menatap mataku dalam, seperti
ingin mencari sesuatu. Dan sepertinya kau tak
menemukanapa-apa.Hanyabijimatamuyangbesar
36
sedikitmengerling.Entahapamaksudnya.Membaca
matamu memang pekerjaan paling susah. Seperti
waktu aku sekolah dulu yang selalu ketakutan bila
bertemu soal kimia, begitu pula saat aku berusaha
membaca matamu. Takut. Entah karena apa.
Ataukah takut jangan-jangan aku bisa mengetahui
yang sebenarnya di balik semua tatapanmu?
Kau lanjutkan lagi ceritamu sedang aku
tetap diam, “Senior-senior itu kupikir, memang
kurang ajar! Selepas kami sering ikut, mereka mulai
minta uang pada kami. Kadang, mereka malah
tak ikutan patungan sama sekali untuk membeli
minuman. Cuiihhh! Dasar perempuan-perempuan
murahan!” Kau lempar muka ke samping.
“Mereka juga mengajari kami bagaimana
harus cari pacar yang bisa diporoti! Hi..hi..
hi… Sekarang aku sadar. Aku juga murahan!”
Kau seperti mengutuk lalu
menertawakan diri sendiri. Kamu tergelak,
mengadah, mempertontonkan lehermu yang
berjenjang dan sesuatu mendorong-dorong
dari dalam dadaku. Tapi aku tetap diam.
“Tak sampai setahun, kami para junior, telah
sama mahirnya dengan para senior. Kami juga
mulai sembarangan, kadang kami ngajak genk laki-
laki untuk bergabung bersama kami. Bayangkan
apa yang terjadi. Kacau! Dan kamu tahu? Orang
tua kami seperti mendiamkan. Keterlaluan!”
Kau geleng-gelengkan kepalamu seraya
tersenyum, seperti tak percaya. Lalu kau
37
buang puntung rokok yang tersisa, menarik
satu tanganku lalu menggosok-gosoknya
dengan kedua tanganmu. Aku biarkan saja.
“Aku mulai merasa dingin. Biar gak
dingin, ya?!” katamu. Aku cuma mengangguk,
buyar senyum tertahan dari wajahku.
Kau lepaskan tanganku dari kedua
tanganmu lalu menyalakan rokok kembali.
Karena basah, rokokmu jadi sering mati dan
kau pun kesulitan menyalakannya kembali.
Aku mencoba membantu menyulutnya.
“Terima kasih. Mulai saat itu, aku pintar cari
lelaki. Dengan modal tampang yang cantik ini!”
Kau terlihat begitu percaya diri
saat berucap seperti itu. Memang benar,
kamu cantik. Amat cantik bahkan, batinku.
“Kadang, bahkan aku bisa punya tiga
pacar sekaligus dalam waktu yang bersamaan.
Dan, tak ada satu pun dari mereka yang tak
mau berkorban demi aku. Mereka semua orang
yang kaya atau paling tidak bisa mendapatkan
uang yang aku butuhkan. Maklum, biaya hidup
makin mahal jadi aku tak bisa terus gantungkan
hidupku hanya dari orang tua. Apalagi aku anak
kost karena jarak rumah dan sekolahku cukup
jauh.” Kau berjeda sejenak seperti berfikir.
“Huh… Jauh dari orang tua membikin hobi
keluar malamku makin lama menjadi-jadi. Selalu
ada saja alasan untuk itu. Dan aku jadi sering
bolos sekolah. Namun, dengan keadaan seperti
38
itu, malah memudahkanku untuk mendapatkan
apa yang kuinginkan. Aku bisa beli HP yang lagi
nge-trend, bisa ngisi pulsa tanpa keluar uang
sepeser pun. Pakaian. Bisa beli make-up untuk jaga
penampilan. Semua dari pacar-pacarku.” Kau diam
sejenak, membiarkan nafasmu mendengus pelan.
“Tapi, memang butuh keahlian tersendiri
untuk bisa berbagi waktu untuk mereka. Aku
mencoba untuk tak pernah serius dengan mereka
dan ketika salah satu dari mereka mengetahui siapa
aku, berapa pacarku, aku langsung putus hubungan
denganmerekasemua.Gantinomorbaru,carikorban
baru. Dengan potensiku dan kebodohan mereka,
hal itu semudah membalikkan telapak tanganku.”
Kau balikkan satu telapak tanganmu, seolah
menunjukkan betapa mudahnya kau melakukan itu.
“Ha..ha.. Kadang aku berfikir kalian itu mirip
kerbau. Jinak! Kalian terlalu lemah berhadapan
dengankecantikan.Kamihanyaperlubersikaplemah
lembut, sok alim dan kalian pasti langsung percaya
pada kami.” Kau seperti sedang mengolok-olokku.
“Ehm.. Tapi anehnya sejak pertama kita
ketemu, aku percaya kamu tidak seperti itu.”
Kau kembali menatapku lebih dalam, mencoba
mencari jawaban. Aku coba alihkan tatapanku.
Kaumatikanrokokmuserayaberkata,“Inirokok
terakhirku.Akuberhentidemikamu.”Lalukauangkat
kedua tanganmu dan menaruhnya di kedua pipiku.
Hangat serta-merta menjalari sekujur tubuhku,
dada ini kembali bergelora tapi aku tetap diam.
39
Kamikembalibertatapan.Kaliiniakuberjuang
keras mengatasi ketakutanku. Cukup lama. Aku jadi
memahami kenapa para lelaki itu begitu mudah
kau jinakkan! Kamu benar-benar memahami
keinginan laki-laki, bahkan saat masih mereka
simpan jauh dalam hati. Mungkin beberapa menit
telah lewat dan kita diam dengan posisi seperti itu,
tapi kau tak menatapku lagi melainkan tertekuk.
Bulir air gerimis meleleh melalui
hidungmu yang menunduk. Huiihhh...!!! Aku
lagi-lagi jadi memaklumi kenapa para lelaki
jadi begitu lemah menghadapi kecantikan.
Dan menurutku, kau adalah kecantikan itu
sendiri.
***
Cinta Datang Terlambat
Anisa Karima
Dear : Neptunus
“Hai Nus, ini suratku yang ke- 99.
Semenjak film perahu kertas keluar, aku resmi
mengajukan diri jadi agenmu sampai sekarang. Hari
ini aku sedih Nus, duniaku berubah. Entah apa yang
mengubahnya. Rasanya, aku lupa sama pelangi.
Udah lama ga pernah liat lagi. Tapi bukan itu yang
penting, ini tentang hidupku yang baru setelah
ayah, Bina, dan aku pindah ke rumah yang lebih
kecil karena ayah harus membayar semua hutang
perusahaannya. Sama seperti cinta nus, mungkin
akan tertulis kisah baru atau malah...luka baru.
Entahlah, aku ingin seperti Kugy, tapi aku kira nus.
Dan ini bukan seperti perahu kertas. :)”
Salam bebas
Kira Nastasya
Bersama angin, debu, dan segalanya yang ikut
mengayun bersama balon merah muda, sebuah
42
perahu kertas mengalun di udara selihai ia melaju
di lautan.
Sentul, Bogor 22 Maret 2012
Kira terlihat cemas. Matanya tak lepas dari
arah yang berlawanan berharap seseorang datang.
Lalu beberapa kali ia melihat ponselnya, berharap
dering suara berbunyi dari ponselnya.
“Ra, udah di telpon belum? Renan lupa kali..”
Yunda menenangkan.
“Udah..” Jawab Kira seadanya.
“Jangan khawatir gitu atuh..lo tuh ada rasa
kan sama Renan? Mata gabisa bohong..” ujar Yunda.
Kira terdiam, mencerna kembali kata-kata
Yunda.
“Lo harus jujur sama diri lo sendiri, tingalin
keraguan lo, jangan sampe nanti nyesel Ra..” Yunda
menambahkan kalimat yang membuat Kira kembali
mencerna kata-kata-nya. Apa benar selama ini
perasaan Kira pada Renan itu lebih dari seorang
teman? Sahabat? Itulah yang ada di benak Kira saat
mendengar ucapan Yunda.
“Nah nah nah, kamana wae atuh akang anu
kasep.. neng geulis teh udah menanti ti tadi,” ledek
Yunda memakai bahasa sunda.
“ Tadi kesiangan, sori..” Renan menjawab
dengancuek.TidaksekalipunRenanmemperlihatkan
senyum ke arah Kira atau bahkan menyapa. Hari
ini Renan terlihat begitu berbeda, dingin. Kira
merasakan perbedaan dengan keheningan yang
43
dipendamnya. Film tetap berjalan sesuai harapan,
namun hati, bukan seperti ini harapan Kira.
Renan terlihat begitu cepat menghilang,
mungkin benar ucapan Yunda. Saat ini Kira terjebak
pada perasaannya sendiri, perasaan yang selama
ini ia paksa tetap menjadi sahabat. Kira cemas,
seperti ada yang hilang. Kali ini harus diakuinya,
bahwa ia telah merasa kehilangan sesuatu yang
berharga. Semoga ini hanya sementara, Kira tidak
ingin kehilangan....Renan.
“Ra, mau sampe kapan disini? Nunggu
Renan? Dia udah balik..” Yunda membuyarkan
lamunan Kira. Kira hanya tersenyum lalu berjalan
menghampiri Yunda, berniat untuk pulang.
“Sweet...disposition...” Dering ponsel Kira
berbunyi, terdengar lagu kesukaannya dari band
The Temper Trap.
From : Renan.
Kak, ini Orland. Kak Renan aneh, dia kejang-kejang
terus ngunciin diri di kamar. Orland bingung. Kak
Kira bisa ke rumah gak?
Mata Kira terbelalak, Kira kaget melihat sms
Renan yang ternyata ditulis oleh Orland.
“Ra, apaan sih? Lo kenapa eh?” Yunda
penasaran, ia lalu menarik ponsel Kira dan
membacanya.
“Yaampun, jangan-jangan Renan OD..”
celetuk Yunda asal.
44
“OD? Maksud lo Over Dosis? Ngobat?” Kira
panik.
“Daripada ngira-ngira mending sekarang kita
kerumah Renan!” ajak Yunda dengan cepat. Tanpa
banyak bicara, Kira segera mengiyakan ajakan
Yunda untuk segera pergi kerumah Renan.
Rumah Renan, 15.00...
“Sekarang apa?” tanya Yunda bingung.
“Masuk langsung aja deh..” jawab Kira yang
juga terlihat bingung. Mereka akhirnya masuk
kerumah Renan tanpa permisi atau memencet bel
sekalipun.
“Kemana sekarang?” tanya Yunda lagi.
“Hem...langsung ke kamarnya aja deh..” Kira
menjawab dengan ragu-ragu. Namun tanpa banyak
berdebat mereka akhirnya menuju kamar Renan.
“Kak Kira...” Panggil seorang anak yang tidak
asing untuk Kira dan Yunda.
“Orland..Kak Renan mana? Gimana
keadaannya? Dia masih nafas kan?” Kira bertanya
sederet pertanyaan.
“Lebay, santai broh..” saut Yunda menggoda.
Orland tidak menjawab, ia lalu menarik tangan
Kira menuju pintu kamar Renan. Sementara Yunda
hanya mengikuti mereka berdua hingga Kira
membuka pintu kamar Renan.
“AAAAA!” Kira berteriak histeris dan menutup
wajahnya.
“Apaan sih! Gelap woy gakeliatan apa-apa!
45
Maen teriak aja..Nyalain dulu lampunya..” omel
Yunda yang kaget mendengar Kira berteriak. Orland
hanya tersenyum melihat tingkah laku Kira yang
seperti anak-anak.
“Maaf atuh..kirain tadi bakal liat Renan
kenapa-kenapa..jadi aja ter-,”
“SURPRISE!!” Terdengar suara serempak yang
sukses membuat Kira bengong saat menyalakan
lampu. Terlihat teman-temannya membawa banyak
balon dan kue ulang tahun berdiri tegak dikamar
Renan.
“Siapa yang ulang tahun?” tanya Kira polos.
“GUE! Kira atuh yah! Payah ah nenek nenek..”
saut Yunda tertawa.
“Sumpah gue aja lupa..Jadi kalian? Lo tau
Nda? Aaaa pengen nangis bombay jadinya...” Kira
benar-benar terharu, terlebih ia melihat sosok
Renan yang begitu lembut, berbeda saat tadi pagi
mengerjakan film bersama. Renan menghampiri
Kira dengan membawa balon merah kesukaan Kira
dan kue bertancapkan lilin angka sembilan belas.
“CIEE..” Teman-teman Kira memberi sorakan,
Kira memejamkan matanya.
“Aku yakin, Mungkin aku memang cinta
Renan. Terimakasih Tuhan..”. Kira membuka
matanya, lalu meniup lilin itu dengan senyuman
terindah, berharap doanya didengar oleh Tuhan.
Semua sangat menikmati hari ini, Rumah
Renan kini ramai. Orland terlihat sangat bahagia,
tidak biasanya ia tertawa begitu lepas. Kira
46
merasakan penuh kesejukan, rasanya seperti
berendam pada musim kemarau panjang. Namun,
matanya seolah sibuk mencari sesosok yang
berharga buatnya hari ini.
“Orland, kak Renan mana?” Kira bertanya
dengan lembut.
“Orland gak lihat kak, tapi tadi kayaknya di
belakang halaman deh..” jawab Orland polos. Kira
mengelus kepala Orland, lalu ia melangkahkan
kakinya mencari Renan.
“Aku harus jujur sekarang” ujar Kira dalam
hati.
“Jangan bercanda deh Nan..gak lucu!”
“Gue serius, kita jadian..”
“Lo nembak gue?”
“Iya” Terdengar suara Renan cuek, Kira
terperangah mendengar percakapan yang ia lihat di
belakang rumah Renan.
“Tapi kenapa gue?”
“Gak ada alasan buat suka sama se-seorang
kan? Gue juga gak tau”
“Tapi Kira?”
“Waktu buat semuanya berubah..
jawabannya?” Renan menagih jawaban, sementara
wanita di hadapannya terdiam beberapa saat
sebelum akhirnya ia mengangguk setuju.
Kira seperti patung, ia hanya bisa melihat
adegan itu berjarak sekitar dua meter dari hadapan
mereka. Tamparan itu seolah tidak bisa menahan
air mata Kira menetes dengan cepat. Kira berlari
47
menjauh dari mereka.
“Jangan lari jauh-jauh,” suara yang sangat
Kira kenal, Renan memegang tangan Kira mencoba
menahan langkah Kira.
“LepasNan,guemaupulang..”Kiramenghapus
air matanya mencoba menutupi perasaannya.
“Lo liat semuanya?” tanya Renan serius.
“Kenapa harus Yunda? Kenapa kayak gini?”
kali ini Kira gagal menyembunyikan air matanya, ia
menangis di hadapan Renan.
“Ada hal yang gak perlu penjelasan, ada juga
hal yang gabisa dijelasin lewat ucapan. Semua
udah ada yang ngatur, termasuk soal rasa. Waktu
mungkin udah ngubah semuanya, ada orang
yang bisa bertahan dalam waktu yang lama, atau
bahkan ada yang bisa bertahan hanya sampai
batas kemampuan yang dia punya..kita gabisa atur
semuanya sesuai harapan kita. Gue tetep disini, gak
kemana-mana.”
Kata-kata Renan membuat Kira terdiam,
Renan mengusap air mata Kira, mengacak-acak
rambut Kira, lalu pergi menjauh dari Kira.
Dear: Neptunus
“Hari ini aku belajar untuk mencintai, mengerti,
dan melepaskan. Cinta bukan tentang ingin
segalanya sesuai dengan apa yang kita harapkan.
Cinta bukan tentang bagaimana kita ingin bersama
dengan orang yang kita cintai. Cinta bukan tentang
bagaimana kita ingin dibahagiakan. Aku belajar
48
untuk mencintai dengan membahagiakan orang-
orang yang aku cintai. Dan yang terpenting, Cinta
bukan hanya tentang dia. Tapi keluarga, sahabat
dan masih banyak cinta diluar sana yang harus
terlihat. Ini surat terakhirku nus, aku pensiun jadi
agen. Semoga, Kugy-Kugy lain masih setia sama
Unus. Aku pamit. Suatu hari nanti aku pasti mampir
untuk meluncurkan perahu lagi. Dengan cerita yang
baru tentunya.
Salam terakhir,
Kira Nastasya
Bersama angin, debu, dan segalanya yang ikut
mengayun bersama balon merah muda, sebuah
perahu kertas kembali mengalun di udara selihai
ia melaju di lautan. Kira tersenyum, menganggap
ini semua kado berharga dihari ulang tahunnya.
Ia tertawa bersama teman-temannya menikmati
suasana sore rumah Renan. Sementara dikejauhan,
sesosok mata tak lepas menatap Kira. Ia tersenyum
lembut, menyimpan penuh rahasia. Dua tahun,
waktu yang cukup untuk Renan mengenal Kira.
***
Ibu, Aku Mencintaimu Dulu,
Sekarang, dan Selamanya
Marizka Witya Putrini
Hari ini, matahari tak seceria biasanya,
ia hanya menampakan sepenggal
sinarnya ke muka bumi, dan bersembunyi di
balik gumpalan awan hitam yang menghiasi
langit di hari ini. Aku duduk termenung cukup
lama menatapnya dibalik jendela kamar ibuku.
Kulemparkan pandanganku dan kutatap seluruh isi
kamar sosok perempuan yang sangat berarti dalam
hidupku itu, terdapat tempat tidur kayu yang sudah
lusuh termakan waktu namun masih tetap kokoh
terlentang disudut kamar berbalut sprei bunga
mawar kesukaannya. Lemari jati tinggi berdiri tepat
ditengah tembok dan berhadapan dengan tempat
tidur, terdapat juga foto keluarga diatas meja kayu
yang bersebelahan dengan tempat tidur, serta kursi
roda stainless yang biasa menopang tubuh renta
ibu.
Semuanya masih tertata rapi sama seperti
dahulu, tak ada satupun yang berubah. Hanya saja
kini kamar ibu sudah tak berpenghuni. Kuambil
50
foto keluarga terbalut bingkai kayu terukir yang
berada di atas meja kayu. Disana terdapat gambar
diriku, Ayah, ibu dan adikku. Namun, pandanganku
terfokus pada satu sosok, sosok yang sangat
kurindukan.. ibuku. Wajah lembutnya, senyum
hangatnya, belaian lembutnya aku rindu semua
itu. Oh ibu.. tanpa terasa tetes air mata jatuh
membasahi pipiku tanpa bisa kutahan.
Masih terbayang dalam ingatanku bagaimana
sosokIbu.Ibuadalahsosokwanitatangguh,mandiri,
dantakmudahmenyerah.Ibuutersayang,takterasa
sudah dua tahun lamanya ibu meninggalkanku.
Rasanya baru kemarin Ibu menemani masa-masa
kecilku. Yah masa-masa kecilku. Masa-masa penuh
kenangan indah bersamamu. Masa masa terindah
dalam hidupku.
Masih terekam dalam benakku, seluruh usaha
yang telah ibu kerahkan, untuk menjaga kualitas
asupan gizi anak-anakmu, dimasa sulit. Makan nasi
putih tanpa laukpun pernah ayah dan ibu lakukan
demi bisa memberikan susu untuk anak-anaknya.
Disaat beban ekonomi semakin berat, ibu
tak pernah mengeluh. Ibu rela mengurangi waktu
tidurnya setiap malam demi membuat kacang
bawang, untuk dijual di kantin kantor. Saat itu
aku belum menginjak bangku sekolah. Namun
ibu mengijinkan tangan mungilku membantunya
menghekter plastik yang berisi kacang bawang.
Selama beberapa bulan, ibu juga rela tidur dini hari.
Duduk membungkuk di belakang mesin jahitnya
51
demi menyelesaikan borongan seragam TK Tunas
Harapan Semarang.
Aku yang kala itu masih kelas 1 SD, kadang
duduk menemani disamping ibu sampai kantuk
menghampiriku. Bila ibu telah menyelesaikan
sulaman lubang kancing, tiba giliranku memasang
mata kancingnya. Sungguh menyenangkan belajar
menjahit bersama ibu.
Saat aku beranjak remaja, ibu tak henti-
hentinya memberikan nasehat untuk diriku yang
masih labil pada waktu itu. Ya, masa remaja adalah
masa dimana seorang anak mencari jati dirinya,
mencoba banyak hal dalam hidup. Dan kau tak mau
aku mencoba hal yang salah. Pernah sesekali aku
menyepelekan nasehat mu ibu, Karena penasaran
aku bersama dengan teman-teman SMAku pergi ke
Clubing hingga larut malam dan aku memberikan
alasan padamu bahwa aku akan menginap di rumah
temanku Citra untuk menyelesaikan tugas sekolah.
Saat aku pergi ke tempat terkutuk itu, aku
merasa sangat asing, banyak hal yang membuatku
tercengang. Dari mulai dua orang wanita berciuman
dihadapanku, itu sangat menggelikan. Lalu para
wanita muda yang berpakaian sangat minim yang
bercengkrama dengan para lelaki hidung belang tak
tahu diri. Dan masih banyak lagi hal negatif yang
aku temui disana. Mungkin segala hal yang kutemui
disana adalah peringatan untuk ku, bahwa aku
telah memilih tempat yang salah untuk ku ketahui.
Keesokan harinya, aku pulang kerumah
52
dengan rasa bersalah karena telah berbohong pada
ibu. Ibu dengan senyum hangatnya menyapaku dari
arah dapur “Ara..” panggilnya.
“Ia bu” jawabku.
Melihatnya pada saat itu ada rasa bersalah
menyergap. Kufikir aku sudah melakukan kesalahan
fatal pergi ketempat terlarang.
“Kamu sudah pulang? Bagaimana tugasnya?
Sudah selesai?” tanya ibu sambil memasukan
sayuran ke lemari es yang berada tepat didepanku.
Dengan kepala tertunduk aku menjawab,
“Iyah bu sudah selesai”. Jawabku singkat dan
aku bergegas pergi ke kamarku dan ibu hanya
memperhatikanku dari bawah loteng.
Sesampainya di kamar, aku merebahkan
tubuhku yang lelah akibat tak tidur semalaman
di kasur, dan aku berencana untuk tidur seharian
berhubung hari itu adalah hari mi-nggu. Saat aku
mulai memejamkan mata, ibu mengetuk pintu
kamarku dan kemudian membukannya karena tak
kukunci.Rasabersalahitumenyergapkulagi.Saatitu
sebenarnya ibu sudah mengetahui bahwa aku telah
berbohong padanya, tapi ibu masih bisa tersenyum
hangat untukku. Aku terdiam menatapnya.
“Wah gakerasa ya, sekarang anak ibu sudah
tambah dewasa dan pastinya tau mana hal baik dan
mana hal buruk,” ujarnya dengan perkataan yang
membuatku semakin merasa bersalah.
Ibu duduk dikasurku dan menatapku dengan
senyumannya.
53
“Ra..” panggilnya lembut. “Kamu tahu gak
rasanya kalau kita sudah menanam bibit bunga,
yang setiap hari kita siram, kita beri pupuk, dan
tanpa terasa bunga itu sudah tumbuh tumbuh
besar? Pasti senangkan rasanya? Perjuangan kita
gak sia-sia.”
Aku diam tak mengerti, lalu ibu melanjutkan
ucapannya.
“Tapi setelah bunga itu tumbuh besar, bunga
yang cantik itu dirusak entah itu oleh angin atau
perbuatan manusia, bagaimana perasaanmu ra?”
Saat itu Aku mengerti maksud perkataan
ibu kepadaku, ibu telah mengetahui bahwa aku
berbohong padanya dan aku terhenyak. Ibu tak
pernah memarahiku semenjak aku remaja. Karena
menurutnya, aku sudah besar dan tak pantas untuk
diperingatkan dengan cara dimarahi lagi. Aku sudah
cukup umur untuk mengetahui mana hal yang salah
dan benar. Dan aku melakukan hal yang salah.
Hari itu Ia memperingatkanku lewat tutur
kata indahnya, yang membuatku mengerti,
membuatku faham atas segala tindakan yang ia
lakukan kepadaku. Hatiku tersentuh mendengar
ucapan Ibu. Isak tangiskupun pecah bercampur
rasa bersalah. kupeluk dirinya dan kuakui segala
hal yang telah aku lakukan. Dan ia memaafkanku
dengan mudahnya.. Oh ibu sungguh luar biasa
dirimu. Aku tak pernah lupa hari itu. Lewat tuturnya
yang indahnya aku mengerti, lewat sikap lembutnya
membuatku faham bahwa menjadi seorang ibu
54
tidaklahmudah,butuhperjuangansepertimerawat
sebuah tanaman.
Aku menjadi sangat mengerti bagaimana
perasaan seorang ibu terhadap anaknya. Segala hal
yang kau lakukan demi kebaikan anak-anakmu.
Maafkan aku Ibu, disaat kau mulai menua
aku jarang ada untukmu Ibu. Aku sibuk dengan
pekerjaan dan masalahku sendiri. Durhaka kah
aku? Kau selalu sendiri sepanjang waktu, duduk
diatas kursi roda stainless yang menopang tubuh
rentamu dan hanya ditemani pembantu rumah
tangga yang kusuruh untuk merawatmu. Di kala itu
aktifitas yang kau lakukan adalah menjahit untuk
menghilangkan rasa penatmu, padahal matamu
sudah tak setajam dulu, bukan sesekali jarum jahit
menusuk kulit renta mu ibu. Tapi kau tetap tak ingin
berhenti menjahit.
Sering sekali aku melihatku menatap langit
dibawah jendela kamarmu. Entah apa yang kau
bayangkan, atau yang kau fikirkan pada saat itu.
mungkin kau sangat kesepian, mungkin bosan,
penat dan sangat ingin ditemani oleh anak-anakmu,
Maaf.. maaf.. dan maaf..
Hari itu aku sangat ingin menemani ibu, akhirnya
kuputuskan untuk bolos dari rutinitas pekerjaanku.
Saat itu nampak jelas raut kebahagiaan membalut
wajah ibu, Hari itu kami bicara banyak, tertawa,
makan bersama dan jalan-jalan keluar rumah.
“Gak kerasa anakku sudah menjadi orang
dewasa,” ujar ibu sambil menatapku dengan penuh
55
arti”.
“Iyah bu. Ibu juga udah semakin tua,” candaku
sambil memeluk tubuh ibu yang sedang terduduk
dikursi rodanya.
“Hem.. ini berarti tugas ibu sudah selesai.”
“Tugas apa sih bu? jangan sembarangan ah
kalo ngomong.”
***
	 Pagi itu aku terbangun di kamar ibu. Hari
itu ibu tidur sangat terlelap beberapa kali aku
menggoyang-goyangkan tubuhnya, tapi matanya
masih tetap tertutup. Mungkin ia lelah pikirku.
Secara tiba-tiba ibu mengambil nafas panjang dan
terhenti… ya terhenti… aku terdiam sejenak dengan
Perasaan tak menentu.
Ku goyang-goyangkan tubuh ibu beberapa kali
namun ia tak bergerak bahkan aku tak merasakan
lagi hembusan nafasnya. Saat itu aku merasakan
dadaku sesak, sesak sekali. Tubuh ku kaku melemah
seakan tak percaya. Aku menangis sambil memeluk
tubuh ibu yang sudah tak bernyawa.
***
Hari itu menjadi hari paling menyedihkan
untukku dan juga adikku. Kenyataannya sekarang
kami sudah menjadi yatim piatu. Tak henti-
hentinya kami berderai air mata ketika kami harus
56
menyaksikan tubuh ibu kami terdiam, dingin dan
kaku terbungkus kain kafan putih yang menyelimuti
tubuhnya, wajah lembutnya memucat dengan
mata tertutup dan dikelilingi pada pelayat yang ikut
mendoakannya.
Dengan berbalut pakaian hitam-hitam, aku
dan adikku menghantarkan ibuku pergi ketempat
peristirahatannya yang terakhir. Tapi ada seraut
kebahagiaan tersendiri dalam benakku saat
menghantarkan ibu. Ia meninggal dengan wajah
tersenyum. Mulai hari ini takkan ada lagi kata-kata
yang terucap dari bibirmu, mulai hari ini takakan
ada lagi belaian tulus dari jemari-jemari indahmu,
mulai hari ini takan kulihat lagi sosokmu ibu.
Terimakasih ibu. Ibu telah ajari kami
menghadapi hidup, Ibu telah ajari kami menyikapi
kenyataan . Ibu telah ajari kami mengarungi hidup
hingga mandiri, berbahagialah disisi Allah swt. Kami
anak-anak mu akan selalu mendoakanmu. Ibu aku
mencintaimu dulu, sekarang dan selamanya.
***
Aku Ingin Bebas
Nadilah Nurilina Adani
Aku adalah salah satu wanita yang
bahagia di negeri ini, setiap hari aku
selalu bermain pasir pantai yang putih, menghirup
udara segar, berlari sekencang mungkin aku dapat,
dan memakan apa pun yang aku mau.
Aku sangat mencintai ibu dan kedua adikku.
Ibuku bernama Eliza. Ia sangat bekerja keras untuk
menghidupi kami bertiga.
Ayahku? Jangan tanyakan dia! Bagiku aku tidak
mempunyai ayah, ia telah mengkhinati ibuku dan
pergi bersama Laura. Ya! Laura si wanita jalang
itu selalu menggoda pria yang dulunya ayahku,
padahal ibuku jauh lebih menawan dibandingkan
wanita badan besar itu!
Haaah... sudahlah jangan hiraukan! Aku
sudah tidak peduli lagi! Lagipula ibuku sekarang
sudah dekat dengan Robert. Kedua adikku Ezil
dan Naya sangat senang bila Robert berkunjung
ke rumah, karena ia selalu membawa makanan
kesukaan kami, roti manis asal Perancis, croissant.
58
Kami selalu bermain bersama sepanjang waktu,
memakan croissant sampai perutku tak sanggup
lagi menampungnya. Aku sangat menikmati
suasana seperti ini, melihat keceriaan di wajah ibu
dan kedua adikku, tak ada hari tanpa menyebarkan
keceriaan.
Sampai pada suatu saat.. ada tangan jahat
yang mau merampas semua kebahagiaan ini, di
kampung halamanku sudah tidak heran lagi dengan
penculikan. Teman-temanku sudah banyak yang
menjadi korban. Begitu mudahnya tangan jahat itu
masuk ke kampung halamanku, tak akan kubiarkan
keluargaku menjadi korban. Hari terus berlalu,
satu.. dua.. tiga.. sampai lima belas, oh bukan!
Bukan lima belas, tapi delapan belas, ya! Delapan
belas! Delapan belas temanku hilang, dan aku
yakin, tangan jahat itulah penyebabnya.
Sore tadi Robert mengunjungi kami. Ibuku,
Eliza sangat senang menyambut kedatangannya.
Tapi ternyata Robert tidak sendirian, ia dibuntuti
oleh makhluk itu! Si tangan jahat tepat berada
dibelakangnya,gerakannyasemakincepatmendekat
ke arah Robert, lalu tangan itu mencengkram tubuh
Robert sampai gemetar,
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!!!
” teriak ibuku.
Ia menjerit seakan tidak ingin kehilangan
Robert. Akupun tidak tega jika ibuku harus
kehilangan kekasih hatinya dua kali, maka aku
beranikan diri berlari mendekat ke arah tangan
59
jahat itu, lalu aku menggigitnya dengan kuat, haha
aku memang sang pemberani! Tangan jahat itu
melepaskan Robert, lalu ia pergi. Ibuku langsung
memeluk Robert.
Oh noooo! Ternyata tangan jahat itu tidak
pergi,iakembali!Tapisekarangtanganitumemanggil
temannya, ada dua tangan meghampiriku, mungkin
dia kesal karena aku menggigitnya terlalu keras.
Aku berlari menghindari tangan itu, tapi apa daya,
tubuhku sudah dicengkeram kuat olehnya, dan
badanku terangkat. Aku melihat dengan samar-
samar ibuku dan Robert berada jauh di bawahku,
aku melayang, dan tak lama, aku tak sadarkan diri.
Hari berubah menjadi malam. Aku merasa
pusing yang bukan main. Tubuh gemetar, bibir
yang tak mampu lagi berterak, kaki yang tak berani
melangkah. Disini gelap sekali! Aku tidak dapat
melihat apa-apa. Aku terkurung di suatu tempat
yang aku sendiri pun tidak tahu tempat apa ini
sebenarnya. Sempit, gelap, sesak, lapar, hanya itu
yang aku tahu. Bau busuk sisa makanan memenuhi
rongga hidungku.
Dalam kegelapan aku merenung, tindakan
bodoh apa yang telah aku lakukan? Seharusnya aku
biarkan saja Robert yang diculik. Mengapa aku sok
jagoan? Melibatkan diriku dalam masalah ini, tidak
terbayang di benakku apa yang akan terjadi besok.
Mungkin aku akan dibakar hidup-hidup, atau
mungkin aku akan mati kelaparan di sini, di tempat
misterius ini. Aku hanya bisa menunggu fajar tiba,
60
agar aku bisa melihat kondisi di sekitarku, sekarang
lebih baik aku istirahat.
Saat aku membuka mata, ada banyak mata
yang tertuju padaku. Ternyata aku tidak sendirian!
Di sini ada beberapa temanku yang hilang minggu
lalu, seperti layaknya teman yang sudah lama tidak
bertemu, kami berpelukan menanyakan kabar satu
sama lain, tapi ada hal yang lebih penting yang ingin
aku tanyakan, ada apa ini? Apa yang sedang terjadi?
Siapa tangan jahat itu? Seperti yang sudah aku kira,
mereka tidak tahu jawbannya.
Sudah satu minggu aku berada di tempat ini,
setiappagiadayangmenyediakanmakanandipojok
ruangan, dan pagi ini kami dipindahkan sementara
ke tempat lain. Saat ruangan itu sudah dibersihkan,
kami kembali lagi ke ruangan itu. Ternyata tempat
ini mengasyikkan juga, makanan selalu tersedia,
ruangan selalu dibersihkan, ada taman bermain, oh
atau mungkin ini hanya simulasi.
Aku mulai menikmati tempat ini, aku bisa
tertidur pulas, aku bisa bermain dengan teman-
temanku. Tidak terasa sudah satu bulan aku di sini,
meskipun aku bahagia berada di sini. Tapi.. aku
rindu keluargaku, ibu.. Ezil.. Naya.. Robert.. apakah
mereka baik-baik saja?
Tangan itu kembali, ia meraih tubuhku
dengan sangat kasar, aku terpontang-panting, aku
berlari menghindar, tapi tangan jahat itu selalu
meraih tubuhku, aku mau dibawa kemana lagi?
Apakah aku akan dibawa ke kemapung halamanku?
61
Aku tersenyum menerka-nerka sambil menikmati
perjalanan.
Akhirnya aku tiba di suatu ruangan yang lebih
sempit, tidak ada taman bermainnya, bau, uuuhh
rasanya aku mau muntah, dari belakang ada yang
memelukku, aku terkejut! Naya!
“Sedang apa kau di sini?” tanyaku.
“Tolong aku kak! bebaskan aku dari sini, aku
ingin pulang,” jawab Naya sambil memegang erat
tanganku. Wajah Naya tampak pucat, ketakutan,
tidak terurus.
Sudah dua hari aku di sini bersama Naya
dan orang-orang yang aku tidak kenal. Mereka
tampak menyeramkan. Aku sangat lapar, tidak
ada yang menyiapkan makanan, tidak ada yang
membersihkan ruangan, tidak ada taman bermain,
pantas saja Naya tampak frustasi.
Semua orang di sini kelaparan, membuat satu
sama lain tidak akur, sering bertengkar, dan yang
parahnya lagi, siapa yang lemah akan dimakan oleh
teman yang lain, ya! Keadaan ini membuat mereka
semua kanibal.
Hari ini Lilo yang menjadi korban, tubuhnya
dicabik-cabik, keluar darah, kupingnya dimakan
oleh yang lain, matanya keluar. Aku mual, tapi aku
tersentak saat melihat Naya ikut menggerogoti
tubuh Lilo, mengapa Naya menjadi kanibal juga?
Naya menarik tanganku, iya menyuruhku memakan
tubuh Lilo,
“Kamu harus makan kak, makan lah! Hanya ini cara
62
kita agar tetap hidup”, kata Naya.
Naya selalu menasihatiku, agar aku tidak
lemah dan tidak sakit, karena siapa yang lemah akan
dijadikan santapan untuk mengganjal perut mereka
yang sangat kelaparan. Sekarang akupun menjadi
kanibal, aku memakan kepala orang yang tidak aku
kenal tadi siang, anehnya aku cukup menikmati itu.
Tubuh Naya semakin kurus, keadannya
melemah,badannyalemastidakbertenaga,tapiaku
harus menutupi itu semua. Tidak boleh ada yang
tau kalau Naya sedang sakit, bisa-bisa Naya menjadi
santapan mereka, tapi tetap saja wajah Naya yang
pucat tidak bisa ditutupi, ada pria berkulit hitam
mendekati aku dan Naya, ia melihat Naya dari ujung
kaki sampai rambut, lalu ia menggigit kuping Naya,
lalu semua di ruangan itu menggerogoti tubuh
Naya.
Jelas aku tidak diam saja! Aku pasti membela
adikku! Hanya dia keluarga yang aku miliki sekarang.
Tapi jumlah mereka terlalu banyak, hingga akhirnya
hanya kaki Naya yang tersisa. Aku menangis, aku
menjerit, aku mencaci diriku sendiri yang tidak
bisa melindungi adik kandungku. Aku semakin
lapar, di sebelahku hanya ada kaki yang tidak
terlalu segar, karena bekas kemarin, semut-semut
mulai berdatangan mengerubuti kaki itu. Aku tidak
punya pilihan lain. Akhirnya aku makan kai itu
untuk bertahan hidup, ya! Aku memakan kaki adik
kandungku sendiri, pikiranku sudah tidak normal,
aku sudah lupa bagaimana caranya tersenyum,
63
bagaimana rasanya makanan favoritku, croissant
dan juga pasir putih lembut yang membersihkan
tubuhku.
Dalam hati aku selalu bertanya, mengapa
mereka lakukan ini pada bangsa kami? Kami tidak
pernah mengganggu mereka, kenapa mereka
lakukan ini? Dan kenapa mereka benar-benar
jahat, apakah mereka tidak memiliki hati? Apakah
semua manusia seperti ini? Ataukah manusia yang
baik hanya ada satu? Yaitu majikanku yang dulu,
yang selalu menyiapkan makanan, membersihkan
ruangan dan menyediakan taman bermain,
mengapa manusia sangat jahat? Seperti majikanku
yang sekarang, padahal kami hanya hewan kecil
mungil yang tidak berbahaya, untuk apa kami
disiksa seperti ini? Apakah penderitaan kami adalah
kebahagiaan bagi mereka?
Bebaskan aku! Aku muak dengan semua ini!
Tapiakuharustetapbertahanhidup.Tapibagaimana
caranya aku keluar dari kurungan ini? Aku terlalu
kecil untuk memanjat kotak yang berukuran 60cm
x 30cm ini. Aku tidak mempunyai kaki sepanjang
manusia. Ya, tentu saja aku bukan manusia, aku
hanyalah seekor hamster yang tak berarti.
***
Dari Wangi Turun Ke Hati
Erlinda SW
Apa enaknya jadi anak baru? Kalau
mereka cuma menganggapmu kutu
buku? Bukan, bukan pecinta buku yang ada di
perpustakaan dengan kacamata ala Betty La Fea.
Maksudku, mereka mengira aku ini kutu. Hewan
kecil-mungil-lucu hampir tak terlihat itu. Dengan
kata lain, mereka tidak menyadari kehadiranku.
Waktu itu adalah hari pertamaku di sekolah.
Seorang perempuan dengan rambut dicepol dan
perona pipi yang terlalu banyak mengantarku ke
kelas. Ia mengatakan pada perempuan yang duduk
di meja guru bahwa aku anak baru. Lalu mereka
memintaku memperkenalkan diri.
Dengan canggung aku menatap sekitar
empat puluh pasang mata di dalam ruang kelas
yang terlihat kelebihan penghuni. Ada yang
menatapku dengan bosan, menatapku sejenak lalu
mengalihkan perhatian, bahkan terang-terangkan
mengacuhkanku. Aku berdoa dalam hati, merapal
mantra penguat diri, agar kata-kata yang meluncur
66
keluar dari mulutku tidak terdengar bodoh. Namun
tanganku sudah basah.
“Nama saya Sari Sukma. Panggilan saya Sari.
Saya pindahan dari Jakarta.” Aku cadel di huruf S.
Caraku melapalkan Sari terdengar seperti Tsshari.
Terlalu banyak desis di sini.
“Apa? Tidak dengar,” gumam beberapa anak.
Oh ya, aku lupa, selain cadel suaraku juga kecil.
Seperti anak tikus yang mencicit ketika terjepit.
Sebetulnya itu manipulasi dari rasa malu. Faktanya,
suaraku sangat nyaring.
“Kamu duduk di sana,” ujar perempuan yang
nantinya kuketahui bernama Bu Dewi. Aku melihat
ke arah telunjuknya mengarah. Itu sebuah bangku
di sudut kiri belakang kelas. Tempatnya agak gelap
dan suram. Temboknya kotor bekas banyak coretan.
Kalau boleh memilih, aku ingin langsung keluar saja
dan meminta orang tuaku menyekolahkanku di
tempat yang lebih bagus.
Aku duduk di sebelah seorang perempuan
dengan rambut cepak dan garis wajah keras. Dia
terlihat seperti lelaki kecuali rok biru panjangnya.
Dia hanya melirikku sekilas seakan aku cuma
menganggu imajinasinya. Ia membiarkanku berdiri
sedikit lama sebelum sadar bahwa aku duduk di
sebelahnya jadi dia harus minggir memberiku jalan.
Lalu perempuan itu mengulurkan tangan.
“Hana.”
“Sari.”
“Tadi waktu kamu memperkenalkan diri,
67
suaramu terlalu kecil. Aku sempat berpikir kamu
menyuruh semua orang belajar cara membaca
gerak bibir.”
“Oh begitu ya.”
“Semoga kamu betah.”
“Iya. Jadi, kita berteman?”
Hana sudah memasang headsetnya. Aku
memutuskan diam. Mataku melihat ke sana ke
mari, mencari-cari wajah yang terasa familiar,
minimal membuatku merasa ingin mengenal. Ada
beberapa wajah yang ramah tapi selebihnya tidak
dapat kutebak kepribadiannya. Beberapa anak
perempuan mulai mencuri pandang padaku. Tubuh
mereka kurus-kurus dengan dandanan agak norak
dan pakaian terlalu ketat.
Jam istirahat datang. Aku ingin sekali bicara
dengan seseorang untuk sekedar menjelaskan
padaku rute ke kantin. Namun dengan cepat seisi
kelas lenyap. Anak-anak berhamburan, mungkin
dengan memasang ekspresi kelaparan. Sejenak saja
kelas terasa sepi. Kecuali seseorang yang duduk
berjarak beberapa meja di depanku.
Aku baru sadar bahwa ada seorang cowok
tampan dengan penampilan rapi dan setelah
kudekati, bertubuh harum. Kulitnya bersih,
sepatunya terlihat bagus, dan penampilan terlihat
berbeda dengan anak lelaki lain. Kutebak, ia dari
keluarga berpunya.
“Kamu tahu arah ke kantin?”
Dia menoleh. Matanya coklat besar dengan
68
hidung bangir dan wajah agak panjang. Dia terlihat
sangat kontras dengan bangunan sekolah di daerah
perkampungan ini atau penampilan teman-teman
sekelas kami. Dia seperti berada di tempat yang
salah. Aku juga melihatnya dengan cara yang salah.
“Hei? Halo? Anak baru?”
“Hah?”
“Tadi aku sudah memberitahumu arah ke
kantin tapi kamu diam saja. Ada apa? Ada yang
aneh denganku?”
“Eh? Benarkah? Aku tidak dengar.”
“Jadi kujelaskan sekali lagi, kamu sebrangi
lapangan di depan kelas. Lalu kamu melewati ruang
guru dan berjalan ke sampingnya. Di sana letaknya.
Sudah jelas?”
“Sangat jelas.Kamu sendiri tidak ke kantin?”
“Aku membawa bekal.”
Dia mengeluarkan kotak makanan beserta
sebuahbotolminum.Tanpapedulibahwaakumasih
berdiri di sampingnya, ia mulai ritual makannya.
Aku yang gugup lupa caranya mengucapkan terima
kasih dan pergi begitu saja. Aku bahkan lupa
menanyakan namanya. Dia juga tidak tahu namaku.
Dia memanggilku anak baru.
Aku tidak membeli apapun pada akhirnya.
Aku cuma melihat-lihat dan langsung menyesal
karena menolak ibu membawakanku bekal. Ibu
pasti melarangku kalau tahu makanan apa saja
yang tersedia di kantin. Makanan tanpa penutup
membuat bakteri, debu, dan serangga mudah
69
menghinggapi. Ibu bilang makanan-makanan
seperti itu hanya membuatku sakit.
“Hei, anak baru. Ke sini.”
“Aku?”
“Iya. Kamu.”
Beberapa anak perempuan dengan wajah
angkuh dan gaya yang dibuat-buat memanggilku.
Jujur saja, melihat penampilan mereka yang
menggelikan membuatku khawatir dengan efek
pergaulan. Mereka mengenakan bando yang
sama hanya berbeda warna. Mereka sama-sama
memakai kemeja yang pendek dan dikeluarkan
dari rok, sepatu kets dengan tali berbeda warna
di bagian kiri dan kanan, serta kuteks dan gelang-
gelang. Penampilan mereka telalu heboh. Seakan
mereka baru saja keluar dari toko yang mendapat
label menjual penampilan terburuk.
“Tinggal di mana?” tanya yang berbando
pink.
“Di kompleks tentara, dekat...”
“Jadi, anak tentara?” potong yang berbando
biru.
“Iya.”
“Kenapa sekolah di sini?” si bando hijau buka
suara.
“Kata orang tuaku ini sekolah paling dekat
dengan rumah.”
“Apa semua anak SMP di Jakarta punya
penampilan yang culun?”
“Apa?”
70
Kurasa ada yang tak beres dengan indera
pendengaranku. Nyatanya benar, mereka
menertawaiku. Kurasa mereka tak tahu apa itu
berpenampilansesuaikeadaanatauberpenampilan
yang tidak berlebihan. Penampilanku standar
sementara penampilan mereka melewati batas
wajar. Mereka bahkan tidak menggunakan ikat
pinggang.
“Jangan macam-macam di sini, anak baru,”
ancam si bando pink.
Bando ungu yang menanyaiku terakhir
memberi peringatan. Namun aku tidak takut.
Kutatap mereka satu per satu untuk meyakinkan
mereka kadar keberanianku. Mereka lewat sembari
menyenggol bahuku. Kurang ajar. Tidak sopan.
Tidak bisa diajak berteman. Mereka pikir siapa
mereka? Penampilanku jauh lebih baik dibandikan
mereka!
“Jangan cari gara-gara. Mengalah saja.”
Hana bicara seakan tidak bicara denganku.
Entah sejak kapan dia berada di belakangku.
Namun kalimat lanjutannya setelah itu memberiku
pemahaman.
“Untung saja kalian tidak sekelas. Mereka
geng cewek terkenal di sekolah ini. Mereka suka
melabrak cewek-cewek yang tidak mereka sukai.
Kadang alasannya sepele, semisal penampilan,”
jelas Hana.
“Tapi mereka tidak keren,” sahutku kesal.
“Tapi mereka berpikir sebaliknya. Jangan
71
berpenampilanmencolokkalautidakmauberurusan
dengan mereka,” Hana masih menasehati.
“Mereka tidak berhak berbuat seperti itu,
mereka bukan siapa-siapa,” sahutku ngotot.
“Mereka punya pelindung. Geng kakak kelas
yang jauh lebih kejam. Di sini ada semacam sistem
kekuasaan. Mereka yang terkuat di angkatan kita,”
ujar Hana.
Drama macam apa ini? Seharusnya sekarang
juga aku minta pindah sekolah. Ibu pasti mengerti.
Sekolah lainnya memang jauh. Namun aku lebih
suka menjaga ketentraman hidupku. Baru hari
pertama tapi aku sudah mendapat kesan tidak
menyenangkan.
Niat tersebut segera kuurangkan saat cowok
wangi yang tadi kutanyai di kelas lewat. Ia berjalan
menuju musholla. Aroma tubuhnya mampir
ke hidungku sejenak. Selama beberapa detik
aku merasa kehilangan kesadaran. Aku merasa
diberkahi Tuhan.
***
Itu sepenggal kisahku dulu, delapan tahun
yang lalu. Cerpen tersebut kubuat sebagai
pelengkapantologibertemakasusbully.Sebenarnya
pengalaman tersebut tak terlalu buruk karena
terselip cerita cinta monyetku pada si cowok wangi.
Sayang aku terlalu malu untuk sekedar menyapanya
sejak percakapan pertama kami. Setelah lulus
72
hingga detik ini aku kehilangan kabarnya.
“Sari?” sapa seorang cowok.
Aku mendongak. Seorang cowok yang rapi
dan wangi berada di depan mejaku. Tunggu.
Tuhan mendengar doaku? Cepat sekali. Aku ingin
mengatakan sesuatu tapi lidah ini mengkhianatiku.
Mendadak dia kelu.
“Kamu masih cantik. Seperti pertama kali kita
bertemu, waktu kamu masih malu-malu. Harusnya
dari dulu kukatan hal itu padamu,” ujarnya sembari
menyunggingkan senyum.
Wajahku pasti merah sekarang. Harusnya dari
dulu kukatan dia wangi hingga membuatku jatuh
hati.
***
Lifeline
Faris Elky
Kisah ini bercerita tentang seorang
pemuda lelaki bernama Farel. Dia lahir
dari keluarga sederhana, ayahnya bekerja sebagai
karyawan swasta di salah satu stasiun televisi
ternama Indonesia dan ibunya bekerja sebagai ibu
rumah tangga.
Farel lahir pada bulan Maret, 20 tahun silam
tepatnya di kota Jakarta. Saat berusia 1 tahun, dia
bersama kedua orangtuanya menempati sebuah
rumah sederhana di pinggiran Kota Jakarta yaitu
Bekasi sampai dengan saat ini. Farel merupakan
anak pertama dari tiga orang bersaudara. Dia
memiliki dua orang adik bernama Naufal dan
Hanifah.
Ketika masih balita Farel dikenal sebagai
anak yang manja dan cengeng. Tetangga sekitar
tempat dia tinggal pun, mengatakan demikian.
Farel kecil selalu menangis ketika ibunya pergi
meninggalkannya dan dia tidak bisa telepas dari
ibunya walaupun sebentar.
74
Ketika SD sifat manja dan cengeng terhadap
ibunya mulai berkurang. Dia hampir tidak pernah
menangisdansudahmulaimandiri,tidaktergantung
terhadap ibunya lagi.
Ketika SMP, Farel remaja berubah menjadi
anak yang nakal, susah diatur dan cenderung
melawan kepada kedua orang tuanya. Saat Farel
SMPjuga,diasenangsekalibermainmusikterutama
alat musik gitar. Pada kelas 1 SMP dia membentuk
band bersama ke empat orang sahabatnya dari kecil
dan band tersebut bernama The Child.
Pada Masa SMA, Farel disekolahkan oleh
ayahnya di Jakarta dan tinggal bersama nenek dan
tantenya. Hal ini dilakukan oleh ayahnya supaya dia
bisa hidup lebih mandiri lagi tanpa tergantung pada
kedua orang tuanya. Akhirnya, Farel menyetujui
kehendak ayahnya tersebut untuk bersekolah di
SMA Negeri di kota Jakarta.
Kecintaan Farel terhadap musik ternyata dia
kembangkan lagi saat dia SMA. Dia membentuk
sebuah band beraliran British Pop dengan seorang
sepupunya dan satu orang temannya di Jakarta.
Band tersebut bernama Cielo. Nama Cielo diambil
dari bahasa Italia yang berarti Surga.
Band Cielo ternyata lebih sukses dari band
saat Farel masih SMP. Cielo sudah beberapa kali
manggung di cafe-cafe di bilangan Jakarta Selatan.
Berkat band Cielo juga Farel kenal dengan penyanyi
bernama Vicky Shu.
Kehidupan Farel di bandnya berbanding
75
terbalik saat dia berada di sekolah. Di sekolah dia
kerap menjadi bahan ejekan teman-temannya,
serta kerap kali dibully oleh teman-temannya,
sampai saat ini dia pun tidak mengetahui kenapa dia
bisa menjadi bahan ejekan oleh teman sekolahnya.
Akhirnya, Farel bertekad untuk menjadi lebih
baik lagi dari keadaan dia saat itu. Farel lebih banyak
memfokuskan diri untuk belajar dan bermain
band. Tujuan Farel saat itu adalah, dia ingin masuk
Perguruan Tinggi Negeri dan bisa sukses juga di
bidang musik terutama bersama band dia pada
saat itu.
Akhirnya ketika Farel lulus SMA, dia
mendapatkan apa yang dia inginkan berkat hasil
kerja keras dia selama SMA. Dia masuk perguruaan
tinggi negeri di kota Bogor. Pada saat itu perasaan
dia sangat senang, karena salah satu impian dia
bisa terwujud berkat hasil kerja dia dan tentunya
disertai oleh doa dan dukungan yang tiada henti
dari kedua orangtuanya.
Impian dia masuk perguruan tinggi sudah
terwujud, tetapi ada satu impian lagi yang ingin dia
wujudkan, yaitu sukses di bidang musik terutama
bersama band Cielo. Tetapi keadaan pada saat itu
tidak memungkinkan Farel untuk terus bersama
bandnya, akhirnya dia memutuskan untuk tidak
lagi bersama bandnya dan Cielo pun diputuskan
bubar dan jalan masing-masing. Sepupu dari Farel
pun memutuskan untuk menekuni dunia fotografi
dan fokus untuk sekolah, dan teman dari Farel
76
pun memutuskan untuk bersolo karir dan menjadi
additional bass bersama seorang penyanyi jazz
bernama Mathew.
Ketika Farel memutuskan untuk keluar dari
bandnya, sebenarnya pada saat itu keputusan
yang sangat berat sekali di dalam hidupnya. Tetapi
Farel bertekat saat dia berkuliah nanti dia akan
membuat band lagi yang lebih hebat dari dua band
sebelumnya.
Farel berkuliah di program keahlian
Komunikasi yaitu jurusan yang pada awalnya
tidak dia sukai, tetapi ayahnya meyakinkan dia,
bahwa jurusan Komunikasi adalah jurusan yang
paling banyak peminatnya dan mudah untuk
mendapatkan kerja. Akhirnya Farel pun mengikuti
kemauan ayahnya tersebut.
Lambat laun, Farel pun menyukai jurusan
Komunikasi dan dia sangat menikmatinya. Di
benak Farel, dia masih memiliki satu impian lagi
yang dia kejar dari SMA yaitu bermain musik
dan membentuk sebuah band lagi. Pada saat
perkenalan Mahasisawa baru, dia melihat berbagai
macam UKM ( Unit Kegiatan Mahasiswa ) yang ada
dikampusnya, tujuan dia adalah ia ingin masuk ke
UKM musik dan belajar menjadi seorang pemusik
yang baik.
Akhirnya dia menemukan UKM musik
tersebut dan masuk di dalam organisasi itu. Dalam
organisasi tersebut Farel tidak mendapatkan apa
yang dia inginkan, tetapi dia mendapatkan suasana
77
seperti di dalam satu keluarga baru di organisasi
itu. Singkat cerita, Farel tidak mendapatkan teman
yang cocok untuk membentuk suatu grup musik
atau grup band, tetapi anehnya teman-teman
Farel dan senior dia pun di organisasi tersebut,
mendukung dia untuk melakukan Stand up Comedy
dan menjadikan dia seorang Comic atau Comedian
Mic.
Pada awalnya Farel pun tidak mengetahui
apa Stand up Comedy, apa itu Comic dan dia
sama sekali tidak terfikir untuk menjadi seorang
Komedian. Menurut teman-teman dia diorganisasi
tersebut, Farel memiliki bakat melucu padahal dia
sama sekali tidak pernah menganggap dirinya lucu.
Akhirnya pada satu kesempatan dia diminta
oleh teman-teman organisasi musik tempat dia
bernaung untuk melakukan Open Mic, disuatu cafe
di Bogor. Pada saat itu perasaan dia bingung dan
sangat grogi, karena dia belum pernah melakukan
hal itu sebelelumnya.
Farel pun naik panggung dan ternyata dia
berhasil membuat satu cafe tertawa, berkat jokes
yang dia bawakan, perasaan dia yang tadinya grogi
dan takut, berubah menjadi senang dan rasa tidak
percaya, bahwa dia bisa melakukan hal tersebut.
Lambat-laun Farel pun meninggalkan impian
dia untuk menjadi musisi hebat, dan dia lebih
fokus menjadi seorang Stand up Comedian. Dia
bergabung dengan komunitas Stand up Comedy di
kota Bogor, untuk belajar apa itu Standup Comedy
78
dan menjadi seorang Comic yang baik.
Setiap minggu dia rajin berlatih di panggung
Open Mic, hingga pada akhirnya dia mendapatkan
uang dari hasil Standup Comedy yang dia jalani.
Konflik pun terjadi antara Farel dan Komunitas
Standup Comedy yang dia anggotai. Selisih paham
antara dia dan Komunitas tersebut, memutuskan
Farel untuk jalan sendiri sebagai Comic tanpa
embel-embel komunitas. Job yang dia terima pun,
saat dia keluar dari komunitas terbilang cukup
banyak, hampir setiap bulan dia mendapatkan
show dari berbagai macam acara.
Hingga pada suatu ketika, Farel sedang Stand
up Comedy di acara kampus tempat dia berkuliah
dan dia melihat seorang gadis yang menarik
perhatian dia, lalu dia mencoba mendekati gadis
tersebut yang ternyata gadis tersebut adalah adik
kelas dia di kampus.
Farel sangat tertarik melihat senyum dan
tertawa kecil yang dilontarkan dia saat Farel
berstandup comedy. Selesai acara Farel tidak dapat
berkenalan dengan dia, karena setelah Farel Stand
up Comedy, gadis itu sudah pergi meninggalkan
acara tersebut.
Perasaan dia saat itu kecewa dan berharap
dia dapat bertemu gadis itu lagi. Akhirnya Farel
mencoba mencari tahu siapa nama gadis itu. Hingga
pada suatu saat, Farel melihat gadis itu lagi untuk
kedua kalinya, saat ia sedang Stand up Comedy di
suatu mall terbesar di kota Bogor. Kesempatan itu
79
pun dia tidak sia-siakan.
Setelah Farel selesai Stand up Comedy, dia
pun langsung berkenalan dengan gadis tersebut.
Nama gadis tersebut ialah Fea. Selayaknya pria yang
sedang pendekatan dengan seoarang gadis, Farel
pun meminta pin BB, untuk bisa berkomunikasi
sesering mungkin dengan Fea.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu
dan bulan berganti bulan, Farel semakin dekat
dengan Fea. Tetapi kedekatan Farel dan Fea pun
tidak disetujui oleh sahabat-sahabat terdekat Farel
karena salah satu sahabat Farel adalah musuh dari
Fea.
Sahabat Farel, menceritakan kejelekan-
kejelekan Fea di depan Farel, hingga pada
akhirnya Farel menjadi dilema dan bingung
harus mempercayai siapa, di satu sisi dia sudah
mencintai Fea dan berencana untuk menjadikan
dia kekasihnya, di sisi lain dia tidak mau kehilangan
salah satu sahabatnya tersebut.
Setelah menjalani hubungan tanpa status
selama 5 bulan, akhirnya Farel memutuskan untuk
meninggalkan Fea, karena dia lebih menghargai
sahabatnya. Hingga pada suatu ketika, saat Farel
sedang Stand up Comedy di acara yang diadakan
oleh kampus dan pada saat itu Fea pun hadir dalam
acara tersebut.
Ketika melihat Farel, mata Fea pun
menatap kosong dan tidak menyangka bahwa
Farel meninggalkan dia begitu saja. Pada saat
80
itu Farel masih memendam perasaan cinta yang
besar terhadap Fea, hingga pada akhirnya Farel
mengungkapkan isi hatinya dan ingin jujur kepada
Fea tentang perasaan yang selama ini dia pendam,
tetapi momen itu tidak tepat, karena ternyata Fea
sudah memiliki pacar dan mereka baru saja jadian.
Ketika Farel menyatakan cinta ke Fea, Fea pun
mengaku bahwa dia mengharapkan cinta Farel dan
dia menunggu Farel untuk menyatakan cinta ke dia
tetapi Farel terlalu lama untuk menyatakan cinta ke
Fea. Farel terlalu memikirkan kejelekan-kejelekan
Fea yang di ucapkan sahabatnya, Farel terlau
mempercayai apa kata sahabatnya yang belum
tentu benar terjadi kepada Fea.
Akhirnya Farel pun benar-benar memutuskan
untuk tidak berhubungan dengan Fea karena
Fea sudah memiliki kekasih yang jauh lebih baik
daripada dirinya yaitu seorang calon pilot yang
kelak akan membuat dia jauh lebih bahagia dari apa
yang dia alami sekarang.
Pada saat itu Farel mencoba membuka hati
seluas-luasnya, untuk menjalin hubungan dengan
gadis lain dan berusaha mencoba untuk melupakan
Fea. Hampir 4 bulan dia tidak berhubungan sama
sekali dengan Fea dan perasaan Farel ke Fea sedikit
demi sedikitpun hilang karena waktu.
Saat Farel sudah tidak memiliki rasa sayang
kepada Fea, saat Farel sedang mengejar cinta
lain, tiba-tiba Fea mengirimkan SMS ke Farel dan
mengajak dia untuk bertemu kembali berdua.
81
Iya hanya berdua antara Farel dan Fea tidak ada
seorangpun.
Fea mengajak Farel bertemu, karena dia ingin
membuat acara Stand up Comedy bersama teman-
teman kampusnya, dia berencana mengajak Farel
untukikutmeramaikanacaratersebut. Diameminta
Farel untuk mengajak teman-teman sesama Comic
seperti Kemal, Ryan, Vikri untuk bergabung diacara
yang Fea buat.
Farel pun membantu sebisa mungkin dengan
tidak menggunakan perasaan cinta dia terhadap
Fea dan hanya memakai logika untuk membantu
dia. Fea pun terus mengganggu fikiran Farel
untuk mencoba menya-yangi dia lagi, hingga pada
akhirnya Farel menyerah terhadap logika dia dan
dia lebih menuruti rasa cinta dia kepada Fea.
Farel pun mencoba meninggalkan gadis yang
sedang dia incar untuk menjadi kekasihnya dan
lebih fokus untuk mendapatkan Fea yang dari dulu
dia inginkan. Farel melihat bahwa Fea adalah salah
satu orang yang mensupport Farel di dunia Stand up
Comedy. Dia melihat Fea datang kembali saat dia
sudah mulai jenuh dengan yang dia jalani sekarang
ini, yaitu Stand up Comedy. Dan Fea memberikan
support yang berarti supaya Farel tidak benar-
benar meninggalkan Stand up Comedy, walaupun
Fea sama sekali tidak tahu dunia Stand up Comedy.
Saat Farel mendapatkan semangat lagi akan
Stand up Comedy, saat Farel memutuskan untuk
tidak mendekati gadis yang sedang dekat dengan
82
dia dan saat Farel mencoba untuk membuka hatinya
lagi untuk Fea, saat dia berfikir bahwa jodoh dia
telah datang, dan saat itu juga Farel melihat bahwa
Fea masih menjalin hubungan dengan kekasihnya.
Ketika itu di benak Farel terfikir asumsi,
bahwa dia sepertinya hanya ingin datang ke Farel
untuk meminta bantuan membuat acara Stand
up Comedy yang dia buat, hanya itu tidak lebih.
Mungkin Farel yang terlalu terbuai akan perasaan
dia di masa lalu, sehingga sekali lagi logika dia
benar-benar kalah oleh cinta yang sekali lagi tidak
dia dapatkan di diri Fea .
Salah satu pernyataan Fea yang membuat
Farel mencoba untuk memutar waktu, mencoba
untuk mengulang semua yang seharusnya menjadi
miliknya, mencoba untuk terlahir menjadi Farel
yang seharusnya dan tidak membiarkan bimbang
menyelimuti ruang fikiran dan batin dia hingga saat
ini.
“Kita tuh deket lama banget ya, tapi aku ga
pernah ngerti maksud kamu deket sama aku tuh
apa Rel. Kamu ga pernah nunjukin apa-apa sama
aku, buat kita ketemu aja susah banget, kamu juga
jarang banget buat aku ketemu, jadi ya aku bingung
sendiri mau kamu tuh apa. Yang jelas aku jadi
bingung sendiri kamu pasti apa engga.”
This is Lifeline dan harus percaya bahwa kita
tidak pernah mengetahui garis kehidupan kita.
Terkadang apa yang kita inginkan belum tentu
menjadi milik kita, apa yang kita berikan belum
83
tentu menjadi kehidupan, karena hanya Tuhan
yang mengetahui akan hal tersebut. Sekian.
***
Selamat Ulang Tahun, Ma…
Prasanda Martha Sheila
Jumat, 03 November 2012
Setiap orang memiliki sudut pandang
dan definisinya sendiri terhadap suatu
hal, termasuk hari ulang tahun. Bagi kalian, apa
itu hari ulang tahun? Mungkin, hari di mana kalian
dilahirkan di dunia ini. Hari di mana orang-orang
tersenyum lebar mendengar tangisan pertama
kalian. Hari di mana ada perayaan dengan lilin-lilin
kecil di atas sebuah kue dan kado. Atau hari di mana
kalianselalumendapatkankejutandariorang-orang
terdekat. Bagi Manda, hari ulang tahun adalah hari
bahagia yang semu.
Manda seharusnya bahagia. Gadis itu
seharusnya senang. Seharusnya, hanya kedua kata
itu yang menghiasi hatinya saat ini. Namun, ada
sebuah kata yang tanpa terasa ikut hadir. Sedih.
Entah karena gadis itu memang aneh, atau
karena dia memang selalu memandang segala
hal dengan dua sudut pandang yang berbeda.
86
Seakan-akan selalu terjadi sebuah perang di dunia
nonlogikanya yang disebut perasaan.
Perasaan bahagia dan senang karena hari
ini ulang tahun mamanya, itu sudah jelas. Namun,
mengapa ia merasa ada sebuah kesedihan juga? Ia
sedih karena menyadari sesuatu. Bahwa bersamaan
dengan itu, waktu keberadaan mamanya di dunia
ini semakin berkurang. Bahwa mamanya semakin
dekat dengan hari di mana seseorang akan pindah
ke dunia lain yang kekal dan abadi. Ia sadar, wanita
yangtidakhanyasebagaiorangyangmelahirkannya,
namun juga sebagai teman terbaik di hidupnya,
semakin tua.
“Tidak, tidak, tidak boleh begini.”
Segera ia menggeleng-gelengkan kepalanya
dengan keras. Menyingkirkan pikiran-pikiran
negatif dan hanya menyimpan perasaan bahagia.
Ia bangkit dari tempat tidurnya. Sambil beranjak
ke kamar mandi, ia berusaha sebisa mungkin
menata perasaannya. Tiba-tiba langkahnya terhenti
mendengar ponselnya berbunyi. 1 pesan diterima.
Mama.
Di situ tertulis,
Kak, hari ini pulang, nggak?
Wanita itu tahu setiap akhir pekan gadis itu
akan menghabiskan waktu bersantai di rumah. Ia
hanya memastikan gadisnya itu tidak menggunakan
waktu bersantainya untuk mengerjakan tugas di
87
Bogor.Jemarigadisituseketikamenarimengetikkan
kata-kata sederhana, yang akan menyunggingkan
sebuah senyuman di wajah mamanya.
Iya ma, pulang kuliah kakak langsung pulang.
Saat ini yang Manda tunggu adalah slide
“Terima Kasih” muncul di layar proyektor. Yang ada
dipikirannyasaatiniadalahpersiapanuntukkejutan
ulang tahun mamanya. Kue ulang tahun ukuran
kecil atau roti-roti yang nanti dibentuk menyerupai
kue ulang tahun? Kotak khusus kado atau kotak
biasa yang dibungkus kertas kado? Lilin kecil atau
2 lilin berbentuk angka? Pertanyaan-pertanyaan itu
sedang bersarang di kepala gadis itu.
Kegiatan kuliah yang serasa tanpa jeda
membuatnya lupa, bahwa terakhir kali ia makan
adalah tadi pagi.
“Manda, makan yuk, suara perut gue udah
nyaring banget nih.”
Rasanya ingin sekali ia mengiyakan ajakan
temannya itu. Perutnya sudah terasa perih.
Mengingat saldonya di ATM dan di dompetnya
serta persiapan kejutan ulang tahun mamanya, ia
terpaksa mengurungkan keinginannya.
“Aku langsung pulang aja, lagi buru-buru
soalnya ada urusan.” Ia langsung melambaikan
tangan pada temannya setelah mereka keluar area
kampus.
Matahari sebentar lagi akan terlelap ketika
88
ia sampai di Botani Square. Destinasi pertamanya
adalah toko roti. Harga kue ulang tahun ukuran
kecil masih terlalu mahal. Enam buah roti yang
nanti disusun seperti kue ulang tahun ternyata
lebih bersahabat dengan kantongnya.
Lalu ia langsung bergegas menuju Gramedia
untuk membeli kotak khusus kado. Ponselnya
berdering. Mamanya pasti sedang menunggu
kedatangannya.
Kak, udah sampe mana?
Mama tidak akan marah kalau aku bilang
tidak jadi pulang, pikirnya. Manda membalas pesan
mamanya.
Ma, aku nggak jadi pulang.
Kenapa? Bukannya kata kamu nggak ada tugas?
Deg. Mendadak seperti ada sengatan listrik
mengejutkan badannya. Benar-benar bodoh. Ia
lupa mengenai hal yang satu itu. Ia terlanjur bilang
kalau minggu ini tidak ada tugas. Mamanya akan
curiga kalau ia tiba-tiba bilang tidak pulang karena
ada tugas. Tapi tidak ada pilihan lain selain alasan
yang satu itu.
Nggak jadi pulang, ternyata ada tugas ma.
89
Ah, kamu alasan aja pasti mau main.
Nggak ma, beneran.
Yaudah. Terserah.
Deg. Kali ini bukan hanya sengatan listrik. Tapi
sambaran petir! Hanya dua kata sederhana. Namun
memiliki dua makna yang berbeda bila diucapkan
dengan nada yang berbeda pula. Nada ikhlas atau
nada tidak peduli. Manda tidak tahu nada yang
mana yang sedang digunakan mamanya saat ini.
Membaca kedua kata itu berdampingan
terasa aneh. Salah satu dari kata itu tidak apa-
apa. Tapi kalau keduanya digabungkan, seperti ada
sebuah kekecewaan dan kekesalan terselip di kedua
kata itu.
Ah, tidak mungkin marah, pikirnya. Namun
hati kecilnya berpendapat lain, mamanya marah.
Berbohong pada mama bukanlah hal yang ia sukai.
Benar-benar membuatnya merasa bersalah. Demi
kejutan mama, anggap saja ini sebuah kebohongan
putih. Ia menggunakan istilah itu meskipun ia tidak
begitu yakin maknanya.
Sudah tidak ada waktu untuk membungkus
hadiahnya dengan kertas kado, pasti akan menyita
waktu. Setelah membeli kotak khusus kado dan lilin
berbentuk angka 4 dan 2, Manda segera beranjak
menuju terminal yang tidak jauh dari Botani Square.
Setidaknya uangnya masih cukup untuk ongkos
90
pulang ke rumah. Bahkan masih ada sedikit sisa
untuk jajan di Surabi Bingung tempat yang sering ia
kunjungi bersama teman-temannya.
Menjadi orang pertama yang mengucapkan
selamat ulang tahun pada orang yang ia sayang
adalah suatu keharusan bagi Manda. Setiap tahun
ia selalu mengirimkan ucapan dan doa ulang tahun
pada sahabat dan orang-orang kesayangannya saat
tengah malam. Hari ini ia ingin memberikan kedua
hal itu tepat pukul 00.00 pada mamanya.
Ndah, sekarang gue udah di bis. Paling jam 8an gue
nyampe. Nanti jemput di bukit yak. Thank youuu!
Ia mengirim pesan itu pada temannya, Indah,
dan langsung terkirim. Tempat yang ia tuju saat ini
bukanlah rumahnya, melainkan rumah temannya.
Selain memberikan kejutan, ia juga harus menepati
janjinya untuk makan surabi bertiga dengan kedua
sahabatnya, Indah dan Tiara, di tempat kesukaan
mereka, Surabi Bingung.
Sesampainya di kamar Tiara, ia langsung
menaruh tas dan semua barang bawaan yang ia
bawa dari Bogor lalu mereka langsung pergi menuju
Surabi Bingung sambil menunggu tengah malam
tiba. Sebenarnya ia sedikit keberatan karena belum
selesai mempersiapkan kejutan untuk mamanya.
Tapikeduatemannyabersediamenjadisukarelawan
sehingga ia akan merasa cukup terbantu nantinya.
Sekitar pukul 22.00, mereka bertiga pulang
91
ke rumah. Sebentar lagi tengah malam dan
Manda harus segera melakukan persiapan. Tiara
membantu menggunting-gunting kertas menjadi
tipisdanpanjang-panjang.Kumpulankertasituakan
diletakkan dalam kardus sebagai alas kado. Indah
dan Manda menyusun roti-roti menjadi sebuah
tumpukan menyerupai kue ulang tahun yang dihiasi
dua lilin berbentuk angka yang tertancap indah di
atas tumpukan tersebut.
Lima belas menit sebelum tepat pukul 00.00.
Semua orang sudah terlelap dan sedang menikmati
dunia mimpi mereka masing-masing. Sedangkan
Manda dan Indah masih terjaga dan sedang
berjalan bersama. Arah rumah mereka searah.
Mereka berdua sama-sama mengengok ke kanan
dan ke kiri. Tidak ada yang mereka temukan kecuali
rumah gelap dengan hanya satu lampu depan yang
menyala.
Angin semilir menambah dingin malam
itu. Semakin malam, angin terasa semakin
dingin. Namun sedingin apapun itu tidak akan
menggoyahkan langkah gadis itu. Satu per satu
langkah ia ambil dengan begitu hati-hati. Ia takut
tumpukan roti dengan 2 lilin angka di atasnya jadi
berantakan jika jalannya terlalu cepat. Jantungnya
berdebar. Rasa khawatir tiba-tiba merubunginya.
Bagaimana kalau mamanya tidak bangun saat
ia ketuk pintu? Bagaimana kalau mamanya tidak
suka dengan kejutan yang ia sudah siapkan? Tapi ia
berhasil menepis rasa khawatir itu dengan segera.
92
Sebelum berpisah, ia tidak lupa
menyampaikan terima kasih karena temannya
sudah mau membantu.
Berdiri tengah malam di depan pintu dengan
perasaantidakkaruan.Iatidaktahukapanlagiiabisa
merasakan hal semacam ini. Manda mengepalkan
tangannya untuk mengetuk pintu.
Tok tok tok. Tidak ada yang menyahut.
Kepalan tangannya bersiap untuk tiga ketukan pintu
yang kedua. Belum sempat ia mengetuk pintu lagi,
terdengar seseorang sedang membuka kunci pintu.
Seperti yang ia harapkan, wajah mamanya muncul
dari balik pintu. Spontan, lagu selamat ulang tahun
dalam versi bahasa Inggris berkumandang.
“Happy birthday to you… Happy birthday to
you…”
Belum sempat Manda menyelesaikan
nyanyiannya, buru-buru mamanya langsung
menyuruh masuk ke rumah. Alis matanya berkerut.
Iatidakmengertiapayangsedangterjadi.Mamanya
menginstruksikan untuk segera masuk ke kamar.
Perasaan haru belum sempat terekspresikan.
Manda bahkan belum sempat melihat muka bantal
mamanya berubah sumringah bahagia.
“Kenapa sih ma? Aku kan belum selesai
nyanyinya,” Manda sedikit jengkel.
“Pelan pelan ngomongnya, nanti papa
bangun,” bisik mamanya.
Ternyata papanya memang tidak pernah
ingat hari ulang tahun istrinya sendiri. Jangankan
93
memberikan kejutan, sekedar ucapan selamat
ulang tahun saja tidak. Mereka hanya merayakan
hari istimewa itu berdua. Semoga begini saja cukup
untuk membuat mama mengenang kejutan ulang
tahun pertamanya.
Misinya berhasil. Manda berhasil mendapat
posisi orang pertama yang mengucapkan selamat
ulang tahun.
“Maaf ya Ma, Aku bohong, Selamat ulang
tahun, Ma,” kata gadis itu sambil mendaratkan
sebuah kecupan di pipi wanita yang bertambah
usia itu. Bila terbawa suasana, bisa-bisa Manda
menangis sesenggukan saat itu juga. Gengsinya
terlalu tinggi, bahkan di depan mamanya. Sebisa
mungkin ia menahan kedua sungai itu supaya tidak
mengalir deras membasahi pipinya.
Setelah sesi tiup lilin dan suap menyuapi
kue, Manda memberikan sebuah kado yang sudah
ia siapkan sejak jauh-jauh hari. Sebuah gelang
berwarna merah. Warna kesukaan mamanya.
Harga gelang itu memang tidak seberapa. Namun
bernilai jauh lebih tinggi dari harganya karena cinta
dan kasih yang terlampir. Akhirnya Manda melihat
ekspresi itu. Kedua mata yang berbinar dan bibir
yang melengkungkan sebuah senyum bahagia.
“Mama maafin kok, makasih ya kak…” Nada
suaranya yang lembut menggetarkan gendang
telinganya lalu turun menggetarkan hatinya. Manda
berjanji tidak akan pernah berbohong lagi pada
mamanya. Yang ia mau hanyalah melihat mamanya
94
tersenyum.
Seketika, terlintas dalam pikirannya cuplikan
rekaman dari semua jasa-jasa mamanya. Ini belum
berarti apa-apa dibandingkan semua yang telah
mama berikan. Ini bahkan belum sampai memenuhi
0,01 persen dari itu semua. Kata-kata itu hanya ia
ucapkan dalam hati. Semoga hati mamanya bisa
mendengar itu.
Pagi hari berjalan seperti biasa. Seperti
tidak ada apa pun yang terjadi. Yang tahu kejadian
tengah malam tadi hanya Manda, mamanya, dan
temannya. Malam harinya, Manda makan malam
berdua dengan sang Mama. Hanya mereka berdua.
Hanya seorang anak dan ibunya. Kedekatan mereka
semakin erat. Kemanapun mamanya pergi, Manda
adalah orang pertama yang diajak. Apa pun yang
Manda minta, mamanya selalu menuruti selagi
bisa. Tapi Manda tidak memanfaatkan hal ini.
Manda semakin sayang pada mamanya.
***
95
Nadhilah Nurilina Adani, gadis berzodiak leo ini
lahir di Jakarta pada tanggal 14 agustus 1993.
Anak kedua dari tiga bersaudara ini memiliki hobi
menyanyi dan memasak. Saat ini penulis sedang
mengenyam pendidikan di Instiut Pertanian Bogor
Program Diploma Program Keahlian Komunikasi.
Penulis mendapatkan inspirasi dari lingkungan
sekitar, dengan dukungan orang yang disayanginya.
Amalia Satriani. Gadis berdarah Jawa dan Sunda
yang lahir di Kota Hujan 20 tahun silam. Anak
pertama dari dua bersaudara. Pernah lulus dari
SMP Negeri 10 Bogor dan SMA Negeri 4 Bogor. Saat
ini Amal (panggilan akrabnya) tengah mengenyam
pendidikandiProgramKeahlianKomunikasiDiploma
IPB. Pecinta hewan panda dan warna hitam putih.
Gemar mencoba hal baru. Serta seorang pemimpi
besar.  Menyukai seni merajut aksara sejak duduk
di bangku SMA. Baginya, menulis adalah berbagi.
Follow twitternya: @ASamaal dan temukan sedikit
ceritanya di www.ekspresiamal.blogspot.com 
Prasanda Martha Sheila, panggil saja Sheila. Lahir
di Banjarnegara, 25 Maret 1994. Saya adalah anak
Profil Penulis
96
pertama dari tiga bersaudara dari sebuah keluarga
yang sederhana.
Erlinda SW. Blogger. Flash fictioner. Coffee lover.
October.
Apriani merupakan mahasiswi dari Program
Diploma Institut Pertanian Bogor Program keahlian
Komunikasi tingkat akhir, dengan NIM J3A411262.
Apriani adalah anak ketiga di keluarganya. Cerpen
yang berjudul “Surat Merah Jambu” ini merupakan
karangan cerpen ketiganya. Dia mulai menulis sejak
menduduki bangku Sekolah Menengah Atas.
97
Marizka Witya Putrini merupakan salah satu
mahasiswi Dari Program Diploma Institut Pertanian
Bogor Program Keahlian Komunikasi tingkat
akhir, dengan NIM J3A211158. Marizka adalah
anak pertama dari dua bersaudara. Cerpen yang
berjudul “Ibu Aku Mencintaimu Dulu, Sekarang,
dan selamanya” merupakan karangan cerpen
pertamanya. Dia mulai tertarik dengan dunia
menulis sejak menduduki bangku kuliah.
Cerpenyangberjudul“KetikaHarusMengikhlaskan”
ini merupakan kisah nyata yang dialami oleh
penulisnya sendiri, bernama Hafsah Kurniaty
98
Ayuningtyas, mahasiswa Komunikasi 48 Diploma
IPB. Perempuan yang kerap dipanggil Syaima ini
lahir di Mesir, bulan Januari 1994. Berkarakter
Capricorn dan shio kambing. Syaima sangat hobi
menulis sejak SMP, sudah bertahun-tahun bercita-
cita ingin menjadi seorang penulis novel namun
tidak juga kesampaian, niatnya untuk menjadi
penulis pun ia alihkan dengan berbagi cerita
kehidupannya di dalam blog pribadinya. 17 belas
tahun tinggal di Mesir bersama kedua orangtuanya
dan baru kali ini sudah hampir masuk tahun ketiga ia
menetap di Indonesia. Kursus pianonya yang sudah
ia tekuni selama tujuh tahun (2003-2010) membuat
ia bermimpi ingin menjadi seorang pianis terkenal
seperti Valentina Lisitsa, namun mimpinya hanyalah
sebatas khayalan yang sudah ia gantungkan di atas
sana, tidak terlihat tapi akan selalu ada.

Lifeline

  • 1.
  • 2.
    Undang-undang Republik Indonesia Nomor19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Ketentuan Pidana : Pasal 72 1. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Ayat (1) atau pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 (satu) dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
  • 3.
    Lifeline& 9 Cerpen TerpilihLainnya Faris Elky Ramadhan Erlinda SW Amalia Satriani Hafsah K. Ayuningtyas Prasanda Martha Sheila Carly Erikson Anisa Karima Nadhilah Nurilina Adani Apriani Marizka Witya Pt Digreat Publishing
  • 4.
    Lifeline dan 9 CerpenTerpilih Lainnya Penulis: Faris Elky dkk Penyunting: Dadi M. Hasan Basri Ilustrator isi & Desain Cover: Erlinda SW Setter & Layouter Isi: Erlinda SW Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Digreat Publishing anggota IKAPI Cetakan pertama: November 2013 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari Penerbit. ISBN: 978-602-96-668025-2 PT Digreat Publishing Jl. Kumbang No. 14 Bogor 16151 Dicetak oleh Percetakan PT Diploma Grafika Isi di luar tanggung jawab Percetakan
  • 5.
    Buku ini dipersembahkanuntuk orang-orang yang tidak pernah putus asa berjuang dalam hidupnya. Bila kisah dalam buku ini menginspirasi, bangkitlah karena kalian juga bisa jadi inspirasi!
  • 6.
    vi Kata Pengantar Kehidupan itumisteri. Seperti sebuah kejutan di tengah malam-sama halnya dengan salah satu cerpen dalan buku ini. Ketika misteri tersebut terpecahkan, ada berbagai macam rasa yang kita rasakan. Itulah pahit manis kehidupan. Begitu pula dengan buku ini. Memuat sepuluh cerpen yang terinspirasi dari kisah hidup para penulisnya. Dengan bahasa yang ringan dan kisah yang sederhana tapi memiliki makna di baliknya. Betapa beruntungnya menjadi manusia. Memiliki akalsehinggabisaberpikir.Lantasmemetikpelajaran dari setiap pengalaman hidup yang telah dilalui. Tentu kesepuluh cerpenis ini patut berterima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu baik secara moril maupun materil. Rasa terima kasih pun tak luput diberikan kepada dosen yang mengampu mata kuliah Penerbitan.
  • 7.
    vii Daftar Isi Kata Pengantar v Daftar Isi vi Sepucuk Maaf Dari Ruang Garuda Dua.. 1 Ketika Harus Mengikhlaskan 11 Surat Merah Jambu 23 Perempuan yang Bertutur Padaku 33 Cinta Datang Terlambat 41 Ibu, Aku Mencintaimu Dulu, Sekarang, dan Selamanya 49 Aku Ingin Bebas 57 Dari Wangi Turun Ke Hati 65 Lifeline 73 Selamat Ulang Tahun, Ma… 85 Profil para penulis 95
  • 8.
    Kasih ibu kepadaBeta..... Tak terhingga sepanjang masa.. Hanya memberi.. Tak harap kembali.. Bagai sang surya menyinari dunia… Pagi ini masih sama seperti pagi kemarin. Aku mendapati atap berwarna putih yang mulai tak asing lagi di pikiranku. Berpadu tirai hijau yang khas serta rasa ngilu yang kudapati dari pergelangan tangan kiriku. Aku mulai mengenali ruangan ini setiap harinya. Ya, aku sudah hampir 4 hari dirawat di Rumah Sakit Salak Ruang Garuda Bawah 2. Bukan sakit yang berat, namun tetap saja merepotkan kedua orang tuaku. Demam berdarah, katanya. Seorang suster berpakaian serba putih masuk ke ruanganku dengan membawa aneka peralatan yang serba runcing. Pukul lima pagi, itu artinya aku harus ambil darah untuk yang ketujuh kalinya dalam 4 hari aku dirawat. “Nggak sakit.. sebentar yah..,” ujar suster Sepucuk Maaf Dari Ruang Garuda Dua.. Amalia Satriani
  • 9.
    2 yang di dadanyatercantum nama Onalisa sembari mempersiapkan jarum suntik. Air mukaku menegang. “Udah tujuh kali ambil darah, masa nggak kebal-kebal, sih?” timpal seorang ibu berperawakan agak gemuk mengejekku. Beliau adalah ibuku. “Tujuh kali juga tetep aja jarumnya nggak tambah bersahabat. Tetep sakit tau!” Aku membela diri sambil mengernyitkan dahi. Menahan sakitnya jarum suntik yang tengah menghisap darah segarku. “Sudah!” ujar suster Ona, panggilan akrabnya dariku sembari tersenyum kemudian pergi. “Makasih sus…” ucapku dan ibu bersamaan. Ini adalah kali pertama aku merasakan opname alias dirawat di rumah sakit sampai berhari-hari, merasakan betapa sulitnya jika ingin bergerak akibat selang infusan yang tidak bisa diatur panjang-pendeknya, dan merasakan betapa tidak berdayanya aku dalam melakukan hal-hal kecil seperti pergi ke toilet dan tidak bisa mengambil makanan atau minuman sendiri. Aku seperti bayi besar saja. Namun, dalam kurun waktu 4 hari aku terbaring tak berdaya di rumah sakit itulah, aku sadar, benar-benar sadar bahwa di dunia ini hanya ada sedikit orang yang selalu bisa aku andalkan, hanya ada segelintir orang yang selalu bisa aku jadikan sandaran dalam setiap peristiwa kehidupanku. Ibu, ibu, ibu, kemudian ayah. Pantas saja Junjunganku Nabi Muhammad
  • 10.
    3 SAW menyebutkan sosokibu sampai tiga kali dalam sabdanya. Ternyata memang benar adanya bahwa seorang ibu begitu istimewa. Ibu yang selalu ada untukku. Ibu yang selalu terjaga disaat aku tertidur karena takut anaknya yang nakal dan manja ini mengalami panas tinggi seperti hari pertama aku dirawat disini. Ibu yang selalu siaga ketika waktunya aku makan, ketika aku butuh minum dan ke toilet. Iya, ibu yang setia itu adalah ibuku. Sosok wanita yang jauh lebih setia dan perhatian dari kekasih yang selama ini aku bangga-banggakan. Pukul enam pagi. Seorang bapak pengantar sarapan sudah melakukan tugas mulianya memberi makanan pada setiap pasien dengan tepat waktu. Ibukubarusajamenggulungsajadahdanmukenanya. Sudah menjadi kebiasaan ibu melakukan ibadah dalam waktu lama, karena setelah sembahyang, ibu biasanya akan melanjutkan berdzikir dan bertasbih yang tidak lain untuk mendoakan ayah, aku dan adikku. Ibu mengambil mangkuk yang berisi bubur dankaldunyakemejadisebelahku.Dengancekatan, ibu memisahkan bawang goreng yang tidak kusuka dari bubur tersebut, Ibu juga mencampur kaldu dan bubur yang menjadi menu sarapanku menjadi satu dan menyuapiku dengan sabar. Seberapapun aku bilang “sudah”, ibu selalu punya cara agar aku mau melahap dan melahap lagi sarapanku hingga habis. Hanya ibu, yang mau repot-repot memisahkan bawang goreng yang tidak kusuka dalam sarapanku
  • 11.
    4 tanpa mengeluh. Hanyaibu yang tahan dengan sifat manja dan keras kepalaku yang sudah akut ini. Tiba-tiba air mataku menetes. Tanpa sepengetahuanibu,airmatakudenganliarmengalir. Betapa tak berdayanya aku jika tidak ada ibu. Aku adalah anak perempuan pertama di keluarga kecil ini. Walaupun anak perempuan, tapi perlakuan tegas tetap aku terima dalam setiap hari- hariku. Oleh karena perlakuan tegas yang sewaktu kecil aku pikir tidak adil itu, aku tumbuh dengan perasaan serasa dikekang oleh kedua orang tuaku. Betapa banyak kebodohan-kebodohan yang telah aku lakukan semenjak aku mengenal dunia luar. Pernah suatu hari, aku bersikeras ingin datang ke pesta ulang tahun temanku di SMP yang diadakan pada sore hari menjelang malam, namun ibu tidak mengizinkanku karena saat itu ayah sedang tidak ada di rumah. “Nanti siapa yang mau jemput kalau kamu pulang kemaleman terus nggak dapet angkot, teh?” ujar ibu saat itu. Tapi, aku tetap kekeuh pada keinginanku. “Ia nggak akan pulang malem banget kok, palingan jam 7 juga pulang. Angkot masih ada jam segitu mah.” kataku sok tahu. Lalu mencium punggung tangan ibuku dan melenggang pergi. Lalu, benar saja apa yang dikatakan ibuku. Aku memang pulang pukul 7 malam dari rumah temanku di kawasan Perumda dekat dengan SMP kami. Tapi, tidak ada satu angkutan pun yang mau
  • 12.
    5 mengangkut aku saatitu, semuanya melewatiku begitu saja. Umurku 14 tahun saat itu, dan masih duduk di kelas 3 SMP. Mungkin karena faktor umur itu para sopir angkot tidak mau mengangkut aku ke dalam mobilnya, tentu saja para sopir lebih memilih mengangkut orang dewasa yang membayar full daripada anak ingusan seperti aku, walaupun aku sudah bertekad dalam hati akan membayar ongkos angkutan yang mau mengangkutku dengan full, tapi tekad tetap saja hanya tekad. Faktanya aku tetap berdiri di depan gang rumah temanku hingga pukul setengah delapan malam karena tidak ada satupun angkutan yang mau berhenti. Hingga akhirnya, dengan terpaksa aku mengeluarkan ponsel tipe nokia 3650 yang sedari tadi bergetar yang sudah pasti itu telepon dari ibu. “Masih di mana, Teh?” tanya ibu di sebrang telepon. “Masih berdiri di depan gang rumah Vevi, mah. Nggak ada angkot yang mau berenti,” kataku akhirnya mengaku. “Tuh kan, apa mama bilang?! Udah malem gini gimana atuh kamu pulangnya?” Ibu mulai terdengar panik. Sebenarnya jangankan ibu, saat itu aku juga bingung setengah mati bagaimana cara agar bisa pulang. Jarak tempuh ke rumahku sangat jauh dan melewati hutan yang seram. Sempat beberapa kali terbesit untuk menaiki ojek, tapi tiba- tiba aku teringat pesan ibu yang melarangku naik ojek sendirian. Aku tidak berani lagi membantah
  • 13.
    6 pesan ibu saatitu, aku sudah cukup menyesal dengan keangkuhanku hari itu. Pesta ulang tahun itu kan bukan hal yang wajib aku datangi, kalau saja hari ini aku tidak pergi, mungkin saat ini aku sedang bersantai di rumah, tidak seperti sekarang berdiri di depan gang seperti ini. “Tunggu, mama kesana yah. Nanti pulang bareng mama aja. Jangan kemana-mana, jangan mau diajak orang ya!” Lalu sambungan telepon terputus. Nah, lihat kan? Aku jadi anak paling merepotkan malam itu. Aku membuat ibu yang tengah repot dengan adikku yang saat itu masih berusia 7 tahun harus keluar di malam hari untuk menjemputku dengan menaiki angkutan umum yang belum tentu aman. Malam itu, aku merasa jadi anak yang paling menyesal. Aku mengusap air mataku segera setelah ibu berbalik hendak menyuapiku lagi. Aku melihat sedikit kantung mata tampak dibawah kedua matanya. Sepertinya hampir semalaman ibu tidak tidur karena menungguiku. Melihat itu, kelopak mataku hampir tidak bisa menahan air mata yang nyaris menetes lagi. Untung saja ibuku segera berbalik lagi melihat tayangan infotainment kesukaannya, memberi kesempatan pada mataku untuk menjatuhkan air matanya dan mengingat kembali segelintir kebodohanku di masa lalu yang membuat aku merasa sangat berdosa. Misalnya, pernah suatu hari aku sengaja berbohong kepada orang tuaku terutama ibu saat
  • 14.
    7 akan pergi keluarbersama pacar. Aku bilang akan pergi bersama teman SMA-ku ke mall, padahal aku pergi ke hutan pinus bersama pacarku. Sudah sering aku berbohong kepada ibu apabila aku ingin pergi ke suatu tempat yang menurut perkiraanku mungkin ibu tidak akan mengizinkannya sehingga aku terpaksa berbohong supaya tetap bisa pergi. Selain itu, seringkali aku lebih mementingkan hal-hal yang berkesan bersama pacar ketimbang dengan orang tuaku. Sebagai contoh, demi membuat hari ulang tahun pacarku berkesan, aku menabung mati- matian uang jajanku selama berminggu-minggu agar mendapat dana yang cukup untuk membuat kejutan ulang tahun serta membeli hadiah ulang tahun yang berkesan untuk pacar yang saat itu aku pikir adalah belahan jiwaku, bahkan aku melibatkan kedua orang tuaku untuk membantuku mewujudkan ide romantis tersebut. Walaupun, ketika akhirnya putus, tetap saja ibu yang akan menghiburku. Sedangkan ketika hari ulang tahun ibu atau ayah tiba, aku memang tidak begitu saja melupakannya. Tapi, persiapan yang terjadi benar- benar tidak sebanding. Aku tidak pernah menabung sampai harus puasa untuk membeli hadiah ulang tahun ibu atau ayah, karena pada dasarnya ibu atau ayah tidak pernah mengharapkan hadiah yang aneh-aneh dariku. Iya kan? Mereka memang tidak pernah meminta hadiah yang romantis dan berkesan dari
  • 15.
    8 anaknya bahkan merekatidak pernah marah kalau aku meminta uang pada mereka untuk hal yang tidak ada hubungannya dengan kebutuhanku. Tapi, belakangan aku sadar, begitu seringnya aku membangga-banggakan kekasihku dihadapan ibu dan ayah, begitu seringnya aku membicarakan hal-hal yang akan membuat kekasihku terkesan padaku dihadapan mereka, tanpa sedikitpun memikirkan perasaan mereka? Bagaimana bisa? Aku benar-benar anak yang tidak tahu terima kasih, bukan? Maka hari ini, benar kata orang bahwa ada hikmah dibalik setiap peristiwa yang telah terjadi. Berkat tangan Tuhan yang membawaku masuk ke rumah sakit ini, aku belajar banyak hal tentang kehidupaku sendiri. Bahwa ibu lah yang akan selalu ada dan menjadi sandaran hidupku yang selalu bisa aku andalkan. Bukan teman, apalagi si dia, kekasih yang selama ini aku banggakan yang bahkan tidak menjengukku karena sibuk. Aku belajar, bahwa ibu itu lautan maaf, seberapapun aku, atau kalian menyakitinya bahkan berdosa padanya, ibu akan selalu membukakan pintu maafnya untuk kita bahkan sebelum kita mengutarakan permintaan maaf itu. Seringkali aku merasa malu untuk meminta maaf pada ibu, tapi hari ini, alasan itu tidak boleh berlaku lagi. Masa bisa minta maaf sama pacar, tapi sama ibu sendiri nggak bisa? Pikiranku meledek. Lalu, pagi itu mungkin menjadi pagi paling
  • 16.
    9 aneh untuk ibukukarena untuk pertama kalinya dalamsadar,aku,anaknyayangangkuhini,memeluk dan mencium ibu yang tengah menyuapiku sembari berkata, “Makasih ya mah, maaf kalau selama ini Ia ngerepotin mama terus. Hehe,” dengan agak terbata, namun cukup berkesan.  ***
  • 18.
    Ketika Harus Mengikhlaskan HafsahK. Ayuningtyas 8 Oktober 2012, Mesir… “Ini adalah sebuah kisah nyata tanpa rekayasa dari negeri Sungai Nil….” Aku terhanyut dalam lamunanku ketika semilir angin di pantai Alexandria, Mesir, menyapa tubuhku dengan lembut. Angin itu seolah menghadirkan episode kehidupan yang selama ini aku jalani. Kehidupan yang membiru dan penuh kenangan. Rasa hangat menelusup perlahan di hatiku saat satu per satu sosok yang pernah ada dan menjadi bagian dari hidupku hadir kembali di benakku. Menghidupkan roman-roman ke-rinduan di hati terhadap kejadian masa lalu yang tinggal kenangan. Perlahan namun pasti, roman rindu itu terus memenuhi pikiranku, dan berkelana di dalamnya. Matahari pagi delapan Oktober dua ribu dua belas yang baru saja terbit di depanku, lautan
  • 19.
    12 Alexandria yang meluasdi sepanjang mataku memandang, dan suara ombak yang terdengar jelas di telingaku, tiba-tiba mengantarkanku untuk mengingat kembali pada sosok sahabat kecilku yang sudah hampir empat tahun berpisah. Sahabat yang membuat kisah hidupku terasa lengkap, yang membuatku tahu beragam rasa dalam cinta dan manisnya sebuah kehidupan. Namanya Nayla, lengkapnya Naylatul Azizah. Aku dan Nayla sama-sama lahir di Mesir. Nayla lahir pada bulan November 1993, sedangkan aku dilahirkan dua bulan setelah-nya. Nayla adalah anak pertama dari lima bersaudara, pasangan Om Fikry dan Tante Anis. Masa kecil yang kami lalui di Mesir adalah awal dari kisah persahabatanku dengan Nayla. Sebagai anak sulung, Nayla selalu menemani adik-adiknya belajar ketika ibunya sedang sibuk atau ayahnya yang masih di kantor. Aku ingat, ketika beberapa tahun yang lalu, aku harus pindah ke Sekolah Indonesia Cairo saat aku baru memasuki kelas 3 SD. Nayla yang menuntunku masuk ke dalam gerbang sekolah. Nayla pula yang setia berada disampingku ketika aku takut dengan teman-teman di sekolah baruku. Aku merasa nyaman berteman dengan Nayla, seorang gadis putih yang manis dan lembut. Aku banyak belajar darinya, salah satunya adalah pembawaannya yang dewasa, pendiam, cerdas dan tidak banyak bicara.
  • 20.
    13 Hingga suatu saat,kami merasa perjalanan hidup kami begitu mulus, terasa sangat indah, sedikitpun tidak ada kekurangan, bahkan kebahagiaan pun nyaris sempurna. Matahari yang kian meninggi dan menyinari seluruh kota di Mesir, di depan pantai Alexandria saat itu, aku mengenang kembali kejadian pada lima tahun yang lalu, kejadian yang mengiris hati, menggores luka, tapi menyimpan beribu kenangan manis di dalamnya. 8 Oktober 2007, Mesir… Udara pagi di negeri Sungai Nil kala itu begitu dingin, seakan menusuk saraf dalam tubuh dan memaksaku untuk berpakaian tebal dan hangat. Ya, musim dingin di Mesir baru saja datang sejak pertengahan September yang lalu. Berpuluh-puluh warga yang lalu lalang kian memakai jaket tebal dan syal yang hangat. Susu putih manis yang dibuatkan bunda begitu cocok dengan suasana pagi itu. Tanggal 8 Oktober 2007 saat itu adalah hari Senin, dimana hari kedua pegawai kantor masuk kerja, termasuk Ayahku. Ayah sudah berangkat dari jam delapan pagi tadi. Bunda yang sudah sejam lamanya duduk di kursi sofa terlihat asik mengobrol dengan temannya lewat telepon rumah. Aku berjalan dari kamar, menghampiri pianoku dan memainkannya dengan penuh irama. “Dek, Tante Anis ngundang kita ke rumahnya
  • 21.
    14 nanti sore ya,mereka ngajak kita buka puasa bersama disana,” kata Bunda sambil menutup gagang telepon. “Wah, yang bener, bun? Dedek bikinin puding ya, bun,” jawabku. Dengan girang aku langsung berlari menuju dapur. Memang, di mana pun kami diundang, aku dan bunda selalu ingin menyumbangkan puding caramel yang merupakan makanan favoritku. Kubuka lemari tempat Bunda menyimpan segala jenis makanan dan kutemukan ada beberapa kotak puding caramel di dalamnya. Sembari mengaduk bubuk caramel dan susu putih, terdengar dari jendela dapur percakapan antara penjaga rumah dan anaknya dengan bahasa Arab, bahasa yang sangat aku pahami. Aku sungguh senang bisa datang lagi ke rumah sahabatku. Sudah hampir satu bulan aku tidak bermain dengannya lantaran tugas sekolah yang menumpuk. Sore pun tiba, hari itu adalah minggu terakhir di bulan puasa tahun 2007. Sesampainya di rumah Nayla, aku tidak menemukan Om Fikry dan Tante Anis di sana. Kutaruh mangkok pyrek berisikan puding caramel yang kubuat tadi di atas meja, dan kutemui Nayla dan keempat adiknya ada di dalam kamar. Terlihat ada beberapa mahasiswi yang sedang sibuk menata makanan, dan mahasiswa lainnya yang sedang asik dengan aktivitasnya masing-masing.
  • 22.
    15 “Assalamu’alaikum, Nay..” sapakusetelah kutemui sahabatku ini sedang tiduran sambil mendengarkan lagu dari ponselnya. “Waalaikumsalam, Sya..” jawabnya lembut sambil mendekatiku dan mencium pipi kanan dan kiriku. Ayah dan bunda mengikutiku dari belakang, masuk ke dalam kamar Nayla. “Nay, ayah dan ibu kau kemano? Dak kejingo’an di depan,” tanya ayahku dengan bahasa palembang. “Ayah mendadak dibawa ke rumah sakit, Wak. Tadi siang ayah sakit dada, dan kata dokter, ada pembuluh darah ayah yang tersumbat, jadi harus dipompa dan cepat ngejalani operasi,” jawab Nayla sambil menahan air matanya yang hendak menetes. “Loh? Kenapo dak ngabari kito? Siapo yang nemani ayah dan ibu di sano?” tanya Bunda. “Maaf wak bunda, tadi ayah dan ibu buru- buru pergi. Ado dek Fadli, Kak Imam, Kak Arif samo Kak Beni yang kesano,” jawab Nayla lagi. Tanpa menunggu lama, ayah dan bunda cepat-cepat pergi ke tempat Om Fikry dirawat menyusul Tante Anis dan si bungsu Fadli disana, sedangkan aku menemani Nayla dan adik-adiknya di rumah. Menjelang adzan Maghrib, aku terus menemani Nayla yang tidak mau keluar dari kamar, memberinya semangat dan terus menyuruhnya berdoa agar penyakit ayahnya cepat disembuhkan.
  • 23.
    16 Air mata sedihnyaterus bercucuran, mengingat sang ayah yang sedang dirawat dengan seluruh tubuhnya yang dipenuhi oleh selang infus. Sembari me-enangkan sahabatku, di dalam hati aku terus berpikir, bagaimana jika aku berada di posisi Nayla? Pasti sungguh khawatir. Perasaan bercampur aduk antara takut, risau, sedih, dan masih banyak lagi. “Nay, jangan nangis terus ya, banyak orang disini yang nemenin kamu. Lebih baik kita sama- sama doain ayah supaya cepet sembuh, operasinya lancar dan bisa pulang lagi ke rumah,” kataku sambil mengelus kepalanya yang dibalut jilbab berwarna biru itu. “Tapi aku khawatir, Sya.. Aku takut,” jawabnya lirih dan masih terus menangis di pelukanku. “Jangan takut ya sayang, kita serahin semua sama Allah,” jawabku sambil mencoba untuk menenangkan Nayla yang masih terus menangis. Kamisama-samatidakmengetahuibagaimana keadaan Om Fikry saat itu. Terdengar suara Nayla yang terus berdzikir di balik telingaku. Sembari memejamkan mata dan mulut seraya membaca doa, aku melihat kedua adik Nayla yang masih kecil itu sedang bermain dengan wajah polosnya. Harisemakinmalam.Jamsudahmenunjukkan pukul 23:00. Tidak ada satupun dari kami yang tertidur, tak terkecuali sang adik yang juga masih setia menunggu kedatangan ayahnya. Kami semua menanti kabar dari ayahku mengenai keadaan Om Fikry.
  • 24.
    17 Lima belas menitberlalu, tiba-tiba telepon rumah berdering. Adik dari Tante Anis cepat- cepat mengangkat telepon, tidak lama berbicara, mendadak beliau pingsan. Kami semua yang ada di rumah begitu kaget mendengar kabar dari ayah. Dokter telah berusaha semaksimal mungkin, namun Allah berkehendak lain. Om Fikry meninggal dunia, meninggalkan kami semua yang sedih akan kepergiannya. Tangis Nayla semakin menjadi. Matanya semakin terlihat sembap bercucuran air mata. Ia yang masih mengenakan mukena putihnya terbaring lemas di atas sajadah sambil memeluk erat Al-Qur’annya di depan dada. Matanya yang polos itu menampakkan kesedihannya yang mendalam, yaitu kesedihan atas kehilangan ayah yang sangat dicintainya. Perlahan-lahan aku tarik tangan Nayla agar ia bersandar di pelukanku. Tangisnya yang tersedu- sedu semakin mempengaruhiku untuk menangis. “Ayaaaaah, kenapa ayah ninggalin Nayla secepat ini? Kenapa ayah pergi begitu mendadak? Kenapa ayah? Kenapa? Ayah, tolong jawab Nayla.. ayah masih ada disini, ayah nggak sakit, ayah masih sehat, kan? Ayaaaah, jawab Nayla, ayah. Ayah nggak boleh pergi, ayah harus tetap ada disini, Nayla masih butuh ayaaaah….” teriak Nayla di telingaku, air matanya pun terus berjatuhan. “Sya….. kasih tau aku, ayahku masih ada kan? Ayahku udah sembuh kan? Ayahku lagi pulang
  • 25.
    18 menuju rumah kan?Iya kan, Sya?” sambung Nayla yang terus memastikan bahwa ayahnya masih hidup. Aku tidak bisa berkata apa-apa saat itu. Aku hanya terus memeluknya dengan erat, menghapus air matanya dan mengelus kepalanya. Aku merasakan apa yang Nayla rasakan saat itu, aku sedih ketika kulihat sahabatku sedih. Ada rasa kehilangan yang mendalam, terlihat dari bola mata sahabatku ini. Dua adik Nayla yang masih kecil diam membisu duduk di sebelah Nayla, bingung melihat kakak sulungnya menangis tersedu-sedu. Tidak terasa air mataku pun ikut menetes dan membanjiri kedua pipiku. Nayla semakin mengeratkan pelukannya yang melingkar di pinggangku dan bersandar di bawah leherku. Sembari terus memeluk sahabatku ini, di dalamhatikecil,akuberkata,“YaAllah..hapuskanlah tangis sahabatku ini, hilangkan kesedihannya, dan tempatkanlah ayahnya Nayla di sisi-Mu, terimalah amal ibadahnya dan ikhlaskanlah kami yang ditinggalkannya. Allah menyayangimu, om, Allah memanggilmu di bulan suci, bulan dimana pintu surga terbuka luas untuk hamba-hambaNya. Om Fikry yang tenang disana, aku berjanji akan selalu menemani Nayla disini.” Pukul dua belas dini hari, ayah kembali ke rumah untuk menjemput aku, Nayla dan ketiga adiknya menuju rumah sakit. Kutuntun sahabatku menurunisetiapanaktanggaapartemenrumahnya,
  • 26.
    19 sesekali ia jongkokdi pinggiran lalu menangis lagi. Ya Tuhan, aku tidak sanggup melihatnya.. Beri aku kekuatan untuk bisa terus ada di sampingnya.. Puding caramel buatanku tadi belum sempat dicicip Nayla, sehingga aku membawakannya sedikit di dalam gelas plastik. Masih dengan isak tangis yang tidak mengenal ruang dan waktu, bibir kami keluh dan diam seribu bahasa ketika melihat jasad Om Fikry terbaring dengan kain kafan yang membalut di tubuhnya. Untuk terakhir kalinya Nayla diberikan kesempatan untuk mencium almarhum ayahnya. Aku berjalan mendekati ayah dan bundaku yang juga terlihat sedih dan kehilangan sahabat mereka, bunda mencoba untuk menenangkan Tante Anis yang tidak berhenti menangisi kepergian almarhum suaminya. Aku juga takut merasa kehilangan se-perti Nayla. Aku bisa merasakan bagaimana sedihnya ketika ia mendadak ditinggal ayah-nya. Aku terus berbicara di dalam hati, bahwa aku belum sanggup untuk ditinggalkan. Kupeluk erat tubuh ayah dan bundaku. Aku takut kehilangan kedua mereka. Selama di Mesir tanpa keberadaan Om Fikry, Tante Anislah yang sibuk mencari biaya dengan berjualan kerupuk dan kemplang Palembang. Dua tahun kemudian, Tante Anis, Nayla, dan keempat adiknya kembali ke Indonesia dan akan tinggal selamanya disana. Hampirlimabelastahun,Naylamenghabiskan
  • 27.
    20 setengah hidupnya dikota kelahirannya. Aku sebagai sahabatnya juga ikut terpukul, ketika harus meninggalkan kota kelahiran dengan sejuta kenangan yang pernah kita alami bersama. Nayla meninggalkan aku, meninggalkan Mesir pada bulan Juli 2009. Kini, aku tidak bisa lagi bermain dengannya, berkejaran seperti layaknya anak kecil, saling berbagi cerita dan bercanda tawa. Kubuka mataku yang dari tadi terpejam menghadap lautan, menikmati setiap suara ombak yang syahdu di depanku. Matahari sudah berada di atas sana, diantara para awan putih yang menari- nari di sekitarnya. Ah, aku sungguh terbawa oleh memori- memori indah yang masih tersimpan di dalam benakku. Kini, sahabatku Nayla sudah berada di Palembang, menemani ibu dan keempat adiknya disana. Kabar terakhir yang kudengar dari ayah tentang Nayla, bahwa ia berhasil meraih juara umum menghafal Al-Qur’an di sekolahnya, dan mendapatkan tiket gratis Umroh ke tanah suci. Satu hal yang membuatku bangga memiliki sahabat sepertinya adalah Nayla mampu mengumrohkan ibu yang melahirkannya dari hasil jerih payahnya. Nayla mampu melawan kesedihannya, menghentikan setiap tetes air matanya. Nayla bukan lagi seorang perempuan yang mudah menangis, tapi kini ia telah menjadi Nayla yang baru, Nayla yang bisa melewati hari- harinya tanpa sosok Ayah yang paling dicintainya.
  • 28.
    21 Mesirsebagaiawaldanmungkinakanmenjadi akhir dari perjalananhidupku bersama keluarga dan sahabat-sahabatku. Bagiku, Mesir adalah satu- satunya kota yang indah dan menyenangkan di mataku. Mesir menjadi saksi atas segala kejadian yang terjadi di dalam hidupku. Aku tidak bisa menjelaskan bagaimana indahnyajikabanyakorangyangbertanyamengenai Mesir. Selain masyarakatnya yang ramah, mudah bergaul dan juga kotanya yang relatif aman, tapi menurutku, Mesir hanya salah satu tempat yang penuh dengan sejarah, penuh kenangan manis, asam, dan pahit. Semua itu pernah aku alami selama tujuh belas tahun aku hidup di Mesir. Itu saja. ***
  • 30.
    Hari ini akukembali. Jalanan ramai oleh orang-orang yang datang dan pergi, ada yang berangkat kerja dan ke pasar. Meski begitu ujung sepatuku masih bisa menghentak dan menggema di keramaian, seperti menunjukkan ke arah mana aku harus melangkah. Ada satu pohon yang tanpa sengaja tumbuh menjulang megah di sana. Tempat ini menjadi tempat favoritku untuk mengenang seseorang. Masih sangat jelas di benakku wajah lembutnya bagai kuncup mawar yang baru mekar. Mutiara jernih pun menetes lalu membasahi pipi. Dan setelah itu tak terdengar apa-apa lagi. Hening. Ya, semuanya terjadi tepat delapan tahun silam. Saat itu aku masih menduduki bangku kelas satu SMP. Aku anak ketiga di keluargaku dan aku sangat dekat dengan kakakku. Rani, nama yang sangat manis, semanis orangnya. Kami memiliki selisih umur lima tahun. Aku le-bih banyak menghabiskan waktu bersama dia dibandingkan Surat Merah Jambu Apriyani
  • 31.
    24 bersamateman-temanku.Kamijugamemilikiwarna favorit yang sama,yaitu merah jambu. Namun tak jarang juga kami beradu mulut, memperdebatkan hal-hal konyol. Teeng teeng, bell tanda pulang pun akhirnya berbunyi. Bersama dua teman sekelasku, kami pun pulang menuju rumah masing-masing. Sesampainya, rumah terasa sepi. Aku memanggil ayah, ibu dan kakakku, namun tak juga ada sahutan. “Mungkin mereka sedang di kamar,” pikirku. Langkah kakiku berlanjut ke kamar kakak. Sejenakide jahilku menyelinap untukmengagetkan kakak yang mungkin sedang bertapa di kamarnya. “Hahaha,” tawaku dalam hati seperti tawa hantu yang siap menakut-nakuti mangsanya. “Waaaaa,” teriakku keras berharap kakak akan kaget. Sekarang malah aku yang dikagetkan karena tak juga kudapati kakak di kamarnya. Perasaan kesal langsung menyergapku seketika karena kurasa mereka semua pergi jalan-jalan tanpa menunggu aku pulang dulu ke rumah. Selang beberapa menit kemudian, aku mendengar ada yang membuka pintu rumah. Dari ruang tamu, aku melihat ayah, ibu, dan kakakku. Perasaan kesalku langsung kutumpahkan ke mereka tanpa basa basi, terutama ke kakakku. Aku mengomel sambil memukul pelan tangan kakakku. Namun dia hanya mendiamkanku dan langsung masuk ke kamarnya. Aneh.
  • 32.
    25 “Jangan ganggu kakakmudulu ya sayang,” ucap ibu dengan lembut mengusap rambutku. Aku hanya bisa manggut dengan wajah mengerut. Saat malam tiba, ibu memanggil kami untuk makan malam bersama. Kami sekeluarga memang selalu makan malam bersama di rumah karena ibu tidak ingin kami makan makanan luar. Saat di meja makan, ku dapati kursi makan kakak masih kosong. “Bu, kakak mana? Kok belum makan?” tanyaku heran. Ibu terdiam sejenak. “Mungkin kakakmu lagi ga enak badan. Ya sudah, kamu lanjut makan saja ya,” ujar ibu. Perasaan kesal dan marahku tadi siang kini berubah menjadi kasihan kepada kakak. Selepas makan malam, aku berencana untuk menyapa kakak di kamarnya. Tok tok tok. Aku memberanikan diri mengetuk pintukamarnya.Daridalamterdengarsuarasahutan kakak. Aku pun membuka pintu dan masuk. “Hai kak,” sapaku. Kakak hanya membalas dengan senyuman kecil di wajahnya. “Kakak kenapa sih di kamar terus seharian? Aku kan jadi ga ada temen main,” ujarku dengan nada bercanda. “Makanya kamu cari temen dong, masa mau main sama kakak terus. Ntar kalau kakak udah kuliah jauh dari rumah gimana?” balas kakak sambil
  • 33.
    26 tertawa kecil. Aku tersentak.Sedari dulu kakakku memang ingin sekali menjadi dokter. Rencananya selepas lulus SMA dia akan melanjutkan kuliah Kedokteran di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Katanya sih biar bisa sembuhin ayah ibu kalau sakit. Sesederhana itu. Hatiku sedih karena beberapa tahun lagi kakak akan kuliah di tempat yang jauh. Semenjak percakapan malam itu aku berpikir untuk selalu menghabiskan waktu bersamanya. Memanfaatkan waktu yang hanya tinggal sebentar untuk bisa terus bersamanya. Namun entah kenapa semenjak itu pula kakak sedikit berubah, menjadi lebih pendiam dari biasanya yang suka ngoceh dan riang. Kakak lebih sering duduk-duduk di kamar dan jarang sekali bergerak. Sikap kakak seperti orang sedang patah hati. “Apa kakak abis putus dari pacarnya, ya?” pikirku dalam hati. Hmmm, entahlah. Yang pasti aku akan berusaha buat kakak tersenyum lagi. Suatu malam, tak sengaja aku melihat ibu menangissendiriandikamarnya.Saatituayahmasih belum pulang kerja. Aku langsung menghampiri ibu untuk bertanya. Ibu yang kaget melihatku masuk ke kamar segera menghapus air matanya. “Ibu kenapa menangis?” tanyaku sedih. “Tidak ada apa-apa nak, ibu hanya sedih,” sahut ibuku.
  • 34.
    27 Dengan cepat akumenjawab, “Apa yang bikin ibu sedih?” Ibuku hanya terdiam menahan tangis. “Ibu tolong kasi tau aku,” ujarku penasaran. Sementara ibu masih mengunci rapat bibirnya dan aku terus mendesak ibuku agar berterus terang. “Ibu, tolong jawab,” desakku. “Baiklah, mungkin memang udah waktunya kamu tau. Tapi janji ya, kamu jangan kasi tau kakakmu,” kata ibu. Aku mengangguk mantap. Dengan penuh linangan air mata, ibu mulai menceritakan semuanya kepadaku. Hatiku serasa hancur lebih dari berkeping-keping mendengar penuturan demi penuturan oleh ibuku. Air mataku pun ikut menetes membasahi kedua pipi. Aku merasa menjadi orang paling bodoh. Aku kembali ke kamar. Malam itu terasa begitu panjang. Beberapa kali aku mencoba untuk tidur namun sia-sia. Air mata terus mengalir deras dan kata-kata ibu terus saja terngiang di telingaku. Keesokan paginya aku terbangun lebih awal dari biasanya. Hari ini aku berniat untuk membuat sarapan roti bakar coklat kacang kesukaan kakakku. Selesai membuat roti bakar, aku langsung ke kamar kakak untuk mengantar langsung sarapan ke kamarnya. Kakak menyambutku dengan senyum lebar di wajahnya. Aku juga membalasnya dengan senyuman seolah tidak terjadi apa-apa tadi malam. “Kakak, roti bakarnya di makan, yaa. Buatan
  • 35.
    28 aku sendiri, loh,”ujarku sedikit pamer. “Waah, tumben-tumbenan kamu dek. Ada apa, nih? Kakak curiga. Mau dibeliin ikatan rambut baru lagi yaa? Hehehe,” kata kakak dengan nada mengejekku. “Ya engga lah, aku cuman lagi pengen aja kok,” jawabku singkat. “Ya deh, tapi makasi yaa, Dek,” Lalu kakak bangun dari tempat tidurnya hendak membuka jendela kamarnya. Aku melihat kakak berjalan dengan agak pincang. Lalu kuperhatikan lagi kakinya. Aku melihat daerah lutut kanannya bengkak. Aku segera mendekat ke dia. “Loh, lutut kakak kok bengkak? Kenapa?” tanyaku. “Oo, kakak kemaren terjatuh di kamar mandi dek. Ga terlalu sakit kok. Santai ajalah,” jawab kakak dengan senyuman seolah ada yang dia sembunyikan dariku. Aku yang sebenarnya sudah tahu merasa tidak tahan dengan kebohongan yang dia lontarkan. Tanpa sadar aku berkata, “Kenapa kakak harus sembunyikan semuanya dari aku?” Senyum kakak berubah menjadi ekspresi kaget. “Maksud kamu apaan sih, Dek? Masih ngigo ni kayaknya,” jawabnya bercanda. Sekali lagi aku tak bisa membendung air mataku. Aku menangis terisak-isak di situ. Aku memberanikan diri untuk mengatakan hal ini kepadanya.
  • 36.
    29 “Kenapa kakak gajujur sama aku kalau sebenarnya… sebenarnya kakak mengidap penyakit kanker tulang? Kakak mau bohong sampai kapan, Kak?” ujarku dengan nada sedikit tinggi. Tangisku semakin menjadi-jadi. Kakak hanya terdiam membisu dan menangisi takdirnya yang tak pernah dia bayangkan akan menjadi seperti ini. Namun dia tetap tegar. “Heeei, dasar cengeng. Setiap penyakit pasti ada obatnya. Kakak bakal menjalani beberapa pengobatan kok dan pasti sembuh,” ucapnya untuk menenangkanku. Mendengar kata-katanya itu, aku merasa ada sedikit cahaya harapan untuk kesembuhan kakakku. Semenjak hari itu, aku selalu menemani kakakku selama pengobatan, walaupun harus ke luar kota. Kakakku sudah menjalani banyak pengobatan namun perkembangannya tidak terlalu memuaskan. Sampai pada akhirnya orang tuaku memutuskan untuk membawa kakak ke salah satu rumah sakit di Singapura. Berharap akan ada setitik keajaiban yang akan menghampiri kami semua. Namun mereka tidak bisa mengajakku dikarenakan jauh dan mengingat aku sudah sering sekali tidak masuk sekolah. Aku bersikeras ingin menemani kakakku, namun apalah daya aku tetap tidak bisa ikut. Kakakku juga memberikan pengertian kepadaku bahwa dia tidak keberatan untuk tidak ditemani olehku.
  • 37.
    30 “Udah gapapa kalaukamu ga ikut. Lagian masih ada ayah ibu kok. Ntar kalau udah sembuh kakak juga langsung pulang. Oke?” katanya. Aku hanya bisa pasrah. Orang tuaku akan tinggal di Singapura sekitar seminggu. Akhirnya aku dititipkan di rumah tanteku. Suatu pagi, di hari ketiga semenjak aku ditinggalkan, dering telepon rumah membuyarkan mimpi indahku barusan. Aku terbangun. Tak berapa lama tante mengetuk pintu kamar. “Yani, kamu bersiap-siap ya, Nak. Bentar lagi kita pulang ke rumahmu,” ujar tante dari luar pintu kamar. “Loh kenapa tante? Kakak udah pulang ya? Asiiik,” jawabku kegirangan. “Iya sayang,” jawab tante. Setibanya di rumah, aku mendapati banyak orang berdatangan. Wajahku mengerut heran. Sejam kemudian mobil ambulance tiba di depan rumahku. Seketika seisi rumah penuh dengan isak tangis keluarga. Perasaan aneh semakin membuncah. “Ada apa ini?” tanyaku dalam hati. Tiba-tiba aku merasakan seseorang memelukku perlahan. “Sayang, ikhlaskan kepergian kakakmu yaa,” ucap tante. Tubuhku melemas. Aku serasa mendengar suara gemuruh yang mendentumkan suaranya ke telingaku. Berharap ini hanya mimpi di siang bolong.
  • 38.
    31 Tapi… Dalam sekejapkolam mataku yang dipenuhi mutiara jernih jatuh berlinangan dengan derasnya. Kalau boleh ingin aku meraung sekeras-kerasnya. Seketika itu juga aku memeluk tubuh kakak yang terbujur kaku dan dingin. Malam harinya, setelah berdo’a bersama seluruh keluarga, aku melihat sepucuk surat merah jambu di atas meja kamar. Di sampulnya tertulis Untuk Adikku, Yani. Ku buka perlahan dan ku baca isi surat itu. Assalamu’alaikum adikku. Saat kamu baca surat ini kakak sudah tidak ada lagi di antara kalian, tapi kakak akan selalu dekat. Ingin sekali rasanya kakak hidup lebih lama. Tapi kakak yakin Tuhan punya rencana yang jauh lebih indah dibanding rencana kakak. Kamu boleh bersedih karena hati diciptakan memang untuk merasakan sedih dan bahagia. Namun jangan sampai terpuruk. Tetap rajin belajar ya. Hidupkan kembali mimpi kakak yang sempat mati. Buat ibu dan ayah bangga. Salam Cinta, Kakakmu Maharani Sejak saat itu aku belajar satu hal, persaudaraanakanselalukekaladanyabilamanakita menerima dengan penuh ketulusan hati. Kakak, kau mirip helai bunga mawar yang mekar, berguguran,
  • 39.
    32 dan ku simpandi antara lipatan buku kenangan yang indah. Sewaktu-waktu aku bisa membukanya dan melihatmu masih ada di sana. Helai bunga sakura yang masih utuh, seperti menyimpan segala kenangan tentangnya yang belum pernah terhapus sedikit pun. ***
  • 40.
    Perempuan yang BertuturPadaku Carly Erikson Jari-jari lentikmu menggamit sebatang rokok lagi. Mungkin batang yang ketujuh malam ini. Asap mengepul pekat, lekat dalam lamunanmu. Kau jeda sejenak sebelum meneruskan cerita itu lagi. Aku mulai mual karena asap-asap itu menerobos masuk ke paru-paru. Aku bukan perokok tapi aku bertahan, demi kamu. Bahkan, saat derai gerimis mulai menghajar seru. “Bagaimana itu berawal?” tanyaku. “Ha.. ha..”, kau mulai dengan tawamu yang berderai seperti derai gerimis dan kita tak pernah peduli dengan gerimis ini. Walau basah menjamah baju-baju ini tapi kita tetap nikmati percakapan ini. Dingin seperti menghilang karena kehangatan yang hadir berhasil mengusirnya. Pohon mangga yang melingkupi tempat duduk yang basah ini, mengayunkan rantingnyayangpenuhdedaunanuntukmemercikan air ke tubuh kita. Sedang kita tenggelam dalam ceritamu. Dengan duduk di atas kursi kayu panjang
  • 41.
    34 tanpa meja, takada teman selain kita kecuali dua cangkir sisa capuccino yang tertutup, kau taruh sembarangan di bawah kursi yang kita duduki. “Aku sudah merokok sejak SMP”, kau mulai memungut kembali kepingan kaleidoskop hidupmu. “SejakSMPkelasduatepatnya.Senior-seniorku dikampungyangmengajarikubagaimanamenikmati rokok. Jadi, jangan selalu berfikir kampung itu alim, pergaulannya tak seperti di kota. Aku bisa pastikan, tak jauh beda!” kau mendesah lalu menghisap, membiarkan asap rokokmu membentuk lingkaran- lingkaran di tengah dingin dan derai gerimis. “Itu gunanya TV!” kau seperti menarik kesimpulan. Lalu kau melanjutkan, “Aku tumbuh di lingkungan yang memungkinkanku menjadi gadis yangperiang,gampangpercayadanmudahbergaul. Itu mungkin yang jadi masalah utama bagiku.” Kau jentikkan jari telunjukmu ke rokokmu, debu rokok berguguran di sampingmu. “Masih lekat dalam ingatanku, tiap ada kumpulan muda-mudi di kampung, disitulah dimulainya transfer pengalaman dari senior ke junior. Biasanya, selalu ada pertemuan rutin muda- mudi. Selepas arisan atau rapat, kami ngumpul. Awalnya, yang perempuan dengan perempuan dan yang laki-laki dengan laki-laki. Lalu kami bentuk semacam genk, hanya sedikit yang tidak ikut. Kami selalu mengolok-olok yang tidak ikut sebagai orang kolot! Kuper! Kampungan! Ha…
  • 42.
    35 ha.. Padahal kamisemua orang kampung, ya?!” Tawamu kembali berderai seperti menyambut derai gerimis yang memayungi wajahmu. Bunting-bunting air meleleh pelan di pipimu menuju ke dagu. Sejuk. Kupikir saat itu tak ada yang lebih menyejukkan daripada pipimu. “Tiap malam minggu genk kami ngumpul. Awalnya, kami yang yunior, yang masih SMP hanya coba-coba merokok. Sebatang-dua batang. Makin lama kami nyoba ikut menegak minuman, satu-dua rolling. Tapi jangan salah, kami tak pernah nyoba nge-drugs! Hanya rokok dan minum. Soal minuman, kami lebih suka ciu atau topi miring. Pertama nyoba mau muntah. Baunya menyengat, hidungku serasa ditusuk- tusuk jarum. Tapi keinginan untuk jadi anggota genk, biar gak diolok-olok, membuatku bertahan. Saat minuman mulai menerobos tenggorokan, tenggorokan ini serasa terbakar. Rasanya pening, saat itu dunia seolah gelap dan berputar-putar seperti komedi putar yang di tarik kencang.” Kauberjedasejenakserayamenatarambutmu yang terkulai basah yang melekat pada jaket coklat matang-mu. Kau terlihat alami dengan rambut yang basah. Ah.. mirip Dian Sastro? Bukan! E.. Luna Maya? Tidak juga, karena matamu tak sebiru miliknya. Nah.. seperti bidadari selepas mandi! Lalu, kau menatap mataku dalam, seperti ingin mencari sesuatu. Dan sepertinya kau tak menemukanapa-apa.Hanyabijimatamuyangbesar
  • 43.
    36 sedikitmengerling.Entahapamaksudnya.Membaca matamu memang pekerjaanpaling susah. Seperti waktu aku sekolah dulu yang selalu ketakutan bila bertemu soal kimia, begitu pula saat aku berusaha membaca matamu. Takut. Entah karena apa. Ataukah takut jangan-jangan aku bisa mengetahui yang sebenarnya di balik semua tatapanmu? Kau lanjutkan lagi ceritamu sedang aku tetap diam, “Senior-senior itu kupikir, memang kurang ajar! Selepas kami sering ikut, mereka mulai minta uang pada kami. Kadang, mereka malah tak ikutan patungan sama sekali untuk membeli minuman. Cuiihhh! Dasar perempuan-perempuan murahan!” Kau lempar muka ke samping. “Mereka juga mengajari kami bagaimana harus cari pacar yang bisa diporoti! Hi..hi.. hi… Sekarang aku sadar. Aku juga murahan!” Kau seperti mengutuk lalu menertawakan diri sendiri. Kamu tergelak, mengadah, mempertontonkan lehermu yang berjenjang dan sesuatu mendorong-dorong dari dalam dadaku. Tapi aku tetap diam. “Tak sampai setahun, kami para junior, telah sama mahirnya dengan para senior. Kami juga mulai sembarangan, kadang kami ngajak genk laki- laki untuk bergabung bersama kami. Bayangkan apa yang terjadi. Kacau! Dan kamu tahu? Orang tua kami seperti mendiamkan. Keterlaluan!” Kau geleng-gelengkan kepalamu seraya tersenyum, seperti tak percaya. Lalu kau
  • 44.
    37 buang puntung rokokyang tersisa, menarik satu tanganku lalu menggosok-gosoknya dengan kedua tanganmu. Aku biarkan saja. “Aku mulai merasa dingin. Biar gak dingin, ya?!” katamu. Aku cuma mengangguk, buyar senyum tertahan dari wajahku. Kau lepaskan tanganku dari kedua tanganmu lalu menyalakan rokok kembali. Karena basah, rokokmu jadi sering mati dan kau pun kesulitan menyalakannya kembali. Aku mencoba membantu menyulutnya. “Terima kasih. Mulai saat itu, aku pintar cari lelaki. Dengan modal tampang yang cantik ini!” Kau terlihat begitu percaya diri saat berucap seperti itu. Memang benar, kamu cantik. Amat cantik bahkan, batinku. “Kadang, bahkan aku bisa punya tiga pacar sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Dan, tak ada satu pun dari mereka yang tak mau berkorban demi aku. Mereka semua orang yang kaya atau paling tidak bisa mendapatkan uang yang aku butuhkan. Maklum, biaya hidup makin mahal jadi aku tak bisa terus gantungkan hidupku hanya dari orang tua. Apalagi aku anak kost karena jarak rumah dan sekolahku cukup jauh.” Kau berjeda sejenak seperti berfikir. “Huh… Jauh dari orang tua membikin hobi keluar malamku makin lama menjadi-jadi. Selalu ada saja alasan untuk itu. Dan aku jadi sering bolos sekolah. Namun, dengan keadaan seperti
  • 45.
    38 itu, malah memudahkankuuntuk mendapatkan apa yang kuinginkan. Aku bisa beli HP yang lagi nge-trend, bisa ngisi pulsa tanpa keluar uang sepeser pun. Pakaian. Bisa beli make-up untuk jaga penampilan. Semua dari pacar-pacarku.” Kau diam sejenak, membiarkan nafasmu mendengus pelan. “Tapi, memang butuh keahlian tersendiri untuk bisa berbagi waktu untuk mereka. Aku mencoba untuk tak pernah serius dengan mereka dan ketika salah satu dari mereka mengetahui siapa aku, berapa pacarku, aku langsung putus hubungan denganmerekasemua.Gantinomorbaru,carikorban baru. Dengan potensiku dan kebodohan mereka, hal itu semudah membalikkan telapak tanganku.” Kau balikkan satu telapak tanganmu, seolah menunjukkan betapa mudahnya kau melakukan itu. “Ha..ha.. Kadang aku berfikir kalian itu mirip kerbau. Jinak! Kalian terlalu lemah berhadapan dengankecantikan.Kamihanyaperlubersikaplemah lembut, sok alim dan kalian pasti langsung percaya pada kami.” Kau seperti sedang mengolok-olokku. “Ehm.. Tapi anehnya sejak pertama kita ketemu, aku percaya kamu tidak seperti itu.” Kau kembali menatapku lebih dalam, mencoba mencari jawaban. Aku coba alihkan tatapanku. Kaumatikanrokokmuserayaberkata,“Inirokok terakhirku.Akuberhentidemikamu.”Lalukauangkat kedua tanganmu dan menaruhnya di kedua pipiku. Hangat serta-merta menjalari sekujur tubuhku, dada ini kembali bergelora tapi aku tetap diam.
  • 46.
    39 Kamikembalibertatapan.Kaliiniakuberjuang keras mengatasi ketakutanku.Cukup lama. Aku jadi memahami kenapa para lelaki itu begitu mudah kau jinakkan! Kamu benar-benar memahami keinginan laki-laki, bahkan saat masih mereka simpan jauh dalam hati. Mungkin beberapa menit telah lewat dan kita diam dengan posisi seperti itu, tapi kau tak menatapku lagi melainkan tertekuk. Bulir air gerimis meleleh melalui hidungmu yang menunduk. Huiihhh...!!! Aku lagi-lagi jadi memaklumi kenapa para lelaki jadi begitu lemah menghadapi kecantikan. Dan menurutku, kau adalah kecantikan itu sendiri. ***
  • 48.
    Cinta Datang Terlambat AnisaKarima Dear : Neptunus “Hai Nus, ini suratku yang ke- 99. Semenjak film perahu kertas keluar, aku resmi mengajukan diri jadi agenmu sampai sekarang. Hari ini aku sedih Nus, duniaku berubah. Entah apa yang mengubahnya. Rasanya, aku lupa sama pelangi. Udah lama ga pernah liat lagi. Tapi bukan itu yang penting, ini tentang hidupku yang baru setelah ayah, Bina, dan aku pindah ke rumah yang lebih kecil karena ayah harus membayar semua hutang perusahaannya. Sama seperti cinta nus, mungkin akan tertulis kisah baru atau malah...luka baru. Entahlah, aku ingin seperti Kugy, tapi aku kira nus. Dan ini bukan seperti perahu kertas. :)” Salam bebas Kira Nastasya Bersama angin, debu, dan segalanya yang ikut mengayun bersama balon merah muda, sebuah
  • 49.
    42 perahu kertas mengalundi udara selihai ia melaju di lautan. Sentul, Bogor 22 Maret 2012 Kira terlihat cemas. Matanya tak lepas dari arah yang berlawanan berharap seseorang datang. Lalu beberapa kali ia melihat ponselnya, berharap dering suara berbunyi dari ponselnya. “Ra, udah di telpon belum? Renan lupa kali..” Yunda menenangkan. “Udah..” Jawab Kira seadanya. “Jangan khawatir gitu atuh..lo tuh ada rasa kan sama Renan? Mata gabisa bohong..” ujar Yunda. Kira terdiam, mencerna kembali kata-kata Yunda. “Lo harus jujur sama diri lo sendiri, tingalin keraguan lo, jangan sampe nanti nyesel Ra..” Yunda menambahkan kalimat yang membuat Kira kembali mencerna kata-kata-nya. Apa benar selama ini perasaan Kira pada Renan itu lebih dari seorang teman? Sahabat? Itulah yang ada di benak Kira saat mendengar ucapan Yunda. “Nah nah nah, kamana wae atuh akang anu kasep.. neng geulis teh udah menanti ti tadi,” ledek Yunda memakai bahasa sunda. “ Tadi kesiangan, sori..” Renan menjawab dengancuek.TidaksekalipunRenanmemperlihatkan senyum ke arah Kira atau bahkan menyapa. Hari ini Renan terlihat begitu berbeda, dingin. Kira merasakan perbedaan dengan keheningan yang
  • 50.
    43 dipendamnya. Film tetapberjalan sesuai harapan, namun hati, bukan seperti ini harapan Kira. Renan terlihat begitu cepat menghilang, mungkin benar ucapan Yunda. Saat ini Kira terjebak pada perasaannya sendiri, perasaan yang selama ini ia paksa tetap menjadi sahabat. Kira cemas, seperti ada yang hilang. Kali ini harus diakuinya, bahwa ia telah merasa kehilangan sesuatu yang berharga. Semoga ini hanya sementara, Kira tidak ingin kehilangan....Renan. “Ra, mau sampe kapan disini? Nunggu Renan? Dia udah balik..” Yunda membuyarkan lamunan Kira. Kira hanya tersenyum lalu berjalan menghampiri Yunda, berniat untuk pulang. “Sweet...disposition...” Dering ponsel Kira berbunyi, terdengar lagu kesukaannya dari band The Temper Trap. From : Renan. Kak, ini Orland. Kak Renan aneh, dia kejang-kejang terus ngunciin diri di kamar. Orland bingung. Kak Kira bisa ke rumah gak? Mata Kira terbelalak, Kira kaget melihat sms Renan yang ternyata ditulis oleh Orland. “Ra, apaan sih? Lo kenapa eh?” Yunda penasaran, ia lalu menarik ponsel Kira dan membacanya. “Yaampun, jangan-jangan Renan OD..” celetuk Yunda asal.
  • 51.
    44 “OD? Maksud loOver Dosis? Ngobat?” Kira panik. “Daripada ngira-ngira mending sekarang kita kerumah Renan!” ajak Yunda dengan cepat. Tanpa banyak bicara, Kira segera mengiyakan ajakan Yunda untuk segera pergi kerumah Renan. Rumah Renan, 15.00... “Sekarang apa?” tanya Yunda bingung. “Masuk langsung aja deh..” jawab Kira yang juga terlihat bingung. Mereka akhirnya masuk kerumah Renan tanpa permisi atau memencet bel sekalipun. “Kemana sekarang?” tanya Yunda lagi. “Hem...langsung ke kamarnya aja deh..” Kira menjawab dengan ragu-ragu. Namun tanpa banyak berdebat mereka akhirnya menuju kamar Renan. “Kak Kira...” Panggil seorang anak yang tidak asing untuk Kira dan Yunda. “Orland..Kak Renan mana? Gimana keadaannya? Dia masih nafas kan?” Kira bertanya sederet pertanyaan. “Lebay, santai broh..” saut Yunda menggoda. Orland tidak menjawab, ia lalu menarik tangan Kira menuju pintu kamar Renan. Sementara Yunda hanya mengikuti mereka berdua hingga Kira membuka pintu kamar Renan. “AAAAA!” Kira berteriak histeris dan menutup wajahnya. “Apaan sih! Gelap woy gakeliatan apa-apa!
  • 52.
    45 Maen teriak aja..Nyalaindulu lampunya..” omel Yunda yang kaget mendengar Kira berteriak. Orland hanya tersenyum melihat tingkah laku Kira yang seperti anak-anak. “Maaf atuh..kirain tadi bakal liat Renan kenapa-kenapa..jadi aja ter-,” “SURPRISE!!” Terdengar suara serempak yang sukses membuat Kira bengong saat menyalakan lampu. Terlihat teman-temannya membawa banyak balon dan kue ulang tahun berdiri tegak dikamar Renan. “Siapa yang ulang tahun?” tanya Kira polos. “GUE! Kira atuh yah! Payah ah nenek nenek..” saut Yunda tertawa. “Sumpah gue aja lupa..Jadi kalian? Lo tau Nda? Aaaa pengen nangis bombay jadinya...” Kira benar-benar terharu, terlebih ia melihat sosok Renan yang begitu lembut, berbeda saat tadi pagi mengerjakan film bersama. Renan menghampiri Kira dengan membawa balon merah kesukaan Kira dan kue bertancapkan lilin angka sembilan belas. “CIEE..” Teman-teman Kira memberi sorakan, Kira memejamkan matanya. “Aku yakin, Mungkin aku memang cinta Renan. Terimakasih Tuhan..”. Kira membuka matanya, lalu meniup lilin itu dengan senyuman terindah, berharap doanya didengar oleh Tuhan. Semua sangat menikmati hari ini, Rumah Renan kini ramai. Orland terlihat sangat bahagia, tidak biasanya ia tertawa begitu lepas. Kira
  • 53.
    46 merasakan penuh kesejukan,rasanya seperti berendam pada musim kemarau panjang. Namun, matanya seolah sibuk mencari sesosok yang berharga buatnya hari ini. “Orland, kak Renan mana?” Kira bertanya dengan lembut. “Orland gak lihat kak, tapi tadi kayaknya di belakang halaman deh..” jawab Orland polos. Kira mengelus kepala Orland, lalu ia melangkahkan kakinya mencari Renan. “Aku harus jujur sekarang” ujar Kira dalam hati. “Jangan bercanda deh Nan..gak lucu!” “Gue serius, kita jadian..” “Lo nembak gue?” “Iya” Terdengar suara Renan cuek, Kira terperangah mendengar percakapan yang ia lihat di belakang rumah Renan. “Tapi kenapa gue?” “Gak ada alasan buat suka sama se-seorang kan? Gue juga gak tau” “Tapi Kira?” “Waktu buat semuanya berubah.. jawabannya?” Renan menagih jawaban, sementara wanita di hadapannya terdiam beberapa saat sebelum akhirnya ia mengangguk setuju. Kira seperti patung, ia hanya bisa melihat adegan itu berjarak sekitar dua meter dari hadapan mereka. Tamparan itu seolah tidak bisa menahan air mata Kira menetes dengan cepat. Kira berlari
  • 54.
    47 menjauh dari mereka. “Janganlari jauh-jauh,” suara yang sangat Kira kenal, Renan memegang tangan Kira mencoba menahan langkah Kira. “LepasNan,guemaupulang..”Kiramenghapus air matanya mencoba menutupi perasaannya. “Lo liat semuanya?” tanya Renan serius. “Kenapa harus Yunda? Kenapa kayak gini?” kali ini Kira gagal menyembunyikan air matanya, ia menangis di hadapan Renan. “Ada hal yang gak perlu penjelasan, ada juga hal yang gabisa dijelasin lewat ucapan. Semua udah ada yang ngatur, termasuk soal rasa. Waktu mungkin udah ngubah semuanya, ada orang yang bisa bertahan dalam waktu yang lama, atau bahkan ada yang bisa bertahan hanya sampai batas kemampuan yang dia punya..kita gabisa atur semuanya sesuai harapan kita. Gue tetep disini, gak kemana-mana.” Kata-kata Renan membuat Kira terdiam, Renan mengusap air mata Kira, mengacak-acak rambut Kira, lalu pergi menjauh dari Kira. Dear: Neptunus “Hari ini aku belajar untuk mencintai, mengerti, dan melepaskan. Cinta bukan tentang ingin segalanya sesuai dengan apa yang kita harapkan. Cinta bukan tentang bagaimana kita ingin bersama dengan orang yang kita cintai. Cinta bukan tentang bagaimana kita ingin dibahagiakan. Aku belajar
  • 55.
    48 untuk mencintai denganmembahagiakan orang- orang yang aku cintai. Dan yang terpenting, Cinta bukan hanya tentang dia. Tapi keluarga, sahabat dan masih banyak cinta diluar sana yang harus terlihat. Ini surat terakhirku nus, aku pensiun jadi agen. Semoga, Kugy-Kugy lain masih setia sama Unus. Aku pamit. Suatu hari nanti aku pasti mampir untuk meluncurkan perahu lagi. Dengan cerita yang baru tentunya. Salam terakhir, Kira Nastasya Bersama angin, debu, dan segalanya yang ikut mengayun bersama balon merah muda, sebuah perahu kertas kembali mengalun di udara selihai ia melaju di lautan. Kira tersenyum, menganggap ini semua kado berharga dihari ulang tahunnya. Ia tertawa bersama teman-temannya menikmati suasana sore rumah Renan. Sementara dikejauhan, sesosok mata tak lepas menatap Kira. Ia tersenyum lembut, menyimpan penuh rahasia. Dua tahun, waktu yang cukup untuk Renan mengenal Kira. ***
  • 56.
    Ibu, Aku MencintaimuDulu, Sekarang, dan Selamanya Marizka Witya Putrini Hari ini, matahari tak seceria biasanya, ia hanya menampakan sepenggal sinarnya ke muka bumi, dan bersembunyi di balik gumpalan awan hitam yang menghiasi langit di hari ini. Aku duduk termenung cukup lama menatapnya dibalik jendela kamar ibuku. Kulemparkan pandanganku dan kutatap seluruh isi kamar sosok perempuan yang sangat berarti dalam hidupku itu, terdapat tempat tidur kayu yang sudah lusuh termakan waktu namun masih tetap kokoh terlentang disudut kamar berbalut sprei bunga mawar kesukaannya. Lemari jati tinggi berdiri tepat ditengah tembok dan berhadapan dengan tempat tidur, terdapat juga foto keluarga diatas meja kayu yang bersebelahan dengan tempat tidur, serta kursi roda stainless yang biasa menopang tubuh renta ibu. Semuanya masih tertata rapi sama seperti dahulu, tak ada satupun yang berubah. Hanya saja kini kamar ibu sudah tak berpenghuni. Kuambil
  • 57.
    50 foto keluarga terbalutbingkai kayu terukir yang berada di atas meja kayu. Disana terdapat gambar diriku, Ayah, ibu dan adikku. Namun, pandanganku terfokus pada satu sosok, sosok yang sangat kurindukan.. ibuku. Wajah lembutnya, senyum hangatnya, belaian lembutnya aku rindu semua itu. Oh ibu.. tanpa terasa tetes air mata jatuh membasahi pipiku tanpa bisa kutahan. Masih terbayang dalam ingatanku bagaimana sosokIbu.Ibuadalahsosokwanitatangguh,mandiri, dantakmudahmenyerah.Ibuutersayang,takterasa sudah dua tahun lamanya ibu meninggalkanku. Rasanya baru kemarin Ibu menemani masa-masa kecilku. Yah masa-masa kecilku. Masa-masa penuh kenangan indah bersamamu. Masa masa terindah dalam hidupku. Masih terekam dalam benakku, seluruh usaha yang telah ibu kerahkan, untuk menjaga kualitas asupan gizi anak-anakmu, dimasa sulit. Makan nasi putih tanpa laukpun pernah ayah dan ibu lakukan demi bisa memberikan susu untuk anak-anaknya. Disaat beban ekonomi semakin berat, ibu tak pernah mengeluh. Ibu rela mengurangi waktu tidurnya setiap malam demi membuat kacang bawang, untuk dijual di kantin kantor. Saat itu aku belum menginjak bangku sekolah. Namun ibu mengijinkan tangan mungilku membantunya menghekter plastik yang berisi kacang bawang. Selama beberapa bulan, ibu juga rela tidur dini hari. Duduk membungkuk di belakang mesin jahitnya
  • 58.
    51 demi menyelesaikan boronganseragam TK Tunas Harapan Semarang. Aku yang kala itu masih kelas 1 SD, kadang duduk menemani disamping ibu sampai kantuk menghampiriku. Bila ibu telah menyelesaikan sulaman lubang kancing, tiba giliranku memasang mata kancingnya. Sungguh menyenangkan belajar menjahit bersama ibu. Saat aku beranjak remaja, ibu tak henti- hentinya memberikan nasehat untuk diriku yang masih labil pada waktu itu. Ya, masa remaja adalah masa dimana seorang anak mencari jati dirinya, mencoba banyak hal dalam hidup. Dan kau tak mau aku mencoba hal yang salah. Pernah sesekali aku menyepelekan nasehat mu ibu, Karena penasaran aku bersama dengan teman-teman SMAku pergi ke Clubing hingga larut malam dan aku memberikan alasan padamu bahwa aku akan menginap di rumah temanku Citra untuk menyelesaikan tugas sekolah. Saat aku pergi ke tempat terkutuk itu, aku merasa sangat asing, banyak hal yang membuatku tercengang. Dari mulai dua orang wanita berciuman dihadapanku, itu sangat menggelikan. Lalu para wanita muda yang berpakaian sangat minim yang bercengkrama dengan para lelaki hidung belang tak tahu diri. Dan masih banyak lagi hal negatif yang aku temui disana. Mungkin segala hal yang kutemui disana adalah peringatan untuk ku, bahwa aku telah memilih tempat yang salah untuk ku ketahui. Keesokan harinya, aku pulang kerumah
  • 59.
    52 dengan rasa bersalahkarena telah berbohong pada ibu. Ibu dengan senyum hangatnya menyapaku dari arah dapur “Ara..” panggilnya. “Ia bu” jawabku. Melihatnya pada saat itu ada rasa bersalah menyergap. Kufikir aku sudah melakukan kesalahan fatal pergi ketempat terlarang. “Kamu sudah pulang? Bagaimana tugasnya? Sudah selesai?” tanya ibu sambil memasukan sayuran ke lemari es yang berada tepat didepanku. Dengan kepala tertunduk aku menjawab, “Iyah bu sudah selesai”. Jawabku singkat dan aku bergegas pergi ke kamarku dan ibu hanya memperhatikanku dari bawah loteng. Sesampainya di kamar, aku merebahkan tubuhku yang lelah akibat tak tidur semalaman di kasur, dan aku berencana untuk tidur seharian berhubung hari itu adalah hari mi-nggu. Saat aku mulai memejamkan mata, ibu mengetuk pintu kamarku dan kemudian membukannya karena tak kukunci.Rasabersalahitumenyergapkulagi.Saatitu sebenarnya ibu sudah mengetahui bahwa aku telah berbohong padanya, tapi ibu masih bisa tersenyum hangat untukku. Aku terdiam menatapnya. “Wah gakerasa ya, sekarang anak ibu sudah tambah dewasa dan pastinya tau mana hal baik dan mana hal buruk,” ujarnya dengan perkataan yang membuatku semakin merasa bersalah. Ibu duduk dikasurku dan menatapku dengan senyumannya.
  • 60.
    53 “Ra..” panggilnya lembut.“Kamu tahu gak rasanya kalau kita sudah menanam bibit bunga, yang setiap hari kita siram, kita beri pupuk, dan tanpa terasa bunga itu sudah tumbuh tumbuh besar? Pasti senangkan rasanya? Perjuangan kita gak sia-sia.” Aku diam tak mengerti, lalu ibu melanjutkan ucapannya. “Tapi setelah bunga itu tumbuh besar, bunga yang cantik itu dirusak entah itu oleh angin atau perbuatan manusia, bagaimana perasaanmu ra?” Saat itu Aku mengerti maksud perkataan ibu kepadaku, ibu telah mengetahui bahwa aku berbohong padanya dan aku terhenyak. Ibu tak pernah memarahiku semenjak aku remaja. Karena menurutnya, aku sudah besar dan tak pantas untuk diperingatkan dengan cara dimarahi lagi. Aku sudah cukup umur untuk mengetahui mana hal yang salah dan benar. Dan aku melakukan hal yang salah. Hari itu Ia memperingatkanku lewat tutur kata indahnya, yang membuatku mengerti, membuatku faham atas segala tindakan yang ia lakukan kepadaku. Hatiku tersentuh mendengar ucapan Ibu. Isak tangiskupun pecah bercampur rasa bersalah. kupeluk dirinya dan kuakui segala hal yang telah aku lakukan. Dan ia memaafkanku dengan mudahnya.. Oh ibu sungguh luar biasa dirimu. Aku tak pernah lupa hari itu. Lewat tuturnya yang indahnya aku mengerti, lewat sikap lembutnya membuatku faham bahwa menjadi seorang ibu
  • 61.
    54 tidaklahmudah,butuhperjuangansepertimerawat sebuah tanaman. Aku menjadisangat mengerti bagaimana perasaan seorang ibu terhadap anaknya. Segala hal yang kau lakukan demi kebaikan anak-anakmu. Maafkan aku Ibu, disaat kau mulai menua aku jarang ada untukmu Ibu. Aku sibuk dengan pekerjaan dan masalahku sendiri. Durhaka kah aku? Kau selalu sendiri sepanjang waktu, duduk diatas kursi roda stainless yang menopang tubuh rentamu dan hanya ditemani pembantu rumah tangga yang kusuruh untuk merawatmu. Di kala itu aktifitas yang kau lakukan adalah menjahit untuk menghilangkan rasa penatmu, padahal matamu sudah tak setajam dulu, bukan sesekali jarum jahit menusuk kulit renta mu ibu. Tapi kau tetap tak ingin berhenti menjahit. Sering sekali aku melihatku menatap langit dibawah jendela kamarmu. Entah apa yang kau bayangkan, atau yang kau fikirkan pada saat itu. mungkin kau sangat kesepian, mungkin bosan, penat dan sangat ingin ditemani oleh anak-anakmu, Maaf.. maaf.. dan maaf.. Hari itu aku sangat ingin menemani ibu, akhirnya kuputuskan untuk bolos dari rutinitas pekerjaanku. Saat itu nampak jelas raut kebahagiaan membalut wajah ibu, Hari itu kami bicara banyak, tertawa, makan bersama dan jalan-jalan keluar rumah. “Gak kerasa anakku sudah menjadi orang dewasa,” ujar ibu sambil menatapku dengan penuh
  • 62.
    55 arti”. “Iyah bu. Ibujuga udah semakin tua,” candaku sambil memeluk tubuh ibu yang sedang terduduk dikursi rodanya. “Hem.. ini berarti tugas ibu sudah selesai.” “Tugas apa sih bu? jangan sembarangan ah kalo ngomong.” *** Pagi itu aku terbangun di kamar ibu. Hari itu ibu tidur sangat terlelap beberapa kali aku menggoyang-goyangkan tubuhnya, tapi matanya masih tetap tertutup. Mungkin ia lelah pikirku. Secara tiba-tiba ibu mengambil nafas panjang dan terhenti… ya terhenti… aku terdiam sejenak dengan Perasaan tak menentu. Ku goyang-goyangkan tubuh ibu beberapa kali namun ia tak bergerak bahkan aku tak merasakan lagi hembusan nafasnya. Saat itu aku merasakan dadaku sesak, sesak sekali. Tubuh ku kaku melemah seakan tak percaya. Aku menangis sambil memeluk tubuh ibu yang sudah tak bernyawa. *** Hari itu menjadi hari paling menyedihkan untukku dan juga adikku. Kenyataannya sekarang kami sudah menjadi yatim piatu. Tak henti- hentinya kami berderai air mata ketika kami harus
  • 63.
    56 menyaksikan tubuh ibukami terdiam, dingin dan kaku terbungkus kain kafan putih yang menyelimuti tubuhnya, wajah lembutnya memucat dengan mata tertutup dan dikelilingi pada pelayat yang ikut mendoakannya. Dengan berbalut pakaian hitam-hitam, aku dan adikku menghantarkan ibuku pergi ketempat peristirahatannya yang terakhir. Tapi ada seraut kebahagiaan tersendiri dalam benakku saat menghantarkan ibu. Ia meninggal dengan wajah tersenyum. Mulai hari ini takkan ada lagi kata-kata yang terucap dari bibirmu, mulai hari ini takakan ada lagi belaian tulus dari jemari-jemari indahmu, mulai hari ini takan kulihat lagi sosokmu ibu. Terimakasih ibu. Ibu telah ajari kami menghadapi hidup, Ibu telah ajari kami menyikapi kenyataan . Ibu telah ajari kami mengarungi hidup hingga mandiri, berbahagialah disisi Allah swt. Kami anak-anak mu akan selalu mendoakanmu. Ibu aku mencintaimu dulu, sekarang dan selamanya. ***
  • 64.
    Aku Ingin Bebas NadilahNurilina Adani Aku adalah salah satu wanita yang bahagia di negeri ini, setiap hari aku selalu bermain pasir pantai yang putih, menghirup udara segar, berlari sekencang mungkin aku dapat, dan memakan apa pun yang aku mau. Aku sangat mencintai ibu dan kedua adikku. Ibuku bernama Eliza. Ia sangat bekerja keras untuk menghidupi kami bertiga. Ayahku? Jangan tanyakan dia! Bagiku aku tidak mempunyai ayah, ia telah mengkhinati ibuku dan pergi bersama Laura. Ya! Laura si wanita jalang itu selalu menggoda pria yang dulunya ayahku, padahal ibuku jauh lebih menawan dibandingkan wanita badan besar itu! Haaah... sudahlah jangan hiraukan! Aku sudah tidak peduli lagi! Lagipula ibuku sekarang sudah dekat dengan Robert. Kedua adikku Ezil dan Naya sangat senang bila Robert berkunjung ke rumah, karena ia selalu membawa makanan kesukaan kami, roti manis asal Perancis, croissant.
  • 65.
    58 Kami selalu bermainbersama sepanjang waktu, memakan croissant sampai perutku tak sanggup lagi menampungnya. Aku sangat menikmati suasana seperti ini, melihat keceriaan di wajah ibu dan kedua adikku, tak ada hari tanpa menyebarkan keceriaan. Sampai pada suatu saat.. ada tangan jahat yang mau merampas semua kebahagiaan ini, di kampung halamanku sudah tidak heran lagi dengan penculikan. Teman-temanku sudah banyak yang menjadi korban. Begitu mudahnya tangan jahat itu masuk ke kampung halamanku, tak akan kubiarkan keluargaku menjadi korban. Hari terus berlalu, satu.. dua.. tiga.. sampai lima belas, oh bukan! Bukan lima belas, tapi delapan belas, ya! Delapan belas! Delapan belas temanku hilang, dan aku yakin, tangan jahat itulah penyebabnya. Sore tadi Robert mengunjungi kami. Ibuku, Eliza sangat senang menyambut kedatangannya. Tapi ternyata Robert tidak sendirian, ia dibuntuti oleh makhluk itu! Si tangan jahat tepat berada dibelakangnya,gerakannyasemakincepatmendekat ke arah Robert, lalu tangan itu mencengkram tubuh Robert sampai gemetar, “Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!!! ” teriak ibuku. Ia menjerit seakan tidak ingin kehilangan Robert. Akupun tidak tega jika ibuku harus kehilangan kekasih hatinya dua kali, maka aku beranikan diri berlari mendekat ke arah tangan
  • 66.
    59 jahat itu, laluaku menggigitnya dengan kuat, haha aku memang sang pemberani! Tangan jahat itu melepaskan Robert, lalu ia pergi. Ibuku langsung memeluk Robert. Oh noooo! Ternyata tangan jahat itu tidak pergi,iakembali!Tapisekarangtanganitumemanggil temannya, ada dua tangan meghampiriku, mungkin dia kesal karena aku menggigitnya terlalu keras. Aku berlari menghindari tangan itu, tapi apa daya, tubuhku sudah dicengkeram kuat olehnya, dan badanku terangkat. Aku melihat dengan samar- samar ibuku dan Robert berada jauh di bawahku, aku melayang, dan tak lama, aku tak sadarkan diri. Hari berubah menjadi malam. Aku merasa pusing yang bukan main. Tubuh gemetar, bibir yang tak mampu lagi berterak, kaki yang tak berani melangkah. Disini gelap sekali! Aku tidak dapat melihat apa-apa. Aku terkurung di suatu tempat yang aku sendiri pun tidak tahu tempat apa ini sebenarnya. Sempit, gelap, sesak, lapar, hanya itu yang aku tahu. Bau busuk sisa makanan memenuhi rongga hidungku. Dalam kegelapan aku merenung, tindakan bodoh apa yang telah aku lakukan? Seharusnya aku biarkan saja Robert yang diculik. Mengapa aku sok jagoan? Melibatkan diriku dalam masalah ini, tidak terbayang di benakku apa yang akan terjadi besok. Mungkin aku akan dibakar hidup-hidup, atau mungkin aku akan mati kelaparan di sini, di tempat misterius ini. Aku hanya bisa menunggu fajar tiba,
  • 67.
    60 agar aku bisamelihat kondisi di sekitarku, sekarang lebih baik aku istirahat. Saat aku membuka mata, ada banyak mata yang tertuju padaku. Ternyata aku tidak sendirian! Di sini ada beberapa temanku yang hilang minggu lalu, seperti layaknya teman yang sudah lama tidak bertemu, kami berpelukan menanyakan kabar satu sama lain, tapi ada hal yang lebih penting yang ingin aku tanyakan, ada apa ini? Apa yang sedang terjadi? Siapa tangan jahat itu? Seperti yang sudah aku kira, mereka tidak tahu jawbannya. Sudah satu minggu aku berada di tempat ini, setiappagiadayangmenyediakanmakanandipojok ruangan, dan pagi ini kami dipindahkan sementara ke tempat lain. Saat ruangan itu sudah dibersihkan, kami kembali lagi ke ruangan itu. Ternyata tempat ini mengasyikkan juga, makanan selalu tersedia, ruangan selalu dibersihkan, ada taman bermain, oh atau mungkin ini hanya simulasi. Aku mulai menikmati tempat ini, aku bisa tertidur pulas, aku bisa bermain dengan teman- temanku. Tidak terasa sudah satu bulan aku di sini, meskipun aku bahagia berada di sini. Tapi.. aku rindu keluargaku, ibu.. Ezil.. Naya.. Robert.. apakah mereka baik-baik saja? Tangan itu kembali, ia meraih tubuhku dengan sangat kasar, aku terpontang-panting, aku berlari menghindar, tapi tangan jahat itu selalu meraih tubuhku, aku mau dibawa kemana lagi? Apakah aku akan dibawa ke kemapung halamanku?
  • 68.
    61 Aku tersenyum menerka-nerkasambil menikmati perjalanan. Akhirnya aku tiba di suatu ruangan yang lebih sempit, tidak ada taman bermainnya, bau, uuuhh rasanya aku mau muntah, dari belakang ada yang memelukku, aku terkejut! Naya! “Sedang apa kau di sini?” tanyaku. “Tolong aku kak! bebaskan aku dari sini, aku ingin pulang,” jawab Naya sambil memegang erat tanganku. Wajah Naya tampak pucat, ketakutan, tidak terurus. Sudah dua hari aku di sini bersama Naya dan orang-orang yang aku tidak kenal. Mereka tampak menyeramkan. Aku sangat lapar, tidak ada yang menyiapkan makanan, tidak ada yang membersihkan ruangan, tidak ada taman bermain, pantas saja Naya tampak frustasi. Semua orang di sini kelaparan, membuat satu sama lain tidak akur, sering bertengkar, dan yang parahnya lagi, siapa yang lemah akan dimakan oleh teman yang lain, ya! Keadaan ini membuat mereka semua kanibal. Hari ini Lilo yang menjadi korban, tubuhnya dicabik-cabik, keluar darah, kupingnya dimakan oleh yang lain, matanya keluar. Aku mual, tapi aku tersentak saat melihat Naya ikut menggerogoti tubuh Lilo, mengapa Naya menjadi kanibal juga? Naya menarik tanganku, iya menyuruhku memakan tubuh Lilo, “Kamu harus makan kak, makan lah! Hanya ini cara
  • 69.
    62 kita agar tetaphidup”, kata Naya. Naya selalu menasihatiku, agar aku tidak lemah dan tidak sakit, karena siapa yang lemah akan dijadikan santapan untuk mengganjal perut mereka yang sangat kelaparan. Sekarang akupun menjadi kanibal, aku memakan kepala orang yang tidak aku kenal tadi siang, anehnya aku cukup menikmati itu. Tubuh Naya semakin kurus, keadannya melemah,badannyalemastidakbertenaga,tapiaku harus menutupi itu semua. Tidak boleh ada yang tau kalau Naya sedang sakit, bisa-bisa Naya menjadi santapan mereka, tapi tetap saja wajah Naya yang pucat tidak bisa ditutupi, ada pria berkulit hitam mendekati aku dan Naya, ia melihat Naya dari ujung kaki sampai rambut, lalu ia menggigit kuping Naya, lalu semua di ruangan itu menggerogoti tubuh Naya. Jelas aku tidak diam saja! Aku pasti membela adikku! Hanya dia keluarga yang aku miliki sekarang. Tapi jumlah mereka terlalu banyak, hingga akhirnya hanya kaki Naya yang tersisa. Aku menangis, aku menjerit, aku mencaci diriku sendiri yang tidak bisa melindungi adik kandungku. Aku semakin lapar, di sebelahku hanya ada kaki yang tidak terlalu segar, karena bekas kemarin, semut-semut mulai berdatangan mengerubuti kaki itu. Aku tidak punya pilihan lain. Akhirnya aku makan kai itu untuk bertahan hidup, ya! Aku memakan kaki adik kandungku sendiri, pikiranku sudah tidak normal, aku sudah lupa bagaimana caranya tersenyum,
  • 70.
    63 bagaimana rasanya makananfavoritku, croissant dan juga pasir putih lembut yang membersihkan tubuhku. Dalam hati aku selalu bertanya, mengapa mereka lakukan ini pada bangsa kami? Kami tidak pernah mengganggu mereka, kenapa mereka lakukan ini? Dan kenapa mereka benar-benar jahat, apakah mereka tidak memiliki hati? Apakah semua manusia seperti ini? Ataukah manusia yang baik hanya ada satu? Yaitu majikanku yang dulu, yang selalu menyiapkan makanan, membersihkan ruangan dan menyediakan taman bermain, mengapa manusia sangat jahat? Seperti majikanku yang sekarang, padahal kami hanya hewan kecil mungil yang tidak berbahaya, untuk apa kami disiksa seperti ini? Apakah penderitaan kami adalah kebahagiaan bagi mereka? Bebaskan aku! Aku muak dengan semua ini! Tapiakuharustetapbertahanhidup.Tapibagaimana caranya aku keluar dari kurungan ini? Aku terlalu kecil untuk memanjat kotak yang berukuran 60cm x 30cm ini. Aku tidak mempunyai kaki sepanjang manusia. Ya, tentu saja aku bukan manusia, aku hanyalah seekor hamster yang tak berarti. ***
  • 72.
    Dari Wangi TurunKe Hati Erlinda SW Apa enaknya jadi anak baru? Kalau mereka cuma menganggapmu kutu buku? Bukan, bukan pecinta buku yang ada di perpustakaan dengan kacamata ala Betty La Fea. Maksudku, mereka mengira aku ini kutu. Hewan kecil-mungil-lucu hampir tak terlihat itu. Dengan kata lain, mereka tidak menyadari kehadiranku. Waktu itu adalah hari pertamaku di sekolah. Seorang perempuan dengan rambut dicepol dan perona pipi yang terlalu banyak mengantarku ke kelas. Ia mengatakan pada perempuan yang duduk di meja guru bahwa aku anak baru. Lalu mereka memintaku memperkenalkan diri. Dengan canggung aku menatap sekitar empat puluh pasang mata di dalam ruang kelas yang terlihat kelebihan penghuni. Ada yang menatapku dengan bosan, menatapku sejenak lalu mengalihkan perhatian, bahkan terang-terangkan mengacuhkanku. Aku berdoa dalam hati, merapal mantra penguat diri, agar kata-kata yang meluncur
  • 73.
    66 keluar dari mulutkutidak terdengar bodoh. Namun tanganku sudah basah. “Nama saya Sari Sukma. Panggilan saya Sari. Saya pindahan dari Jakarta.” Aku cadel di huruf S. Caraku melapalkan Sari terdengar seperti Tsshari. Terlalu banyak desis di sini. “Apa? Tidak dengar,” gumam beberapa anak. Oh ya, aku lupa, selain cadel suaraku juga kecil. Seperti anak tikus yang mencicit ketika terjepit. Sebetulnya itu manipulasi dari rasa malu. Faktanya, suaraku sangat nyaring. “Kamu duduk di sana,” ujar perempuan yang nantinya kuketahui bernama Bu Dewi. Aku melihat ke arah telunjuknya mengarah. Itu sebuah bangku di sudut kiri belakang kelas. Tempatnya agak gelap dan suram. Temboknya kotor bekas banyak coretan. Kalau boleh memilih, aku ingin langsung keluar saja dan meminta orang tuaku menyekolahkanku di tempat yang lebih bagus. Aku duduk di sebelah seorang perempuan dengan rambut cepak dan garis wajah keras. Dia terlihat seperti lelaki kecuali rok biru panjangnya. Dia hanya melirikku sekilas seakan aku cuma menganggu imajinasinya. Ia membiarkanku berdiri sedikit lama sebelum sadar bahwa aku duduk di sebelahnya jadi dia harus minggir memberiku jalan. Lalu perempuan itu mengulurkan tangan. “Hana.” “Sari.” “Tadi waktu kamu memperkenalkan diri,
  • 74.
    67 suaramu terlalu kecil.Aku sempat berpikir kamu menyuruh semua orang belajar cara membaca gerak bibir.” “Oh begitu ya.” “Semoga kamu betah.” “Iya. Jadi, kita berteman?” Hana sudah memasang headsetnya. Aku memutuskan diam. Mataku melihat ke sana ke mari, mencari-cari wajah yang terasa familiar, minimal membuatku merasa ingin mengenal. Ada beberapa wajah yang ramah tapi selebihnya tidak dapat kutebak kepribadiannya. Beberapa anak perempuan mulai mencuri pandang padaku. Tubuh mereka kurus-kurus dengan dandanan agak norak dan pakaian terlalu ketat. Jam istirahat datang. Aku ingin sekali bicara dengan seseorang untuk sekedar menjelaskan padaku rute ke kantin. Namun dengan cepat seisi kelas lenyap. Anak-anak berhamburan, mungkin dengan memasang ekspresi kelaparan. Sejenak saja kelas terasa sepi. Kecuali seseorang yang duduk berjarak beberapa meja di depanku. Aku baru sadar bahwa ada seorang cowok tampan dengan penampilan rapi dan setelah kudekati, bertubuh harum. Kulitnya bersih, sepatunya terlihat bagus, dan penampilan terlihat berbeda dengan anak lelaki lain. Kutebak, ia dari keluarga berpunya. “Kamu tahu arah ke kantin?” Dia menoleh. Matanya coklat besar dengan
  • 75.
    68 hidung bangir danwajah agak panjang. Dia terlihat sangat kontras dengan bangunan sekolah di daerah perkampungan ini atau penampilan teman-teman sekelas kami. Dia seperti berada di tempat yang salah. Aku juga melihatnya dengan cara yang salah. “Hei? Halo? Anak baru?” “Hah?” “Tadi aku sudah memberitahumu arah ke kantin tapi kamu diam saja. Ada apa? Ada yang aneh denganku?” “Eh? Benarkah? Aku tidak dengar.” “Jadi kujelaskan sekali lagi, kamu sebrangi lapangan di depan kelas. Lalu kamu melewati ruang guru dan berjalan ke sampingnya. Di sana letaknya. Sudah jelas?” “Sangat jelas.Kamu sendiri tidak ke kantin?” “Aku membawa bekal.” Dia mengeluarkan kotak makanan beserta sebuahbotolminum.Tanpapedulibahwaakumasih berdiri di sampingnya, ia mulai ritual makannya. Aku yang gugup lupa caranya mengucapkan terima kasih dan pergi begitu saja. Aku bahkan lupa menanyakan namanya. Dia juga tidak tahu namaku. Dia memanggilku anak baru. Aku tidak membeli apapun pada akhirnya. Aku cuma melihat-lihat dan langsung menyesal karena menolak ibu membawakanku bekal. Ibu pasti melarangku kalau tahu makanan apa saja yang tersedia di kantin. Makanan tanpa penutup membuat bakteri, debu, dan serangga mudah
  • 76.
    69 menghinggapi. Ibu bilangmakanan-makanan seperti itu hanya membuatku sakit. “Hei, anak baru. Ke sini.” “Aku?” “Iya. Kamu.” Beberapa anak perempuan dengan wajah angkuh dan gaya yang dibuat-buat memanggilku. Jujur saja, melihat penampilan mereka yang menggelikan membuatku khawatir dengan efek pergaulan. Mereka mengenakan bando yang sama hanya berbeda warna. Mereka sama-sama memakai kemeja yang pendek dan dikeluarkan dari rok, sepatu kets dengan tali berbeda warna di bagian kiri dan kanan, serta kuteks dan gelang- gelang. Penampilan mereka telalu heboh. Seakan mereka baru saja keluar dari toko yang mendapat label menjual penampilan terburuk. “Tinggal di mana?” tanya yang berbando pink. “Di kompleks tentara, dekat...” “Jadi, anak tentara?” potong yang berbando biru. “Iya.” “Kenapa sekolah di sini?” si bando hijau buka suara. “Kata orang tuaku ini sekolah paling dekat dengan rumah.” “Apa semua anak SMP di Jakarta punya penampilan yang culun?” “Apa?”
  • 77.
    70 Kurasa ada yangtak beres dengan indera pendengaranku. Nyatanya benar, mereka menertawaiku. Kurasa mereka tak tahu apa itu berpenampilansesuaikeadaanatauberpenampilan yang tidak berlebihan. Penampilanku standar sementara penampilan mereka melewati batas wajar. Mereka bahkan tidak menggunakan ikat pinggang. “Jangan macam-macam di sini, anak baru,” ancam si bando pink. Bando ungu yang menanyaiku terakhir memberi peringatan. Namun aku tidak takut. Kutatap mereka satu per satu untuk meyakinkan mereka kadar keberanianku. Mereka lewat sembari menyenggol bahuku. Kurang ajar. Tidak sopan. Tidak bisa diajak berteman. Mereka pikir siapa mereka? Penampilanku jauh lebih baik dibandikan mereka! “Jangan cari gara-gara. Mengalah saja.” Hana bicara seakan tidak bicara denganku. Entah sejak kapan dia berada di belakangku. Namun kalimat lanjutannya setelah itu memberiku pemahaman. “Untung saja kalian tidak sekelas. Mereka geng cewek terkenal di sekolah ini. Mereka suka melabrak cewek-cewek yang tidak mereka sukai. Kadang alasannya sepele, semisal penampilan,” jelas Hana. “Tapi mereka tidak keren,” sahutku kesal. “Tapi mereka berpikir sebaliknya. Jangan
  • 78.
    71 berpenampilanmencolokkalautidakmauberurusan dengan mereka,” Hanamasih menasehati. “Mereka tidak berhak berbuat seperti itu, mereka bukan siapa-siapa,” sahutku ngotot. “Mereka punya pelindung. Geng kakak kelas yang jauh lebih kejam. Di sini ada semacam sistem kekuasaan. Mereka yang terkuat di angkatan kita,” ujar Hana. Drama macam apa ini? Seharusnya sekarang juga aku minta pindah sekolah. Ibu pasti mengerti. Sekolah lainnya memang jauh. Namun aku lebih suka menjaga ketentraman hidupku. Baru hari pertama tapi aku sudah mendapat kesan tidak menyenangkan. Niat tersebut segera kuurangkan saat cowok wangi yang tadi kutanyai di kelas lewat. Ia berjalan menuju musholla. Aroma tubuhnya mampir ke hidungku sejenak. Selama beberapa detik aku merasa kehilangan kesadaran. Aku merasa diberkahi Tuhan. *** Itu sepenggal kisahku dulu, delapan tahun yang lalu. Cerpen tersebut kubuat sebagai pelengkapantologibertemakasusbully.Sebenarnya pengalaman tersebut tak terlalu buruk karena terselip cerita cinta monyetku pada si cowok wangi. Sayang aku terlalu malu untuk sekedar menyapanya sejak percakapan pertama kami. Setelah lulus
  • 79.
    72 hingga detik iniaku kehilangan kabarnya. “Sari?” sapa seorang cowok. Aku mendongak. Seorang cowok yang rapi dan wangi berada di depan mejaku. Tunggu. Tuhan mendengar doaku? Cepat sekali. Aku ingin mengatakan sesuatu tapi lidah ini mengkhianatiku. Mendadak dia kelu. “Kamu masih cantik. Seperti pertama kali kita bertemu, waktu kamu masih malu-malu. Harusnya dari dulu kukatan hal itu padamu,” ujarnya sembari menyunggingkan senyum. Wajahku pasti merah sekarang. Harusnya dari dulu kukatan dia wangi hingga membuatku jatuh hati. ***
  • 80.
    Lifeline Faris Elky Kisah inibercerita tentang seorang pemuda lelaki bernama Farel. Dia lahir dari keluarga sederhana, ayahnya bekerja sebagai karyawan swasta di salah satu stasiun televisi ternama Indonesia dan ibunya bekerja sebagai ibu rumah tangga. Farel lahir pada bulan Maret, 20 tahun silam tepatnya di kota Jakarta. Saat berusia 1 tahun, dia bersama kedua orangtuanya menempati sebuah rumah sederhana di pinggiran Kota Jakarta yaitu Bekasi sampai dengan saat ini. Farel merupakan anak pertama dari tiga orang bersaudara. Dia memiliki dua orang adik bernama Naufal dan Hanifah. Ketika masih balita Farel dikenal sebagai anak yang manja dan cengeng. Tetangga sekitar tempat dia tinggal pun, mengatakan demikian. Farel kecil selalu menangis ketika ibunya pergi meninggalkannya dan dia tidak bisa telepas dari ibunya walaupun sebentar.
  • 81.
    74 Ketika SD sifatmanja dan cengeng terhadap ibunya mulai berkurang. Dia hampir tidak pernah menangisdansudahmulaimandiri,tidaktergantung terhadap ibunya lagi. Ketika SMP, Farel remaja berubah menjadi anak yang nakal, susah diatur dan cenderung melawan kepada kedua orang tuanya. Saat Farel SMPjuga,diasenangsekalibermainmusikterutama alat musik gitar. Pada kelas 1 SMP dia membentuk band bersama ke empat orang sahabatnya dari kecil dan band tersebut bernama The Child. Pada Masa SMA, Farel disekolahkan oleh ayahnya di Jakarta dan tinggal bersama nenek dan tantenya. Hal ini dilakukan oleh ayahnya supaya dia bisa hidup lebih mandiri lagi tanpa tergantung pada kedua orang tuanya. Akhirnya, Farel menyetujui kehendak ayahnya tersebut untuk bersekolah di SMA Negeri di kota Jakarta. Kecintaan Farel terhadap musik ternyata dia kembangkan lagi saat dia SMA. Dia membentuk sebuah band beraliran British Pop dengan seorang sepupunya dan satu orang temannya di Jakarta. Band tersebut bernama Cielo. Nama Cielo diambil dari bahasa Italia yang berarti Surga. Band Cielo ternyata lebih sukses dari band saat Farel masih SMP. Cielo sudah beberapa kali manggung di cafe-cafe di bilangan Jakarta Selatan. Berkat band Cielo juga Farel kenal dengan penyanyi bernama Vicky Shu. Kehidupan Farel di bandnya berbanding
  • 82.
    75 terbalik saat diaberada di sekolah. Di sekolah dia kerap menjadi bahan ejekan teman-temannya, serta kerap kali dibully oleh teman-temannya, sampai saat ini dia pun tidak mengetahui kenapa dia bisa menjadi bahan ejekan oleh teman sekolahnya. Akhirnya, Farel bertekad untuk menjadi lebih baik lagi dari keadaan dia saat itu. Farel lebih banyak memfokuskan diri untuk belajar dan bermain band. Tujuan Farel saat itu adalah, dia ingin masuk Perguruan Tinggi Negeri dan bisa sukses juga di bidang musik terutama bersama band dia pada saat itu. Akhirnya ketika Farel lulus SMA, dia mendapatkan apa yang dia inginkan berkat hasil kerja keras dia selama SMA. Dia masuk perguruaan tinggi negeri di kota Bogor. Pada saat itu perasaan dia sangat senang, karena salah satu impian dia bisa terwujud berkat hasil kerja dia dan tentunya disertai oleh doa dan dukungan yang tiada henti dari kedua orangtuanya. Impian dia masuk perguruan tinggi sudah terwujud, tetapi ada satu impian lagi yang ingin dia wujudkan, yaitu sukses di bidang musik terutama bersama band Cielo. Tetapi keadaan pada saat itu tidak memungkinkan Farel untuk terus bersama bandnya, akhirnya dia memutuskan untuk tidak lagi bersama bandnya dan Cielo pun diputuskan bubar dan jalan masing-masing. Sepupu dari Farel pun memutuskan untuk menekuni dunia fotografi dan fokus untuk sekolah, dan teman dari Farel
  • 83.
    76 pun memutuskan untukbersolo karir dan menjadi additional bass bersama seorang penyanyi jazz bernama Mathew. Ketika Farel memutuskan untuk keluar dari bandnya, sebenarnya pada saat itu keputusan yang sangat berat sekali di dalam hidupnya. Tetapi Farel bertekat saat dia berkuliah nanti dia akan membuat band lagi yang lebih hebat dari dua band sebelumnya. Farel berkuliah di program keahlian Komunikasi yaitu jurusan yang pada awalnya tidak dia sukai, tetapi ayahnya meyakinkan dia, bahwa jurusan Komunikasi adalah jurusan yang paling banyak peminatnya dan mudah untuk mendapatkan kerja. Akhirnya Farel pun mengikuti kemauan ayahnya tersebut. Lambat laun, Farel pun menyukai jurusan Komunikasi dan dia sangat menikmatinya. Di benak Farel, dia masih memiliki satu impian lagi yang dia kejar dari SMA yaitu bermain musik dan membentuk sebuah band lagi. Pada saat perkenalan Mahasisawa baru, dia melihat berbagai macam UKM ( Unit Kegiatan Mahasiswa ) yang ada dikampusnya, tujuan dia adalah ia ingin masuk ke UKM musik dan belajar menjadi seorang pemusik yang baik. Akhirnya dia menemukan UKM musik tersebut dan masuk di dalam organisasi itu. Dalam organisasi tersebut Farel tidak mendapatkan apa yang dia inginkan, tetapi dia mendapatkan suasana
  • 84.
    77 seperti di dalamsatu keluarga baru di organisasi itu. Singkat cerita, Farel tidak mendapatkan teman yang cocok untuk membentuk suatu grup musik atau grup band, tetapi anehnya teman-teman Farel dan senior dia pun di organisasi tersebut, mendukung dia untuk melakukan Stand up Comedy dan menjadikan dia seorang Comic atau Comedian Mic. Pada awalnya Farel pun tidak mengetahui apa Stand up Comedy, apa itu Comic dan dia sama sekali tidak terfikir untuk menjadi seorang Komedian. Menurut teman-teman dia diorganisasi tersebut, Farel memiliki bakat melucu padahal dia sama sekali tidak pernah menganggap dirinya lucu. Akhirnya pada satu kesempatan dia diminta oleh teman-teman organisasi musik tempat dia bernaung untuk melakukan Open Mic, disuatu cafe di Bogor. Pada saat itu perasaan dia bingung dan sangat grogi, karena dia belum pernah melakukan hal itu sebelelumnya. Farel pun naik panggung dan ternyata dia berhasil membuat satu cafe tertawa, berkat jokes yang dia bawakan, perasaan dia yang tadinya grogi dan takut, berubah menjadi senang dan rasa tidak percaya, bahwa dia bisa melakukan hal tersebut. Lambat-laun Farel pun meninggalkan impian dia untuk menjadi musisi hebat, dan dia lebih fokus menjadi seorang Stand up Comedian. Dia bergabung dengan komunitas Stand up Comedy di kota Bogor, untuk belajar apa itu Standup Comedy
  • 85.
    78 dan menjadi seorangComic yang baik. Setiap minggu dia rajin berlatih di panggung Open Mic, hingga pada akhirnya dia mendapatkan uang dari hasil Standup Comedy yang dia jalani. Konflik pun terjadi antara Farel dan Komunitas Standup Comedy yang dia anggotai. Selisih paham antara dia dan Komunitas tersebut, memutuskan Farel untuk jalan sendiri sebagai Comic tanpa embel-embel komunitas. Job yang dia terima pun, saat dia keluar dari komunitas terbilang cukup banyak, hampir setiap bulan dia mendapatkan show dari berbagai macam acara. Hingga pada suatu ketika, Farel sedang Stand up Comedy di acara kampus tempat dia berkuliah dan dia melihat seorang gadis yang menarik perhatian dia, lalu dia mencoba mendekati gadis tersebut yang ternyata gadis tersebut adalah adik kelas dia di kampus. Farel sangat tertarik melihat senyum dan tertawa kecil yang dilontarkan dia saat Farel berstandup comedy. Selesai acara Farel tidak dapat berkenalan dengan dia, karena setelah Farel Stand up Comedy, gadis itu sudah pergi meninggalkan acara tersebut. Perasaan dia saat itu kecewa dan berharap dia dapat bertemu gadis itu lagi. Akhirnya Farel mencoba mencari tahu siapa nama gadis itu. Hingga pada suatu saat, Farel melihat gadis itu lagi untuk kedua kalinya, saat ia sedang Stand up Comedy di suatu mall terbesar di kota Bogor. Kesempatan itu
  • 86.
    79 pun dia tidaksia-siakan. Setelah Farel selesai Stand up Comedy, dia pun langsung berkenalan dengan gadis tersebut. Nama gadis tersebut ialah Fea. Selayaknya pria yang sedang pendekatan dengan seoarang gadis, Farel pun meminta pin BB, untuk bisa berkomunikasi sesering mungkin dengan Fea. Hari berganti hari, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan, Farel semakin dekat dengan Fea. Tetapi kedekatan Farel dan Fea pun tidak disetujui oleh sahabat-sahabat terdekat Farel karena salah satu sahabat Farel adalah musuh dari Fea. Sahabat Farel, menceritakan kejelekan- kejelekan Fea di depan Farel, hingga pada akhirnya Farel menjadi dilema dan bingung harus mempercayai siapa, di satu sisi dia sudah mencintai Fea dan berencana untuk menjadikan dia kekasihnya, di sisi lain dia tidak mau kehilangan salah satu sahabatnya tersebut. Setelah menjalani hubungan tanpa status selama 5 bulan, akhirnya Farel memutuskan untuk meninggalkan Fea, karena dia lebih menghargai sahabatnya. Hingga pada suatu ketika, saat Farel sedang Stand up Comedy di acara yang diadakan oleh kampus dan pada saat itu Fea pun hadir dalam acara tersebut. Ketika melihat Farel, mata Fea pun menatap kosong dan tidak menyangka bahwa Farel meninggalkan dia begitu saja. Pada saat
  • 87.
    80 itu Farel masihmemendam perasaan cinta yang besar terhadap Fea, hingga pada akhirnya Farel mengungkapkan isi hatinya dan ingin jujur kepada Fea tentang perasaan yang selama ini dia pendam, tetapi momen itu tidak tepat, karena ternyata Fea sudah memiliki pacar dan mereka baru saja jadian. Ketika Farel menyatakan cinta ke Fea, Fea pun mengaku bahwa dia mengharapkan cinta Farel dan dia menunggu Farel untuk menyatakan cinta ke dia tetapi Farel terlalu lama untuk menyatakan cinta ke Fea. Farel terlalu memikirkan kejelekan-kejelekan Fea yang di ucapkan sahabatnya, Farel terlau mempercayai apa kata sahabatnya yang belum tentu benar terjadi kepada Fea. Akhirnya Farel pun benar-benar memutuskan untuk tidak berhubungan dengan Fea karena Fea sudah memiliki kekasih yang jauh lebih baik daripada dirinya yaitu seorang calon pilot yang kelak akan membuat dia jauh lebih bahagia dari apa yang dia alami sekarang. Pada saat itu Farel mencoba membuka hati seluas-luasnya, untuk menjalin hubungan dengan gadis lain dan berusaha mencoba untuk melupakan Fea. Hampir 4 bulan dia tidak berhubungan sama sekali dengan Fea dan perasaan Farel ke Fea sedikit demi sedikitpun hilang karena waktu. Saat Farel sudah tidak memiliki rasa sayang kepada Fea, saat Farel sedang mengejar cinta lain, tiba-tiba Fea mengirimkan SMS ke Farel dan mengajak dia untuk bertemu kembali berdua.
  • 88.
    81 Iya hanya berduaantara Farel dan Fea tidak ada seorangpun. Fea mengajak Farel bertemu, karena dia ingin membuat acara Stand up Comedy bersama teman- teman kampusnya, dia berencana mengajak Farel untukikutmeramaikanacaratersebut. Diameminta Farel untuk mengajak teman-teman sesama Comic seperti Kemal, Ryan, Vikri untuk bergabung diacara yang Fea buat. Farel pun membantu sebisa mungkin dengan tidak menggunakan perasaan cinta dia terhadap Fea dan hanya memakai logika untuk membantu dia. Fea pun terus mengganggu fikiran Farel untuk mencoba menya-yangi dia lagi, hingga pada akhirnya Farel menyerah terhadap logika dia dan dia lebih menuruti rasa cinta dia kepada Fea. Farel pun mencoba meninggalkan gadis yang sedang dia incar untuk menjadi kekasihnya dan lebih fokus untuk mendapatkan Fea yang dari dulu dia inginkan. Farel melihat bahwa Fea adalah salah satu orang yang mensupport Farel di dunia Stand up Comedy. Dia melihat Fea datang kembali saat dia sudah mulai jenuh dengan yang dia jalani sekarang ini, yaitu Stand up Comedy. Dan Fea memberikan support yang berarti supaya Farel tidak benar- benar meninggalkan Stand up Comedy, walaupun Fea sama sekali tidak tahu dunia Stand up Comedy. Saat Farel mendapatkan semangat lagi akan Stand up Comedy, saat Farel memutuskan untuk tidak mendekati gadis yang sedang dekat dengan
  • 89.
    82 dia dan saatFarel mencoba untuk membuka hatinya lagi untuk Fea, saat dia berfikir bahwa jodoh dia telah datang, dan saat itu juga Farel melihat bahwa Fea masih menjalin hubungan dengan kekasihnya. Ketika itu di benak Farel terfikir asumsi, bahwa dia sepertinya hanya ingin datang ke Farel untuk meminta bantuan membuat acara Stand up Comedy yang dia buat, hanya itu tidak lebih. Mungkin Farel yang terlalu terbuai akan perasaan dia di masa lalu, sehingga sekali lagi logika dia benar-benar kalah oleh cinta yang sekali lagi tidak dia dapatkan di diri Fea . Salah satu pernyataan Fea yang membuat Farel mencoba untuk memutar waktu, mencoba untuk mengulang semua yang seharusnya menjadi miliknya, mencoba untuk terlahir menjadi Farel yang seharusnya dan tidak membiarkan bimbang menyelimuti ruang fikiran dan batin dia hingga saat ini. “Kita tuh deket lama banget ya, tapi aku ga pernah ngerti maksud kamu deket sama aku tuh apa Rel. Kamu ga pernah nunjukin apa-apa sama aku, buat kita ketemu aja susah banget, kamu juga jarang banget buat aku ketemu, jadi ya aku bingung sendiri mau kamu tuh apa. Yang jelas aku jadi bingung sendiri kamu pasti apa engga.” This is Lifeline dan harus percaya bahwa kita tidak pernah mengetahui garis kehidupan kita. Terkadang apa yang kita inginkan belum tentu menjadi milik kita, apa yang kita berikan belum
  • 90.
    83 tentu menjadi kehidupan,karena hanya Tuhan yang mengetahui akan hal tersebut. Sekian. ***
  • 92.
    Selamat Ulang Tahun,Ma… Prasanda Martha Sheila Jumat, 03 November 2012 Setiap orang memiliki sudut pandang dan definisinya sendiri terhadap suatu hal, termasuk hari ulang tahun. Bagi kalian, apa itu hari ulang tahun? Mungkin, hari di mana kalian dilahirkan di dunia ini. Hari di mana orang-orang tersenyum lebar mendengar tangisan pertama kalian. Hari di mana ada perayaan dengan lilin-lilin kecil di atas sebuah kue dan kado. Atau hari di mana kalianselalumendapatkankejutandariorang-orang terdekat. Bagi Manda, hari ulang tahun adalah hari bahagia yang semu. Manda seharusnya bahagia. Gadis itu seharusnya senang. Seharusnya, hanya kedua kata itu yang menghiasi hatinya saat ini. Namun, ada sebuah kata yang tanpa terasa ikut hadir. Sedih. Entah karena gadis itu memang aneh, atau karena dia memang selalu memandang segala hal dengan dua sudut pandang yang berbeda.
  • 93.
    86 Seakan-akan selalu terjadisebuah perang di dunia nonlogikanya yang disebut perasaan. Perasaan bahagia dan senang karena hari ini ulang tahun mamanya, itu sudah jelas. Namun, mengapa ia merasa ada sebuah kesedihan juga? Ia sedih karena menyadari sesuatu. Bahwa bersamaan dengan itu, waktu keberadaan mamanya di dunia ini semakin berkurang. Bahwa mamanya semakin dekat dengan hari di mana seseorang akan pindah ke dunia lain yang kekal dan abadi. Ia sadar, wanita yangtidakhanyasebagaiorangyangmelahirkannya, namun juga sebagai teman terbaik di hidupnya, semakin tua. “Tidak, tidak, tidak boleh begini.” Segera ia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras. Menyingkirkan pikiran-pikiran negatif dan hanya menyimpan perasaan bahagia. Ia bangkit dari tempat tidurnya. Sambil beranjak ke kamar mandi, ia berusaha sebisa mungkin menata perasaannya. Tiba-tiba langkahnya terhenti mendengar ponselnya berbunyi. 1 pesan diterima. Mama. Di situ tertulis, Kak, hari ini pulang, nggak? Wanita itu tahu setiap akhir pekan gadis itu akan menghabiskan waktu bersantai di rumah. Ia hanya memastikan gadisnya itu tidak menggunakan waktu bersantainya untuk mengerjakan tugas di
  • 94.
    87 Bogor.Jemarigadisituseketikamenarimengetikkan kata-kata sederhana, yangakan menyunggingkan sebuah senyuman di wajah mamanya. Iya ma, pulang kuliah kakak langsung pulang. Saat ini yang Manda tunggu adalah slide “Terima Kasih” muncul di layar proyektor. Yang ada dipikirannyasaatiniadalahpersiapanuntukkejutan ulang tahun mamanya. Kue ulang tahun ukuran kecil atau roti-roti yang nanti dibentuk menyerupai kue ulang tahun? Kotak khusus kado atau kotak biasa yang dibungkus kertas kado? Lilin kecil atau 2 lilin berbentuk angka? Pertanyaan-pertanyaan itu sedang bersarang di kepala gadis itu. Kegiatan kuliah yang serasa tanpa jeda membuatnya lupa, bahwa terakhir kali ia makan adalah tadi pagi. “Manda, makan yuk, suara perut gue udah nyaring banget nih.” Rasanya ingin sekali ia mengiyakan ajakan temannya itu. Perutnya sudah terasa perih. Mengingat saldonya di ATM dan di dompetnya serta persiapan kejutan ulang tahun mamanya, ia terpaksa mengurungkan keinginannya. “Aku langsung pulang aja, lagi buru-buru soalnya ada urusan.” Ia langsung melambaikan tangan pada temannya setelah mereka keluar area kampus. Matahari sebentar lagi akan terlelap ketika
  • 95.
    88 ia sampai diBotani Square. Destinasi pertamanya adalah toko roti. Harga kue ulang tahun ukuran kecil masih terlalu mahal. Enam buah roti yang nanti disusun seperti kue ulang tahun ternyata lebih bersahabat dengan kantongnya. Lalu ia langsung bergegas menuju Gramedia untuk membeli kotak khusus kado. Ponselnya berdering. Mamanya pasti sedang menunggu kedatangannya. Kak, udah sampe mana? Mama tidak akan marah kalau aku bilang tidak jadi pulang, pikirnya. Manda membalas pesan mamanya. Ma, aku nggak jadi pulang. Kenapa? Bukannya kata kamu nggak ada tugas? Deg. Mendadak seperti ada sengatan listrik mengejutkan badannya. Benar-benar bodoh. Ia lupa mengenai hal yang satu itu. Ia terlanjur bilang kalau minggu ini tidak ada tugas. Mamanya akan curiga kalau ia tiba-tiba bilang tidak pulang karena ada tugas. Tapi tidak ada pilihan lain selain alasan yang satu itu. Nggak jadi pulang, ternyata ada tugas ma.
  • 96.
    89 Ah, kamu alasanaja pasti mau main. Nggak ma, beneran. Yaudah. Terserah. Deg. Kali ini bukan hanya sengatan listrik. Tapi sambaran petir! Hanya dua kata sederhana. Namun memiliki dua makna yang berbeda bila diucapkan dengan nada yang berbeda pula. Nada ikhlas atau nada tidak peduli. Manda tidak tahu nada yang mana yang sedang digunakan mamanya saat ini. Membaca kedua kata itu berdampingan terasa aneh. Salah satu dari kata itu tidak apa- apa. Tapi kalau keduanya digabungkan, seperti ada sebuah kekecewaan dan kekesalan terselip di kedua kata itu. Ah, tidak mungkin marah, pikirnya. Namun hati kecilnya berpendapat lain, mamanya marah. Berbohong pada mama bukanlah hal yang ia sukai. Benar-benar membuatnya merasa bersalah. Demi kejutan mama, anggap saja ini sebuah kebohongan putih. Ia menggunakan istilah itu meskipun ia tidak begitu yakin maknanya. Sudah tidak ada waktu untuk membungkus hadiahnya dengan kertas kado, pasti akan menyita waktu. Setelah membeli kotak khusus kado dan lilin berbentuk angka 4 dan 2, Manda segera beranjak menuju terminal yang tidak jauh dari Botani Square. Setidaknya uangnya masih cukup untuk ongkos
  • 97.
    90 pulang ke rumah.Bahkan masih ada sedikit sisa untuk jajan di Surabi Bingung tempat yang sering ia kunjungi bersama teman-temannya. Menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun pada orang yang ia sayang adalah suatu keharusan bagi Manda. Setiap tahun ia selalu mengirimkan ucapan dan doa ulang tahun pada sahabat dan orang-orang kesayangannya saat tengah malam. Hari ini ia ingin memberikan kedua hal itu tepat pukul 00.00 pada mamanya. Ndah, sekarang gue udah di bis. Paling jam 8an gue nyampe. Nanti jemput di bukit yak. Thank youuu! Ia mengirim pesan itu pada temannya, Indah, dan langsung terkirim. Tempat yang ia tuju saat ini bukanlah rumahnya, melainkan rumah temannya. Selain memberikan kejutan, ia juga harus menepati janjinya untuk makan surabi bertiga dengan kedua sahabatnya, Indah dan Tiara, di tempat kesukaan mereka, Surabi Bingung. Sesampainya di kamar Tiara, ia langsung menaruh tas dan semua barang bawaan yang ia bawa dari Bogor lalu mereka langsung pergi menuju Surabi Bingung sambil menunggu tengah malam tiba. Sebenarnya ia sedikit keberatan karena belum selesai mempersiapkan kejutan untuk mamanya. Tapikeduatemannyabersediamenjadisukarelawan sehingga ia akan merasa cukup terbantu nantinya. Sekitar pukul 22.00, mereka bertiga pulang
  • 98.
    91 ke rumah. Sebentarlagi tengah malam dan Manda harus segera melakukan persiapan. Tiara membantu menggunting-gunting kertas menjadi tipisdanpanjang-panjang.Kumpulankertasituakan diletakkan dalam kardus sebagai alas kado. Indah dan Manda menyusun roti-roti menjadi sebuah tumpukan menyerupai kue ulang tahun yang dihiasi dua lilin berbentuk angka yang tertancap indah di atas tumpukan tersebut. Lima belas menit sebelum tepat pukul 00.00. Semua orang sudah terlelap dan sedang menikmati dunia mimpi mereka masing-masing. Sedangkan Manda dan Indah masih terjaga dan sedang berjalan bersama. Arah rumah mereka searah. Mereka berdua sama-sama mengengok ke kanan dan ke kiri. Tidak ada yang mereka temukan kecuali rumah gelap dengan hanya satu lampu depan yang menyala. Angin semilir menambah dingin malam itu. Semakin malam, angin terasa semakin dingin. Namun sedingin apapun itu tidak akan menggoyahkan langkah gadis itu. Satu per satu langkah ia ambil dengan begitu hati-hati. Ia takut tumpukan roti dengan 2 lilin angka di atasnya jadi berantakan jika jalannya terlalu cepat. Jantungnya berdebar. Rasa khawatir tiba-tiba merubunginya. Bagaimana kalau mamanya tidak bangun saat ia ketuk pintu? Bagaimana kalau mamanya tidak suka dengan kejutan yang ia sudah siapkan? Tapi ia berhasil menepis rasa khawatir itu dengan segera.
  • 99.
    92 Sebelum berpisah, iatidak lupa menyampaikan terima kasih karena temannya sudah mau membantu. Berdiri tengah malam di depan pintu dengan perasaantidakkaruan.Iatidaktahukapanlagiiabisa merasakan hal semacam ini. Manda mengepalkan tangannya untuk mengetuk pintu. Tok tok tok. Tidak ada yang menyahut. Kepalan tangannya bersiap untuk tiga ketukan pintu yang kedua. Belum sempat ia mengetuk pintu lagi, terdengar seseorang sedang membuka kunci pintu. Seperti yang ia harapkan, wajah mamanya muncul dari balik pintu. Spontan, lagu selamat ulang tahun dalam versi bahasa Inggris berkumandang. “Happy birthday to you… Happy birthday to you…” Belum sempat Manda menyelesaikan nyanyiannya, buru-buru mamanya langsung menyuruh masuk ke rumah. Alis matanya berkerut. Iatidakmengertiapayangsedangterjadi.Mamanya menginstruksikan untuk segera masuk ke kamar. Perasaan haru belum sempat terekspresikan. Manda bahkan belum sempat melihat muka bantal mamanya berubah sumringah bahagia. “Kenapa sih ma? Aku kan belum selesai nyanyinya,” Manda sedikit jengkel. “Pelan pelan ngomongnya, nanti papa bangun,” bisik mamanya. Ternyata papanya memang tidak pernah ingat hari ulang tahun istrinya sendiri. Jangankan
  • 100.
    93 memberikan kejutan, sekedarucapan selamat ulang tahun saja tidak. Mereka hanya merayakan hari istimewa itu berdua. Semoga begini saja cukup untuk membuat mama mengenang kejutan ulang tahun pertamanya. Misinya berhasil. Manda berhasil mendapat posisi orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun. “Maaf ya Ma, Aku bohong, Selamat ulang tahun, Ma,” kata gadis itu sambil mendaratkan sebuah kecupan di pipi wanita yang bertambah usia itu. Bila terbawa suasana, bisa-bisa Manda menangis sesenggukan saat itu juga. Gengsinya terlalu tinggi, bahkan di depan mamanya. Sebisa mungkin ia menahan kedua sungai itu supaya tidak mengalir deras membasahi pipinya. Setelah sesi tiup lilin dan suap menyuapi kue, Manda memberikan sebuah kado yang sudah ia siapkan sejak jauh-jauh hari. Sebuah gelang berwarna merah. Warna kesukaan mamanya. Harga gelang itu memang tidak seberapa. Namun bernilai jauh lebih tinggi dari harganya karena cinta dan kasih yang terlampir. Akhirnya Manda melihat ekspresi itu. Kedua mata yang berbinar dan bibir yang melengkungkan sebuah senyum bahagia. “Mama maafin kok, makasih ya kak…” Nada suaranya yang lembut menggetarkan gendang telinganya lalu turun menggetarkan hatinya. Manda berjanji tidak akan pernah berbohong lagi pada mamanya. Yang ia mau hanyalah melihat mamanya
  • 101.
    94 tersenyum. Seketika, terlintas dalampikirannya cuplikan rekaman dari semua jasa-jasa mamanya. Ini belum berarti apa-apa dibandingkan semua yang telah mama berikan. Ini bahkan belum sampai memenuhi 0,01 persen dari itu semua. Kata-kata itu hanya ia ucapkan dalam hati. Semoga hati mamanya bisa mendengar itu. Pagi hari berjalan seperti biasa. Seperti tidak ada apa pun yang terjadi. Yang tahu kejadian tengah malam tadi hanya Manda, mamanya, dan temannya. Malam harinya, Manda makan malam berdua dengan sang Mama. Hanya mereka berdua. Hanya seorang anak dan ibunya. Kedekatan mereka semakin erat. Kemanapun mamanya pergi, Manda adalah orang pertama yang diajak. Apa pun yang Manda minta, mamanya selalu menuruti selagi bisa. Tapi Manda tidak memanfaatkan hal ini. Manda semakin sayang pada mamanya. ***
  • 102.
    95 Nadhilah Nurilina Adani,gadis berzodiak leo ini lahir di Jakarta pada tanggal 14 agustus 1993. Anak kedua dari tiga bersaudara ini memiliki hobi menyanyi dan memasak. Saat ini penulis sedang mengenyam pendidikan di Instiut Pertanian Bogor Program Diploma Program Keahlian Komunikasi. Penulis mendapatkan inspirasi dari lingkungan sekitar, dengan dukungan orang yang disayanginya. Amalia Satriani. Gadis berdarah Jawa dan Sunda yang lahir di Kota Hujan 20 tahun silam. Anak pertama dari dua bersaudara. Pernah lulus dari SMP Negeri 10 Bogor dan SMA Negeri 4 Bogor. Saat ini Amal (panggilan akrabnya) tengah mengenyam pendidikandiProgramKeahlianKomunikasiDiploma IPB. Pecinta hewan panda dan warna hitam putih. Gemar mencoba hal baru. Serta seorang pemimpi besar.  Menyukai seni merajut aksara sejak duduk di bangku SMA. Baginya, menulis adalah berbagi. Follow twitternya: @ASamaal dan temukan sedikit ceritanya di www.ekspresiamal.blogspot.com  Prasanda Martha Sheila, panggil saja Sheila. Lahir di Banjarnegara, 25 Maret 1994. Saya adalah anak Profil Penulis
  • 103.
    96 pertama dari tigabersaudara dari sebuah keluarga yang sederhana. Erlinda SW. Blogger. Flash fictioner. Coffee lover. October. Apriani merupakan mahasiswi dari Program Diploma Institut Pertanian Bogor Program keahlian Komunikasi tingkat akhir, dengan NIM J3A411262. Apriani adalah anak ketiga di keluarganya. Cerpen yang berjudul “Surat Merah Jambu” ini merupakan karangan cerpen ketiganya. Dia mulai menulis sejak menduduki bangku Sekolah Menengah Atas.
  • 104.
    97 Marizka Witya Putrinimerupakan salah satu mahasiswi Dari Program Diploma Institut Pertanian Bogor Program Keahlian Komunikasi tingkat akhir, dengan NIM J3A211158. Marizka adalah anak pertama dari dua bersaudara. Cerpen yang berjudul “Ibu Aku Mencintaimu Dulu, Sekarang, dan selamanya” merupakan karangan cerpen pertamanya. Dia mulai tertarik dengan dunia menulis sejak menduduki bangku kuliah. Cerpenyangberjudul“KetikaHarusMengikhlaskan” ini merupakan kisah nyata yang dialami oleh penulisnya sendiri, bernama Hafsah Kurniaty
  • 105.
    98 Ayuningtyas, mahasiswa Komunikasi48 Diploma IPB. Perempuan yang kerap dipanggil Syaima ini lahir di Mesir, bulan Januari 1994. Berkarakter Capricorn dan shio kambing. Syaima sangat hobi menulis sejak SMP, sudah bertahun-tahun bercita- cita ingin menjadi seorang penulis novel namun tidak juga kesampaian, niatnya untuk menjadi penulis pun ia alihkan dengan berbagi cerita kehidupannya di dalam blog pribadinya. 17 belas tahun tinggal di Mesir bersama kedua orangtuanya dan baru kali ini sudah hampir masuk tahun ketiga ia menetap di Indonesia. Kursus pianonya yang sudah ia tekuni selama tujuh tahun (2003-2010) membuat ia bermimpi ingin menjadi seorang pianis terkenal seperti Valentina Lisitsa, namun mimpinya hanyalah sebatas khayalan yang sudah ia gantungkan di atas sana, tidak terlihat tapi akan selalu ada.