SYOK PADA
ANAK
(Goal-Directed Management of Pediatric
Shock in the Emergency Department)
Professor Joseph A. Carcillo, MD
Division of Critical Care Medicine, Children's Hospital of
Pittsburgh
2009
i
ii
SYOK PADA ANAK
(Goal-Directed Management of Pediatric Shock
In the Emergency Department)
Alih bahasa: dr Iyan Darmawan
ISBN: 978-979-95956-9-0
© 2009 Farmedia
All rights preserved
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip, memperbanyak sebagian
atau
Seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari
penerbit
Edisi 1 Cetakan 1: November 2009
Perpustakaan Nasional R.I. data Katalog Dalam
Terbitan (KDT)
Syok pada anak/penulis: Carcillo, Joseph A;
Alih bahasa: Darmawan, Iyan
Cetakan 1- Jakarta, Farmedia 2009
127 halaman
12,5 x 21,5 cm
ISBN: 978-979-95956-9-0
iii
KATA PENGANTAR
Bayi dan anak memiliki struktur anatomis dan parameter
hemodinamik yang berbeda dengan orang dewasa,
sehingga patofisiologi dan interpretasi syok pada anak
jauh berbeda dibandingkan orang dewasa. Syok
tersering pada trauma anak adalah syok hemoragik,
walaupun bisa dibarengi oleh syok tipe lain, seperti
kardiogenik (misal, tamponade jantung), obstruktif (misal,
tension pneumothorax) dan neurogenik (misal, syok
spinal). Peningkatan cadangan sistem kardiovaskular
memungkinkan anak mengkompensasi dan memelihara
tekanan darah sekalipun syok hemoragik sampai ke
tingkat sedang. Anak akan mempertahankan tekanan
darah sistolik yang normal sebelum mereka kehilangan
sampai 30% volume darah sirkulasi
Buku saku ini membahas lebih rinci patofisiologi dan
manajemen syok pada anak, dan menjadi tambahan
referensi untuk para dokter yang bertugas di IGD dan
PICU.
November 2009
Penerbit
iv
DAFTAR ISI
Bagian 1 Memahami Syok 1
Bagian 2 Stadium Syok 10
Bagian 3 Manajemen Syok pada Anak 13
Bagian 4 Resusitasi Volume: Kristaloid vs Koloid 57
Bagian 5 Rangkuman Manajemen Syok pada Anak 79
Bagian 6 Ilustrasi kasus 84
Bagian 7 Dengue Shock Syndrome 99
Bagian 8 Singkatan dan terminologi 104
Bagian 9 Nilai Normal 106
Bagian 10 Rumus-rumus 108
Lampiran : Teknik Pemberian Infus Intraosea 110
1
BAGIAN I
Memahami Syok
Pendahuluan
Syok adalah kegagalan sirkulasi untuk membawa
oksigen dan nutrien ke jaringan. Syok lazim dijumpai
pada anak. Pemahaman tentang penyebab dan
patofisiologinya bisa mengarahkan para klinisi membuat
keputusan yang rasional dalam terapi dan bisa
memperbaiki prognosis. Bagian ini memberikan
penjelasan komprehensif dari klasifikasi, penyebab dan
patofisiologi syok pada anak, dengan pedoman untuk
deteksi dan pemantauan, sehingga pendekatan terapi
menjadi rasional.
Sebagai sindrom klinis yang kompleks, syok ditandai oleh
disfungsi sirkulasi akut di mana hubungan antara
kebutuhan oksigen dan pasokan oksigen terganggu.1
Akibatnya, sistem kardiovaskular gagal menjalankan
fungsi utamanya, yakni membawa substrat dan
membuang metabolit, sehingga terjadi metabolisme
anaerob dan asidosis jaringan. Umumnya, semua
keadaan syok berakhir dengan berkurangnya hantaran
atau gangguan utilisasi substrat sel yang esensial,
sehingga fungsi sel normal berhenti.
Syok merupakan proses progresif yang ditandai oleh 3
stadium berbeda. Pada fase dini, stadium kompensasi,
2
sejumlah mekanisme neurohormonal yang bersifat
kompensatorik dan fisiologis bekerja untuk
mempertahankan tekanan darah dan memelihara
kecukupan fungsi jaringan. Pada stadium ini syok bisa
reversibel dengan intervensi yang benar. Namun, bila
mekanisme kompensasi ini gagal, syok berlanjut ke
stadium dekompensata. Pada stadium menetap
(irreversible stage), syok berlanjut ke cidera organ dan
jaringan yang berat, yang tidak responsif terhadap terapi
konvensional, dan berujung dengan gagal organ ganda
dan kematian pasien.
Syok merupakan diagnosis klinis, namun deteksi masih
merupakan masalah pada anak. Dalam pedoman yang
dipublikasi oleh the American College of Critical Care
Medicine, Carcillo dkk mendefinisikan syok septik pada
anak sebagai takikardia dengan tanda berkurangnya
perfusi perifer, termasuk berkurangnya volume nadi,
capillary refill time (CRT) lebih dari 2 detik, bercak dan
dingin pada ekstremitas, kesadaran berubah dan jumlah
urin berkurang.2
Hipotensi merupakan tanda lanjut dan
fase dekompensata pada syok anak, sehingga tidak bisa
diandalkan untuk menegakkan diagnosis. Capillary refill
terbaik diperiksa dengan menekan ekstremitas distal,
seperti jari tangan dan kaki, selama 5 detik dan kemudian
dilepas. Waktu pengisian kembali dicatat. Pada suhu
kamar normal, capillary bed distal biasanya terisi dalam
2-3 detik. Dikatakan memanjang jika lebih dari 5 detik.
3
Titik alternatif untuk memeriksa CRT adalah di atas
sternum dan bantal kuku (nailbed).
Syok sebaiknya dideteksi dengan tanda klinis dan
laboratorium yang meliputi takipnea dan takikardia,
vasodilatasi perifer (syok hangat) atau ekstremitas dingin
(syok dingin), perubahan status mental, hipothermia atau
hipertermia, diikuti berkurangnya jumlah urin, asidosis
metabolik dan peninggian laktat darah3
Klasifikasi syok
Karena fungsi sirkulasi bergantung pada volume darah,
tonus vaskular dan fungsi jantung, syok dapat
diakibatkan oleh kelainan-kelainan dari satu atau lebih
faktor-faktor ini, atau mulai dari gangguan metabolisme
seluler sampai ketidakmampuan menggunakan substrat
yang dibawa oleh sirkulasi. Lima jenis syok yang utama
dilukiskan di bawah (Table 1.1). Pembagian kategori ini
terlalu sederhana, karena lebih dari satu mekanisme
dapat terjadi pada pasien yang sama. Hasil akhirnya
adalah kegagalan menyediakan substrat energi untuk
memenuhi kebutuhan metabolik dari jaringan.
Tabel 1. 1 Klasifikasi Syok
Jenis Sindrom Klinis
Hipovolemik Hemoragik
Nonhemoragik:
• Muntah
• Diare
• Luka bakar
4
• Sekuestrasi internal (misal ileus
obstruksi)
• KAD (ketoasidosis diabetik)
• Sindrom nefrotik
• Bentuk dehidrasi lain
Kardiogenik Infark miokard
Gagal jantung bendungan
Bedah jantung
Penyakit katup /koarktasi
Disritmia
Pintas kardiopulmoner
Syok septik
Intoksikasi obat
Obstruktif Tamponade jantung
Penyakit katup/koarktasi
Pneumotoraks
Emboli paru
Distributif Syok septik
Syok toksik
Syok neurogenik
Gagal adrenal akut
Intoksikasi obat
Disosiatif Keracunan (misal sianida, methemoglobin, karbon
monoksida
Anemia berat
SYOK KUANTITATIF (HANTARAN O2 BERKURANG)
Aliran berkurang (syok hipovolemik & kardiogenik)
Pada syok hipovolemik, kardiogenik dan obstruktif, defek
primer adalah penurunan curah jantung, yang
mengakibatkan hipoperfusi, hipotensi dan metabolisme
anaerob. Syok hipovolemik merupakan syok jenis
terbanyak pada anak dan merupakan akibat dari
penurunan volume sirkulasi (hipovolemia absolut atau
relatif). Hipovolemia dikatakan ‘absolut’ bila disebabkan
dehidrasi melalui kehilangan cairan ekstrasel, darah atau
5
plasma; dan “relatif” bila volume intravaskular tidak
adekuat untuk mengkompensasi hilangnya tonus
vaskular, seperti pada sepsis atau anafilaksis, atau
karena obat vasodilatasi.
Syok kardiogenik disebabkan oleh penurunan curah
jantung yang bersifat sekunder terhadap kerusakan
dan/atau disfungsi miokard. Ini bisa disebabkan oleh
jejas miokard (infeksi atau iskemia) atau lesi obstruktif
(peningkatan afterload ventrikel kanan, peningkatan
afterload ventrikel kiri, tamponade jantung) dan/atau
kurangnya pengisian ventrikel (penurunan preload
ventrikel kanan atau kiri, lesi katup, penurunan waktu
pengisian yang disebabkan takiaritmia).
Penurunan kandungan oksigen (syok hemoragik,
gagal napas akut hipoksemik, keracunan)
Syok hemoragik biasanya diakibatkan oleh hipovolemia
dan anemia. Bila terjadi perdarahan pada pasien yang
sebelumnya anemia, penurunan hantaran oksigen (DO2)
jauh lebih besar. Berkurangnya kapasitas angkut oksigen
oleh hemoglobin (Hb), dan DO2 yang tidak adekuat,
dapat juga menyebabkan syok. Contohnya pada orang
keracunan karbon monoksida , penurunan DO2 terjadi
karena pengikatan kompetitif di mana hemoglobin lebih
suka berikatan dengan karbon monoksida dibanding O2.
Dan ini diperhebat dengan utilisasi O2 yang bersifat
6
abnormal, karena karbon monoksida mengganggu
fosforilasi oksidatif yang mengakibatkan berkurangnya
rasio ekstraksi oksigen (ERO2). Pada kasus ini, syok
bersifat distributif dan kuantitatif. Pada setiap hipoksia
akut karena kelainan paru, penurunan saturasi oksigen
arteri (SaO2) menyebabkan penurunan DO2 segera
setelah peningkatan curah jantung gagal
mengkompensasi kebutuhan metabolik.
Syok distributif sering terjadi sekaligus dengan syok
hipovolemik dan/atau kardiogenik. Syok distributif ini
diakibatkan oleh kelainan distribusi aliran ke berbagai
organ, bersifat sekunder terhadap gangguan tonus
vasomotor sebagaimana terjadi pada sepsis dan
anafilaksis. Di samping sepsis, penurunan pengisian
kapiler bisa terjadi sekunder terhadap perubahan
reaktivitas vaskular, koagulasi intravaskular diseminata,
difungsi sel endotel atau gangguan rheologi
(meningkatnya adhesi sel darah), bersama dengan
disfungsi mitokondria. Perubahan-perubahan ini ikut
memperburuk utilisasi oksigen. Trauma medula spinalis
merupakan bentuk spesifik dari syok distributif yang
menjurus ke perubahan hemodinamik yang dalam.
Kehilangan mendadak dari aliran simpatis dari medula
spinalis dapat mengakibatkan penurunan mendadak dari
tahanan tepi total dan curah jantung.
PATOFISIOLOGI SYOK
Gagal sirkulasi mengakibatkan penurunan DO2 ke
jaringan dan disusul oleh berkurangnya tekanan oksigen
parsial sel (PO2). Bila sampai ke titik kritis PO2, fosforilasi
oksidatif dibatasi oleh kurangnya oksigen, sehingga
menggeser metabolisme dari aerob menjadi anaerob. Ini
menghasilkan kenaikan laktat sel dan darah, serta
asidosis laktat
DO2 bergantung pada dua variabel: kandungan oksigen
darah arteri (CaO2) dan curah jantung. CaO2 adalah
produk dari kandungan Hb, arterial SaO2 dan kapasitas
angkut oksigen dari hemoglobin. Selanjutnya, curah
jantung bergantung pada detak jantung dan curah
sekuncup, yang ditentukan oleh kontraktilitas miokard
dan preload serta afterload.
Pada anak, curah jantung lebih bergantung pada detak
jantung dibanding curah sekuncup karena miokard belum
matang. Metabolisme energi yang tidak adekuat dapat
berasal dari peningkatan konsumsi oksigen total tubuh
(VO2), walaupun DO2 normal. Kebutuhan oksigen
7
8
bervariasi menurut jenis jaringan dan waktu.4
Walaupun
kebutuhan oksigen tidak bisa diukur atau dihitung, VO2
dan DO2 keduanya bisa dihitung, dan dihubungkan
sebagai berikut:
VO2 = DO2 × ERO2 (oxygen extraction ratio)
Pada kondisi normal, kebutuhan oksigen setara dengan DO2.
Normal, ERO2 adalah kira-kira 25% yang berarti 25% dari oksigen
yang dibawa akan diambil jaringan dan 75% kembali ke paru. ERO2
berbanding terbalik dengan SvO2, yang diperlihatkan dalam
persamaan berikut:
SvO2 = 1 - ERO2
Bila kebutuhan meningkat, DO2 harus menyesuaikan
dan meningkat. Pada syok sirkulasi atau hipoksemia,
karena DO2 berkurang, VO2 dipertahankan dengan
peningkatan kompensatorik dari ERO2. Namun, jika DO2
turun terus, dicapai titik kritis dan ERO2 tidak bisa lagi
bertambah untuk mengkompensasi penurunan DO2.
Pada syok septik, oksigenasi jaringan bisa tidak adekuat
sekalipun ada aliran darah normal yang disebabkan
peningkatan banyak dari kebutuhan metabolik dan
gangguan ekstraksi oksigen.
Konsekuensi patofisiologis dari syok kardiogenik dan
hipovolemik lebih berkaitan dengan defisiensi oksigen
akut, sedangkan efek-efek patofisiologi dari syok septik
diakibatkan oleh banyaknya produksi mediator radang.
9
Pada syok septik ada interaksi kompleks antara
vasodilatasi patologis, hipovolemia relatif dan absolut,
depresi miokard langsung dan perubahan distribusi aliran
darah, yang terjadi akibat respon radang terhadap infeksi.
Respon inflamasi yang berlebihan selanjutnya berperan
terhadap gangguan hemodinamik dan iskemia jaringan
yang tersebar, dengan berakhir sebagai disfungsi organ
ganda.
Referensi:
1. American Heart Association. 2005 American Heart
Association guidelines for cardiopulmonary
resuscitation and emergencycardiovascular care of
pediatric and neonatal patients: pediatric advanced life
support. Pediatrics 2006; 117: E1005–1028.
2. Carcillo JA, Fields AI, Task Force Committee
Members. Clinical practice variables for hemodynamic
support of pediatric and neonatal patients in septic
shock. Crit Care Med 2002; 30: 1365–1378.
3. N adel S, Kissoon N, Ranjit S. Recognition and initial
management of shock. In: Nichols DG, ed. Rogers’
textbook of pediatric intensive care, 4th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins, 2008, p.
372–383.
4. Vallet B, Tavernier B, Lund N. Assessment of tissue
oxygenation in the critically ill. Eur J Anaesthesiol
2000; 17: 221–229.
10
BAGIAN II
Stadium Syok
Stadium Dini atau Syok Kompensata
Pada syok dini atau kompensata, berbagai mekanisme
kompensasi diaktifkan. Dalam menghadapi ancaman
hipoperfusi, sistem saraf simpatis meningkatkan detak
jantung (HR) dan tahanan pembuluh sistemik (SVR)
melalui pelepasan katekolamin dari kelenjar adrenal.
Sistem Renin-angiotensin-aldosteron juga diaktifkan,
sehingga ikut menyebabkan vasokonstriksi dan
mempertahankan SVR, serta retensi cairan melalui
pemekatan urin. .
Pada anak, tonus vaskular dipertahankan walaupun
dalam keadaan aliran rendah pada syok septik dan
kardiogenik1
. Oleh karena itu, anak bisa sering
mempertahankan tekanan darah sebelum mereka berada
dalam keadaan syok berat. Vasokonstriksi kompensatorik
sering begitu mencolok hingga tekanan darah sistemik
bisa berada dalam kisaran normal, sekalipun ada
gangguan sirkulasi bermakna. Hipotensi khas merupakan
temuan lanjut pada syok anak. Dengan vasokonstriksi
darah dipintas menjauhi organ non-vital (kulit dan
splanchnic bed) untuk diarahkan ke otak, jantung dan
paru. Hasilnya adalah ekstremitas dingin dan bercak-
bercak (mottled), capillary refill memanjang, serta
11
takikardia yang diinduksi katekolamin. Jika syok dibiarkan,
mekanisme kompensasi akan gagal dan pasien masuk
ke stadium dekompensata. Kegagalan menormalkan nadi
perifer, suhu kulit, serta capillary refill time dengan terapi
adekuat akan berakibat fatal.2 …………………………………….
Anak banyak bergantung pada detak jantung untuk
meningkatkan curah jantung. Kemampuan meningkatkan
kontraktilitas sebagai respon terhadap stimulasi
katekolamin terbatas karena massa otot yang tidak cukup
dan “kekakuan” miokard anak dibandingkan jantung
dewasa. 3
Bila mekanisme kompensasi diaktifkan, anak
menjadi bergantung pada volume intravaskular (preload)
untuk mempertahankan CO.4
Karena afterload sudah
meningkat agar bisa mempertahankan SVR dan TD,
kunci keberhasilan dalam resusitasi adalah menjaga
volume intravaskular yang adekuat.
Stadium dekompensata
Bila mekanisme kompensasi gagal memenuhi kebutuhan
metabolik yang meningkat di tingkat jaringan, maka akan
terjadi syok dekompensata dengan hipotensi.
Hipoksemia jaringan dan iskemia akan memicu
metabolisme anaerob yang menghasilkan penimbunan
laktat dan asidosis metabolik. Sejumlah metabolit
vasoaktif seperti adenosin, nitric oxide juga dilepaskan
dan tertimbun. Vasokonstriksi kompensatorik gagal
sebagai akibat hipoksia. Darah kapiler menjadi lamban,
12
leukosit bergerak ke pinggir dan mikrotrombus terbentuk.
Paralisis vasomotor dan disfungsi mikrosirkulasi
memuncak ke hipoperfusi organ akhir, disfungsi dan
gagal organ ganda. Hipoperfusi organ bermanifestasi
sebagai perubahan status mental, takipnea, takikardia,
letargi, urin sedikit atau tidak ada dan timbul bercak pada
anggota gerak. Sekali tekanan darah turun, pasien akan
berlanjut ke syok menetap (irreversible shock), jika
tekanan perfusi ke jaringan tidak dipulihkan. Syok non-
reversibel, sesuai namanya, adalah “the point of no
return” dengan angka kematian tinggi apapun
intervensinya.
Referensi
1. Ceneviva G, Paschall JA, Maffei F, Carcillo JA.
Hemodynamic support in fluid-refractory pediatric septic
shock. Pediatrics 1998;102(2):e19
2. Kirklin JK, Blackstone EH, Kirklin JW, McKay R, Pacifico AD,
Bargeron LM, Jr. Intracardiac surgery in infants under age 3
months: predictors of postoperative in-hospital cardiac death.
Am J Cardiol 1981;48(3):507-12.
3. Feltes TF, Pignatelli R, Kleinert S, Mariscalco MM.
Quantitated left ventricular systolic mechanics in children
with septic shock utilizing noninvasive wall-stress analysis.
Crit Care Med 1994;22(10):1647-58.
4. Lambert HJ, Baylis PH, Coulthard MG. Central-peripheral
temperature difference, blood pressure, and arginine
vasopressin in preterm neonates undergoing volume
expansion. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed
1998;78(1):F43-5
13
BAGIAN III
Manajemen Syok pada Anak di IGD
Deteksi dini dan tatalaksana syok pada anak bisa
menyelamatkan jiwa, tanpa memandang kategori
diagnostiknya. Di sini ditekankan:
1) pengenalan dini dari takikardia, capillary refill
yang memanjang, dan hipotensi
2) proses 3-langkah: akses pembuluh darah dan
pemberian cairan serta infus epinefrin (pada
sebagian kasus dengan hidrokortison) untuk
pemulihan syok dalam jam pertama pasien
masuk IGD.
Walaupun garis besar proses tampak sederhana,
dibutuhkan persiapan yang matang. Pasien syok harus
dikenali pada triase dan cepat digiring ke ruang resusitasi,
di mana pendekatan tim perlu untuk mencapai semua
sasaran klinis dalam 1 jam. Sasaran klinis yang sensitif-
waktu ini meliputi pemulihan capillary refill yang
memanjang dan hipotensi serta indeks syok yang
membaik. Sasaran dan proses yang dirangkum dalam
bab ini bisa berhasil diterapkan mulai dari puskesmas
sampai rumah sakit tersier dengan perencanaan dan
pelatihan yang baik.
Syok adalah suatu keadaan gagal energi akut di mana
produksi ATP (adenosine triphosphate) tidak cukup untuk
14
menopang fungsi sel sistemik. Syok bisa disebabkan
kurangnya hantaran oksigen (anemia, hipoksia, atau
iskemia); kurang hantaran substrat glukosa (glikopenia);
atau disfungsi mitrokondria (cellular dysoxia). Hantaran
oksigen didefinisikan oleh persamaan berikut:
DO2 (mL O2/min) = CaO2 (mL O2/L blood) X CO (L/min)
Selanjutnya:
CaO2 = Hb x 1,36 x SaO2 + PaO2 x 0.003
Syok anemik terjadi bila kadar hemoglobin terlalu
rendah; syok hipoksia terjadi bila saturasi oksigen
terlalu rendah; dan syok iskemik terjadi bila aliran terlalu
rendah. Hantaran glukosa bergantung pada kadar
glukosa, aliran darah dan insulin untuk sel-sel (misal, sel
jantung) yang influks glukosanya bergantung insulin.
Syok glikopenik bisa disebabkan oleh hipoglikemia
ataupun resistensi insulin.
Walaupun definisi syok ini logis dan mudah dipahami,
namun tidak praktis karena pengukuran ATP tidak
dilakukan. Oleh karena itu, pemeriksaan klinis
menggunakan tanda-tanda tidak langsung untuk
mendiagnosis dan menilai syok. Tanda-tanda ini harus
mengidentifikasi stadium paling dini dari syok atau paling
tidak patologi yang terjadi sebelum syok terdeteksi.
Anemia diketahui dari pucat, takikardia kompensatorik,
15
dan kadar hemoglobin kurang dari 8 g/dL. Takikardia
meningkatkan curah jantung untuk mempertahankan
hantaran oksigen sekalipun hemoglobin berkurang.
Hipoksia diidentifikasi dengan takipnea kompensatorik
dan penurunan Pao2, di bawah 60 mm Hg. Hemoglobin
masih mengalami saturasi cukup sebelum ambang Pao2
dicapai. Takipnea menyebabkan penurunan Pco2, yang,
sesuai dengan persamaan gas alveoli, menghasilkan
peningkatan proporsional dari Pao2. Iskemia dikenali
pada stadium dini sebagai takikardia. Terjadi penurunan
aliran darah jika curah sekuncup berkurang akibat
hipovolemia ataupun fungsi jantung yang buruk. Aliran
pada kondisi ini bisa dipertahankan dengan
meningkatkan detak jantung (CO = heart rate [HR] ×
stroke volume [SV]). Glikopenia dikenali pada stadium
dini dengan hipoglikemia atau hiperglikemia ringan.
Penggunaan terapi yang memulihkan anemia, hipoksia,
iskemia dan glikopenia sebelum terjadinya defisiensi ATP
bisa mencegah syok.
Syok bisa didiagnosis dan dinilai berdasarkan progresi
dari tanda-tanda klinis ini. Syok anemik terjadi bila kadar
hemoglobin turun menjadi di bawah 6 g/dL, dan di klinis
terlihat sebagai peningkatan detak jantung lebih dari
persentil ke 98 untuk usia; perubahan status mental ;
takipnea. Syok iskemik dikenali sebagai takikardia
persisten dengan capillary refill lebih dari 2 detik, disertai
16
vasokonstriksi sistemik untuk memelihara tekanan perfusi
dan aliran darah ke organ pusat, antara lain otak dan
ginjal. Jika aliran terus berkurang, akhirnya hipotensi
terjadi dengan berkurangnya aliran darah ke otak dan
perubahan status mental. Pada stadium akhir, syok bisa
dikenali dengan adanya asidosis senjang anion. Dewasa
ini, senjang anion lebih dari 16 mEq/L merupakan tanda
yang mewakili dari deplesi ATP dan gagal energi. Bila
hantaran oksigen tidak adekuat, metabolisme anaerob
terjadi melalui glikolisis. Piruvat diubah menjadi laktat,
dan asam laktat menyebabkan suatu senjang anion.
Syok glikopenik bisa didiagnosis sebagai senjang anion
lebih dari 16 mEq/L dengan adanya hipoglikemia
(substrat tidak cukup), hiperglikemia (resistensi insulin),
atau euglikemia (substrat tidak cukup + resistensi
insulin). Bila pemakaian glukosa tidak adekuat, senjang
anion lebih dari 16 mEq/L disebabkan oleh zat antara
asam organik yang dihasilkan oleh katabolisme protein
dan/atau lemak untuk menyediakan bahan bakar untuk
siklus Krebs.
Transfusi darah akan meningkatkan hemoglobin dan
memulihkan takikardia dan takipnea pada pasien dengan
syok anemik. Pemberian cairan dan dukungan inotropik
meningkatkan curah sekuncup dan memulihkan
takikardia serta mengurangi capillary refill menjadi < 2
detik pada pasien dengan syok iskemik. Pemberian
17
glukosa sebagai dekstrosa 10% pada kecepatan rumatan
dengan penggunaan insulin untuk mengoreksi
hiperglikemia akan menghasilkan euglikemia dan
memulihkan senjang anion pada pasien dengan syok
glikopenik.
Syok, Skor Keparahan penyakit dan Prognosis
Syok merupakan kontributor dari penyebab kematian
pada anak. Kelainan-kelainan dalam parameter fisiologi
yang mencerminkan tanda-tanda klinis syok merupakan
prediktor kuat dari kematian pada dua sistem skoring ,
PRISM (pediatric risk illness severity and mortality score)
dan PELOD (pediatric logistic organ dysfunction score).
Pada PRISM, takikardia (>150 detak per menit untuk
anak, >160 untuk bayi), takipnea (>50 napas per menit
untuk anak, >60 untuk bayi), PaO2/FiO2 <300 mm Hg,
glukosa (<60 atau >250 mg/dL), dan bikarbonat (<16
mEq/L) semuanya memprediksi mortalitas tinggi. Pada
PELOD, hipotensi (systolic blood pressure [SBP] <65 mm
Hg pada neonatus, <75 mm Hg pada bayi, <85 mm Hg
pada anak, <95 mm Hg pada adolesen) dan menurunnya
kesadaran (Glasgow coma scale score, 7-11)
memprediksi mortalitas. Abnormalitas kreatinin serum
(≥140 μmol/L pada usia < 7 hari, ≥55 μmol/L untuk usia 7
hari- 1 tahun; ≥100 μmol/L untuk usia 1 – 12 tahun; ≥140
μmol/L untuk anak di atas 12 tahun) dan waktu
protrombin (<60%) atau international normalized ratio
(INR) (≥1.4) juga memprediksi mortalitas. Syok yang
18
memanjang dan deplesi ATP lebih dari 1 jam
menyebabkan peningkatan kadar kreatinin serum ketika
sel-sel tubulus ginjal kehilangan orientasinya dan lepas
ke tubulus, di mana obstruksi bisa mengakibatkan
disfungsi atau gagal ginjal akut. Syok lama juga
menyebabkan koagulasi intravaskular dengan konsumsi
faktor-faktor pembekuan dan pemanjangan waktu
protrombin.
Curah jantung rendah (<2 L/menit/m2
) juga memprediksi
mortalitas. Ini bisa dinilai di klinis dengan capillary refill
lebih dari 2 detik, suhu jempol kaki dingin, dengan selisih
oksigen arteriovena yang besar (AVDO2), atau dengan
pengukuran langsung curah jantung. Parr dkk1
memeriksa curah jantung CO dengan menggunakan
teknik Fick-dilution indocyanine green dye injection pada
bayi di bawah usia 6 bulan yang membutuhkan
pembedahan jantung. Mereka memperlihatkan bahwa
risiko mortalitas meningkat pada populasi ini bila cardiac
index (CI) kurang dari 2 L/menit/m2
. Dukungan inotropik
yang diikuti dengan penurunan afterload dengan
nitroprusid dan volume loading efektif dalam
memperbaiki CO pada anak-anak ini.2
Capillary refill
kurang dari 2 detik merupakan tanda klinis bahwa CI
lebih dari 2 L/menit/m2
pada populasi ini. Anak dengan
syok septik tampaknya memerlukan CO lebih tinggi
dibandingkan anak dengan syok kardiogenik semata.
19
Pollack dkk3
menunjukkan hasil terbaik diamati pada
pasien-pasien ini bila CI berada di antara 3,3 dan 6
L/menit/m2
pada anak dengan syok septik. Ceneviva dkk
memperlihatkan bahwa anak dengan syok septik bisa
saja memiliki salah satu dari 3 gangguan kardiovaskular4
:
CO tinggi (>5,5 L/menit/m2
) dan tahanan sistemik rendah
(SVR; <800 dyne·sec/cm5), CO rendah (<3,3 L/menit/m2
)
SVR rendah, atau CO rendah dan SVR tinggi (>1200
dyne·sec/cm5
). Mereka mendapatkan bahwa
penggunaan vasopresor; inotrop + vasopresor; atau
inotrop + vasodilator masing-masing memulihkan curah
jantung ke kisaran yang dikehendaki. Serupa dengan
Parr dkk 1
, mereka mendapatkan bahwa pasien dengan
CO rendah memiliki risiko mortalitas tertinggi.
Pemulihan tanda Syok pada waktu yang tepat
memperbaiki prognosis
Tanda-tanda dini dari syok yang dipulihkan pada waktu
yang tepat memperbaiki prognosis pasien. Suatu kajian
pada dewasa oleh Rivers dkk 5
menunjukkan pentingnya
terapi yang tidak hanya memelihara tekanan darah
melainkan juga hantaran oksigen. Para peneliti
mengacak pasien syok dewasa yang datang di IGD untuk
terapi yang ditujukan mencapai tekanan darah normal
dan saturasi oksigen vena cava superior (Superior vena
cava oxygen [SVCO2]) lebih dari 70% (setara dengan
saturasi oksigen vena campur 62%) pada kelompok lain,
20
dengan menggunakan transfusi konsentrat eritrosit untuk
pasien dengan kadar hemoglobin di bawah 10 g/dL
(untuk memulihkan syok anemik) kemudian cairan dan
inotropik (untuk memulihkan syok iskemik) jika saturasi
SVCO2 tetap di bawah 70%. Mitokondria biasanya
menarik oksigen sesuai dengan kebutuhan metabolik.
Hantaran oksigen ke mitokondria bergantung pada
kapasitas angkut oksigen (persen hemoglobin), oksigen
yang tersedia (saturasi oksigen dari hemoglobin plus
oksigen yang larut dalam plasma), serta curah jantung.
Jika persentasi hemoglobin dan saturasi oksigen arteri
normal, hanya CO yang menjadi penentu hantaran
oksigen. Ketika curah jantung (CO) berkurang, dan
kebutuhan metabolik tetap sama, mitokondria menarik
lebih banyak oksigen untuk mempertahankan konsumsi
oksigen dan produksi energi yang sama. Bila ini terjadi,
saturasi oksigen dari darah yang kembali ke jantung
berkurang. Pada anak sehat saturasi SVCO2 adalah 75%.
Rivers dkk5
mengamati bahwa pasien-pasien dalam
kelompok pertama mencapai tekanan darah normal
namun saturasi SVCO2 nya hanya 65%, sedangkan pada
kelompok terapi kedua mempertahankan tekanan darah
dan saturasi SVCO2 lebih dari 70%. Ini dicapai dengan
lebih banyak transfusi darah, resusitasi cairan dan
pemakaian inotropik. Kombinasi terapi yang ditujukan
untuk memperbaiki tekanan darah dan hantaran oksigen
ini menghasilkan penurunan mortalitas sebesar 50%
21
disamping pemulihan kelainan waktu protrombin. Upaya
resusitasi yang ditujukan untuk mempertahankan
tekanan darah dan curah jantung memperbaiki prognosis
serta memulihkan koagulopati.
Bila pasien dengan takikardia, saturasi SVCO2 < 70%,
dan normotensi dinilai menurut kelompok terapi, mereka
yang mendapat terapi dengan sasaran mencapai saturasi
SVCO2 di atas 70% mendapat lebih banyak cairan dan
obat inotropik. Komplikasi gagal organ ganda dan
kematian lebih rendah dibanding kelompok yang saturasi
SVCO2 tidak dipertahankan lebih dari 70%. Penulis
menyebut syok tanpa hipotensi sebagai “cryptic shock.”
Syok iskemik tanpa hipotensi bisa digambarkan menurut
persamaan berikut: CO yang berkurang = MAP normal
atau tinggi − CVP/SVR yang meninggi. Pemulihan syok
iskemik yang normotensi mengurangi gagal organ dan
mortalitas.
Di IGD, pemasangan line sentral untuk pengukuran
saturasi SVCO2 pada anak tidak sesering pada orang
dewasa. Oleh karena itu Han dkkl 6
dan Orr dkk 7
memeriksa EGDT (early goal-directed therapy) untuk
syok septik pada neonatus dan anak serta semua kasus
syok di IGD, dengan memanfaatkan capillary refill yang
memanjang >2 detik sebagai “surrogate marker” dari
penurunan CO sesuai dengan laporan Parr dkk1
22
ketimbang menggunakan penurunan saturasi SVCO2.
Mortalitas dan neuromorbiditas meningkat lurus dengan
a) takikardia sendiri, b) hipotensi dengan capillary refill
normal, c), pemanjangan capillary refill tanpa hipotensi,
d) pemanjangan capillary refill dengan hipotensi.
Pemulihan tanda-tanda klinis ini di IGD dapat
menurunkan mortalitas dan neuromorbiditas sebanyak >
50%. Setiap jam keterlambatan pemulihan dari hipotensi
dan capillary refill menjadi < 2 detik akan disusul oleh
odds ratio kematian 2 kali lipat akibat gagal organ ganda.
Glikopenia adalah defisiensi glukosa dalam jaringan.
Glikopenia penting dipulihkan sebagaimana dicatat oleh
van den Berghe 8
dkk pada unit bedah kritis dewasa.
Para peneliti ini memberikan semua pasien dekstrosa
10% pada laju rumatan untuk memenuhi kebutuhan akan
glukosa. Kemudian pasien diacak untuk kontrol
euglikemia ketat dengan insulin untuk mempertahankan
kadar glukosa antara 80 dan 120 mg/dL atau sesuai
dengan praktek standar. Pada pasien yang mendapat
insulin, rasio glukosa: laju infus glukosa menurun (45 vs
75) dibandingkan pasien yang tidak mendapat insulin dan
mengalami penurunan mortalitas sebesar 50% (3% vs
7%). Semua perbaikan dalam hasil klinis disebabkan
penurunan kematian akibat syok septik dan gagal organ
ganda.
23
Pemberian glukosa mencegah hipoglikemia, dan
pemberian insulin untuk hiperglikemia menjamin
hantaran glukosa ke dalam organ yang transporter
glukosanya bergantung insulin, terutama sistem
kardiovaskular. Dengan menggunakan asidosis senjang
anion sebagai surrogate marker untuk gagal energi, Lin
dkk [9] melaporkan bahwa peninggian rasio glukosa/ laju
infus glukosa merupakan prediktor asidosis senjang
anion pada anak dengan syok. Penggunaan insulin untuk
menurunkan rasio tersebut, bisa mengatasi asidosis
senjang anion pada pasien-pasien ini.
Fisiologi dan Patofisiologi
Respon stres
Respon stres lazim dijumpai ketika sakit. Disebut juga
“fight-or-flight response”, ini didominasi oleh aktivasi
sistem saraf pusat dan simpatis. Sistem saraf pusat
membebaskan hormon adrenokortikotropik, yang
selanjutnya merangsang kelenjar adrenal untuk
melepaskan kortisol. Sistem saraf simpatis melepaskan
epinefrin dan norepinefrin.
Kortisol memfasilitasi kerja kedua katekolamin ini.
Epinefrin dan norepinefrin meningkatkan CO dengan
meningkatkan detak jantung dan curah sekuncup. Kedua
katekolamin ini juga meningkatkan tekanan darah.
Epinefrin meningkatkan detak jantung dan kontraktilitas,
sedangkan norepinefrin meningkatkan kontraktilitas dan
tonus pembuluh darah sistemik. Untuk kebutuhan energi
yang bertambah ini, glukagon juga disekresi. Glukagon
meningkatkan hantaran glukosa ke siklus Krebs melalui
aktivasi glikogenolisis dan glukoneogenesis.
Respon Syok
Respon syok terjadi ketika stres tidak lagi disebabkan
“fight or flight” tetapi disebabkan penurunan akut dari
24
25
hantaran oksigen dan/atau produksi ATP. Perdarahan,
hipovolemia karena diare yang berat dan mendadak atau
disfungsi jantung dan pembuluh darah akibat sepsis,
toksin atau obat-obatan, menyebabkan otak memimpin
respon syok untuk menyelamatkan jiwa. Ini agak mirip
dengan respon stres tetapi bersifat lebih mencolok.
Kadar katekolamin dan kortisol lebih tinggi. Sebagai
controh, kadar kortisol pada stres bisa mencapai 30
μg/dL, tetapi selama syok bisa mencapai 150 sampai 300
μg/dL. Sistem angiotensin/aldosteron dan antidiuretic
hormone(vasopresin) juga diaktifkan untuk menjaga
cairan intravaskular. Katekolamin menginduksi takikardia,
sedangkan angiotensin, aldosteron dan vasopresin
menyebabkan oliguria. Glukagon juga dilepaskan.
Bersama-sama dengan kortisol dan katekolamin,
glukagon menginduksi hiperglikemia melalui
glukoneogenesis, disamping melalui resistensi insulin.
Respon syok ini memungkinkan pasien untuk
kompensasi jangka pendek (short-term survival) , namun
intervensi medis sering dibutuhkan agar pasien selamat.
Pemahaman dan penerapan prinsip fisiologi dibutuhkan
untuk menyelamatkan pasien (long-term survival).
Fisiologi kardiovaskular
Sistem kardiovaskular bisa dipandang sebagai berikut:
CO = MAP − CVP/SVR. Persamaan ini menjelaskan
prinsip patofisiologi penting dari syok. Pertama,
26
persamaan ini memandu kita dalam mengelola tekanan
darah. Tekanan perfusi (= Mean arterial pressure − CVP)
lebih penting dari MAP sendiri. Menurut persamaan ini,
sebagai contoh secara teoritis bisa dikatakan seseorang
memiliki MAP normal tetapi tidak ada aliran maju (misal,
CO), jika CVP setara dengan MAP. Bila kita melakukan
resusitasi cairan untuk memperbaiki tekanan darah,
kenaikan MAP harus lebih besar daripada kenaikan CVP.
Jika kenaikan MAP lebih kecil dari kenaikan CVP,
tekanan perfusi berkurang. Obat-obat kardiovaskular lah
dan bukan tambahan cairan, yang diindikasikan untuk
memperbaiki tekanan darah pada skenario ini.
Persamaan ini juga menuntun kita dalam manajemen
curah jantung (CO) atau aliran darah. Curah jantung bisa
menurun bila MAP − CVP berkurang, tetapi bisa juga
menurun ketika MAP − CVP normal dan ketika tahanan
pembuluh darah meningkat. Tekanan perfusi bisa
dipertahankan, sekalipun pada keadaan CO rendah,
dengan meningkatkan tahanan pembuluh darah (lihat
Gambar 1). Jadi, pasien dengan tekanan darah normal
bisa saja memiliki CO yang tidak adekuat karena tonus
pembuluh darah tinggi. Curah jantung bisa diperbaiki
pada pasien ini dengan penggunaan inotrop, vasodilator
dan volume loading.
Gambar 1. Vasokonstriksi sistemik bisa memelihara MAP dan tekanan
perfusi sekalipun ada hipovolemia dan berkurangnya CO. Oleh karena
itu syok harus dideteksi bila ada takikardia dan capillary refill yang
memanjang, sebelum terjadi hipotensi.
Frank dan Starling terkenal karena mempopulerkan
prinsip-prinsip dasar yang mempengaruhi curah
sekuncup (CO = heart rate [HR] × stroke volume [SV]).
Frank mengamati bahwa serabut otot jantung
berkontraksi lebih kuat bila diregang, sepanjang
regangan serabut tersebut tidak berlebihan
(overstretched). Starling melukiskan prinsip Frank ini
dengan kurva yang mengaitkan hubungan curah
sekuncup (sumbu y) dengan volume akhir-diastolik
ventrikel (lihat Gambar 2). Curah sekuncup bergerak
baik sepanjang kurva saat pengisian akhir diastolik
27
28
meningkat ke titik di mana ventrikel kepenuhan, dan
selanjutnya curah sekuncup turun lagi. Preload yang
tidak adekuat didefinisikan sebagai volume akhir-diastolik
di bawah curah sekuncup maksimum. Gagal jantung
bendungan terjadi bila preload atau volume akhir-
diastolik berada di atas kisaran optimum ini. Disfungsi
jantung digambarkan dengan pergeseran kurva ke arah
bawah dan kanan. Kurva ini bisa digunakan untuk
menunjukkan prinsip-prinsip pemberian cairan, obat
inotropik dan vasodilator. Pasien yang curah
sekuncupnya tidak adekuat sekalipun mendapat volume
cairan cukup berarti memiliki kontraktilitas yang
berkurang. Ini digambarkan dengan kurva sterling yang
mendatar. Terapi inotropik memperbaiki kurva Sterling,
dan menggesernya ke atas dan kiri. Curah sekuncup
menjadi lebih besar untuk setiap volume akhir-diastolik
pada pasien yang diberi terapi inotropik dibanding yang
tidak diterapi. Pasien dengan syok kardiogenik
membutuhkan vasodilator untuk memperbaiki kurva
Sterling, menggesernya ke atas dan kiri. Pemberian
volume loading sering dibutuhkan pada pasien-pasien ini
karena terapi vasodilator sering menurunkan preload.
Mekanisme Frank-Starling. Dengan
meningkatkan alir-balik vena ke
ventrikel kiri akan meningkatkan
tekanan dan volume akhir-diastolik
ventrikel kiri (LVEDP & LVEDV). Ini
menghasilkan penambahan curah
sekuncup (SV). Titik operasional
“normal” adalah LVEDP ~ 8 mmHg
dan SV ~ 70 ml/detak
Perubahan-perubahan dalam
afterload dan inotropi akan
menggeser kurva Frank-Starling ke
atas dan ke bawah
Kurva Starling dan kurva ventricular compliance
memprediksi respon fisiologis terhadap terapi cairan,
inotropik, vasopresor dan vasodilator. Epinefrin 0,05
μg/kg/menit merupakan inotropik garis pertama dalam
jam pertama resusitasi. Epinefrin bisa diberikan melalui
29
30
vena perifer sampai didapat akses vena sentral (jika
melalui vena tepi, harus diberikan dengan infus cairan
lebih cepat untuk sampai ke jantung tepat waktu).
Hubungan antara afterload dan curah sekuncup terbaik
dilihat dengan modifikasi kurva compliance. Saat
afterload atau tekanan diastolik aorta naik, curah
sekuncup berkurang. Jantung yang berfungsi normal bisa
mentoleransi peningkatan tekanan diastolik aorta dengan
cukup baik. Akan tetapi, jantung dengan kontraktilitas
yang berkurang tidak bisa mentoleransi peningkatan
afterload. Ini menjelaskan efek baik dari terapi vasodilator
terhadap kurva Starling. Penurunan afterload dengan
vasodilator menurunkan tekanan diastolik aorta dan
memperbaiki curah sekuncup, khususnya pada jantung
yang kontraktilitasnya kurang baik. Namun, patut
diperhatikan bahwa tekanan diastolik merupakan
determinan penting dari tekanan perfusi arteri koroner.
Dua pertiga dari siklus jantung digunakan dalam diastole.
Takikardia, penurunan tekanan diastolik atau
meningkatnya tegangan dinding dada (wall stress), bisa
mengurangi pengisian koroner. Penggunaan terapi
vasodilator harus ditujukan mengurangi wall stress
(penurunan afterload) tanpa menyebabkan takikardia
atau hipotensi diastolik.
31
Fisiologi Pembekuan
Pada homeostasis, darah berada dalam keadaan tidak
membeku. Namun pada keadaan syok yang memanjang,
terjadi trombosis dan hipofibrinolisis. Ini disebabkan
sebagian oleh stasis, deplesi ATP sel endotel dan
aktivasi sel endotel yang dimediasi oleh peradangan
sistemik. Endotel yang teraktivasi bersifat prokoagulan
dan antifibrinolitik. Ini menyebabkan konsumsi protein
prokoagulan maupun antikoagulan di dalam trombosit
dan trombus fibrin. Inilah mekanisme di mana pasien
meninggal akibat syok biasa mengalami trombosis dan
perdarahan. Waktu protrombin yang memanjang
berbanding lurus dengan waktu mencapai resusitasi dan
tidak langsung dengan jumlah cairan resusitasi yang
diberikan. Pemulihan syok yang cepat dengan resusitasi
cairan, inotropik dan vasodilator memulihkan dan
mencegah koagulasi intravaskular diseminata dan
perdarahan. Pada resusitasi yang tertunda, penggantian
protein antikoagulan, seperti protein C mungkin berguna.
Pada trombosis yang mengancam jiwa atau anggota
gerak, terapi fibrinolitik bisa efektif memulihkan aliran
darah.
32
Goal-Directed Therapy
Sasaran klinis
Resusitasi sampai tercapai sasaran klinis merupakan
prioritas utama. Pasien harus diresusitasi sampai status
mental normal, kualitas nadi normal baik proksimal dan
distal, suhu sentral dan perifer sama, capillary refill < 2
detik, dan jumlah urin > 1 mL/kg/jam. Dua puluh persen
darah menuju otak, dan 20% menuju ginjal. Oleh karena
itu, pemeriksaan klinis terhadap kedua organ ini sangat
berguna. Ke 2 organ ini mengatur aliran darah dengan
autoregulasi dan bergantung pada tekanan perfusi (MAP
− CVP) untuk mempertahankan perfusi. Endotoksemia,
sirosis, aminoglikosida, cisplatin, takrolimus, dan
siklosporin A menginduksi vasokonstriksi glomerulus.
Pada anak, dibutuhkan tekanan perfusi yang lebih tinggi
untuk menembus ginjal dan memelihara jumlah urin.
Kualitas nadi distal, suhu dan pengisian ulang kapiler
mencerminkan tonus pembuluh darah sistemik dan curah
jantung. Capillary refill dan suhu ibu jari kaki yang normal
menjamin cardiac index (CI) lebih dari 2 L/menit/m2
.
Resusitasi cairan harus dipantau dengan menggunakan
temuan klinis seperti terabanya pinggir hati, ronkhi,
takipnea atau batuk produktif, sebagai indikasi untuk
menghentikan resusitasi cairan dan memulai terapi
inotropik.
33
Sasaran Hemodinamik dan Penggunaan Oksigen
Detak jantung normal menurut usia dan tekanan perfusi
normal menurut usia adalah sasaran hemodinamik awal
sebelum memasang akses vena sentral. Resusitasi
cairan bisa dipantau dengan mengamati detak jantung
dan selisih MAP − CVP. Detak jantung akan berkurang,
dan MAP − CVP akan bertambah bila resusitasi cairan
efektif. Detak jantung akan meningkat dan MAP − CVP
akan berkurang, jika terlalu banyak cairan. Indeks syok
(HR/SBP) bisa digunakan untuk menilai keberhasilan
terapi cairan maupun inotropik. Karena curah sekuncup
meningkat dengan terapi, detak jantung akan berkurang
dan tekanan darah sistolik (SBP) akan naik. Indeks syok
akan berkurang. Jika curah sekuncup tidak membaik
dengan resusitasi, detak jantung tidak akan berkurang,
SBP tidak akan meningkat, dan indeks syok tidak
membaik.
Pada pasien yang dipasang kateter vena sentral (vena
cava superior), saturasi oksigen > 70% harus digunakan
sebagai sasaran. Jika kurang dari 70% dan anemis, anak
harus ditransfusi untuk mencapai kadar hemoglobin di
atas 10 g/dL. Jika saturasi oksigen vena sentral kurang
dari 70% tanpa anemia, bisa digunakan inotrop dan
vasodilator untuk memperbaiki CO sampai saturasi vena
sentral di atas 70%. AVDO2 juga bisa dikalkulasi dengan
34
sasaran hemodinamik 3% sampai 5%. Jika lebih lebar
dari 5%, CO harus ditingkatkan dengan terapi sampai
AVDO2 kembali ke kisaran normal. AVDO2 paling akurat
bila kateter vena sentral terletak di arteri pulmonalis.
Curah jantung bisa diukur dengan menggunakan PiCCO
(Philips Medical Systems, Bothell, Wash), thermodilusi
arteri femoralis, kateter arteri pulmonalis, atau
ekokardiografi Doppler. Sasarannya adalah cardiac
index (CI) lebih dari 2 L/menit/m2
pada syok kardiogenik
dan antara 3,3 dan 6 L/menit/m2
pada syok septik.
Sasaran Biokimia
Banyak yang menggunakan laktat sebagai ukuran
metabolisme anerob; namun laktat bisa meninggi karena
berbagai kondisi sekalipun tanpa adanya syok. Ini
meliputi, kelainan metabolisme, penyakit limfoproliferatif,
gagal hati, dan sepsis. Laktat paling berguna pada
evaluasi syok kardiogenik pra dan pasca bedah
(walaupun kadarnya bisa meningkat sekalipun tidak ada
penurunan aliran). Untuk pasien-pasien ini risiko
kematian meningkat saat kadar laktat serum naik di atas
2,0 mmol/L. Bila digunakan sebagai sasaran
hemodinamik, targetnya adalah kadar < 2.0 mmol/L. Ada
juga yang menggunakan asidosis senjang anion (anion
gap acidosis) sebagai sasaran biokimia. Asidosis senjang
anion bisa disebabkan oleh metabolisme anaerob pada
keadaan aliran rendah dan adanya asam organik pada
35
keadaan glikopenia. Sasaran senjang anion (anion gap)
adalah kurang dari 16 mmol/L. [Catatan: yang dimaksud
senjang anion atau anion gap di sini adalah (Na+
+ K+
) -
(Cl-
+ HCO3
-
) dan perlu dikoreksi dengan kadar albumin
(g/L), yakni Corrected AG = AG + [0.25 x (44 - albumin)]
Jika pasien telah mendapat bikarbonat, akan
menyelubungi asidosis, tetapi tidak akan menyelubungi
senjang anion. Asidosis Non–anion gap yang disebabkan
kelebihan ion klorida, banyak dijumpai pada pasien yang
diresusitasi dengan NaCl 0.9%. Asidosis menetap
walaupun senjang anion telah normal, karena asidosis di
sini disebabkan pemberian anion kuat (Cl-
) dan bukan
karena gagal energi. Kadar Troponin I bisa digunakan
sebagai marker terapi untuk cidera atau disfungsi jantung.
Kadar Troponin I meningkat pada cidera miokard dan
menjadi normal dengan memulihnya jejas. Bersihan
kreatinin bisa digunakan sebagai marker terapi untuk
disfungsi ginjal. Bersihan kreatinin akan membaik saat
hemodinamik ginjal membaik.
Tatalaksana Syok
Cairan
Terapi cairan terbanyak digunakan pada resusitasi syok
pada bayi dan anak. Digunakan untuk memulihkan status
hipovolemia dan mengoptimalkan kurva Starling untuk
36
menghasilkan aliran dan CO optimal untuk berbagai
derajat kontraktilitas. Kira-kira 8% dari volume darah total
dikandung dalam sisi arteri, 70% dalam sisi vena, dan
12% di jaringan kapiler. Volume darah total pada
neonatus 85 mL/kg dan 65 mL/kg pada bayi. Resusitasi
cepat bisa memulihkan volume sirkulasi. Karena
kemampuan vasokonstriksi yang bermakna, hipotensi
tidak muncul sebelum 50% dari volume darah hilang.
Oleh karena itu, bolus cepat 30 sampai 40 mL/kg
dibutuhkan untuk memulihkan volume intravaskular. Jika
ada kebocoran kapiler dan digunakan kristaloid untuk
resusitasi, dibutuhkan volume yang sangat besar dalam
jam pertama (bisa sampai 200 mL/kg pada syok septik).
Kristaloid dan koloid dua-duanya bisa digunakan untuk
ekspansi volume. Dibutuhkan lebih sedikit koloid
dibanding kristaloid karena koloid lebih lambat
mengalami redistribusi ke ekstravaskular. Dalam uji acak
terkontrol dan berskala besar, albumin terlihat lebih
efektif pada pasien dewasa dengan sepsis/syok septik
dibandingkan kristaloid 10
. Pada uji acak dan terkontrol
pada anak dengan DSS (dengue shock syndrome),
kinerja kristaloid dan koloid sama baik11
. Sebagian
peneliti menggunakan kristaloid sebagai cairan garis
pertama dan disusul dengan koloid jika dibutuhkan 12
.
37
Bolus cairan cepat tidak hanya memulihkan volume
intravaskular, melainkan juga menekan ekspresi gen
peradangan dan koagulasi. Ekspansi volume yang cepat
dan agresif pada jam pertama memperbaiki survival pada
model syok hewan maupun manusia. Namun, pemberian
cairan pada neonatus dan anak-anak harus hati-hati,
karena berpotensi memperburuk gagal jantung akibat
kardiomiopati atau penyakit jantung kongenital. Anak-
anak bisa “didorong” keluar kurva Starling jika dikelola
terlalu agresif. Volume 10 mL/kg direkomendasikan
dengan pemantauan CVP/tekanan atrium kiri/ tekanan
oklusi arteri pulmonalis pada pasien-pasien ini.
Darah
Pada pasien dengan syok anemik dibutuhkan darah.
Mitokondria tidak bisa menarik 20% terakhir dari oksigen
yang berikatan dengan hemoglobin. Pada kondisi normal,
mitokondria menarik 25% oksigen yang berikatan dengan
hemoglobin. Di klinis ini terlihat dengan saturasi oksigen
vena campur 75% pada orang sehat dengan saturasi
oksigen darah arteri 100%. Pada anak dengan
hemoglobin 10 g/dL, hanya 8 g/dL tersedia untuk
ekstraksi (20% tidak bisa ditarik), dan 2,5 g/dL digunakan
untuk ekstraksi oksigen, sehingga tinggal kelebihan 5,5
g/dL hemoglobin. Pada keadaan hemolisis, syok
hemolitik bisa terjadi bila surplus ini hilang atau kadar
hemoglobin turun di bawah 5 g/dL. Angka kematian
38
meningkat bila kadar Hb turun di bawah 6 g/dL. Ini juga
berlaku untuk syok hemoragik. Transfusi darah
menyelamatkan jiwa dalam hal ini. Whole blood tersedia
di banyak tempat dan begitupula konsentrat eritrosit
(packed red blood cells). Konsentrasi lazim dari
hemoglobin pada konsentrat eritrosit adalah 20 g/dL.
Karena volume darah anak berkisar antara 85 mL/kg
pada neonarus sampai 65 mL/kg pada anak, 10 mL/kg
konsentrat eritrosit akan menaikkan kadar hemoglobin
sekitar 2 g/dL.
Obat Inotropik
Obat inotropik digunakan untuk meningkatkan
kontraktilitas dan CO. Dobutamin adalah agonis β1-
adrenergik dengan aksi kronotropik dan inotropik.
Dobutamin dianggap sebagai agonis parsial. Pada
dewasa dobutamin efektif; tetapi, ada ketidakpekaan obat
ini pada anak yang bersifat spesifik-usia. Perkin dkk13
memperlihatkan bahwa anak di bawah usia 2 tahun
kurang responsif terhadap dobutamin. Pada dosis lebih
dari 10 μg/kg/menit, dobutamine bisa mengurangi
afterload secara bermakna, dan kadang-kadang
hipotensi. Ini diduga terjadi karena dobutamin pada dosis
ini memiliki efek reseptor α2 yang menghambat
pelepasan norepinefrin dari terminal presinaptik. Pada
gilirannya ini menurunkan tonus pembuluh darah.
Epinefrin merupakan inotrop pilihan pasien yang gagal
dengan terapi dobutamin (lihat Gambar 3). Dewasa dan
anak yang resisten terhadap terapi dobutamin umumnya
merespon epinefrin 14
. Epinefrin adalah neurohormon
alamiah, yang dihasilkan untuk meningkatkan
kontraktilitas selama stres dan syok. Epinefrin
merupakan agonis β1-, β2-, α1-, dan α2-adrenergik.
Pada dosis lebih rendah (0,05 μg/kg/menit) efek β-
adrenergik meniadakan efek α1-adrenergik, sehingga
menghasilkan kualitas inotropik yang hampir murni. Efek
α1-adrenergik menjadi lebih menonjol saat dosis
epinefrin mencapai dan melebihi 0,3 μg/kg/menit. Pasien
gagal jantung dengan peningkatan tahanan tepi (SVR)
mungkin dirugikan dengan dosis epinefrin yang lebih
tinggi, kecuali jika diberikan berbarengan dengan
vasodilator atau inodilator.
39
40
Gambar 3. Inotrop seperti epinefrin merangsang reseptor β-
adrenergik, yang meningkatkan kalsium intrasel selama sistole dan
mengurangi kalsium intrasel selama diastole. Ini diselesaikan melalui
sistem pembawa pesan kedua, cAMP. Penghambat fosfodiesterase
tipe III bisa memprotensiasi efek-efek ini dengan mencegah
pemecahan cAMP.
Vasodilator
Vasodilator digunakan untuk menurunkan tahanan tepi
pulmoner dan sistemik serta memperbaiki CO (lihat
Gambar 4). Vasodilator golongan nitrat bergantung pada
pelepasan nitrosothiol, yaitu donor nitric oxide, untuk
mengaktifkan soluble guanylate cyclase dan melepas
cGMP (cyclic guanosine monophosphate). Nitroprusid
merupakan vasodilator sistemik dan pulmoner. Dosis
awal adalah 1 μg/kg/menit. Nitrogliserin memiliki efek
yang agak selektif dan bergantung dosis. Nitrogliserin
merupakan vasodilator koroner pada dosis di bawah 1
μg/kg/menit, vasodilator pulmoner pada dosis 1
μg/kg/menit, dan vasodilator sistemik pada 3 μg/kg/menit.
Nitric oxide inhalasi merupakan vasodilator pulmoner
selektif, yang bisa dimulai 5 ppm. Prostaglandin
merupakan vasodilator yang meningkatkan kadar cyclic
adenosine monophosphate (cAMP). Prostasiklin bisa
dimulai 3 ng/kg/menit. Prostaglandin E1 bisa dimulai
pada 0,1 μg/kg/menit dan efektif mempertahankan
duktus arteriosus yang terbuka pada neonatus dengan
penyakit jantung bawaan yang bergantung duktus .
Gambar 4. Vasokonstriktor dan vasodilator merangsang sistem-sistem
pembawa pesan kedua yang berlawanan. Agonis α-adrenergik,
angiotensin, dan vasopresin merangsang reseptor-reseptor yang
berbeda, yang merangsang produksi inositol 1,4,4-triphosphate (IP3)
dan diasilgliserol (DAG), sehingga menyebabkan peningkatan kadar
ionized calcium (Ca
++
)dan kontraksi. Agonis β2-adrenergik dan
vasodilator prostanoid merangsang produksi cAMP dan
nitrovasodilator dan inhaled nitric oxide (iNO) merangsang produksi
cGMP(guanosine monophosphate). Pembawa pesan ini menurunkan
Ca
++
dan menginduksi vasodilatasi. Inhibitor Fosfodiesterase Tipe III
dan V bisa mempotensiasi efek vasodilator. PKC = protein kinase C.
Inodilator
41
Inhibitor fosfodiesterase (PDEI) merupakan kelompok
obat penting, yang memediasi inotropi dan vasodilatasi
dengan mencegah hidrolisis cAMP (PDEI tipe III, milrinon,
amrinon, enoximon, atau pentoksifilin). Pada monoterapi,
42
peningkatan cAMP ini memperbaiki kontraktilitas dan
relaksasi diastolik dan juga menyebabkan vasodilatasi
arteri pulmoner dan sistemik. Interaksi PDEI dengan obat
inotropik, vasodilator dan bahkan vasopresor bisa
digunakan pada pasien syok (lihat Gambar 3). Sebagai
contoh, epinefrin bisa tetap sebagai inotrop poten dan
relatif murni pada dosis lebih tinggi. Untuk setiap dosis
epinefrin, PDEI tipe III mencegah pemecahan cAMP
yang dihasilkan oleh stimulasi β1- dan β2-adrenergik.
Peningkatan cAMP intrasel ini menghambat efek-efek
stimulasi α1-adrenergik. Jadi, vasokonstriksi tidak mudah
terjadi pada dosis epinefrin yang lebih tinggi. Norepinefrin
juga bisa menjadi inotrop yang lebih efektif sementara
mempertahankan efek vasopresornya bila diberikan
bersama dengan PDEI tipe III. Produksi cAMP di reseptor
β1 tidak dihidrolisis. Peningkatan cAMP di otot jantung
memperbaiki kontraktilitas dan relaksasi. Efek-efek α1-
dan α2-adrenergik tetap sama karena tanpa stimulasi
β2 , milrinon memiliki efek minimal terhadap vasodilatasi
dibandingkan dengan vasokonstriksi α-adrenergik yang
dimediasi norepinefrfin.
Masalah utama dengan obat fosfodiesterase yang
digunakan dewasa ini adalah waktu paruhnya relatif
panjang dibandingkan dengan katekolamin dan
nitrovasodilator. Katekolamin dan nitrovasodilator
dieliminasi dalam beberapa menit, sedangkan PDEI tidak
43
dieliminasi setelah berjam-jam. Waktu-paruh eliminasi ini
lebih penting bila ada gagal organ. Contohnya, eliminasi
milrinon lebih dominan melalui ginjal dan amrinon melalui
hati. Bila toksisitas seperti hipotensi atau takiaritmia
terlihat, obat-obat ini harus dihentikan. Yang menarik,
norepinefrin telah dilaporkan efektif sebagai antidotum
dari toksisitas ini. Seperti telah disebutkan, norepinefrin
merupakan agonis α1-adrenergik tetapi dengan aktivitas
agonis β1 dan bukan β2. Norpinefrin meningkatkan
tekanan darah (efek α1-adrenergik) dan CO (efek β1-
adrenergik) namun tidak menyebabkan eksaserbasi efek
vasodilatasi PDEI (tidak ada efek β2-adrenergik).
Isoproterenol merupakan inodilator penting dengan
aktivitas β1- dan β2-adrenergik. Obat ini penting dalam
tatalaksana blok jantung, status asmatikus refrakter, dan
krisis hipertensi pulmoner dengan gagal ventrikel kanan.
Levosimendan mewakili kelompok inodilator baru yang
mensensitisasi pengikatan kalsium pada kompleks aktin-
tropomiosin. Efek lainnya adalah memperbaiki
kontraktilitas dan juga hiperpolarisasi saluran kalium,
sehingga menyebabkan vasodilatasi.
Vasopresor
Fenilefrin adalah agonis murni reseptor α-adrenergik.
Peran utamanya pada anak adalah untuk memulihkan
sianosis (spell) pada tetralogi Fallot. Bayi dan anak
44
dengan tetralogi Fallot mengalami penebalan
infundibulum yang cenderung spasme dan menyebabkan
aliran darah kanan-ke-kiri melalui defek septum ventrikel.
Spasme bisa hebat sehingga mencegah aliran darah
melalui paru. Terapi meliputi oksigen dan morfin untuk
merelaksasi infundibulum dan posisi knee-to-chest untuk
meningkatkan afterload dan membantu menghasilkan
aliran kiri-ke-kanan melalui defek septum ventrikel. Bila
perasat-perasat ini gagal, obat pilihannya adalah
fenilefrin. Peningkatan vasokonstriksi arteri sistemik
mengakibatkan pintasan kiri-ke-kanan dan perfusi paru.
Karena fenilefrin tidak memiliki efek β-adrenergik, obat ini
tidak meningkatkan detak jantung. Jadi pengisian jantung
lebih baik. Juga penyempitan infundibulum tidak
diperburuk oleh kontraktilitas yang meningkat.
Baru-baru ini telah muncul kembali minat untuk
memanfaatkan 2 vasopresor kuno: angiotensin dan
vasopresin (lihat Gambar 4). Angiotensin berinteraksi
dengan reseptor angiotensin dan memediasi
vasokonstriksi melalui sistem pembawa pesan kedua
fosfolipase C. Waktu-paruhnya relatif panjang
dibandingkan katekolamin . Angiotensin juga memediasi
tekanan darah melalui peningkatan sekresi aldosteron.
Patut diperiksa apakah pemakaian angiotensin
menurunkan CO pada anak dengan hipotensi karena
angiotensin tidak memiliki efek inotropik. Vasopresin juga
45
telah “ditemukan” kembali. Berbeda dengan angiotensin,
vasopresin diberikan hanya dalam dosis fisiologis dan
diduga memperbaiki tekanan darah. Mekanismenya
bukan saja melalui interaksi dengan reseptor angiotensin
sistem fosfolipase C, melainkan juga dengan
meningkatkan pelepasan hormon adrenokortikotropik dan
selanjutnya pelepasan kortisol. Vasopresor ini juga harus
digunakan dengan hati-hati karena bisa menurunkan CO
pada anak dengan fungsi jantung yang kurang baik.
Inovasopresor
Dopamin adalah inotropik/vasopresor yang paling banyak
digunakan. Efeknya bergantung dosis. Pada kisaran
dosis 3 sampai 10 μg/kg/menit, reseptor β1-adrenergik
dirangsang. Pada dosis lebih dari 10 μg/kg/menit, efek
terhadap reseptor α1-adrenergik menjadi lebih mencolok.
Seperti halnya dobutamin, ada ketidakpekaan terhadap
obat yang dipengaruhi usia. Dopamin memediasi
kebanyakan efek-efek β1- dan α1-adrenergik nya melalui
pelepasan norepinefrin dari vesikel simpatis Hewan
muda dan bayi di bawah usia 6 bulan tidak memiliki
jumlah vesikel simpatis lengkap. Ini dikemukakan
sebagai penyebab dari berkurangnya efektivitas dopamin
pada kelompok usia ini. Anak yang lebih besar dan
dewasa ada juga yang tidak peka terhadap dopamin,
khususnya mereka yang kehabisan cadangan
katekolamin endogen.
46
Norepinefrin efektif untuk syok yang resisten dengan
dopamin. Efeknya dimediasi melalui reseptor β1-, α1-,
dan α2-adrenergik. Norepinefrin selalu bersifat inotropik,
tetapi kualitas vasopresornya lebih mencolok bahkan
pada dosis rendah 0,01 μg/kg/menit. Dopamin dan
norepinefrin memiliki peran terbesar dalam memelihara
perfusi yang adekuat pada anak dengan syok. Fungsi
ginjal bisa membaik dengan menggunakan
inovasopresor ini sampai ke titik di mana tekanan perfusi
ginjal adekuat.
Hidrokortison
Hidrokortison juga “ditemukan kembali”. Insufisiensi
adrenal di tingkat pusat dan perifer semakin banyak
dijumpai di ICU anak. Banyak anak yang mendapat terapi
untuk penyakit kronis dengan steroid mengalami supresi
aksis hipofisis-adrenal. Banyak anak memiliki anomali
sistem saraf pusat dan penyakit dapatan. Ada anak yang
mengidap purpura fulminans dan sindrom Waterhouse-
Friderichsen. Lainnya memiliki penurunan dalam
aktivitas sitokrom P450, produksi kortisol dan aldosteron.
Yang menarik, insufisiensi adrenal bisa tampil dengan
CO rendah dan SVR tinggi, atau dengan CO tinggi dan
SVR rendah. Diagnosis harus dipikirkan pada setiap
anak dengan syok yang resisten terhadap epinefrin atau
norepindefrin. Dosis hidrokortison yang dianjurkan di
kepustakaan adalah 50 mg/kg hidrokortison suksinat,
47
disusul oleh dosis sama selama 24 jam16
. Dosis yang
dianjurkan untuk stres adalah 2 mg/kg disusul oleh dosis
sama yang diberikan dalam 24 jam. Insufisiensi adrenal
sentral dan perifer mungkin didiagnosis pada bayi atau
anak yang membutuhkan epinefrin atau norepinefrin
untuk syok dan memiliki kadar kortisol kurang dari 18
mg/dL 15
.
Sebelum memberikan hidrokortison untuk pasien syok,
penting dipahami 2 konsep. Pertama, dosis hidrokortison
terlihat lebih tinggi karena ada potensi glukokortikoid
relatif. Hidrokortison harus dikalikan 6 untuk memiliki
glukokortikoid setara dengan metilprednisolon, dan
dikalikan 30 untuk memiliki glukokortikoid setara dosis
deksametason; kendati demikian, hidrokortison memiliki
efek glukokortikoid dan mineralokortikoid. Oleh karena
alasan inilah digunakan hidrokortison, bukan
metilprednisolon ataupun deksametason. Kedua, kadar
kortisol berbeda selama stres dan syok, sehingga upaya
untuk mengatasi pasien dengan insufisiensi adrenal
harus ditujukan untuk mencapai kadar-kadar ini. Selama
stres pembedahan, kadar kortisol bisa mencapai kisaran
30 μg/dL. Namun, selama syok akut, kadar kortisol bisa
mencapai 150 sampai 300 μg/dL. Pemberian infus
hidrokortison 2 mg/kg/hari (50 mg/m2
/hari) menghasilkan
kadar kortisol 20 sampai 30 μg/dL. Infus hidrokortison
48
pada dosis 50 mg/kg/hari menghasilkan kadar kortisol
150 μg/dL.
Glukosa dan Insulin
Glukosa dan insulin sama-sama berfungsi sebagai
inotropik, meningkatkan produksi cAMP serta ATP di
jantung. Jumlah glukosa yang dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan hantaran glukosa adalah dekstrosa
10% dengan kecepatan rumatan. Jumlah insulin yang
dibutuhkan bisa bervariasi dari 0 sampai lebih dari 1
U/kg/jam, dengan konsentrasi insulin lebih tinggi
dibutuhkan pada resistensi inulin yang lebih besar. Laju
infus insulin yang tinggi bisa diikuti oleh gangguan
elektrolit. Pemantauan fosfor, kalsium,magnesium, dan
kalium dianjurkan bila menggunakan terapi ini. 16
.
Atropin dan Ketamin
Sedasi untuk prosedur IV invasif atau intubasi mungkin
dibutuhkan oleh pasien syok. Ketamin bukan saja obat
pilihan untuk indikasi ini, namun juga bersifat
inovasopresor yang memadamkan produksi interleukin-6.
Ketamin menginduksi pelepasan norepinefrin endogen.
Pada kajian eksperimental, ketamin meningkatkan
survival dari syok septik karena bersifat antagonis
terhadap reseptor asam N-metil-d-aspartat. Ini menekan
radang sistemik dan memulihkan supresi miokard. Pada
49
pasien dewasa yang menjalani bedah pintas
kardiopulmoner, infus ketamin dengan laju 0,25
mg/kg/jam mengurangi peradangan sistemik dan
memperbaiki fungsi jantung 17
. Ketamin memungkinkan
pembiusan yang aman pada syok septik dewasa. Atropin
harus diberikan bersama ketamin untuk mengurangi
sekresi bronkus (bronchorrhea). Penambahan
benzodiazepin bisa diperlukan atau tidak untuk menjaga
pasien tidak terbangun selama pemberian sedasi.
Hipothermia
Hipothermia telah lama digunakan pada bedah jantung
anak dan neonatus. Rasionale nya adalah penurunan
suhu menghemat kebutuhan energi. Kadar ATP yang
lebih sedikit dibutuhkan untuk menyediakan tingkat suhu
yang lebih rendah untuk fungsi sel vital. Dengan setiap
kenaikan satu derajat celsius di atas 37°C, metabolisme
energi bertambah sebesar kira-kira 10%. Dengan setiap
penurunan suhu, hubungannya berbeda. Pada 35°C
sampai 36°C, kebutuhan energi sebenarnya meningkat
karena terjadi menggigil. Suhu ini dipenuhi dengan
respon kardiovaskular, yang meliputi vasokonstriksi dan
peningkatan tekanan darah. Pada 34°C, kebutuhan
energi menjadi normal, tetapi aliran darah meningkat di
dalam otak. Di bawah 33°C, kebutuhan energi berkurang;
tetapi, di bawah 30°C, aritmia ventrikel dan asistole
menjadi faktor risiko. Selama pintas kardiopulmoner,
50
hipothermia dalam, di bawah 18°C, diperlukan untuk
mengurangi kebutuhan ATP sampai ke tingkat yang
memungkinkan pembedahan. Kadar hemoglobin dan
saturasi oksigen yang adekuat dibutuhkan untuk
memelihara kadar oksigen lebih tinggi. Di samping itu, pH
normal yang dikoreksi suhu dibutuhkan untuk aliran
darah otak yang optimal. Glukosa juga harus dihantarkan
untuk memenuhi kebutuhan produksi ATP.
Pada sebagian pasien dengan syok refrakter,
hipothermia ringan/moderat mungkin berguna sebagai
jembatan untuk dukungan mekanis ekstrakardiak. Jika
pasien berada dalam syok refrakter, dan setiap
keputusan dibuat untuk melakukan dukungan
ekstrakardiak, sebaiknya menghangatkan badan pasien
di atas 34°C sebelum memulai. Segera setelah pasien
berada pada dukungan mekanis ekstrakardiak, pasien
boleh dihangatkan dengan pemahaman bahwa
vasodilatasi akan membutuhkan pengisian volume
kepada pasien.
Kesimpulan
Syok pada anak harus dikenali sejak mereka datang di
ruang gawat darurat. Deteksi dini dan tatalaksana
seksama dari syok bisa memperbaiki prognosis pada
pasien ini. Sasaran resusitasi meliputi pemulihan dari
51
capillary refill yang memanjang (yakni capillary refill <2
detik) dan hipotensi (tekanan darah normal sesuai usia)
dan perbaikan indeks syok (yaitu, rasio HR/SBP normal
sesuai usia). Antisipasi dalam bentuk pelatihan staf harus
meliputi kemampuan deteksi dini, intervensi efektif dan
mengurangi morbiditas serta mortalitas.
Manajemen dini dari dukungan hemodinamik pada syok.
Table 1.
1 Kenali syok saat triase
a. Hanya Hipotensi dengan nadi kuat pada syok hangat
b. Hanya perfusi perifer yang berkurang (nadi perifer lebih
lemah dari nadi sentral dan capillary refill > 2 detik)
pada syok dingin kompensata
c. Kombinasi hipotensi dengan perfusi perifer yang
berkurang pada syok dingin dekompensata
2 Segera pindahkan pasien ke ruang syok/trauma dan kumpulkan
tim resusitasi
3 Pasang oksigen dan infus jaga, gunakan 90 detik untuk coba
cari vena
4 Jika belum berhasil setelah 2 kali usaha, pikirkan akses
intraosea
5 Palpasi untuk hepatomegali; auskultasi untuk deteksi ronkhi
6 a. Jika tidak ada hepatomegali dan ronkhi, bolus 20 ml/kg
ringer laktat/NS atau albumin 5% sampai 60 ml/kg
dalam 15 menit sampai perfusi membaik atau hati
turun atau terdengar ronkhi. Berikan 20 ml/kg pRBC
jika syok hemoragik tidak responsif[18]
b. Jika hepatomegali, awas ada syok kardiogenik, dan
berikan hanya 10 ml/kg bolus kristaloid isotonik.
52
Berikan PGE1 untuk menjaga duktus arteriosus tetap
terbuka pada semua neonatus.
7 Jika capillary refill > 2 detik dan/atau hipotensi menetap
selama resusitasi cairan, mulai berikan epinefrin IO/perifer
0,05 μg/kg/menit
8 Jika ada risiko insufisiensi adrenal (misal paparan steroid
sebelumnya, Waterhouse Friderichsen atau anomali
hipofisis) berikan hidrokortison sebagai bolus (50 ml/kg)
dan kemudian drip titrasi antara 2 dan 50 mg/kg/hari
9 Jika syok berlanjut, gunakan atropin (0,2 mg/kg) plus
ketamin (2 mg/kg) untuk sedasi pemasangan vena sentral.
Jika butuh ventilasi mekanis, gunakan atropin plus ketamin
plus penyekat neuromuskular untuk induksi intubasi
10 Arahkan sasaran terapi:
a. capillary refill < 3 detik (misal < 2 detik)
b. Tekanan darah normal sesuai usia
c. Indeks syok membaik.
Keterangan: pRBC, packed red blood cells; PGE1, prostaglandin E1; IO,
intraosseous.
Referensi
1. G.V. Parr, E.H. Blackstone and J.W. Kirklin, Cardiac
performance and mortality early after intracardiac
surgery in infants and young children, Circulation 51
(1975), pp. 867–874. View Record in Scopus | Cited
By in Scopus (30)
53
54
2. A. Appelbaum, E.H. Blackstone and N.T. Kouchoukos
et al., Afterload reduction cardiac output in infants after
intracardiac surgery, Am J Cardiology 39 (1977), pp.
445–451. Abstract | PDF (733 K) | View Record in
Scopus | Cited By in Scopus (8)
3. M.M. Pollack, A.I. Fields and U.E. Ruttimann,
Distributions of cardiopulmonary variables in pediatric
survivors and nonsurvivors of septic shock, Crit Care
Med 13 (1985), pp. 454–459. View Record in Scopus |
Cited By in Scopus (30)
4. G. Ceneviva, J.A. Paschall and F. Maffei et al.,
Hemodynamic support in fluid refractory pediatric
septic shock, Pediatrics 102 (1998), p. e19. Full Text
via CrossRef | View Record in Scopus | Cited By in
Scopus (87)
5. E. Rivers, B. Nguyen and Havstad et al., Early goal
directed therapy in the treatment of severe sepsis and
septic shock, N Engl J Med 346 (2001), pp. 1368–1377.
Full Text via CrossRef | View Record in Scopus | Cited
By in Scopus (2018)
6. Y.Y. Han, J.A. Carcillo and M.A. Dragotta et al., Early
reversal of pediatric-neonatal septic shock by
community physicians is associated with improved
outcome, Pediatrics 112 (2003), pp. 793–799. Full Text
via CrossRef | View Record in Scopus | Cited By in
Scopus (86)
7. R.A. Orr, B. Kuch and J. Carcillo et al., Shock is under-
reported in children transported for respiratory distress:
a multi-center study, Crit Care Med 31 (2003), p. A18.
55
8. G. van den Berghe, P. Wouters and F. Weekers et al.,
Intensive insulin therapy in the critically ill patients, N
Engl J Med 345 (2001), pp. 1359–1367. Full Text via
CrossRef | View Record in Scopus | Cited By in
Scopus (3290)
9. J.C. Lin, B. Karapinar and D.N. Finegold et al.,
Increased glucose/glucose infusion rate ratio predicts
anion gap acidosis in pediatric shock, Crit Care Med 32
(2004), p. A5.
10. S. Finfer, R. Bellomo and SAFE Study Investigators, A
comparison of albumin and saline for fluid resuscitation
in the intensive care unit, N Engl J Med 350 (2004), pp.
2247–2256. View Record in Scopus | Cited By in
Scopus (463)
11. N.T. Ngo, X.T. Cao and R. Kneen et al., Acute
management of dengue shock syndrome: a
randomized double-blind comparison of 4 intravenous
fluid regimens in the first hour, Clin Infect Dis 32 (2001),
pp. 204–212.
12. J.A. Carcillo, A.I. Davis and A. Zaritsky, Role of early
fluid resuscitation in pediatric septic shock, JAMA 255
(1991), pp. 1242–1245. View Record in Scopus | Cited
By in Scopus (102)
13. R.M. Perkin, D.L. Levin and R. Webb et al.,
Dobutamine: a hemodynamic evaluation in children
with shock, J Pediatr 100 (1982), pp. 977–983. View
Record in Scopus | Cited By in Scopus (16)
14. P.E. Bollaert, P. Bauer and G. Audibert et al., Effects of
epinephrine on hemodynamics and oxygen metabolism
in dopamine-resistant septic shock, Chest 98 (1990),
56
pp. 949–953. Full Text via CrossRef | View Record in
Scopus | Cited By in Scopus (63)
15. J.A. Carcillo and A.I. Fields, American College of
Critical Care Medicine Task Force Committee
Members. Clinical practice parameters for
hemodynamic support of pediatric and neonatal
patients in septic shock, Crit Care Med 30 (2002), pp.
1365–1378. Full Text via CrossRef | View Record in
Scopus | Cited By in Scopus (208)
16. M. Bettendorf, K.G. Schmitt and J. Grulich Henn et al.,
Tri-iodothyronine treatment in children after cardiac
surgery a double blind, randomized placebo controlled
study, Lancet 356 (2000), pp. 529–534. Article | PDF
(100 K) | View Record in Scopus | Cited By in Scopus
(85)
17. L. Roytblat, D. Talmor and M. Rachinsky et al.,
Ketamine attenuates the interleukin 6 response after
cardiopulmonary bypass, Anesth Analg 87 (1998), pp.
266–271. Full Text via CrossRef | View Record in
Scopus | Cited By in Scopus (55)
18. N.J. Thomas and J.A. Carcillo, Hypovolemic shock in
the pediatric patient, New Horizons 6 (1998), pp. 120–
129. View Record in Scopus | Cited By in Scopus (11)
57
BAGIAN IV
Resusitasi Volume: Kontroversi
Kristaloid vs Koloid
Pemilihan koloid vs kristaloid untuk resusitasi volume
telah lama menjadi bahan perdebatan di kalangan
praktisi rawat kritis, disebabkan kedua bentuk terapi
memiliki data-data pendukung. Pada tahun 1998, British
Medical Journal mempublikasi suatu meta-analisis
pemakaian albumin pada pasien-pasien sakit kritis; 30 uji
klinik acak dg kontrol (RCT) yang melibatkan 1419
pasien dianalisis. Kesimpulannya adalah sebenarnya
albumin meningkatkan mortalitas (Timothy Evans,MD)1
.
Tinjauan ini berdampak terhadap praktik kedokteran,
mempengaruhi klinisi mengurangi penggunaan albumin,
tetapi kemudian dikritik karena tinjauan-tinjauan
berikutnya tidak bisa menjelaskan kesimpulan para
penulis2
. Belum lama berselang, kajian SAFE (Saline
versus Albumin Evaluation) telah membuka wacana baru
tentang isu ini3,4
Dengan tersedianya berbagai koloid
dengan sifat fisikokimia yang berbeda, kontroversi koloid
vs koloid menjadi isu tambahan.
Sifat-Sifat Anti-Radang dan Antioksidan dari Albumin
Tiol memiliki berbagai fungsi antioksidan yang penting,
dan pasien sepsis sering mengalami deplesi tiol. Pada
kajian Quinlan dkk,5
albumin ditunjukkan meningkatkan
58
kadar tiol plasma pada pasien sepsis. Albumin juga telah
ditunjukkan meningkatkan glutation pada sel epitel paru
dan menghambat NF-kappaB. Pada pasien hipo-
proteinemia dengan acute lung injury (ALI) yang
diberikan albumin, kenaikan tiol plasma dan kapasitas
antioksidan diperlihatkan baru-baru ini oleh Quinlan dkk.6
.
Pemberian albumin memperbaiki status antioksidan
plasma yang tergantung tiol, serta kadar kerusakan
oksidasi protein. Jadi, tampaknya albumin memiliki
beberapa efek fisiologis, termasuk memperkuat potensial
antioksidan dan modulasi imbang redoks, sehingga
mengurangi proses radang.
Albumin dan Ruang Intravaskuler
Mungkin ada kaitan antara kadar albumin dan keparahan
penyakit pada pasien sakit kritis. Namun tidak ada
korelasi jelas antara skor APACHE II dan kadar albumin
pada hari masuk ICU, sebagaimana diperhatikan oleh
Neil Soni,MD7
. Namun 72 jam setelah pasien masuk ICU,
pasien yang bertahan hidup memiliki kadar albumin lebih
tinggi dibanding yang meninggal. Di samping itu,
walaupun ada korelasi antara COP (colloid osmotic
pressure) dan protein total, tidak ada korelasi antara
albumin dan COP. Lebih dari itu, bila pasien sepsis diberi
infus albumin, diamati kenaikan COP yang tidak bertahan
lama, dan jumlah albumin di kompartemen intravaskuler
cepat menurun. Di samping itu, suplementasi albumin
59
tidak memiliki efek bermakna dalam mengurangi
permeabilitas mikrovaskuler pada pasien sepsis dengan
hipoalbuminemia berat.8
Permeabilitas paru telah dipelajari pada pasien ALI dan
ARDS (adult respiratory distress syndrome). Ditunjukkan
bahwa permeabilitas berkorelasi positif dengan
keparahan penyakit dasar dan berkorelasi negatif dengan
survival (makin parah penyakit, makin tinggi
permeabilitas, dan makin tinggi permeabilitas, makin
rendah survival) pada populasi pasien ini. Ini bisa
membantu menjelaskan apakah ARDS bersifat eksudatif
atau noneksudatif.9
Dengan kemampuan menentukan
permeabilitas secara kuantitatif, marker prognostik
menjadi tersedia bagi klinisi.
Albumin berfungsi sebagai plasma expander hiperonkotik
dan bila digabung dengan furosemid, bisa memperkuat
perpindahan cairan. Pada studi yang tidak dipublikasi
terhadap 24 pasien sepsis, bolus 200 ml albumin 20%
secara bermakna meningkatkan cardiac index dalam 1
menit. Namun peningkatan ini tidak menetap, melainkan
turun secara progresif dalam 30 menit berikutnya (Dr
Soni).7
Efek-efek yang sama terlihat dengan perubahan
tekanan arteri pulmonalis dan pO2. Pada suatu telaah
lain dari 37 pasien ALI, furosemid dan albumin yang
diberikan sekaligus, menghasilkan penurunan berat
60
badan dan meningkatkan rasio pO2/FIO2.10
Namun tidak
diamati perbedaan dalam mortalitas.
Mengukur efek ekspansi volume: Hematokrit
pembuluh darah besar vs Hematokrit sistemik
Markus Rehm, MD,11
membahas efek-efek 2 metode
pemberian koloid terhadap volume darah total: acute
normovolemic hemodilution (ANH) dan volume loading
(VL). ANH memerlukan pengambilan darah dan diganti
sekaligus dengan sejumlah setara volume kristaloid atau
koloid untuk mempertahankan volume sirkulasi. Acute
hypovolemic hemodilution atau VL adalah pemberian
infus kristaloid atau koloid tanpa pengambilan darah.
Dalam praktek, efek pemberian infus diukur secara tidak
langsung dengan hematokrit pembuluh darah besar.
Namun, taksiran akurat dari volume darah harus
memperhitungkan dua volume lain (volume sel dan
volume plasma). Oleh karena itu dengan menggunakan
pengukuran volume darah berlabel ganda untuk
menaksir hematokrit sistemik, suatu cara yang lebih
akurat untuk menaksir volume darah, efek-efek koloid
dan kristaloid terhadap volume darah dinilai selama VL
dan ANH oleh Rhem dkk.12
. Dua puluh pasien yang
menjalani histerektomi total diberikan koloid 20 ml/kg
sebelum pembedahan; kelompok 1 mendapat larutan
albumin 5% (n=10) dan kelompok 2 mendapat larutan
61
hetastarch 6% (n=10). Volume plasma (teknik
pengenceran indocyanine green), volume eritrosit
(eritrosit ditandai dengan fluorescein), hematokrit, protein
total, dan kadar hetastarch plasma (kelompok 2) diukur
sebelum dan 30 menit setelah akhir infusi. Secara
keseluruhan, lebih dari 1350 koloid (kira-kira 50% dari
volume plasma semula) diinfus dalam 15 menit.
Tigapuluh menit setelah infus selesai, volume darah
hanya bertambah sebesar 524 ml (38%) dari baseline
pada kelompok 1 dan 603 ml (26%) pada kelompok 2.
Hematokrit pembuluh darah besar (diukur dengan
sentrifuge) berkurang lebih dari pada hematokrit sistemik.
Hasil-hasil ini berbeda dengan kajian-kajian yang menilai
ANH, di mana sebagian besar volume koloid terlihat
bertahan di ruang intravaskuler.
Kemungkinan penyebab dari perbedaan hasil ini adalah
glikokaliks endotel (endothelial surface layer atau ESL),
yang berisi elemen non-seluler dari darah dan tanpa sel-
sel darah merah. ESL merupakan struktur dinamis yang
menyelubungi sel endotel yang melapisi enzim-enzim
dan reseptor di permukaan endotel. ESL yang
mengandung plasma dan protein non-sirkulasi berfungsi
sebagai zona eksklusif untuk eritrosit. Selama VL, ESL
dapat berkurang, sehingga memobilisasi plasma dan me-
ningkatkan volume plasma intravaskuler. Ini
menyebabkan perbedaan antara hematokrit pembuluh
62
darah besar dan hematokrit sistemik. Di samping itu,
volume efek rendah selama VL dapat dijelaskan oleh aksi
ANP (atrial natriuretic peptide), yang menambah filtrasi
cairan dan permeabilitas pembuluh darah terhadap
makromolekul.
Sebagai kesimpulan, tampaknya ada 3 kompartemen
volume darah: volume eritrosit, volume plasma sirkulasi,
dan volume plasma non-sirkulasi di dalam lapisan
permukaan endotel. Efek volume dari koloid bervariasi
menurut metode pemberian infus (misal ANH vs VL),
namun albumin 5% dan HES 6% memiliki efek ekspansi
volume serupa. Penurunan hematokrit pembuluh darah
besar tidak mencerminkan penambahan volume darah
intravaskuler total yang disebabkan pemberian infus
koloid. Pengukuran volume darah label ganda untuk
pengukuran hematokrit sistemik merupakan standar
emas untuk menentukan efek berbagai produk untuk
ekspansi volume.
Ekspansi Volume pada Pasien ALI (Acute Lung
Injury)
ALI merupakan komplikasi lazim setelah kehilangan
darah atau sepsis, sebagaimana dicatat oleh Arthur
Slutsky, MD.13
ALI berhubungan dengan peningkatan
produksi sitokin peradangan dan pelepasan radikal-
bebas oksigen. Sepsis berat dan kehilangan darah
63
massif bisa menyebabkan hipotensi dan pasien
membutuhkan intubasi endotrakea, namun tidak jelas
cairan apa yang optimal untuk resusitasi volume pada
pasien ALI. Kristaloid bocor ke ruang ekstravaskuler. Di
samping mencegah kebocoran ke rongga ketiga, albumin
memiliki efek anti-radang dan anti-radikal bebas.
Pada kajian tikus oleh Zhang dkk, 14
Larutan Ringer laktat
dibandingkan dengan albumin 5% dan albumin 25%.
Tikus diinduksi perdarahan atau endotoksemia,
kemudian diresusitasi dengan ketiga cairan. Setelah
resusitasi kadar sitokin darah (tumor necrosis factor
[TNF]-alfa, interleukin [IL]-6 dan macrophage
inflammatory protein[MIP]-2 ) diukur. Kemudian paru
dieksisi dan diventilasi selama 2 jam. Perbedaan
mencolok diamati di antara 2 model. Resusitasi dengan
albumin setelah syok hemoragik menurunkan kadar
sitokin pro-inflamatorik (TNF-alfa,IL-6 dan MIP-2 dan
radikal-bebas oksigen) serta meningkatkan sitokin anti-
inflamatorik IL-10. Di paru, TNF-alfa dan MIP-2 juga
berkurang dan IL-10 meningkat (dianggap memiliki efek
protektif). Edema paru setelah ventilasi mekanik juga
berkurang. Kendati demikian, resusitasi dengan albumin
setelah syok endotoksik tidak memberikan efek proteksi
yang sama. Tidak ada perbedaan antara albumin 5% dan
25%. Manfaat albumin yang terlihat pada model syok
hemoragik tidak terlihat pada model syok endotoksik.
64
Tampaknya resusitasi dengan albumin memiliki peran
penting mengurangi ALI yang diinduksi oleh ventilator
setelah syok hemoragik, namun tidak setelah syok
endotoksik.
Pada suatu RCT prospektif,tersamar ganda dan
terkontrol plasebo oleh Martin dkk,10
efek-efek albumin
dan furosemide dinilai pada 37 pasien ALI dg ventilasi
mekanik yang hipoproteinemik (kadar protein total serum
< 5 g/dl). Pasien diberikan 25 g albumin setiap 8 jam
dengan furosemid kontinyu atau plasebo. Tidak ada
perbedaan mortalitas antara kedua kelompok, tetapi ada
perbedaan bermakna dalam parameter-parameter
imbang cairan, oksigenasi dan hemodinamik pada
kelompok albumin/ furosemid.
Data kolektif memberi kesan bahwa albumin mungkin
bermanfaat pada ALI yang diinduksi ventilator setelah
model syok hemoragik dan pada pasien ALI dg
hipoproteinemia. RCT yang lebih besar dibutuhkan untuk
konfirmasi.
SAFE Study
Dalam suatu metaanalisis baru-baru ini, terlihat
peningkatan mortalitas 6% pada pasien yang diberi
albumin.15
Temuan ini menimbulkan perdebatan hebat
yang akhirnya menuntun ke pembuatan desain dan
65
implementasi SAFE study, yang disajikan oleh Simon
Finfer,MD.4
Uji acak tersamar ganda ini merekrut 7000
pasien dari 16 ICU di Australia dan Selandia Baru selama
kurun waktu 18 bulan. Pasien diacak mendapat albumin
4% atau normal saline sejak saat masuk ICU sampai
meninggal atau pulang. Dalam 4 hari pertama, rasio
albumin: saline adalah 1:1,4 yang berarti bahwa volume
(koloid vs kristaloid) tidak berbeda bermakna. Tidak ada
perbedaan antara kedua kelompok dalam mortalitas 28
hari oleh semua sebab. MAP, tekanan vena sentral,
denyut jantung dan insiden gagal organ baru juga serupa
pada kedua kelompok.
Pada analisis sub-kelompok diamati perbedaan antara
pasien trauma dan sepsis. RR (relative risk) kematian
pada pasien dengan sepsis berat yang menerima
albumin vs saline adalah 0,87. RR kematian pada pasien
yang mendapat albumin tanpa sepsis berat adalah 1,05
(P=.059). Hasil ini berlawanan pada pasien trauma.
Angka kematian pada pasien trauma lebih tinggi bila
albumin vs saline digunakan untuk resusitasi volume
(13,5% vs 10%, P =.055) Bila pasien dengan Traumatic
brain injury (TBI) dikaji secara terpisah, angka kematian
adalah 24,6% pada pasien yang mendapat albumin,
dibandingkan 15% pada pasien saline (RR 1,62, 95%
confidence interval, -1,12 sampai 2,34, P=0,009). Lebih
66
dari itu, bila pasien TBI dikeluarkan, tidak ada perbedaan
angka kematian pada pasien-pasien trauma.
Berdasarkan hasil-hasil ini, pemberian albumin
tampaknya aman selama 28 hari pada populasi pasien
sakit kritis yang heterogen dan mungkin bermanfaat pada
pasien sepsis berat. Akan tetapi, keamanan pemberian
albumin belum jelas pada pasien trauma, termasuk
traumatic brain injury(TBI). Walaupun diamati perbedaan
mortalitas pada trauma dan TBI pada analisis sub-
kelompok, dan dianggap memiliki validitas terbatas, ini
merupakan signal kuat khususnya pada pasien TBI.
Suatu kajian baru SAFE Brains sudah dirancang untuk
memeriksa perbedaan-perbedaan ini.
Ekspansi Volume pada Pasien Hipoalbuminemia
Studi SOAP (Sepsis Occurence in Acutely Ill Patients)
mencatat variasi bermakna dalam jumlah albumin yang
diberikan pada beberapa ICU di Eropa, menurut Louis
Vincent,MD.16
Lebih dari itu, pasien-pasien yang mendapat albumin
memiliki angka kematian lebih tinggi, yang bisa
dijelaskan oleh fakta bahwa penyakit mereka lebih berat
ketika memulai pengobatan. Alasan-alasan yang
mungkin untuk keparahan penyakit lebih besar meliputi
kelebihan beban cairan, kontraktilitas miokard yang
67
berubah, perburukan edema, gangguan ekskresi natrium
dan air, serta respon imun yang berubah.
Walaupun albumin mahal, manfaatnya harus diperiksa
pada pasien hipoalbuminemia. Biasanya diajarkan bahwa
resusitasi dengan kristaloid menyebabkan pembentukan
edema pada pasien sepsis dan kemudian mengganggu
pertukaran gas, penyembuhan jaringan, fungsi usus dan
penyembuhan kulit, serta memacu pembentukan ulkus
dekubitus. Koloid bisa mencapai tujuan resusitasi yang
sama seperti kristaloid dengan volume yang dibutuhkan
lebih sedikit. Koloid sintetik tidak semahal albumin
manusia tetapi memiliki efek-efek yang lebih merugikan
seperti koagulopati dan gagal ginjal.
Pasien sakit kritis lazim mengalami hipoalbuminemia
yang sekunder terhadap peradangan, disfungsi hati,
malnutrisi, kebocoran kapiler dan produksi reaktan fase
akut. Hipoalbuminemia merupakan masalah klinis yang
penting karena terkait dengan anergi, diare, masa rawat
ICU lebih lama dan mortalitas lebih tinggi. Pada suatu
meta-analisis dari 90 kajian cohort yang melibatkan
291433 pasien, disimpulkan bahwa hipoalbuminemia
diikuti dengan prognosis jelek, sehingga albumin
sebaiknya digunakan bila ada indikasi klinis.17
Pada
meta-analisis yang sama, juga ditinjau 9 kajian prospektif
dengan kontrol terhadap 535 pasien. Pada kajian-kajian
68
ini hipoalbuminemia dikoreksi dan ada kesan bahwa
angka komplikasi bisa diturunkan bila kadar albumin
serum dipertahankan di atas 30 g/L selama pemberian
albumin.
Pada suatu kajian retrospektif terhadap 19.578 pasien
CABG, sedikit penurunan (bermakna statistik) dalam
mortalitas didapatkan pada pasien yang mendapat
albumin vs koloid sintetik (2,5% vs 3%, P =0.02) sebagai
plasma expander.[18] Menurut penulis, keunggulan
albumin ini disebabkan lebih sedikitnya koagulopati dan
perdarahan yang terkait. Pada pasien sirosis dan
peritonitis bakterial spontan, penambahan albumin ke
regimen terapi mengurangi mortalitas.19
dan albumin
diperlihatkan memperkuat efek terlipressin pada pasien
dengan sindrom hepatorenal.20
Sebuah RCT kecil dan prospektif (albumin vs plasebo)
yang memeriksa efek albumin pada 100 pasien sakit
kritis dengan hipoalbuminemia memperlihatkan tidak ada
perbedaan bermakna pada kedua kelompok. Pasien
yang mendapat albumin memiliki kadar albumin serum
lebih tinggi, skor SOFA (Sequential Organ Failure
Assessment) lebih rendah dan rasio pO2/FIO2 lebih tinggi.
Pasien yang diberi albumin juga membutuhkan lebih
sedikit diuretik, peningkatan berat badan lebih sedikit dan
mereka lebih sanggup menyerap kalori (sehingga
69
menghindari imbang nitrogen negatif) dibandingkan
kelompok plasebo.
Kesimpulan Albumin vs kristaloid
Apakah kontroversi koloid vs kristaloid pada pasien sakit
kritis sudah berakhir? Sebelum menjawab pertanyaan ini,
penting diperhatikan bagaimana permasalahan
berevolusi. Koloid menghasilkan efek hemodinamik sama
dengan volume infus lebih sedikit dan menyebabkan
lebih sedikit edema. Dan walaupun koloid lebih mahal,
profil keamanannya tidak ditanyakan dengan serius,
sebelum meta-analisis Cochrane15
menimbulkan gejolak
di kalangan praktisi rawat kritis.
Setelah memeriksa 30 RCT yang melibatkan 1419
pasien, RR kematian dengan pemberian albumin
dilaporkan setinggi 1,68 (1,26 sampai 2,23).[15].
Berdasarkan data-data ini, ada kesan bahwa untuk setiap
17 pasien sakit kritis yang mendapat albumin, terjadi
penambahan kematian 1 pasien. Ini merupakan data
yang mengkhawatirkan mengingat jumlah pasien sepsis
yang perlu diterapi untuk menyelamatkan jiwa dalam
kisaran 5-30 %. Jadi 1 dari 17 pasien yang diterapi
albumin meninggal, ini bisa membatalkan manfaat-
manfaat dari intervensi lain. Bisa dibayangkan dampak
dari pernyataan ini terhadap penggunaan albumin di ICU
seluruh dunia.
70
Wilkes dkk[2] mengikuti meta-analisis lainnya terhadap
55 uji klinis yang melibatkan 3504 pasien. Mereka
mengkritik analisis Cochrane15
sebagai desain salah dan
setelah menganalisis data mereka sendiri berkesimpulan
secara umum tidak ada efek albumin terhadap mortalitas.
Temuan ini mendukung keamanan albumin.
Berkaitan dengan keraguan yang ditimbulkan oleh hasil-
hasil yang berlawanan dari kedua meta-analisis di atas,
penyelesaian SAFE study ditunggu dengan harapan
besar. Dan sekarang kita tahu bahwa albumin memiliki
keamanan sama dengan saline pada pasien nontrauma.
Namun ini bukan pembenaran atas pemakaian albumin
secara rutin. Debat kristaloid vs koloid merupakan
peninggalan dari debat ARDS sebelumnya. Pada kedua
kasus, kajian-kajian dengan masalah metodologi
menghasilkan ketidakpastian di komunitas intensivist,
yang ketika itu evidence-base medicine belum ber-
kembang.
Walaupun ada subkelompok pasien yang mendapat
manfaat dari albumin (yaitu pasien dengan sirosis dan
peritonitis bakterial spontan) serta alasan-alasan
mempertimbangkan albumin dalam terapi pasien ALI
dengan sepsis hipoalbuminemia, belakangan ini belum
ada data yang meyakinkan untuk penggunaan albumin
secara rutin karena harganya lebih mahal dari kristaloid
saline.
Koloid Sintetik
Tabel . Karakteristik dari berbagai koloid diberikan di bawah
71
72
Efek berbagai koloid dan larutan hipertonik pada
mikrosirkulasi21
Perubahan-perubahan permeabilitas kapiler bisa
mengubah volume plasma dan mempengaruhi derajat
edema. Kinetika kristaloid dan koloid yang dibahas
sebelumnya mengacu pada pembuluh darah yang utuh.
Pada penyakit-penyakit dengan permeabilitas kapiler
yang meningkat, terapi cairan yang adekuat sangat
penting untuk mencegah hipovolemia. Mekanisme
perbedaan-perbedaan dalam efektivitas berbagai plasma
expander untuk memulihkan volume plasma yang rendah
dan gangguan mikrosirkulasi masih belum dipahami
dengan jelas. Hollbeck Staffan dari Lund University
Hospital melakukan eksperimen pada tahun 2001 yang
menganalisis koloid dan plasma expander hipertonik,
mengenai efek-efek cairan-cairan tersebut terhadap
pertukaran cairan transvaskular dan permeabilitas otot
rangka selama dan setelah pemberian infus. Di samping
itu, efek terhadap permeabilitas dianalisis pada otot
rangka menyusul infus endotoksin. Pengukuran koefisien
filtrasi kapiler memperlihatkan bahwa permeabilitas
cairan dikurangi oleh albumin dan dextran, tidak berubah
dengan HES (hetastarch) dan bertambah dengan gelatin.
Pengukuran terhadap koefisien refleksi untuk albumin
memperlihatkan dextran, gelatin dan HES tidak
mempengaruhi permeabilitas kapiler terhadap albumin.
NaCl hipertonik meningkatkan permeabilitas cairan,
sedangkan manitol dan urea tidak. Volume otot
berkurang 20% albumin; tidak berubah dengan 6%
dextran 70 dan 6% HES 200/0.5, serta meningkat
dengan 3.5% gelatin. Gelatin dan HES, (tetapi tidak
dextran dan albumin) menginduksi rebound filtration. Ini
menunjukkan akumulasi molekul gelatin dan HES di
interstisial. NaCl hipertonik memiliki kapasitas osmotik
lebih kuat dibandingkan manitol dan urea. Manitol dan
urea (tetapi tidak NaCl hipertonik) memperlihatkan
rebound filtration yang menunjukkan akumulasi manitol
dan urea di dalam intraselular. Selama endotoksemia,
baik permeabilitas cairan dan albumin meningkat pada
otot rangka, dan hipovolemia terlihat mencolok. Tidak
ada perbedaan terlihat antara albumin, dextran, dan
hydroxyethyl starch dalam efektivitasnya memulihkan
perfusi usus selama endotoksemia.
73
74
Pengaruh Berbagai Koloid Terhadap Fungsi Ginjal
Semua koloid, termasuk albumin manusia hiperonkotik
(HA 20% atau 25%) dapat menginduksi gagal ginjal akut
(ARF)22
dengan cara meningkatkan tekanan osmotik
koloid plasma. Kondisi ini sudah diberi
nama ”hyperoncotic ARF”. Pasien dehidrasi yang
mendapat koloid hiperonkotik dalam jumlah bermakna
tanpa penambahan kristaloid sangat rentan untuk
mengalami hyperoncotic ARF.
Suatu kajian pada pasien non-bedah dan non-ICU, efek
renal dari albumin 20% dibandingkan dengan dextran 70
dan poligeline pada pasien sirosis yang menjalani
parasentesis. Enam hari setelah parasentesis, kadar
kreatinin serum tidak berubah pada kelompok albumin
dan sedikit meninggi pada kelompok dextran (kenaikan
rata-rata 0,06 mg/dl) dan kelompok gelatin (kenaikan
rata-rata 0,11 mg/dl), Namun perbedaan antara
kelompok tidak bermakna statistik. Beberapa kajian
histologis telah memperlihatkan pembengkakan sel
tubulus ginjal setelah pemberian beberapa sediaan HES,
yang kemungkinan disebabkan reabsorpsi makromolekul.
Pembengkakan sel tubulus menyebabkan obstruksi
tubulus dan iskemia medula. Pada pasien dengan
kreatinin serum > 2-3 mg/dl HES harus digunakan
dengan hati-hati. HES generasi ketiga (BM 130 kd; DS
0,4) memiliki profil berbeda dengan generasi-generasi
75
sebelumnya. Namun, walaupun ada publikasi bahwa
HES 130 tidak memperburuk fungsi ginjal, tidak
ditemukan kajian prospektif besar dan terkontrol pada
pasien sakit kritis
Catatan
1. RCT = randomized clinical trial
2. OR (Odds Ratio)
No of patients in the treatment group who experienced event/ No who did not
No of patients in the control group who experienced event/ No who did not
3. RR (Relative Risk)
No of patients in the treatment group who experienced event/ No of all patients
No of patients in the control group who experienced event/ No of all patients
•A relative risk of 1 means there is no difference in risk between the
two groups.
•A RR of < 1 means the event is less likely to occur in the
experimental group than in the control group.
•A RR of > 1 means the event is more likely to occur in the
experimental group than in the control group.
4. Terlipressin adalah analog vasopressin yang digunakan
sebagai obat vasoaktif dalam manajemen hipotensi. Diketahui efektif
bila norepinefrin tidak menolong Indikasi adalah syok septik yang
resisten terhadap noreepinferin dan sindrom hepatorenal. Di samping
itu digunakan juga pada perdarahan varises esofagus.
Referensi
1. Evans T. Biochemical properties of albumin. Program
and abstracts of the 24th International Symposium on
Intensive Care and Emergency Medicine; March 30-
April 2, 2004; Brussels, Belgium.
2. Wilkes MM, Navickis RJ. Patient survival after human
albumin administration. A meta-analysis of randomized,
76
controlled trials. Ann Intern Med. 2001;135:149-164.
Abstract
3. Finfer S. Lessons from the SAFE Study. Program and
abstracts of the 24th International Symposium on
Intensive Care and Emergency Medicine; March 30-
April 2, 2004; Brussels, Belgium.
4. Finfer S. Is albumin SAFE? Program and abstracts of
the 24th International Symposium on Intensive Care
and Emergency Medicine; March 30-April 2, 2004;
Brussels, Belgium.
5. Quinlan GJ, Margarson MP, Mumby S, et al.
Administration of albumin to patients with sepsis
syndrome: a possible beneficial role in plasma thiol
repletion. Clin Sci. 1998;95:459-465. Abstract
6. Quinlan GJ, Mumby S, Martin GS, Bernard GR,
Gutteridge JM, Evans TW. Albumin influences total
plasma antioxidant capacity favorably in patients with
acute lung injury. Crit Care Med. 2004;32:755-759.
Abstract
7. Soni N. Albumin may help lung function. Program and
abstracts of the 24th International Symposium on
Intensive Care and Emergency Medicine; March 30-
April 2, 2004; Brussels, Belgium.
8. Margarson MP, Soni NC. Effects of albumin
supplementation on microvascular permeability in
septic patients. J Appl Physiol. 2002;92:2139-2145.
Abstract
9. Hoegerle S, Benzing A, Nitzsche EU, et al.
Radioisotope albumin flux measurement of
microvascular lung permeability: an independent
77
10. Martin GS. Fluid balance and colloid osmotic pressure
in acute respiratory failure: emerging clinical evidence.
Crit Care. 2000;4(suppl 2):S21-25. Abstract
11. Rehm M. Colloid administration during hemodilution.
Program and abstracts of the 24th International
Symposium on Intensive Care and Emergency
Medicine; March 30-April 2, 2004; Brussels, Belgium.
12. Rehm M, Haller M, Orth V, et al. Changes in blood
volume and hematocrit during acute preoperative
volume loading with 5% albumin or 6% hetastarch
solutions in patients before radical hysterectomy.
Anesthesiology. 2001;95:849-856. Abstract
13. Slutsky A. Albumin may protect the lungs. Program
and abstracts of the 24th International Symposium on
Intensive Care and Emergency Medicine; March 30-
April 2, 2004; Brussels, Belgium.
14. Zhang H, Voglis S, Kim CH, et al. Effects of albumin
and Ringer's lactate on production of lung cytokines
and hydrogen peroxide after resuscitated hemorrhage
and endotoxemia in rats. Crit Care Med.
2003;31:1515-1522. Abstract
15. The SAFE Study Investigators. A comparison of
albumin and saline for fluid resuscitation in the
intensive care unit. N Engl J Med. 2004;350:2247-
2256. Abstract
16. Vincent J-L. Still a place for albumin? Program and
abstracts of the 24th International Symposium on
78
Intensive Care and Emergency Medicine; March 30-
April 2, 2004; Brussels, Belgium.
17. Vincent JL, Dubois MJ, Navickis RJ, et al.
Hypoalbuminemia in acute illness: is there a rationale
for intervention? A meta-analysis of cohort studies and
controlled trials. Ann Surg. 2003;237:319-334.
Abstract
18. Sedrakyan A, Gondek K, Paltiel D, et al. Volume
expansion with albumin decreases mortality after
coronary artery bypass graft surgery. Chest.
2003;123:1853-1857. Abstract
19. Sort P, Navasa M, Arroyo V, et al. Effect of
intravenous albumin on renal impairment and mortality
in patients with cirrhosis and spontaneous bacterial
peritonitis. N Engl J Med. 1999;341:403-409. Abstract
20. Ortega R, Gines P, Uriz J, et al. Terlipressin therapy
with and without albumin for patients with hepatorenal
syndrome: results of a prospective, nonrandomized
study. Hepatology. 2002;36:941-948. Abstract
21. Holbeck S, Grände P-O: Effects on capillary fluid
permeability and fluid exchange of albumin, dextran,
gelatin, and hydroxyethyl starch in cat skeletal muscle.
Critical Care Medicine 2000; 28: 1089-1095.
22. Boldt, J, Joachim H Priebe, Intravascular Volume
Replacement Therapy with Synthetic Colloids: Is
There an Influence on Renal Function? Anesth Analg
2003;96:376-382
79
BAGIAN V
RANGKUMAN MANAJEMEN
SYOK PADA ANAK
Tabel V.1 Jenis-jenis syok pada pasien anak. CO = cardiac output,
SVR= systemic vascular resistance, JVD = jugular venous distention.
Dari McKiernan CA, Lieberman SA. Pediatr Rev. 2005;26(12):451-60.
Jenis Syok Mekanisme
gagal
sirkulasi
Tanda dan gejala Intervensi
Hipovolemik Deplesi
volume
absolut atau
relatif, CO ↓,
SVR ↑
Takikardia, nadi
lemah, mata dan
fontanela cekung,
oliguria, capillary refill
memanjang
Bolus kristaloid 20
ml/kg sampai
hemodinamik
membaik, nilai lagi
setelah setiap
bolus, produk
darah pada syok
hemoragik
Kardiogenik CO ↓, SVR ↑ Takikardia, nadi
lemah, hepatomegali,
JVD
Obat inotropik
dopamin,
dobutamin,
epinefrin, milrinon
Bolus kecil 5-10
ml/kg dapat
diberikan dengan
hati-hati sambil
memantau respon.
Periksa
ekokardiogram dini
CO ↑, then
↓, SVR ↓↓
Angioedema, distres
pernapasan, stridor,
wheezing, hipotensi
dini
Beri dukungan
adrenergik sambil
berikan cairan,
cepat pasang infus
jaga, mungkin
dibutuhkan dosis
tinggi inotropik
Distributif
Anafilaktik
Neurogenik
CO normal,
SVR ↓
Hipotensi tanpa ada
takikardia
Naikkan SVR
dengan
vasopresor,
fenilefrin mungkin
dibutuhkan, beri
80
cairan seperlunya
Septik “Syok
hangat” CO
↑, SVR↓, 0%
kasus
pediatrik)
Takikardia, nadi kuat,
ekstremitas hangat
dengan
hipotensi,hiperpnea,
perubahan status
mental
Bolus kristaloid 20
ml/kg ulang sampai
hemodinamik
stabil, vasopresor
pilihan pertama
(dopamin atau
norepinefrin)
“Syok
dingin” CO
↓, SVR
↑(60% kasus
pediatrik)
Takikardia,perfusi
perifer buruk, nadi
lemah, hiperpnea,
perubahan status
mental
Bolus kristaloid 20
ml/kg ulang sampai
hemodinamik
stabil, dukungan
inotropik dini
dengan dopamin
atau epinefrin
mungkin
dibutuhkan,
ekokardiografi
mungkin
membantu
memandu terapi
CO ↓, SVR ↓ Takikardia,perfusi
perifer buruk, nadi
lemah, hiperpnea,
perubahan status
mental
Bolus kristaloid 20
ml/kg ulang sampai
hemodinamik
stabil, dukungan
inotropik dini
dengan dopamin
atau epinefrin
mungkin
dibutuhkan,
ekokardiografi
mungkin
membantu
memandu terapi
Obstruktif Preload ↓,
CO ↓, SVR
normal
sampai ↑
Takikardia, hipotensi,
JVD, deviasi trakea
jika pnemotoraks,
penyamaan tekanan
dengan CVP yang
meninggi jika dipasang
pemantauan invasif
Cepat fatal jika
proses dasar tidak
terdeteksi atau
dipulihkan, bolus
cairan harus
diberikan
sementara
mempersiapkan
drainase darurat
81
Table V. 2 Tanda klinis syok hemoragik pada anak dengan berbagai
derajat kehilangan darah
Tanda klinis%
darah
hilang
HR TD Capillary
refill
Frekuensi
napas
Jumlah
urin
Status
mental
< 15 Normal
normal
Atau
sedikit
naik
Normal
Atau
meningkat
Normal Normal Normal Cemas
15-25 Sedikit
naik
Mungkin
berkurang
> 2 detik Takipnea
ringan
Normal
sampai
sedikit
berkurang
Cemas,
Mungkin
gaduh
25-40 naik Turun > 2 detik Takipnea
sedang
sedikit
(<0,5
ml/kg/jam)
Cemas,
bingung
> 40 Naik Turun >2 detik Takipnea
berat
Absen Bingung,
letargi,
tidak
responsif
Table V. 3. Obat-obat kardiovaskular
Obat Reseptor Kerja Dosis
Dopamin Dopamin, ß,α Kronotropi,
inotropi,vasokonstriksi
3-20
mcg/kg/menit
Dobutamin ß Kronotropi, inotropi,
vasodilatasi
5-20
mcg/kg/menit
Epinefrin ß,α Kronotropi,
inotropi,vasokonstriksi
0,05-0,2
mcg/kg/menit
Norepinefrin α,ß Vasokonstriksi,
kronotropi, inotropi
0,01-2
mcg/kg/menit
Milrinon PDE inhibitor Inotropi, lusitropi,
vasodilatasi
0,25-4
mcg/kg/menit
Nitroprusid Donor NO,
relaksasi otot
polos
Vasodilatasi 0,5-10
mcg/kg/menit
Vasopresin Reseptor V1 di
pembuluh
darah
vasokonstriksi 0,3-4
mU/kg/menit
Gambar 1. Rekomendasi untuk manajemen syok septik pada bayi
dan anak
82
Gambar 2. Rekomendasi untuk manajemen syok septik pada
neonatus
PPHN =persistent pulmonary hypertension
ECMO = extracorporeal membrane oxygenation
83
84
Gambar 3. Tatalaksana syok pada anak dengan dehidrasi
berat
Usia Pertama beri
30 ml/kg
dalam :
Selanjutnya beri
70 ml/kg dalam :
Bayi (<1 tahun) 1 jam
*
5 jam
Anak (>1 tahun) ½ jam
*
2 ½ jam
Catatan:
- Ringer laktat/ Ringer asetat diberikan pada 1 jam tahap
pertama, sedangkan pada tahap selanjutnya dapat diberikan
KAEN 3B atau Half strength Darrow (HSD) untuk mengatasi
hipokalemia.
- KAEN 3B mengandung: Na+
50,K+
20,Cl-
50 dan Laktat 20
mEq/L, glukosa 27 g/L; HSD : Na+
60,K+
17,Cl-
52 dan Laktat
25 mEq/L, glukosa 25 g/L .
- Setelah 6 jam (Bayi) atau 3 jam (anak), pasien dievaluasi
dengan menggunakan tabel penilaian dehidrasi dan tentukan
rencana terapi selanjutnya sesuai status dehidrasi (A,B, C).
- *Ulangi 1 kali lagi bila pulsasi nadi masih sangat lemah atau
tidak teraba
85
BAGIAN VI
ILUSTRASI KASUS
Seorang anak laki-laki 3 tahun tertabrak mobil ketika
berlari ke jalan mengambil bola. Ketika paramedik
sampai di tempat kejadian, si anak tidak sadar dan
banyak luka lecet di wajah, dada, abdomen dan
ekstremitas. Paha kanan deformitas dan bengkak.
Karena napas sangat dangkal, segera dilakukan intubasi
dan imobilisasi vertebra servikal. Dua kanula besar
dipasang dan korban dibawa ke IGD.
PF: Tanda Vital: Suhu 37.0, Nadi 160, Frekuensi napas
melalui pipa trakea 20, TD 100/80, saturasi oksigen 97%.
Anak masih tidak responsif dan diventilasi melalui pipa
trakea. Reaksi pupil baik. Ekspansi dada baik.Banyak
lecet pada wajah,dada,abdomen dan ekstremitas bawah.
Abdomen distensi dengan bunyi usus berkurang.
Panggul stabil, tetapi paha kanan jelas bengkak dan
tegang. Perfusi distal ke semua anggota gerak tampak
adekuat. Pemeriksaan fisik lainnya tidak mencolok.
CT scan kepala mengungkap kontusio kecil di lobus
oksipital, tetapi tidak ada edema serebral atau
perdarahan. CT scan abdomen memperlihatkan laserasi
kecil dari limpa dan kontusio ringan dari ginjal kiri. X-foto
86
toraks dan ekstremitas mengungkap pergeseran fraktur
midfemur kanan dan kontusio kecil dari paru kiri. X-
Radiologi vertebra servikal dan panggul normal. Setelah
stabilisasi, pasien di bawa ke PICU. Trauma intrakranial,
paru dan limpa dikelola dengan perawatan suportif dan
fraktur kanan diatasi dengan reduksi terbuka dan fiksasi
internal. Akhirnya pasien dipulangkan dari Rumah Sakit
kira-kira tiga minggu kemudian, dengan neurologi normal.
Si anak bisa kembali main bola setahun berikutnya.
Walaupun anak rentan terhadap mekanisme trauma yang
sama seperti dewasa, respons fisiologik dan psikologik
terhadap trauma sangat unik. Jadi pemahaman seksama
tentang beberapa perbedaan anatomi dan patofisiologi
yang unik dari anak akan meningkatkan kualitas
perawatan selama evaluasi, stabilisasi dan manajemen
pasien trauma anak.
Satu dari perbedaan fisiologis pertama yang sangat jelas
antara anak dan dewasa adalah variasi tanda vital anak
yang normal menurut usia. Pemahaman seksama
terhadap tanda vital mutlak diperlukan untuk bisa
mendeteksi kelainan “halus” dalam detak jantung dan
nepas anak. Contohnya, takikardia mungkin merupakan
satu-satunya petunjuk adanya syok hemoragik dini pada
anak yang kelihatannya stabil. Takipnea yang tidak
mencolok mungkin merupakan petunjuk paling dini dari
87
kemungkinan trauma intratorakal pada anak dengan
saturasi oksigen normal. Jadi siapapun yang terlibat
dalam perawatan darurat anak harus mengetahui tanda-
tanda vital normal pada anak menurut usia. Metode
sederhana untuk mengingat dengan mudah dan cepat
tanda-tanda vital sebagai berikut:
Detak
jantung
Frekuensi
napas
Neonatus sampai usia 1
tahun
140 40
1 sampai 4 tahun 120 30
4 sampai 12 tahun 100 20
>12 tahun 80 15
Kesimpulan dari berbagai perbedaan anatomi penting
pada anak sebagai berikut:
a) Ukuran tubuh lebih kecil.
b) Rasio kepala:badan lebih besar.
c) Rasio permukaan tubuh lebih besar.
d) Trakea lebih pendek dan ukuran lidah relatif lebih besar.
e) Muara glotis lebih ke anterior dan superior.
f) Lebih sedikit otot pelindung dan lemak tubuh.
g) Alat-alat perut lebih ke anterior.
h) Lempeng epifisis lebih rentan terhadap trauma.
88
Karena ukuran tubuh anak lebih kecil, daya trauma bisa
terdistribusi ke luas permukaan tubuh yang lebih besar,
sehingga membuat lebih cenderung trauma mengenai
lebih dari satu sistem. Anak sering mendapat cidera
organ dalam dengan sedikit atau tanpa bukti trauma
pada permukaan eksternal tubuh. Organ dalam anak
lebih rentan terhadap gaya trauma karena jumlah otot
pelindung dan jaringan subkutan sekitarnya lebih sedikit.
Limpa merupakan organ yang paling sering cidera
dengan trauma tumpul abdomen. Kelenturan rangka
anak dan jaringan lunak sekitar juga memungkinkan gaya
trauma ditransmisikan lebih dalam ke struktur interna.
Jadi, sebagai kaidah umum, trauma alat dalam tidak bisa
disingkirkan pada anak semata-mata berdasarkan tidak-
adanya tanda-tanda eksternal dari trauma.
Rasio kepala:badan bayi dan anak yang lebih besar
membuat mereka lebih rentan terhadap trauma kepala
ketika jatuh. Cidera vertebra servikal atas juga lebih
banyak pada bayi dan anak kecil dibanding dewasa.
(dewasa lebih sering mengalami cidera pada servikal
bawah). Ukuran kepala yang lebih besar dan luas
permukaan tubuh yang lebih besar pada anak,
membuatnya lebih rentan dari kehilangan panas dan
hipotermia bila terpapar selama resusitasi.
89
Perbedaan anatomi yang unik dari jalan napas anak
sangat penting diingat ketika menilai dan mengelola jalan
napas, pernapasan dan ventilasi. Trakea yang lebih
pendek, ukuran lidah yang relatif lebih besar dan muara
glotis yang lebih anterior/superior merupakan poin
penting diingat dalam melakukan intubasi pada anak.
Karena epiglotis anak kurang kartilago, pemakaian bilah
(blade) laringoskop lurus mungkin memudahkan intubasi
dibanding bilah lengkung.
Trauma kepala pada anak diikuti dengan angka
morbiditas dan mortalitas tinggi. Trauma ke dada dan
abdomen juga mengakibatkan cukup banyak cacat dan
kematian. Hipoksia dan syok hemoragik adalah lintasan
akhir bersama dari kematian akibat trauma pada anak.
Jadi, perhatian ketat terhadap penilaian jalan napas,
pernapasan dan sirkulasi (ABC resusitasi) akan
menurunkan morbiditas dan mortalitas dari trauma anak.
Penilaian dan manajemen pasien trauma dibagi menjadi
survei primer dan survei sekunder. "ABCDE" survei
primer meliputi penilaian komponen-komponen berikut:
A=Airway (imobilisasi vertebra servikal).
B=Breathing.
C=Circulation (dengan kontrol perdarahan).
90
D=Disability (pemeriksaan neurologis singkat untuk
menilai tingkat kesadaran dan ukuran/reaktivitas pupil).
E=Exposure (paparan total pasien untuk bisa menilai
seluruh tubuh akan kemungkinan terkena trauma).
Jadi, komponen utama dari survei primer meliputi
penilaian, stabilisasi dan manajemen semua kondisi akut
yang mengancam jiwa, seperti gangguan jalan napas,
distres pernapasan dan syok hemoragik. Porsi ABC dari
resusitasi trauma pada dasarnya sama dengan resusitasi
lain dengan dua peringatan (caveat). Kedua caveat ini
melibatkan kemungkinan cidera vertebra servikal dan
syok hemoragik. “Jembatan keledai” untuk mengingat
resusitasi adalah "A-I-R" :
A=Assessment (Penilaian)
I=Interventions (Intervensi)
R=Reassessment (Penilaian kembali) setelah setiap
intervensi)
Selama penilaian dan manajemen jalan napas pasien
trauma, perlu dipikirkan kemungkinan cidera leher dan
mempertahankan imobilisasi vertebra servikal. Ini sangat
penting jika dipertimbangkan intubasi endotrakea, di saat
mana jalan napas tidak boleh kali dibuka dengan
91
menggunakan perasat angkat kepala (head-tilt
maneuver). Buka rahang bawah (jaw-thrust maneuver)
untuk membuka jalan napas dengan imobilisasi vertebra
servikal merupakan cara paling aman untuk intubasi anak
dengan kemungkinan cidera vertebra servikal.
Dalam menilai pernapasan dan ventilasi, pikirkan selalu
etiologi trauma yang berpotensi mengganggu ventilasi
dan pernapasan, seperti luka dada terbuka,
pnemotoraks, hemotoraks, patah iga, flail chest dan
kontusio paru. Sebagian dari etiologi traumatik ini
mungkin membutuhkan intervensi segera, seperti
torakosentesis jarum dan/atau pemasangan pipa toraks
selama survei primer. Distensi lambung yang juga sangat
sering pada pasien trauma, bisa menghambat upaya
ventilasi sampai kepergeseran diafragma ke atas. Jadi,
pipa orograstrik bisa membantu untuk dekompresi
lambung dan memudahkan ventilasi.
Etiologi Syok tersering pada trauma anak adalah syok
hemoragik, walaupun bisa diikuti oleh syok kardiogenik
(misal, tamponade jantung), obstruktif (misal, tension
pneumothorax) atau neurogenik (misal, syok spinal).
Peningkatan cadangan sistem kardiovaskular
memungkinkan anak mengkompensasi dan memelihara
tekanan darah sekalipun syok hemoragik sampai ke
tingkat sedang. Anak akan mempertahankan tekanan
92
darah sistolik yang normal sebelum mereka kehilangan
sampai 30% volume darah sirkulasi. Volume darah
sirkulasi seorang anak adalah 70-80 ml/kg (sedangkan
volume darah sirkulasi dewasa 60 ml/kg). Tekanan
sistolik normal pada anak bisa dihitung dengan rumus:
(Usia X 2) + 90 mmHg. Tekanan diastolik yang
diharapkan adalah 2/3 X (TD sistolik). Mekanisme
kompensasi awal yang harus dicari selama stadium dini
syok hemoragik adalah takikardia. Mekanisme
kompensasi lain yang terjadi untuk mempertahankan
perfusi dan tekanan darah normal adalah meningkatkan
tahanan tepi, yang bermanifestasi sebagai ekstremitas
dingin dan bercak, nadi lemah dan putus-putus, capilary
refill time (CRT) memanjang dan tekanan nadi
menyempit. Jika tanda klinis dini dari syok hemoragik
tidak terindentifikasi dan terkoreksi, anak bisa memburuk
ke stadium preterminal dari syok dekompensata, yang
didefinisikan sebagai hipotensi menurut usia. Hipotensi
(sistolik) pada anak didefinisikan melalui rumus: (Usia X
2) + 70 mmHg. Jadi, anak usia 5 tahun yang diperiksa
dengan TD sistolik awal kurang atau sama dengan 80
mmHg berada dalam fase dekompensata dan sudah
kehilangan paling sedikit 30% dari volume sirkulasi.
93
TD sistolik minimum menurut usia adalah:
a) Neonatus sampai usia 1 bulan: >60 mmHg
b) usia 1 bulan-1 tahun: >70 mmHg
c) usia > 1 tahun: (Usia X 2) + 70 mmHg
Kunci tatalaksana syok hemoragik pada trauma anak
meliputi deteksi tanda dini syok, mengendalikan
tempat/sumber eksternal dari perdarahan, resusitasi
cairan, pertimbangkan terapi pengganti darah dan
keterlibatan tim bedah. Bolus cairan diberikan kristaloid
yang telah dihangatkan 20 ml/kg (misal, normal saline
atau ringer laktat). Harus dinilai kembali parameter
perfusi anak setelah setiap bolus untuk menentukan
apakah diperlukan bolus tambahan. Jika dibutuhkan lebih
dari 40-60 ml/kg larutan kristaloid untuk memulihkan
perfusi yang adekuat, maka harus dipikirkan penggantian
darah. Transfusi bisa berupa 10 ml/kg pRBC yang telah
dihangatkan (bisa tipe spesifik setelah reaksi silang atau
O-negatif pRBC, tergantung pada waktu yang tersedia)
atau sebagai 20 ml/kg whole blood (sekarang tidak rutin
tersedia). Anak yang membutuhkan terapi penggantian
darah mungkin membutuhkan intervensi bedah untuk
mengendalikan perdarahan yang terus berlangsung.
Trauma yang berpotensi perdarahan hebat mencakup
trauma intra-abdomen dan intratorakal, fraktur panggul
94
dan fraktur femur. Sebagai kaidah umum, dianggap
bahwa perdarahan intrakranial tidak menyebabkan syok
hipovolemik/hemoragik. Pengecualian dari kaidah ini
adalah trauma kepala pada bayi. Karena sutura
tengkorak bayi belum menyatu, tengkorak memiliki
kapasitas untuk mengembang dan mengakomodasi
sejumlah besar darah selama perdarahan intrakranial
akut.
Jika ada kesulitan mendapat akses vena untuk resusitasi
cairan dan produk darah, line intraosea (IO) harus
dipakai. Pemasangan line IO bisa dimasukkan langsung
dengan cepat atau bahkan lebih cepat dari pemasangan
akses vena sentral. Walaupun pedoman Pediatric
Advanced Life Support sebelumnya hanya mengizinkan
pemasangan IO luntuk anak berusia di bawah 6 tahun,
pedoman dewasa ini tidak memiliki batasan usia untuk
pemakaian IO pada anak. Walaupun tempat ideal untuk
penempatan IO adalah aspek proksimal dan media dari
tibia (2-3 cm di bawah tuberositas tibia), titik alternatif
adalah aspek anterior distal dari femur (2-3 cm proksimal
terhadap pinggir superior patela). Titik alternatif lain pada
anak yang lebih besar dan dewasa adalah distal tibia (2-3
cm proksimal dari meleolus medialis). Satu-satunya
kontraindikasi klinis untuk pemasangan IO pada tungkai
anak selama resusitasi trauma adalah: a) kecurigaan
fraktur tulang dibawah kulit di mana IO dipasang,
95
dan/atau b) kecurigaan terputusnya alir balik vena di
proksimal dari titik masuk IO.
Survei sekunder mulai dengan evaluasi ulang masalah
yang diatasi selama survei primer dan disusul
pemeriksaan fisik lengkap dari kepala sampai jari kaki
untuk menilai cidera-cidera yang tidak mengancam jiwa
yang tidak teridentifikasi selama survei primer. Penilaian
dan manajemen trauma spesifik dari kepala,leher,toraks,
abdomen,panggul dan ekstremitas berada di luar lingkup
bab ini. Namun indeks kecurigaan yang tinggi harus
selalu memandu penilaian dan manajemen.
Kemungkinan trauma yang bukan kecelakaan(
penganiayaan anak) harus dipikirkan pada keadaan-
keadaan khusus: a) Ketidaksesuaian antara anamnesis
yang diberikan pengasuh dengan temuan pemeriksaan
fisik aktual. b) Trauma yang tidak kompatibel dengan
kemampuan perkembangan neurologis bayi. c)
Kelambatan dalam mencari bantuan medis untuk cidera
serius d) Temuan cidera ganda pada waktu yang tidak
bersamaan. e) Gigitan, tanda, luka rokok atau sabetan
tali. f) luka bakar dengan batas tegas. g) Trauma
kemaluan dan perianal (termasuk luka bakar di kawasan
ini). h) Hematoma subdural ganda. i) Perdarahan retina.
j) Fraktur iga yang melibatkan banyak iga dan/atau pada
waktu yang tidak sama.
96
Resusitasi trauma anak yang berhasil memerlukan lebih
dari sekedar pendekatan sistematik terhadap survei
primer dan survei sekunder. Juga bergantung pada
pemahaman tentang perbedaan anatomi dan
patofisiologi pada anak.
Pertanyaan
1. Prioritas utama dalam fase resusitasi trauma pada
anak adalah:
. . . . . a. Pasang infus jaga.
. . . . . b. Menetapkan dan memelihara terbukanya jalan
napas sambil melakukan imobilisasi vertebra servikal.
. . . . . c. Ambil X-foto dan lab cito untuk memastikan
status pasien secara keseluruhan.
. . . . . d. Meredakan nyeri dengan analgesik intravena
agar lebih mudah melakukan pemeriksaan fisik.
2. Sebab kematian terbanyak pada anak usia >1 tahun:
. . . . . a. Sudden infant death syndrome.
. . . . . b. Aritmia jantung.
. . . . . c. Meningitis.
. . . . . d. Trauma.
. . . . . e. Leukemia.
3. Etiologi syok tersering pada anak dengan trauma:
. . . . . a. Syok neurogenik.
. . . . . b. Syok kardiogenik.
97
. . . . . c. Syok anafilaktik.
. . . . . d. Syok hipovolemik.
. . . . . e. Tension pneumothorax.
4. Tujuan utama survei primer pada resusitasi trauma
meliputi:
. . . . . a. Memperoleh portable radiograph cito dari leher,
dada dan abdomen.
. . . . . b. Penilaian dan stabilisasi jalan napas,
pernapasan dan sirkulasi.
. . . . . c. Mendapatkan akses vena sentral segera.
. . . . . d. Pemasangan segera intubasi endotrakea untuk
mencegah aspirasi.
. . . . . e. Ahli bedah trauma harus ada untuk
melaksanakan survei primer.
5. Semua pernyataan berikut benar kecuali:
. . . . . a. Mayoritas kematian yang terkait dengan trauma
anak adalah disebabkan kecelakaan lalu lintas.
. . . . . b. Mayoritas trauma yang terjadi pada anak adalah
trauma tumpul bukan trauma tembus..
. . . . . c. Trauma vertebra servikal lebih lazim dari trauma
abdomen.
. . . . . d. Trauma multisistem lazim pada anak yang
mengalami kecelakaan lalu lintas.
98
6. Organ abdomen yang paling sering cidera pada anak
adalah::
. . . . . a. Duodenum.
. . . . . b. Pankreas.
. . . . . c. Hati.
. . . . . d. Ginjal.
. . . . . e. Limpa.
7. Kawasan tubuh yang mana tersering mengalami
trauma serius?
. . . . . a. Kepala.
. . . . . b. Leher.
. . . . . c. Dada.
. . . . . d. Abdomen.
8. Mana dari skenario berikut paling mencurigakan
adanya penganiayaan anak?
. . . . . a. Anak usia 2 th dengan fraktur tibia setelah
dilaporkan jatuh ketika turun beberapa langkah anak
tangga.
. . . . . b. Anak usia 1 th dengan hematoma pada kening
setelah dilaporkan jatuh dari kereta bayi.
. . . . . c. Bayi usia 3 bulan dengan fraktur femur tanpa
dislokasi setelah dilaporkan jatuh dari meja.
. . . . . d. Anak usia 3 th dengan fraktur spiral dari tibia
setelah dilaporkan tungkainya terkilir ketika jatuh dari
sepeda roda tiga.
99
Dikutip dari: Yamamoto LG. Multiple Trauma in a 2-Year Old. In:
Yamamoto LG, Inaba AS, DiMauro R (eds). Radiology Cases In
Pediatric Emergency Medicine, 2002, volume 7, case 8.
Referensi
1. Inaba AS, Seward PN. An approach to pediatric
trauma: Unique anatomic and pathophysiologic
aspects of the pediatric patient. Emerg Med Clin North
Am 1991;9(3):523-548.
2. Pediatric Trauma. In: American College of
Emergency Physicians and American Academy of
Pediatrics. Advanced Pediatric Life Support Instructor
Manual. 1998, Dallas: ACEP, pp. 75-87.
3. Inaba AS. A simple way to remember pediatric vital
signs. Contemp Pediatr 2002;19(1):16.
4. American College of Surgeons. Chapter 10-Pediatric
Trauma. In: Advanced Trauma Life Support Instructor
Course Manual, Sixth Edition. 1997, Chicago: First
Impression, pp. 353-375.
Jawsaban pertanyaan
1.b, 2.d, 3.d, 4.b, 5.c, 6.e, 7.a, 8.c
100
BAGIAN VII
DENGUE SHOCK SYNDROME (DSS)
Tanda peringatan adanya ancaman syok:
(1) nyeri abdomen hebat dan terus menerus
(2) perubahan dari demam ke hipothermia, dengan
keringatan dan lelah
(3) muntah-muntah persisten
(4) gelisah atau letargi
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mempublikasi
pedoman untuk diagnosis DSS. Diagnosis DSS
ditegakkan jika ada: demam 2-7 hari, tes turniket positif
dan atau perdarahan spontan, trombositopenia
(<100.000 m3
), bukti kebocoran kapiler (hematokrit >20%
di atas rata-rata yang diharapkan, penurunan hematokrit
sebesar < 20% dari nilai semula setelah resusitasi cairan,
bukti klinis efusi pleura atau asites), dan gagal sirkulasi
dengan tekanan nadi < 20 mmHg atau hipotensi (DHF III
DSS). Syok dalam bisa terjadi (DHF IV DSS) dan
didefinisikan sebagai nadi dan tekanan darah tak
terdeteksi.
Perubahan-perubahan penting dalam tekanan darah
terjadi saat DSS memburuk, termasuk tahanan tepi yang
101
meningkat dan curah jantung yang berkurang dengan
tekanan vena sentral normal atau rendah. Syok tidak
disebabkan oleh gagal jantung bendungan, melainkan
karena pengumpulan darah di vena. Dengan
meningkatnya gangguan kardiovaskular, tekanan
diastolik naik ke arah sistolik dan tekanan nadi
menyempit. Akhirnya, dekompensasi terjadi dan kedua
tekanan (sistolik dan diastolik) tiba-tiba hilang.
Pasien DSS terbaik dipantau di ICU, diberikan oksigen
dan dipasang CVP jika memungkinkan, serta kateter urin
untuk memandu penggantian cairan. Status asupan dan
pengeluaran diamati ketat.
Gas darah, EKG, X-foto toraks, elektrolit serum, albumin
serum dan hitung darah harus dipantau.
Keberhasilan penanganan dengue berat bergantung
pada pengaturan yang seksama terhadap pemberian
cairan parenteral dan koloid selama fase kebocoran
kapiler yang meningkat, bersama dengan manajemen
proaktif dari perdarahan mayor jika terjadi. Dokter harus
ingat bahwa semua cairan yang diberikan akan diserap
kembali dan bisa mengakibatkan kelebihan beban.
Kristaloid vs koloid
Temuan uji banding tersamar ganda dan acak untuk
resusitasi awal 383 anak Vietnam dengan DSS
memperlihatkan bahwa Ringer laktat cukup untuk
102
meresusitasi bayi dengan penyakit cukup berat. Tetapi,
jika penyakit berlanjut menjadi syok berat, pemberian
dextran 40 atau HES 6% akan menstabilkan volume
pembuluh darah dan tekanan darah pada sebagian besar
kasus.
Koagulopati yang menyertai infeksi dengue banyak
dijelaskan, tetapi sayangnya mekanisme yang mendasari
masih belum jelas. Perdarahan hebat jarang terjadi pada
anak (hampir selalu diikuti syok mencolok) dan
komplikasi trombosis tidak dijumpai. Peningkatan APTT
(activated partial thromboplastin time) dan penurunan
kadar fibrinogen merupakan temuan yang agak konstan.
Kelainan-kelainan ini bersama dengan trombositopenia
berkorelasi dengan keparahan penyakit secara umum.
Namun, bukti adanya KID (koagulasi intravaskular
diseminata) klasik pada kebanyakan pasien tidak
meyakinkan. Kadar prokoagulan meningkat sampai ke
tingkat tertentu (biasanya ringan), dengan penurunan
bermakna dalam jumlah protein antikoagulan. Tetapi
temuan-temuan dalam hal lintasan fibrinolitik saling
bertentangan. Umumnya, data menunjukkan peningkatan
aktivitas fibrinolitik, dan kejadian ini bisa mengesankan
interaksi langsung antara virus dan plasminogen, satu
dari protein-protein kunci dalam lintasan ini.
Beberapa kelompok ahli telah mengamati adanya
antibodi reaksi silang plasminogen selama dan setelah
infeksi dengue.
103
Pada kebanyakan pasien dengan demam dengue,
koagulopati relatif ringan dan membaik sendiri dalam
beberapa hari setelah virus menghilang. Namun pada
sebagian anak, biasanya dengan syok berat, gangguan
minor ini dipersulit oleh efek-efek: a) hipotensi yang
memanjang dan hipoksia jaringan, b) perdarahan mayor.
Biasa perdarahan terjadi di saluran cerna. Pada pasien-
pasien ini, KID sejati mungkin terjadi. Sama seperti pada
dewasa sedikit informasi tersedia mengenai koagulopati,
namun perdarahan tampaknya lebih banyak pada anak.
Referensi:
1. Katharine Smart , Ida Safitri. What treatments are
effective for the management of shock in severe
dengue? International Child Health Review
Collaboration
2. Scott B Halstead. Dengue. Lancet 2007; 370: 1644–52
3. Prevention and Control of Dengue and Dengue
Hemorrhagic Fever. WHO regional publication. Searo
No 29.
4. Wills B. Volume Replacement in Dengue Shock
Syndrome Dengue Bulletin Vol 25 Ch 9.2001
5. Rigau-Perez JG, Lauger MK. Dengue-related deaths in
Puerto Rico, 1992-1996: Diagnosis and clinical alarm
signals. Clin Infect Dis (CID). 2006; 42: 1241-1246.
ALGORITME DSS
Ket: Jml tetesan harus dibulatkan
104
105
BAGIAN VIII
SINGKATAN DAN TERMINOLOGI
Singkatan  Kepanjangan 
AG  Anion gap ([Na+
 + K+
]‐ [Cl‐
 + HCO3
‐
] 
ALI  Acute Lung Injury 
ANH  Acute normovolemic hemodilution 
ANP  Atrial natriuretic peptide 
APACHE   Acute Physiology and Chronic Health evaluation 
ARDS  Acute respiratory distress syndrome 
ARF  Acute renal failure 
ATP  Adenosine triphosphate 
AVDO2  arteriovenous oxygen difference 
CABG  Coronary artery bypass graft 
cAMP  cyclic adenosine monophosphate 
CaO2  arterial oxygen concentration 
cGMP  cyclic guanosine monophosphate 
CI  Cardiac index 
CO  cardiac output 
COP  Colloid osmotic pressure 
CRT  Capillary refill time 
CVP  Central venous pressure 
DAG  Diacyl glycerol 
DBP  Diastolic blood pressure 
DIC  Disseminated intravascular coagulation 
DO2  oxygen delivery 
DSS  Dengue Shock Syndrome 
ECMO  Extracorporeal membrane oxygenation 
ESL  Endothelial surface layer 
FiO2  Fractional concentration  of Inspired oxygen 
HES  Hydroxyethyl starch 
HR  Heart rate 
IGD  Instalasi Gawat Darurat 
106
IL  Interleukin 
INR  Internation normalized ratio 
IO  Intraosea 
IP3  inositol 1,4,4‐triphosphate  
JVD  Jugular venous distension 
KAD  Ketoasidosis diabetik 
KID  Koagulasi intravaskular diseminata 
LVEDP  Left ventricular end‐diastolic pressure 
LVEDV  Left ventricular end‐diastolic volume 
MAP  Mean arterial pressure 
O2ER  oxygen extraction ratio 
OR  odds ratio 
PDEI  Phosphodiesterase inhibitor 
PELOD  Pediatric logistic organ dysfunction score 
PO2  Partial oxygen pressure 
PPHN  Persistent pulmonary hypertension 
pRBC  packed red blood cells 
PRISM 
pediatric risk illness severity and mortality 
score 
RCT  Randomized controlled trial 
RR  relative risk; respiratory rate 
SAFE  Saline versus albumin evaluation 
SaO2  arterial oxygen saturation 
SBP  Systolic blood pressure 
SOAP  Sepsis occurrence in acutely ill patients 
SOFA  Sequential Organ Failure Assessment 
SVCO2  Superior vena cava oxygen saturation 
SVR  Systemic venous resistance 
TBI  Traumatic Brain Injury 
TD  Tekanan darah 
TNF  Tumor necrosis factor 
VL  Volume loading 
VO2  Total body oxygen consumption 
BAGIAN IX NILAI NORMAL
HEMATOLOGI - Eritrosit
Pria 4.2 jt- 5.6 jt/ µL
Wanita 3.8 - 5.1 jt / µL
Anak 3.5 - 5.0 jt / µL
HEMATOLOGY - Leukosit
Pria 3.8 - 11 rb / mm3
Wanita 3.8 - 11.0 rb / mm3
Anak 5.0 - 10.0 rb / mm3
HEMOGLOBIN
Hb (Pria) 14 - 18 g/dL
Hb (Wanita) 11 - 16 g/dL
Hb (Anak) 10 - 14 g/dL
Hb (Neonatus) 15 - 25 g/dL
HEMATOKRIT
Hct (Pria) 39 - 54%
Hct (Wanita) 34 - 47%
Hct (Anak) 30 - 42%
MCV 78 - 98 fL
MCH 27 - 35 pg
MCHC 31 - 37%
Neutrofil 50 - 81%
Batang 1 - 5%
Limfosit 14 - 44%
Monosit 2 - 6%
Eosinofil 1 - 5%
basofil 0 - 1%
107
108
Tanda vital normal pada anak:
Usia (th) HR RR SBP/DBP
< 1 120 - 160 30 - 60 60 - 95 / 35 - 69
1 - 3 90 - 140 24 - 40 95 - 105 / 50 - 65
3 - 5 75 - 110 18 - 30 95 - 110 / 50 - 65
6 - 12 75 - 100 18 - 30 90 - 110 / 57 - 71
12 - 16 60 - 90 12 - 16 112 - 130 / 60 - 80
TD sistolik minimum menurut usia adalah:
a) Neonatus sampai usia 1 bulan: >60 mmHg
b) usia 1 bulan-1 tahun: >70 mmHg
c) usia > 1 tahun: (Usia X 2) + 70 mmHg
Nilai Gas Darah normal:
pH: 7.35 - 7.45
PaCO2: 35 - 45
PaO2: 80 - 100 ( pada bayi PaO2 normal: 60 - 80 )
HCO3: 20 - 24
Base excess: -/+ 2
Anion Gap (corrected) < 16
109
BAGIAN X
RUMUS-RUMUS
1. TD sistolik normal pada anak =(Usia X 2)+ 90 mmHg.
2. DO2 (mL O2/min) = CaO2 (mL O2/L blood) X CO (L/min)
CaO2 = (1,36 x Hb x SaO2) + (0,003 x PaO2)
CaCO2= Kandungan oksigen darah arteri (ml/100 ml darah)
1,36 = Mililiter oksigen yang berikatan dengan 1 g Hb pada saturasi
100%
Hb = Konsentrasi hemoglobin (g/dl)
SaO2 = Persen hemoglobin yang berikatan dengan oksigen (%)
0,003= Faktor kelarutan oksigen dalam plasma (ml/mm Hg)
PaO2 = Tekanan parsial oksigen dalam darah arteri (mm Hg)
3. MAP = 1 SBP + 2 DBP
3
4. VO2 = DO2 × ERO2
5. Tekanan Perfusi = MAP – CVP
6. CO = MAP − CVP/SVR
ket. CO = cardiac output; MAP:mean arterial pressure; CVP =central venous
pressure; SVR = systemic venous resistance.
7. Shock Index = HR/SBP
normal SI: 0.5 sampai 0.7
8. Anion gap (AG) = (Na+
+ K+
) - (Cl-
+ HCO3
-
) dan perlu
dikoreksi dengan kadar albumin (g/L), yakni Corrected
AG = AG + [0,25 x (44 - albumin)]
9. HCO3
-
(mEq) = Base deficit X BB (kg) X 0,30
110
LAMPIRAN
TEKNIK PEMBERIAN INFUS INTRAOSEA
• Infus intraosea merupakan langkah darurat
sementara
• Diindikasikan dalam situasi yang mengancam jiwa
bila akses intravena gagal (3 kali coba atau> 90
detik)
• Gunakan aspek anteromedial tibia
• Suntik dengan arah caudal untuk menghindari
diskus pertumbuhan epifisis
• Gunakan teknik aseptik
• Kristaloid, koloid, produk darah dan obat-obatan
dapat diberikan
• Lepas segera setelah anak telah diresusitasi dan
akses intravena berhasil dipasang
Pendahuluan
Teknik infus intraosea pertama kali diuraikan pada
manusia pada tahun 1934 dan menjadi semakin populer
di tahun 1940-an. Dalam beberapa tahun terakhir ini
telah kembali popular terutama pada resusitasi anak.
Sayangnya banyak dokter tidak tahu teknik ini atau tidak
menggunakannya. Infus IO adalah salah satu cara
tercepat untuk membuka akses untuk infus cairan, obat-
obatan dan produk darah dalam situasi darurat dan juga
111
untuk resusitasi. Di banyak negara anak-anak menjadi
korban trauma perang, kecelakaan lalu lintas atau
dehidrasi berat. Mereka membutuhkan akses intravena
yang baik, agar dapat menyelamatkan nyawa. Dalam
situasi ini akses vena perifer bisa sulit untuk didapatkan
dan alternatif seperti akses vena sentral dapat menjadi
sulit dan / atau berbahaya.
Pengenalan teknik
Rongga sumsum berkesinambungan dengan sirkulasi
vena dan oleh karena itu dapat digunakan untuk
memasukkan cairan dan obat-obatan, dan untuk
mengambil sampel darah untuk crossmatch. Prosedur
harus dilakukan dalam kondisi steril agar tidak terjadi
osteomielitis. Dianjurkan juga untuk membatasi durasi
penggunaan infus intraosea sampai beberapa jam
sampai akses intravena tercapai. Dengan demikian ini
merupakan langkah darurat sementara. Di tangan yang
berpengalaman akses IO dapat dikerjakan dalam waktu 1
menit.
Telah terbukti bahwa mula kerja (onset) dan kadar obat
selama resusitasi kardiopulmoner secara IO serupa
dengan IV
112
Indikasi
Penempatan dari jarum intraosea diindikasikan bila akses
vaskular dibutuhkan dalam situasi yang membahayakan
jiwa pada bayi dan anak-anak di bawah usia enam tahun.
IO diindikasikan bila akses vena gagal diusahakan (tiga
usaha atau 90 detik) atau dalam kasus di mana
kemungkinan besar gagal dan kecepatan sangat penting.
Meskipun dianjurkan untuk digunakan terutama pada
anak kecil, ia telah berhasil digunakan pada anak yang
lebih tua di mana krista iliaka juga dapat digunakan.
Kontraindikasi
• Fraktur femur pada sisi ipsilateral
• Jangan gunakan tulang yang patah
• Jangan menggunakan tulang dengan
osteomielitis
Perlengkapan
1. Disinfektan kulit
2. Anestetik lokal
3. Spuit 5 ml
4. Spuit 50ml
5. Jarum Intraosea atau jarum sumsum tulang
Jamshidi. Ada berbagai ukuran jarum; 14, 16.
Ukuran 14 dan 16G biasanya digunakan untuk
113
anak-anak yang lebih tua dari 18 bulan. Namun
ukuran apapun dapat digunakan untuk segala
usia.
Dimungkinkan tetapi tidak ideal untuk
menggunakan 16 - 20G jarum kupu-kupu, jarum
spinal atau bahkan jarum suntik hipodermik biasa.
Namun ada kemungkinan lebih besar bahwa
jarum akan tersumbat dengan sumsum tulang
bila tidak menggunakan jarum dengan trokar.
Lokasi
Titik terbaik untuk digunakan adalah aspek anteromedial
aspek dari tibia. Aspek anterior femur dan krista iliaka
superior juga dapat digunakan. Tibia lebih disukai karena
aspek anteromedial tulang terletak tepat di bawah kulit
dan dapat dengan mudah diidentifikasi. Hindari tulang
dengan osteomielitis atau patah tulang dan tidak
menggunakan tibia jika tulang paha retak pada sisi yang
sama.
Teknik
Pilihan alat IO
Dewasa ini ada beberapa alat berbeda untuk IO line. Alat
ini bervariasi mulai dari jarum spinal yang dimasukkan
secara manual sampai alat dengan alat dorong atau bor.
Sebelum diciptakan produk-produk khusus untuk akses
IO, dulu digunakan jarum spinal dan jarum “kupu-kupu”
Dalam menggunakan jarum spinal, mutlak perlu
digunakan suatu stylet atau trokar yang bisa dilepas dan
mencegah jarum tersumbat oleh jaringan selama
penempatan awal.
Dulu jarum IO yang paling terkenal untuk pasien anak
(dan pada kasus jarang untuk pasien dewasa) adalah
tipe-tipe Jamshidi/Illinois (Gambar 1 & 2, Cardinal Health,
McGaw Park, IL) atau Sur-Fast (Gambar 3, Cook
Critical Care, Bloomington, IN).
Gambar 1 (kiri) & Gambar 2 (kanan): Jarum IO Jamshidi
Gambar 3: Jarum IO Sur-Fast
114
115
Alat-alat ini dimasukkan dengan menggunakan gerak
memutar atau sekrup dengan tekanan cukup untuk
memungkinkan jarum menembus tulang. Baru-baru ini,
telah dikenalkan akses IO generasi baru, di mana tempat
IO bukan hanya di tibia (misal, bisa juga di sternum)
Apa yang baru?
Populasi pasien: Walaupun biasa diaanggap bahwa
akses IO hanya untuk anak di bawah usia 6 tahun,
sekrang sudah direkomendasikan untuk semua kelompok
usia, dan buku ajar Pediatric Advanced Life Support
(PALS) yang dikeluarkan AHA(The American Heart
Association) menyatakan bahwa indikasi teknik IO
harus diperluas untuk korban di atas usia 6 tahun Buku
ajar ACLS melukiskan infus IO sebagai "a promising
technique to establish emergency access in adult
patients." Di samping itu, alat IO terus digunakan pada
pelatihan situasi pasien yang “luar biasa” seperti luka
bakar, trauma dan bencana.
Bone Injection Gun: Ini adalah alat IO yang bermuatan
per dan memiliki daya dorong (Gambar 4 dan 5) dari
WaisMed, Yokneam, Israel. Tersedia untuk ukuran anak
dan dewasa. Cukup dengan menarik pelatuk dan jarum
menancap sesuai dengan kedalaman yang telah diatur.
Walaupun tersering digunakan pada tibia anak dan
dewasa, para peneliti melukiskan penggunaannya juga
pada radius, ulna dan humerus.
Gambar 4 (kiri) & Gambar 5 (kanan)): Injection Gun anak dan dewasa
EZ-IO: Desain untuk alat IO ini (Gambar 6 dan 7,
VidaCare, San Antonio, TX) berangkat dari pengalaman
dokter bedah tulang yang menggunakan bor untuk
memasuki tulang dengan aman. EZ-IO merupakan bor
dengan pegangan dan digerakkan baterai dengan jarum
IO menempel. Alat ini memungkinkan operator mengatur
tekanan dan kekuatan yang digunakan selama insersi,
sehingga bisa menentukan kedalaman yang tepat dari
jarum
116
Gambar 6 (kiri) dan Gambar 7 (kanan): Penempatan sistem EZ-IO
pada tibia
Prosedur
1. Palpasi tuberositas tibia. Titik suntikan
(kanulasi) terletak 1 - 3cm di bawah tuberositas
ini pada permukaan anteromedial tibia.
2. Gunakan sarung tangan steril dan teknik aseptik
dan jarum yang steril.
3. Bersihkan kulit. Tempatkan jarum sumsum
tulang tanpa teknik steril jelas meningkatkan
kemungkinan osteomielitis dan selulitis.
4. Suntikkan sejumlah kecil anestesi lokal pada
kulit dan terus infilitrasi ke periostium. Bila anak
tidak sadar tidak perlu menggunakan infiltrasi
lokal.
117
118
5. Tekuk lutut dan letakkan karung pasir sebagai
bantalan di belakang lutut.
6. Pegang ekstremitas dengan kuat di atas tempat
insersi, biasanya di tingkat lutut. Jangan
letakkan tangan Anda di belakang tempat
suntikan agar tidak melukai tangan Anda
sendiri.
7. Masukkan jarum IO pada 90 derajat ke kulit
(tegak lurus) dan sedikit caudal (ke arah kaki)
untuk menghindari plat epifisis.
8. Majukan jarum menggunakan gerakan
pengeboran sampai terasa 'kendur ' adalah
merasa - ini terjadi ketika jarum menembus
korteks tulang. Berhenti memasukkan lebih
lanjut.
9. Lepaskan trokar. Konfirmasi posisi yang tepat
dengan mengaspirasi darah menggunakan spuit
5 ml. Jika tidak ada darah dapat disedot jarum
mungkin terhalang dengan sumsum. Untuk
melepas sumbatan jarum, bilas perlahan-lahan
dengan 10 ml normal saline. Periksa bahwa
ekstremitas tidak membengkak dan tidak ada
peningkatan tahanan.
10. Jika tidak berhasil cabut jarum dan coba kaki
yang lain.
119
11. Fiksasi jarum dengan kasa steril dan bebat.
Penempatan yang benar dikonfirmasi lebih lanjut dengan:
• Tiba-tiba kehilangan resistensi memasuki rongga
sumsum (kurang jelas pada bayi yang memiliki
tulang lunak).
• Jarum tetap tegak tanpa dukungan (karena bayi
memiliki tulang lebih lembut, jarum tidak akan
tegak berdiri sekuat pada anak yang lebih tua).
• Cairan mengalir secara bebas melalui jarum
tanpa pembengkakan pada jaringan subkutan.
Komplikasi
Komplikasi penting mencakup: fraktur tibia terutama pada
neonatus, sindrom kompartemen, osteomielitis dan
nekrosis kulit. Bila teknik aseptik digunakan, insiden
osteomielitis kurang dari 1%. Emboli paru mikroskopik
dari lemak dan sumsum tampaknya tidak menjadi
masalah klinis. Asalkan teknik yang benar digunakan
sepertinya tidak akan ada efek jangka panjang pada
pertumbuhan tulang.
120
Infus
Cairan dapat diinfus di bawah tekanan lembut, secara
manual dengan menggunakan spuit 50ml atau dengan
memompa manset tensimeter mengitari kantong infus.
Kristaloid, produk darah dan obat-obatan dapat
ditanamkan dengan menggunakan teknik ini.
Rute IO yang harus diganti segera setelah vena yang
normal dapat diakses dan tentu saja dalam beberapa
jam. Semakin lama penggunaan makin tinggi risiko
komplikasi.
Kesimpulan
Dalam keadaan darurat, akses intravena akses cepat
pada anak-anak mungkin akan sulit untuk dicapai.
Sebagai alternatif, akses IO mudah, aman dan
menyelamatkan pasien.
Referensi
1. Chameides L, Hazinski MF, Eds. Chameides L,
Hazinski MF, Eds. Textbook of Pediatric Advanced Life
Support. Textbook of Pediatric Advanced Life Support.
1994; 5-5 to 5-7 1994; 5-5 ke 5-7
2. Brickman KR, Krupp K, Rega P, Alexander J,
Guinness M. Typing and screening of blood from
intraosseous access. Brickman KR, Krupp K, Rega P,
121
Alexander J, Guinness M. Mengetik dan penyaringan
darah dari intraosseous akses. Annals of Emergency
Medicine 1992;21:414-7 Annals of Emergency
Medicine 1992; 21:414-7
3. Sawyer RW, Bodai BI, Blaisdell FW, McCourt MM.
Sawyer RW, Bodai BI, Blaisdell FW, McCourt MM. The
current status of intraosseous infusion. Status
intraosseous infus. Journal of American College of
Surgeons 1994;179:353-60 Journal of American
College of Surgeons 1994; 179:353-60
4. Claudet I, Fries F, Bloom MC, Lelong-Tissier MC.
Claudet Aku, Fries M, Bloom MC, Lelong-Tissier MC.
Etude retrospective de 32 cas de perfusion intraosseus.
Etude retrospektif de 32 cas de perfusi intraosseus.
Archives of Paediatrics 1999;6:566-9 Archives of
Pediatri 1999; 6:566-9
5. Nafiu OO, Olumese PE, Gbadegesin RA, Osinusi K.
Intraosseous infusion in an emergency situation: a
case report. Nafiu OO, Olumese PE, Gbadegesin RA,
Osinusi K. Intraosseous infus dalam situasi darurat:
laporan kasus. Annals of Tropical Paediatrics
1997;17:175-7 Annals of Tropical Pediatri 1997;
17:175-7
122
INDEKS
AG Anion gap 16,17,23 35
Albumin 35,36,51,55,57,58,59,60,62-68,72-78
ALI Acute Lung Injury 62,63,64
ANH Acute normovolemic hemodilution 60,61,62,10
ANP Atrial natriuretic peptide 62
APACHE Acute Physiology and Chronic Health evaluation 58
ARDS Acute respiratory distress syndrome 59,70
ARF Acute renal failure 74
ATP Adenosine triphosphate 14,15,16,18,25,31,48,49,50
AVDO2 arteriovenous oxygen difference 18,33,,34
CABG Coronary artery bypass graft 68
cAMP cyclic adnosine monophosphate 40,41,42,48
CaO2 arterial oxygen concentration 7,14
cGMP cyclic guanosine monophosphate 40,41
CI Cardiac index 18,19,32,34
CO cardiac output 11,14,15,18,19,20,22,24,25,26,27,36,38,40
COP Colloid osmotic pressure 58
CRT
Capillary refill time
2,3,10,11,13,16,17,18,22,27,32,51,52,79,81,92
CVP Central venous pressure 21,25,26,32,33,37,80,101
DAG Diacyl glycerol 41
Dextran 72,73,74,78,102
DO2 oxygen delivery5,6,7,8,14,109
Dobutamin 38,39,45,55,79,81
Dopamin 45,46,55,79,80,81
DSS Dengue Shock Syndrome 36,100,101,104
ECMO Extracorporeal membrane oxygenation 83
Epinefrin 13,23,24,29,38,39,40,42,43,45,46,47,48,52,75,79,80,81
ESL Endotherlial surface layer 61
FiO2 Fractional concentration of Inspired oxygen 17,60,68
HES Hydroxyethyl starch 62,72,73,74,75
HR Heart rate 10,15,27,33,51,81,108,109
123
IGD Instalasi Gawat Darurat 13,19,21,22,85
IL Interleukin 48,56,63
INR Internation normalized ratio 18
IO Intraosea 113,114,115,116,117
IP3 inositol 1,4,4-triphosphate 41
JVD Jugular venous distension 79,80
KAD Ketoasidosis diabetik 4
KID Koagulasi intravaskular diseminata 102,103,106
LVEDP Left ventricular end-diastolic pressure 29
LVEDV Left ventricular end-diastolic volume 29
MAP Mean arterial pressure 21,25,26,27,32,33,65,109,
Milrinon 13,23,24,29,38,39,40,42,43,45,46,47,48,52,75,79,80,81
ERO2 oxygen extraction ratio 6,8,
OR odds ratio 22,75
PDEI Phosphodiesterase inhibitor 41,42,43
PELOD Pediatric logistic organ dysfunction score 17
PO2 Partial oxygen pressure 7,59,60,68
PPHN Persistent pulmonary hypertension 83
pRBC packed red blood cells 51,52,93,
PRISM pediatric risk illness severity and mortality score 17
RCT Randomized controlled trial 57,64,68,69,75,
RR relative risk 65,69,75,
SAFE Saline versus albumin evaluation 55,57,64,,65,66,70,76,77,
SaO2 arterial oxygen saturation 6,7,14
SBP Systolic blood pressure 17,33,51,109
SOAP Sepsis occurrence in acutely ill patients 66
SOFA Sequential Organ Failure Assessment 68,75
SVCO2 Superior vena cava oxygen saturation 20,21,22
SVR Systemic venous resistance 10,11,19,21,25,39,46,79,109
TBI Traumatic Brain Injury 65,66
TD Tekanan darah 11,81,85,92,93
TNF Tumor necrosis factor 63,
VL Volume loading 60,61,62,
VO2 Total body oxygen consumption 8,
124

Syok pada anak

  • 2.
    SYOK PADA ANAK (Goal-Directed Managementof Pediatric Shock in the Emergency Department) Professor Joseph A. Carcillo, MD Division of Critical Care Medicine, Children's Hospital of Pittsburgh 2009 i
  • 3.
    ii SYOK PADA ANAK (Goal-DirectedManagement of Pediatric Shock In the Emergency Department) Alih bahasa: dr Iyan Darmawan ISBN: 978-979-95956-9-0 © 2009 Farmedia All rights preserved Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip, memperbanyak sebagian atau Seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Edisi 1 Cetakan 1: November 2009 Perpustakaan Nasional R.I. data Katalog Dalam Terbitan (KDT) Syok pada anak/penulis: Carcillo, Joseph A; Alih bahasa: Darmawan, Iyan Cetakan 1- Jakarta, Farmedia 2009 127 halaman 12,5 x 21,5 cm ISBN: 978-979-95956-9-0
  • 4.
    iii KATA PENGANTAR Bayi dananak memiliki struktur anatomis dan parameter hemodinamik yang berbeda dengan orang dewasa, sehingga patofisiologi dan interpretasi syok pada anak jauh berbeda dibandingkan orang dewasa. Syok tersering pada trauma anak adalah syok hemoragik, walaupun bisa dibarengi oleh syok tipe lain, seperti kardiogenik (misal, tamponade jantung), obstruktif (misal, tension pneumothorax) dan neurogenik (misal, syok spinal). Peningkatan cadangan sistem kardiovaskular memungkinkan anak mengkompensasi dan memelihara tekanan darah sekalipun syok hemoragik sampai ke tingkat sedang. Anak akan mempertahankan tekanan darah sistolik yang normal sebelum mereka kehilangan sampai 30% volume darah sirkulasi Buku saku ini membahas lebih rinci patofisiologi dan manajemen syok pada anak, dan menjadi tambahan referensi untuk para dokter yang bertugas di IGD dan PICU. November 2009 Penerbit
  • 5.
    iv DAFTAR ISI Bagian 1Memahami Syok 1 Bagian 2 Stadium Syok 10 Bagian 3 Manajemen Syok pada Anak 13 Bagian 4 Resusitasi Volume: Kristaloid vs Koloid 57 Bagian 5 Rangkuman Manajemen Syok pada Anak 79 Bagian 6 Ilustrasi kasus 84 Bagian 7 Dengue Shock Syndrome 99 Bagian 8 Singkatan dan terminologi 104 Bagian 9 Nilai Normal 106 Bagian 10 Rumus-rumus 108 Lampiran : Teknik Pemberian Infus Intraosea 110
  • 6.
    1 BAGIAN I Memahami Syok Pendahuluan Syokadalah kegagalan sirkulasi untuk membawa oksigen dan nutrien ke jaringan. Syok lazim dijumpai pada anak. Pemahaman tentang penyebab dan patofisiologinya bisa mengarahkan para klinisi membuat keputusan yang rasional dalam terapi dan bisa memperbaiki prognosis. Bagian ini memberikan penjelasan komprehensif dari klasifikasi, penyebab dan patofisiologi syok pada anak, dengan pedoman untuk deteksi dan pemantauan, sehingga pendekatan terapi menjadi rasional. Sebagai sindrom klinis yang kompleks, syok ditandai oleh disfungsi sirkulasi akut di mana hubungan antara kebutuhan oksigen dan pasokan oksigen terganggu.1 Akibatnya, sistem kardiovaskular gagal menjalankan fungsi utamanya, yakni membawa substrat dan membuang metabolit, sehingga terjadi metabolisme anaerob dan asidosis jaringan. Umumnya, semua keadaan syok berakhir dengan berkurangnya hantaran atau gangguan utilisasi substrat sel yang esensial, sehingga fungsi sel normal berhenti. Syok merupakan proses progresif yang ditandai oleh 3 stadium berbeda. Pada fase dini, stadium kompensasi,
  • 7.
    2 sejumlah mekanisme neurohormonalyang bersifat kompensatorik dan fisiologis bekerja untuk mempertahankan tekanan darah dan memelihara kecukupan fungsi jaringan. Pada stadium ini syok bisa reversibel dengan intervensi yang benar. Namun, bila mekanisme kompensasi ini gagal, syok berlanjut ke stadium dekompensata. Pada stadium menetap (irreversible stage), syok berlanjut ke cidera organ dan jaringan yang berat, yang tidak responsif terhadap terapi konvensional, dan berujung dengan gagal organ ganda dan kematian pasien. Syok merupakan diagnosis klinis, namun deteksi masih merupakan masalah pada anak. Dalam pedoman yang dipublikasi oleh the American College of Critical Care Medicine, Carcillo dkk mendefinisikan syok septik pada anak sebagai takikardia dengan tanda berkurangnya perfusi perifer, termasuk berkurangnya volume nadi, capillary refill time (CRT) lebih dari 2 detik, bercak dan dingin pada ekstremitas, kesadaran berubah dan jumlah urin berkurang.2 Hipotensi merupakan tanda lanjut dan fase dekompensata pada syok anak, sehingga tidak bisa diandalkan untuk menegakkan diagnosis. Capillary refill terbaik diperiksa dengan menekan ekstremitas distal, seperti jari tangan dan kaki, selama 5 detik dan kemudian dilepas. Waktu pengisian kembali dicatat. Pada suhu kamar normal, capillary bed distal biasanya terisi dalam 2-3 detik. Dikatakan memanjang jika lebih dari 5 detik.
  • 8.
    3 Titik alternatif untukmemeriksa CRT adalah di atas sternum dan bantal kuku (nailbed). Syok sebaiknya dideteksi dengan tanda klinis dan laboratorium yang meliputi takipnea dan takikardia, vasodilatasi perifer (syok hangat) atau ekstremitas dingin (syok dingin), perubahan status mental, hipothermia atau hipertermia, diikuti berkurangnya jumlah urin, asidosis metabolik dan peninggian laktat darah3 Klasifikasi syok Karena fungsi sirkulasi bergantung pada volume darah, tonus vaskular dan fungsi jantung, syok dapat diakibatkan oleh kelainan-kelainan dari satu atau lebih faktor-faktor ini, atau mulai dari gangguan metabolisme seluler sampai ketidakmampuan menggunakan substrat yang dibawa oleh sirkulasi. Lima jenis syok yang utama dilukiskan di bawah (Table 1.1). Pembagian kategori ini terlalu sederhana, karena lebih dari satu mekanisme dapat terjadi pada pasien yang sama. Hasil akhirnya adalah kegagalan menyediakan substrat energi untuk memenuhi kebutuhan metabolik dari jaringan. Tabel 1. 1 Klasifikasi Syok Jenis Sindrom Klinis Hipovolemik Hemoragik Nonhemoragik: • Muntah • Diare • Luka bakar
  • 9.
    4 • Sekuestrasi internal(misal ileus obstruksi) • KAD (ketoasidosis diabetik) • Sindrom nefrotik • Bentuk dehidrasi lain Kardiogenik Infark miokard Gagal jantung bendungan Bedah jantung Penyakit katup /koarktasi Disritmia Pintas kardiopulmoner Syok septik Intoksikasi obat Obstruktif Tamponade jantung Penyakit katup/koarktasi Pneumotoraks Emboli paru Distributif Syok septik Syok toksik Syok neurogenik Gagal adrenal akut Intoksikasi obat Disosiatif Keracunan (misal sianida, methemoglobin, karbon monoksida Anemia berat SYOK KUANTITATIF (HANTARAN O2 BERKURANG) Aliran berkurang (syok hipovolemik & kardiogenik) Pada syok hipovolemik, kardiogenik dan obstruktif, defek primer adalah penurunan curah jantung, yang mengakibatkan hipoperfusi, hipotensi dan metabolisme anaerob. Syok hipovolemik merupakan syok jenis terbanyak pada anak dan merupakan akibat dari penurunan volume sirkulasi (hipovolemia absolut atau relatif). Hipovolemia dikatakan ‘absolut’ bila disebabkan dehidrasi melalui kehilangan cairan ekstrasel, darah atau
  • 10.
    5 plasma; dan “relatif”bila volume intravaskular tidak adekuat untuk mengkompensasi hilangnya tonus vaskular, seperti pada sepsis atau anafilaksis, atau karena obat vasodilatasi. Syok kardiogenik disebabkan oleh penurunan curah jantung yang bersifat sekunder terhadap kerusakan dan/atau disfungsi miokard. Ini bisa disebabkan oleh jejas miokard (infeksi atau iskemia) atau lesi obstruktif (peningkatan afterload ventrikel kanan, peningkatan afterload ventrikel kiri, tamponade jantung) dan/atau kurangnya pengisian ventrikel (penurunan preload ventrikel kanan atau kiri, lesi katup, penurunan waktu pengisian yang disebabkan takiaritmia). Penurunan kandungan oksigen (syok hemoragik, gagal napas akut hipoksemik, keracunan) Syok hemoragik biasanya diakibatkan oleh hipovolemia dan anemia. Bila terjadi perdarahan pada pasien yang sebelumnya anemia, penurunan hantaran oksigen (DO2) jauh lebih besar. Berkurangnya kapasitas angkut oksigen oleh hemoglobin (Hb), dan DO2 yang tidak adekuat, dapat juga menyebabkan syok. Contohnya pada orang keracunan karbon monoksida , penurunan DO2 terjadi karena pengikatan kompetitif di mana hemoglobin lebih suka berikatan dengan karbon monoksida dibanding O2. Dan ini diperhebat dengan utilisasi O2 yang bersifat
  • 11.
    6 abnormal, karena karbonmonoksida mengganggu fosforilasi oksidatif yang mengakibatkan berkurangnya rasio ekstraksi oksigen (ERO2). Pada kasus ini, syok bersifat distributif dan kuantitatif. Pada setiap hipoksia akut karena kelainan paru, penurunan saturasi oksigen arteri (SaO2) menyebabkan penurunan DO2 segera setelah peningkatan curah jantung gagal mengkompensasi kebutuhan metabolik. Syok distributif sering terjadi sekaligus dengan syok hipovolemik dan/atau kardiogenik. Syok distributif ini diakibatkan oleh kelainan distribusi aliran ke berbagai organ, bersifat sekunder terhadap gangguan tonus vasomotor sebagaimana terjadi pada sepsis dan anafilaksis. Di samping sepsis, penurunan pengisian kapiler bisa terjadi sekunder terhadap perubahan reaktivitas vaskular, koagulasi intravaskular diseminata, difungsi sel endotel atau gangguan rheologi (meningkatnya adhesi sel darah), bersama dengan disfungsi mitokondria. Perubahan-perubahan ini ikut memperburuk utilisasi oksigen. Trauma medula spinalis merupakan bentuk spesifik dari syok distributif yang menjurus ke perubahan hemodinamik yang dalam. Kehilangan mendadak dari aliran simpatis dari medula spinalis dapat mengakibatkan penurunan mendadak dari tahanan tepi total dan curah jantung.
  • 12.
    PATOFISIOLOGI SYOK Gagal sirkulasimengakibatkan penurunan DO2 ke jaringan dan disusul oleh berkurangnya tekanan oksigen parsial sel (PO2). Bila sampai ke titik kritis PO2, fosforilasi oksidatif dibatasi oleh kurangnya oksigen, sehingga menggeser metabolisme dari aerob menjadi anaerob. Ini menghasilkan kenaikan laktat sel dan darah, serta asidosis laktat DO2 bergantung pada dua variabel: kandungan oksigen darah arteri (CaO2) dan curah jantung. CaO2 adalah produk dari kandungan Hb, arterial SaO2 dan kapasitas angkut oksigen dari hemoglobin. Selanjutnya, curah jantung bergantung pada detak jantung dan curah sekuncup, yang ditentukan oleh kontraktilitas miokard dan preload serta afterload. Pada anak, curah jantung lebih bergantung pada detak jantung dibanding curah sekuncup karena miokard belum matang. Metabolisme energi yang tidak adekuat dapat berasal dari peningkatan konsumsi oksigen total tubuh (VO2), walaupun DO2 normal. Kebutuhan oksigen 7
  • 13.
    8 bervariasi menurut jenisjaringan dan waktu.4 Walaupun kebutuhan oksigen tidak bisa diukur atau dihitung, VO2 dan DO2 keduanya bisa dihitung, dan dihubungkan sebagai berikut: VO2 = DO2 × ERO2 (oxygen extraction ratio) Pada kondisi normal, kebutuhan oksigen setara dengan DO2. Normal, ERO2 adalah kira-kira 25% yang berarti 25% dari oksigen yang dibawa akan diambil jaringan dan 75% kembali ke paru. ERO2 berbanding terbalik dengan SvO2, yang diperlihatkan dalam persamaan berikut: SvO2 = 1 - ERO2 Bila kebutuhan meningkat, DO2 harus menyesuaikan dan meningkat. Pada syok sirkulasi atau hipoksemia, karena DO2 berkurang, VO2 dipertahankan dengan peningkatan kompensatorik dari ERO2. Namun, jika DO2 turun terus, dicapai titik kritis dan ERO2 tidak bisa lagi bertambah untuk mengkompensasi penurunan DO2. Pada syok septik, oksigenasi jaringan bisa tidak adekuat sekalipun ada aliran darah normal yang disebabkan peningkatan banyak dari kebutuhan metabolik dan gangguan ekstraksi oksigen. Konsekuensi patofisiologis dari syok kardiogenik dan hipovolemik lebih berkaitan dengan defisiensi oksigen akut, sedangkan efek-efek patofisiologi dari syok septik diakibatkan oleh banyaknya produksi mediator radang.
  • 14.
    9 Pada syok septikada interaksi kompleks antara vasodilatasi patologis, hipovolemia relatif dan absolut, depresi miokard langsung dan perubahan distribusi aliran darah, yang terjadi akibat respon radang terhadap infeksi. Respon inflamasi yang berlebihan selanjutnya berperan terhadap gangguan hemodinamik dan iskemia jaringan yang tersebar, dengan berakhir sebagai disfungsi organ ganda. Referensi: 1. American Heart Association. 2005 American Heart Association guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergencycardiovascular care of pediatric and neonatal patients: pediatric advanced life support. Pediatrics 2006; 117: E1005–1028. 2. Carcillo JA, Fields AI, Task Force Committee Members. Clinical practice variables for hemodynamic support of pediatric and neonatal patients in septic shock. Crit Care Med 2002; 30: 1365–1378. 3. N adel S, Kissoon N, Ranjit S. Recognition and initial management of shock. In: Nichols DG, ed. Rogers’ textbook of pediatric intensive care, 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins, 2008, p. 372–383. 4. Vallet B, Tavernier B, Lund N. Assessment of tissue oxygenation in the critically ill. Eur J Anaesthesiol 2000; 17: 221–229.
  • 15.
    10 BAGIAN II Stadium Syok StadiumDini atau Syok Kompensata Pada syok dini atau kompensata, berbagai mekanisme kompensasi diaktifkan. Dalam menghadapi ancaman hipoperfusi, sistem saraf simpatis meningkatkan detak jantung (HR) dan tahanan pembuluh sistemik (SVR) melalui pelepasan katekolamin dari kelenjar adrenal. Sistem Renin-angiotensin-aldosteron juga diaktifkan, sehingga ikut menyebabkan vasokonstriksi dan mempertahankan SVR, serta retensi cairan melalui pemekatan urin. . Pada anak, tonus vaskular dipertahankan walaupun dalam keadaan aliran rendah pada syok septik dan kardiogenik1 . Oleh karena itu, anak bisa sering mempertahankan tekanan darah sebelum mereka berada dalam keadaan syok berat. Vasokonstriksi kompensatorik sering begitu mencolok hingga tekanan darah sistemik bisa berada dalam kisaran normal, sekalipun ada gangguan sirkulasi bermakna. Hipotensi khas merupakan temuan lanjut pada syok anak. Dengan vasokonstriksi darah dipintas menjauhi organ non-vital (kulit dan splanchnic bed) untuk diarahkan ke otak, jantung dan paru. Hasilnya adalah ekstremitas dingin dan bercak- bercak (mottled), capillary refill memanjang, serta
  • 16.
    11 takikardia yang diinduksikatekolamin. Jika syok dibiarkan, mekanisme kompensasi akan gagal dan pasien masuk ke stadium dekompensata. Kegagalan menormalkan nadi perifer, suhu kulit, serta capillary refill time dengan terapi adekuat akan berakibat fatal.2 ……………………………………. Anak banyak bergantung pada detak jantung untuk meningkatkan curah jantung. Kemampuan meningkatkan kontraktilitas sebagai respon terhadap stimulasi katekolamin terbatas karena massa otot yang tidak cukup dan “kekakuan” miokard anak dibandingkan jantung dewasa. 3 Bila mekanisme kompensasi diaktifkan, anak menjadi bergantung pada volume intravaskular (preload) untuk mempertahankan CO.4 Karena afterload sudah meningkat agar bisa mempertahankan SVR dan TD, kunci keberhasilan dalam resusitasi adalah menjaga volume intravaskular yang adekuat. Stadium dekompensata Bila mekanisme kompensasi gagal memenuhi kebutuhan metabolik yang meningkat di tingkat jaringan, maka akan terjadi syok dekompensata dengan hipotensi. Hipoksemia jaringan dan iskemia akan memicu metabolisme anaerob yang menghasilkan penimbunan laktat dan asidosis metabolik. Sejumlah metabolit vasoaktif seperti adenosin, nitric oxide juga dilepaskan dan tertimbun. Vasokonstriksi kompensatorik gagal sebagai akibat hipoksia. Darah kapiler menjadi lamban,
  • 17.
    12 leukosit bergerak kepinggir dan mikrotrombus terbentuk. Paralisis vasomotor dan disfungsi mikrosirkulasi memuncak ke hipoperfusi organ akhir, disfungsi dan gagal organ ganda. Hipoperfusi organ bermanifestasi sebagai perubahan status mental, takipnea, takikardia, letargi, urin sedikit atau tidak ada dan timbul bercak pada anggota gerak. Sekali tekanan darah turun, pasien akan berlanjut ke syok menetap (irreversible shock), jika tekanan perfusi ke jaringan tidak dipulihkan. Syok non- reversibel, sesuai namanya, adalah “the point of no return” dengan angka kematian tinggi apapun intervensinya. Referensi 1. Ceneviva G, Paschall JA, Maffei F, Carcillo JA. Hemodynamic support in fluid-refractory pediatric septic shock. Pediatrics 1998;102(2):e19 2. Kirklin JK, Blackstone EH, Kirklin JW, McKay R, Pacifico AD, Bargeron LM, Jr. Intracardiac surgery in infants under age 3 months: predictors of postoperative in-hospital cardiac death. Am J Cardiol 1981;48(3):507-12. 3. Feltes TF, Pignatelli R, Kleinert S, Mariscalco MM. Quantitated left ventricular systolic mechanics in children with septic shock utilizing noninvasive wall-stress analysis. Crit Care Med 1994;22(10):1647-58. 4. Lambert HJ, Baylis PH, Coulthard MG. Central-peripheral temperature difference, blood pressure, and arginine vasopressin in preterm neonates undergoing volume expansion. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 1998;78(1):F43-5
  • 18.
    13 BAGIAN III Manajemen Syokpada Anak di IGD Deteksi dini dan tatalaksana syok pada anak bisa menyelamatkan jiwa, tanpa memandang kategori diagnostiknya. Di sini ditekankan: 1) pengenalan dini dari takikardia, capillary refill yang memanjang, dan hipotensi 2) proses 3-langkah: akses pembuluh darah dan pemberian cairan serta infus epinefrin (pada sebagian kasus dengan hidrokortison) untuk pemulihan syok dalam jam pertama pasien masuk IGD. Walaupun garis besar proses tampak sederhana, dibutuhkan persiapan yang matang. Pasien syok harus dikenali pada triase dan cepat digiring ke ruang resusitasi, di mana pendekatan tim perlu untuk mencapai semua sasaran klinis dalam 1 jam. Sasaran klinis yang sensitif- waktu ini meliputi pemulihan capillary refill yang memanjang dan hipotensi serta indeks syok yang membaik. Sasaran dan proses yang dirangkum dalam bab ini bisa berhasil diterapkan mulai dari puskesmas sampai rumah sakit tersier dengan perencanaan dan pelatihan yang baik. Syok adalah suatu keadaan gagal energi akut di mana produksi ATP (adenosine triphosphate) tidak cukup untuk
  • 19.
    14 menopang fungsi selsistemik. Syok bisa disebabkan kurangnya hantaran oksigen (anemia, hipoksia, atau iskemia); kurang hantaran substrat glukosa (glikopenia); atau disfungsi mitrokondria (cellular dysoxia). Hantaran oksigen didefinisikan oleh persamaan berikut: DO2 (mL O2/min) = CaO2 (mL O2/L blood) X CO (L/min) Selanjutnya: CaO2 = Hb x 1,36 x SaO2 + PaO2 x 0.003 Syok anemik terjadi bila kadar hemoglobin terlalu rendah; syok hipoksia terjadi bila saturasi oksigen terlalu rendah; dan syok iskemik terjadi bila aliran terlalu rendah. Hantaran glukosa bergantung pada kadar glukosa, aliran darah dan insulin untuk sel-sel (misal, sel jantung) yang influks glukosanya bergantung insulin. Syok glikopenik bisa disebabkan oleh hipoglikemia ataupun resistensi insulin. Walaupun definisi syok ini logis dan mudah dipahami, namun tidak praktis karena pengukuran ATP tidak dilakukan. Oleh karena itu, pemeriksaan klinis menggunakan tanda-tanda tidak langsung untuk mendiagnosis dan menilai syok. Tanda-tanda ini harus mengidentifikasi stadium paling dini dari syok atau paling tidak patologi yang terjadi sebelum syok terdeteksi. Anemia diketahui dari pucat, takikardia kompensatorik,
  • 20.
    15 dan kadar hemoglobinkurang dari 8 g/dL. Takikardia meningkatkan curah jantung untuk mempertahankan hantaran oksigen sekalipun hemoglobin berkurang. Hipoksia diidentifikasi dengan takipnea kompensatorik dan penurunan Pao2, di bawah 60 mm Hg. Hemoglobin masih mengalami saturasi cukup sebelum ambang Pao2 dicapai. Takipnea menyebabkan penurunan Pco2, yang, sesuai dengan persamaan gas alveoli, menghasilkan peningkatan proporsional dari Pao2. Iskemia dikenali pada stadium dini sebagai takikardia. Terjadi penurunan aliran darah jika curah sekuncup berkurang akibat hipovolemia ataupun fungsi jantung yang buruk. Aliran pada kondisi ini bisa dipertahankan dengan meningkatkan detak jantung (CO = heart rate [HR] × stroke volume [SV]). Glikopenia dikenali pada stadium dini dengan hipoglikemia atau hiperglikemia ringan. Penggunaan terapi yang memulihkan anemia, hipoksia, iskemia dan glikopenia sebelum terjadinya defisiensi ATP bisa mencegah syok. Syok bisa didiagnosis dan dinilai berdasarkan progresi dari tanda-tanda klinis ini. Syok anemik terjadi bila kadar hemoglobin turun menjadi di bawah 6 g/dL, dan di klinis terlihat sebagai peningkatan detak jantung lebih dari persentil ke 98 untuk usia; perubahan status mental ; takipnea. Syok iskemik dikenali sebagai takikardia persisten dengan capillary refill lebih dari 2 detik, disertai
  • 21.
    16 vasokonstriksi sistemik untukmemelihara tekanan perfusi dan aliran darah ke organ pusat, antara lain otak dan ginjal. Jika aliran terus berkurang, akhirnya hipotensi terjadi dengan berkurangnya aliran darah ke otak dan perubahan status mental. Pada stadium akhir, syok bisa dikenali dengan adanya asidosis senjang anion. Dewasa ini, senjang anion lebih dari 16 mEq/L merupakan tanda yang mewakili dari deplesi ATP dan gagal energi. Bila hantaran oksigen tidak adekuat, metabolisme anaerob terjadi melalui glikolisis. Piruvat diubah menjadi laktat, dan asam laktat menyebabkan suatu senjang anion. Syok glikopenik bisa didiagnosis sebagai senjang anion lebih dari 16 mEq/L dengan adanya hipoglikemia (substrat tidak cukup), hiperglikemia (resistensi insulin), atau euglikemia (substrat tidak cukup + resistensi insulin). Bila pemakaian glukosa tidak adekuat, senjang anion lebih dari 16 mEq/L disebabkan oleh zat antara asam organik yang dihasilkan oleh katabolisme protein dan/atau lemak untuk menyediakan bahan bakar untuk siklus Krebs. Transfusi darah akan meningkatkan hemoglobin dan memulihkan takikardia dan takipnea pada pasien dengan syok anemik. Pemberian cairan dan dukungan inotropik meningkatkan curah sekuncup dan memulihkan takikardia serta mengurangi capillary refill menjadi < 2 detik pada pasien dengan syok iskemik. Pemberian
  • 22.
    17 glukosa sebagai dekstrosa10% pada kecepatan rumatan dengan penggunaan insulin untuk mengoreksi hiperglikemia akan menghasilkan euglikemia dan memulihkan senjang anion pada pasien dengan syok glikopenik. Syok, Skor Keparahan penyakit dan Prognosis Syok merupakan kontributor dari penyebab kematian pada anak. Kelainan-kelainan dalam parameter fisiologi yang mencerminkan tanda-tanda klinis syok merupakan prediktor kuat dari kematian pada dua sistem skoring , PRISM (pediatric risk illness severity and mortality score) dan PELOD (pediatric logistic organ dysfunction score). Pada PRISM, takikardia (>150 detak per menit untuk anak, >160 untuk bayi), takipnea (>50 napas per menit untuk anak, >60 untuk bayi), PaO2/FiO2 <300 mm Hg, glukosa (<60 atau >250 mg/dL), dan bikarbonat (<16 mEq/L) semuanya memprediksi mortalitas tinggi. Pada PELOD, hipotensi (systolic blood pressure [SBP] <65 mm Hg pada neonatus, <75 mm Hg pada bayi, <85 mm Hg pada anak, <95 mm Hg pada adolesen) dan menurunnya kesadaran (Glasgow coma scale score, 7-11) memprediksi mortalitas. Abnormalitas kreatinin serum (≥140 μmol/L pada usia < 7 hari, ≥55 μmol/L untuk usia 7 hari- 1 tahun; ≥100 μmol/L untuk usia 1 – 12 tahun; ≥140 μmol/L untuk anak di atas 12 tahun) dan waktu protrombin (<60%) atau international normalized ratio (INR) (≥1.4) juga memprediksi mortalitas. Syok yang
  • 23.
    18 memanjang dan deplesiATP lebih dari 1 jam menyebabkan peningkatan kadar kreatinin serum ketika sel-sel tubulus ginjal kehilangan orientasinya dan lepas ke tubulus, di mana obstruksi bisa mengakibatkan disfungsi atau gagal ginjal akut. Syok lama juga menyebabkan koagulasi intravaskular dengan konsumsi faktor-faktor pembekuan dan pemanjangan waktu protrombin. Curah jantung rendah (<2 L/menit/m2 ) juga memprediksi mortalitas. Ini bisa dinilai di klinis dengan capillary refill lebih dari 2 detik, suhu jempol kaki dingin, dengan selisih oksigen arteriovena yang besar (AVDO2), atau dengan pengukuran langsung curah jantung. Parr dkk1 memeriksa curah jantung CO dengan menggunakan teknik Fick-dilution indocyanine green dye injection pada bayi di bawah usia 6 bulan yang membutuhkan pembedahan jantung. Mereka memperlihatkan bahwa risiko mortalitas meningkat pada populasi ini bila cardiac index (CI) kurang dari 2 L/menit/m2 . Dukungan inotropik yang diikuti dengan penurunan afterload dengan nitroprusid dan volume loading efektif dalam memperbaiki CO pada anak-anak ini.2 Capillary refill kurang dari 2 detik merupakan tanda klinis bahwa CI lebih dari 2 L/menit/m2 pada populasi ini. Anak dengan syok septik tampaknya memerlukan CO lebih tinggi dibandingkan anak dengan syok kardiogenik semata.
  • 24.
    19 Pollack dkk3 menunjukkan hasilterbaik diamati pada pasien-pasien ini bila CI berada di antara 3,3 dan 6 L/menit/m2 pada anak dengan syok septik. Ceneviva dkk memperlihatkan bahwa anak dengan syok septik bisa saja memiliki salah satu dari 3 gangguan kardiovaskular4 : CO tinggi (>5,5 L/menit/m2 ) dan tahanan sistemik rendah (SVR; <800 dyne·sec/cm5), CO rendah (<3,3 L/menit/m2 ) SVR rendah, atau CO rendah dan SVR tinggi (>1200 dyne·sec/cm5 ). Mereka mendapatkan bahwa penggunaan vasopresor; inotrop + vasopresor; atau inotrop + vasodilator masing-masing memulihkan curah jantung ke kisaran yang dikehendaki. Serupa dengan Parr dkk 1 , mereka mendapatkan bahwa pasien dengan CO rendah memiliki risiko mortalitas tertinggi. Pemulihan tanda Syok pada waktu yang tepat memperbaiki prognosis Tanda-tanda dini dari syok yang dipulihkan pada waktu yang tepat memperbaiki prognosis pasien. Suatu kajian pada dewasa oleh Rivers dkk 5 menunjukkan pentingnya terapi yang tidak hanya memelihara tekanan darah melainkan juga hantaran oksigen. Para peneliti mengacak pasien syok dewasa yang datang di IGD untuk terapi yang ditujukan mencapai tekanan darah normal dan saturasi oksigen vena cava superior (Superior vena cava oxygen [SVCO2]) lebih dari 70% (setara dengan saturasi oksigen vena campur 62%) pada kelompok lain,
  • 25.
    20 dengan menggunakan transfusikonsentrat eritrosit untuk pasien dengan kadar hemoglobin di bawah 10 g/dL (untuk memulihkan syok anemik) kemudian cairan dan inotropik (untuk memulihkan syok iskemik) jika saturasi SVCO2 tetap di bawah 70%. Mitokondria biasanya menarik oksigen sesuai dengan kebutuhan metabolik. Hantaran oksigen ke mitokondria bergantung pada kapasitas angkut oksigen (persen hemoglobin), oksigen yang tersedia (saturasi oksigen dari hemoglobin plus oksigen yang larut dalam plasma), serta curah jantung. Jika persentasi hemoglobin dan saturasi oksigen arteri normal, hanya CO yang menjadi penentu hantaran oksigen. Ketika curah jantung (CO) berkurang, dan kebutuhan metabolik tetap sama, mitokondria menarik lebih banyak oksigen untuk mempertahankan konsumsi oksigen dan produksi energi yang sama. Bila ini terjadi, saturasi oksigen dari darah yang kembali ke jantung berkurang. Pada anak sehat saturasi SVCO2 adalah 75%. Rivers dkk5 mengamati bahwa pasien-pasien dalam kelompok pertama mencapai tekanan darah normal namun saturasi SVCO2 nya hanya 65%, sedangkan pada kelompok terapi kedua mempertahankan tekanan darah dan saturasi SVCO2 lebih dari 70%. Ini dicapai dengan lebih banyak transfusi darah, resusitasi cairan dan pemakaian inotropik. Kombinasi terapi yang ditujukan untuk memperbaiki tekanan darah dan hantaran oksigen ini menghasilkan penurunan mortalitas sebesar 50%
  • 26.
    21 disamping pemulihan kelainanwaktu protrombin. Upaya resusitasi yang ditujukan untuk mempertahankan tekanan darah dan curah jantung memperbaiki prognosis serta memulihkan koagulopati. Bila pasien dengan takikardia, saturasi SVCO2 < 70%, dan normotensi dinilai menurut kelompok terapi, mereka yang mendapat terapi dengan sasaran mencapai saturasi SVCO2 di atas 70% mendapat lebih banyak cairan dan obat inotropik. Komplikasi gagal organ ganda dan kematian lebih rendah dibanding kelompok yang saturasi SVCO2 tidak dipertahankan lebih dari 70%. Penulis menyebut syok tanpa hipotensi sebagai “cryptic shock.” Syok iskemik tanpa hipotensi bisa digambarkan menurut persamaan berikut: CO yang berkurang = MAP normal atau tinggi − CVP/SVR yang meninggi. Pemulihan syok iskemik yang normotensi mengurangi gagal organ dan mortalitas. Di IGD, pemasangan line sentral untuk pengukuran saturasi SVCO2 pada anak tidak sesering pada orang dewasa. Oleh karena itu Han dkkl 6 dan Orr dkk 7 memeriksa EGDT (early goal-directed therapy) untuk syok septik pada neonatus dan anak serta semua kasus syok di IGD, dengan memanfaatkan capillary refill yang memanjang >2 detik sebagai “surrogate marker” dari penurunan CO sesuai dengan laporan Parr dkk1
  • 27.
    22 ketimbang menggunakan penurunansaturasi SVCO2. Mortalitas dan neuromorbiditas meningkat lurus dengan a) takikardia sendiri, b) hipotensi dengan capillary refill normal, c), pemanjangan capillary refill tanpa hipotensi, d) pemanjangan capillary refill dengan hipotensi. Pemulihan tanda-tanda klinis ini di IGD dapat menurunkan mortalitas dan neuromorbiditas sebanyak > 50%. Setiap jam keterlambatan pemulihan dari hipotensi dan capillary refill menjadi < 2 detik akan disusul oleh odds ratio kematian 2 kali lipat akibat gagal organ ganda. Glikopenia adalah defisiensi glukosa dalam jaringan. Glikopenia penting dipulihkan sebagaimana dicatat oleh van den Berghe 8 dkk pada unit bedah kritis dewasa. Para peneliti ini memberikan semua pasien dekstrosa 10% pada laju rumatan untuk memenuhi kebutuhan akan glukosa. Kemudian pasien diacak untuk kontrol euglikemia ketat dengan insulin untuk mempertahankan kadar glukosa antara 80 dan 120 mg/dL atau sesuai dengan praktek standar. Pada pasien yang mendapat insulin, rasio glukosa: laju infus glukosa menurun (45 vs 75) dibandingkan pasien yang tidak mendapat insulin dan mengalami penurunan mortalitas sebesar 50% (3% vs 7%). Semua perbaikan dalam hasil klinis disebabkan penurunan kematian akibat syok septik dan gagal organ ganda.
  • 28.
    23 Pemberian glukosa mencegahhipoglikemia, dan pemberian insulin untuk hiperglikemia menjamin hantaran glukosa ke dalam organ yang transporter glukosanya bergantung insulin, terutama sistem kardiovaskular. Dengan menggunakan asidosis senjang anion sebagai surrogate marker untuk gagal energi, Lin dkk [9] melaporkan bahwa peninggian rasio glukosa/ laju infus glukosa merupakan prediktor asidosis senjang anion pada anak dengan syok. Penggunaan insulin untuk menurunkan rasio tersebut, bisa mengatasi asidosis senjang anion pada pasien-pasien ini. Fisiologi dan Patofisiologi Respon stres Respon stres lazim dijumpai ketika sakit. Disebut juga “fight-or-flight response”, ini didominasi oleh aktivasi sistem saraf pusat dan simpatis. Sistem saraf pusat membebaskan hormon adrenokortikotropik, yang selanjutnya merangsang kelenjar adrenal untuk melepaskan kortisol. Sistem saraf simpatis melepaskan epinefrin dan norepinefrin.
  • 29.
    Kortisol memfasilitasi kerjakedua katekolamin ini. Epinefrin dan norepinefrin meningkatkan CO dengan meningkatkan detak jantung dan curah sekuncup. Kedua katekolamin ini juga meningkatkan tekanan darah. Epinefrin meningkatkan detak jantung dan kontraktilitas, sedangkan norepinefrin meningkatkan kontraktilitas dan tonus pembuluh darah sistemik. Untuk kebutuhan energi yang bertambah ini, glukagon juga disekresi. Glukagon meningkatkan hantaran glukosa ke siklus Krebs melalui aktivasi glikogenolisis dan glukoneogenesis. Respon Syok Respon syok terjadi ketika stres tidak lagi disebabkan “fight or flight” tetapi disebabkan penurunan akut dari 24
  • 30.
    25 hantaran oksigen dan/atauproduksi ATP. Perdarahan, hipovolemia karena diare yang berat dan mendadak atau disfungsi jantung dan pembuluh darah akibat sepsis, toksin atau obat-obatan, menyebabkan otak memimpin respon syok untuk menyelamatkan jiwa. Ini agak mirip dengan respon stres tetapi bersifat lebih mencolok. Kadar katekolamin dan kortisol lebih tinggi. Sebagai controh, kadar kortisol pada stres bisa mencapai 30 μg/dL, tetapi selama syok bisa mencapai 150 sampai 300 μg/dL. Sistem angiotensin/aldosteron dan antidiuretic hormone(vasopresin) juga diaktifkan untuk menjaga cairan intravaskular. Katekolamin menginduksi takikardia, sedangkan angiotensin, aldosteron dan vasopresin menyebabkan oliguria. Glukagon juga dilepaskan. Bersama-sama dengan kortisol dan katekolamin, glukagon menginduksi hiperglikemia melalui glukoneogenesis, disamping melalui resistensi insulin. Respon syok ini memungkinkan pasien untuk kompensasi jangka pendek (short-term survival) , namun intervensi medis sering dibutuhkan agar pasien selamat. Pemahaman dan penerapan prinsip fisiologi dibutuhkan untuk menyelamatkan pasien (long-term survival). Fisiologi kardiovaskular Sistem kardiovaskular bisa dipandang sebagai berikut: CO = MAP − CVP/SVR. Persamaan ini menjelaskan prinsip patofisiologi penting dari syok. Pertama,
  • 31.
    26 persamaan ini memandukita dalam mengelola tekanan darah. Tekanan perfusi (= Mean arterial pressure − CVP) lebih penting dari MAP sendiri. Menurut persamaan ini, sebagai contoh secara teoritis bisa dikatakan seseorang memiliki MAP normal tetapi tidak ada aliran maju (misal, CO), jika CVP setara dengan MAP. Bila kita melakukan resusitasi cairan untuk memperbaiki tekanan darah, kenaikan MAP harus lebih besar daripada kenaikan CVP. Jika kenaikan MAP lebih kecil dari kenaikan CVP, tekanan perfusi berkurang. Obat-obat kardiovaskular lah dan bukan tambahan cairan, yang diindikasikan untuk memperbaiki tekanan darah pada skenario ini. Persamaan ini juga menuntun kita dalam manajemen curah jantung (CO) atau aliran darah. Curah jantung bisa menurun bila MAP − CVP berkurang, tetapi bisa juga menurun ketika MAP − CVP normal dan ketika tahanan pembuluh darah meningkat. Tekanan perfusi bisa dipertahankan, sekalipun pada keadaan CO rendah, dengan meningkatkan tahanan pembuluh darah (lihat Gambar 1). Jadi, pasien dengan tekanan darah normal bisa saja memiliki CO yang tidak adekuat karena tonus pembuluh darah tinggi. Curah jantung bisa diperbaiki pada pasien ini dengan penggunaan inotrop, vasodilator dan volume loading.
  • 32.
    Gambar 1. Vasokonstriksisistemik bisa memelihara MAP dan tekanan perfusi sekalipun ada hipovolemia dan berkurangnya CO. Oleh karena itu syok harus dideteksi bila ada takikardia dan capillary refill yang memanjang, sebelum terjadi hipotensi. Frank dan Starling terkenal karena mempopulerkan prinsip-prinsip dasar yang mempengaruhi curah sekuncup (CO = heart rate [HR] × stroke volume [SV]). Frank mengamati bahwa serabut otot jantung berkontraksi lebih kuat bila diregang, sepanjang regangan serabut tersebut tidak berlebihan (overstretched). Starling melukiskan prinsip Frank ini dengan kurva yang mengaitkan hubungan curah sekuncup (sumbu y) dengan volume akhir-diastolik ventrikel (lihat Gambar 2). Curah sekuncup bergerak baik sepanjang kurva saat pengisian akhir diastolik 27
  • 33.
    28 meningkat ke titikdi mana ventrikel kepenuhan, dan selanjutnya curah sekuncup turun lagi. Preload yang tidak adekuat didefinisikan sebagai volume akhir-diastolik di bawah curah sekuncup maksimum. Gagal jantung bendungan terjadi bila preload atau volume akhir- diastolik berada di atas kisaran optimum ini. Disfungsi jantung digambarkan dengan pergeseran kurva ke arah bawah dan kanan. Kurva ini bisa digunakan untuk menunjukkan prinsip-prinsip pemberian cairan, obat inotropik dan vasodilator. Pasien yang curah sekuncupnya tidak adekuat sekalipun mendapat volume cairan cukup berarti memiliki kontraktilitas yang berkurang. Ini digambarkan dengan kurva sterling yang mendatar. Terapi inotropik memperbaiki kurva Sterling, dan menggesernya ke atas dan kiri. Curah sekuncup menjadi lebih besar untuk setiap volume akhir-diastolik pada pasien yang diberi terapi inotropik dibanding yang tidak diterapi. Pasien dengan syok kardiogenik membutuhkan vasodilator untuk memperbaiki kurva Sterling, menggesernya ke atas dan kiri. Pemberian volume loading sering dibutuhkan pada pasien-pasien ini karena terapi vasodilator sering menurunkan preload.
  • 34.
    Mekanisme Frank-Starling. Dengan meningkatkanalir-balik vena ke ventrikel kiri akan meningkatkan tekanan dan volume akhir-diastolik ventrikel kiri (LVEDP & LVEDV). Ini menghasilkan penambahan curah sekuncup (SV). Titik operasional “normal” adalah LVEDP ~ 8 mmHg dan SV ~ 70 ml/detak Perubahan-perubahan dalam afterload dan inotropi akan menggeser kurva Frank-Starling ke atas dan ke bawah Kurva Starling dan kurva ventricular compliance memprediksi respon fisiologis terhadap terapi cairan, inotropik, vasopresor dan vasodilator. Epinefrin 0,05 μg/kg/menit merupakan inotropik garis pertama dalam jam pertama resusitasi. Epinefrin bisa diberikan melalui 29
  • 35.
    30 vena perifer sampaididapat akses vena sentral (jika melalui vena tepi, harus diberikan dengan infus cairan lebih cepat untuk sampai ke jantung tepat waktu). Hubungan antara afterload dan curah sekuncup terbaik dilihat dengan modifikasi kurva compliance. Saat afterload atau tekanan diastolik aorta naik, curah sekuncup berkurang. Jantung yang berfungsi normal bisa mentoleransi peningkatan tekanan diastolik aorta dengan cukup baik. Akan tetapi, jantung dengan kontraktilitas yang berkurang tidak bisa mentoleransi peningkatan afterload. Ini menjelaskan efek baik dari terapi vasodilator terhadap kurva Starling. Penurunan afterload dengan vasodilator menurunkan tekanan diastolik aorta dan memperbaiki curah sekuncup, khususnya pada jantung yang kontraktilitasnya kurang baik. Namun, patut diperhatikan bahwa tekanan diastolik merupakan determinan penting dari tekanan perfusi arteri koroner. Dua pertiga dari siklus jantung digunakan dalam diastole. Takikardia, penurunan tekanan diastolik atau meningkatnya tegangan dinding dada (wall stress), bisa mengurangi pengisian koroner. Penggunaan terapi vasodilator harus ditujukan mengurangi wall stress (penurunan afterload) tanpa menyebabkan takikardia atau hipotensi diastolik.
  • 36.
    31 Fisiologi Pembekuan Pada homeostasis,darah berada dalam keadaan tidak membeku. Namun pada keadaan syok yang memanjang, terjadi trombosis dan hipofibrinolisis. Ini disebabkan sebagian oleh stasis, deplesi ATP sel endotel dan aktivasi sel endotel yang dimediasi oleh peradangan sistemik. Endotel yang teraktivasi bersifat prokoagulan dan antifibrinolitik. Ini menyebabkan konsumsi protein prokoagulan maupun antikoagulan di dalam trombosit dan trombus fibrin. Inilah mekanisme di mana pasien meninggal akibat syok biasa mengalami trombosis dan perdarahan. Waktu protrombin yang memanjang berbanding lurus dengan waktu mencapai resusitasi dan tidak langsung dengan jumlah cairan resusitasi yang diberikan. Pemulihan syok yang cepat dengan resusitasi cairan, inotropik dan vasodilator memulihkan dan mencegah koagulasi intravaskular diseminata dan perdarahan. Pada resusitasi yang tertunda, penggantian protein antikoagulan, seperti protein C mungkin berguna. Pada trombosis yang mengancam jiwa atau anggota gerak, terapi fibrinolitik bisa efektif memulihkan aliran darah.
  • 37.
    32 Goal-Directed Therapy Sasaran klinis Resusitasisampai tercapai sasaran klinis merupakan prioritas utama. Pasien harus diresusitasi sampai status mental normal, kualitas nadi normal baik proksimal dan distal, suhu sentral dan perifer sama, capillary refill < 2 detik, dan jumlah urin > 1 mL/kg/jam. Dua puluh persen darah menuju otak, dan 20% menuju ginjal. Oleh karena itu, pemeriksaan klinis terhadap kedua organ ini sangat berguna. Ke 2 organ ini mengatur aliran darah dengan autoregulasi dan bergantung pada tekanan perfusi (MAP − CVP) untuk mempertahankan perfusi. Endotoksemia, sirosis, aminoglikosida, cisplatin, takrolimus, dan siklosporin A menginduksi vasokonstriksi glomerulus. Pada anak, dibutuhkan tekanan perfusi yang lebih tinggi untuk menembus ginjal dan memelihara jumlah urin. Kualitas nadi distal, suhu dan pengisian ulang kapiler mencerminkan tonus pembuluh darah sistemik dan curah jantung. Capillary refill dan suhu ibu jari kaki yang normal menjamin cardiac index (CI) lebih dari 2 L/menit/m2 . Resusitasi cairan harus dipantau dengan menggunakan temuan klinis seperti terabanya pinggir hati, ronkhi, takipnea atau batuk produktif, sebagai indikasi untuk menghentikan resusitasi cairan dan memulai terapi inotropik.
  • 38.
    33 Sasaran Hemodinamik danPenggunaan Oksigen Detak jantung normal menurut usia dan tekanan perfusi normal menurut usia adalah sasaran hemodinamik awal sebelum memasang akses vena sentral. Resusitasi cairan bisa dipantau dengan mengamati detak jantung dan selisih MAP − CVP. Detak jantung akan berkurang, dan MAP − CVP akan bertambah bila resusitasi cairan efektif. Detak jantung akan meningkat dan MAP − CVP akan berkurang, jika terlalu banyak cairan. Indeks syok (HR/SBP) bisa digunakan untuk menilai keberhasilan terapi cairan maupun inotropik. Karena curah sekuncup meningkat dengan terapi, detak jantung akan berkurang dan tekanan darah sistolik (SBP) akan naik. Indeks syok akan berkurang. Jika curah sekuncup tidak membaik dengan resusitasi, detak jantung tidak akan berkurang, SBP tidak akan meningkat, dan indeks syok tidak membaik. Pada pasien yang dipasang kateter vena sentral (vena cava superior), saturasi oksigen > 70% harus digunakan sebagai sasaran. Jika kurang dari 70% dan anemis, anak harus ditransfusi untuk mencapai kadar hemoglobin di atas 10 g/dL. Jika saturasi oksigen vena sentral kurang dari 70% tanpa anemia, bisa digunakan inotrop dan vasodilator untuk memperbaiki CO sampai saturasi vena sentral di atas 70%. AVDO2 juga bisa dikalkulasi dengan
  • 39.
    34 sasaran hemodinamik 3%sampai 5%. Jika lebih lebar dari 5%, CO harus ditingkatkan dengan terapi sampai AVDO2 kembali ke kisaran normal. AVDO2 paling akurat bila kateter vena sentral terletak di arteri pulmonalis. Curah jantung bisa diukur dengan menggunakan PiCCO (Philips Medical Systems, Bothell, Wash), thermodilusi arteri femoralis, kateter arteri pulmonalis, atau ekokardiografi Doppler. Sasarannya adalah cardiac index (CI) lebih dari 2 L/menit/m2 pada syok kardiogenik dan antara 3,3 dan 6 L/menit/m2 pada syok septik. Sasaran Biokimia Banyak yang menggunakan laktat sebagai ukuran metabolisme anerob; namun laktat bisa meninggi karena berbagai kondisi sekalipun tanpa adanya syok. Ini meliputi, kelainan metabolisme, penyakit limfoproliferatif, gagal hati, dan sepsis. Laktat paling berguna pada evaluasi syok kardiogenik pra dan pasca bedah (walaupun kadarnya bisa meningkat sekalipun tidak ada penurunan aliran). Untuk pasien-pasien ini risiko kematian meningkat saat kadar laktat serum naik di atas 2,0 mmol/L. Bila digunakan sebagai sasaran hemodinamik, targetnya adalah kadar < 2.0 mmol/L. Ada juga yang menggunakan asidosis senjang anion (anion gap acidosis) sebagai sasaran biokimia. Asidosis senjang anion bisa disebabkan oleh metabolisme anaerob pada keadaan aliran rendah dan adanya asam organik pada
  • 40.
    35 keadaan glikopenia. Sasaransenjang anion (anion gap) adalah kurang dari 16 mmol/L. [Catatan: yang dimaksud senjang anion atau anion gap di sini adalah (Na+ + K+ ) - (Cl- + HCO3 - ) dan perlu dikoreksi dengan kadar albumin (g/L), yakni Corrected AG = AG + [0.25 x (44 - albumin)] Jika pasien telah mendapat bikarbonat, akan menyelubungi asidosis, tetapi tidak akan menyelubungi senjang anion. Asidosis Non–anion gap yang disebabkan kelebihan ion klorida, banyak dijumpai pada pasien yang diresusitasi dengan NaCl 0.9%. Asidosis menetap walaupun senjang anion telah normal, karena asidosis di sini disebabkan pemberian anion kuat (Cl- ) dan bukan karena gagal energi. Kadar Troponin I bisa digunakan sebagai marker terapi untuk cidera atau disfungsi jantung. Kadar Troponin I meningkat pada cidera miokard dan menjadi normal dengan memulihnya jejas. Bersihan kreatinin bisa digunakan sebagai marker terapi untuk disfungsi ginjal. Bersihan kreatinin akan membaik saat hemodinamik ginjal membaik. Tatalaksana Syok Cairan Terapi cairan terbanyak digunakan pada resusitasi syok pada bayi dan anak. Digunakan untuk memulihkan status hipovolemia dan mengoptimalkan kurva Starling untuk
  • 41.
    36 menghasilkan aliran danCO optimal untuk berbagai derajat kontraktilitas. Kira-kira 8% dari volume darah total dikandung dalam sisi arteri, 70% dalam sisi vena, dan 12% di jaringan kapiler. Volume darah total pada neonatus 85 mL/kg dan 65 mL/kg pada bayi. Resusitasi cepat bisa memulihkan volume sirkulasi. Karena kemampuan vasokonstriksi yang bermakna, hipotensi tidak muncul sebelum 50% dari volume darah hilang. Oleh karena itu, bolus cepat 30 sampai 40 mL/kg dibutuhkan untuk memulihkan volume intravaskular. Jika ada kebocoran kapiler dan digunakan kristaloid untuk resusitasi, dibutuhkan volume yang sangat besar dalam jam pertama (bisa sampai 200 mL/kg pada syok septik). Kristaloid dan koloid dua-duanya bisa digunakan untuk ekspansi volume. Dibutuhkan lebih sedikit koloid dibanding kristaloid karena koloid lebih lambat mengalami redistribusi ke ekstravaskular. Dalam uji acak terkontrol dan berskala besar, albumin terlihat lebih efektif pada pasien dewasa dengan sepsis/syok septik dibandingkan kristaloid 10 . Pada uji acak dan terkontrol pada anak dengan DSS (dengue shock syndrome), kinerja kristaloid dan koloid sama baik11 . Sebagian peneliti menggunakan kristaloid sebagai cairan garis pertama dan disusul dengan koloid jika dibutuhkan 12 .
  • 42.
    37 Bolus cairan cepattidak hanya memulihkan volume intravaskular, melainkan juga menekan ekspresi gen peradangan dan koagulasi. Ekspansi volume yang cepat dan agresif pada jam pertama memperbaiki survival pada model syok hewan maupun manusia. Namun, pemberian cairan pada neonatus dan anak-anak harus hati-hati, karena berpotensi memperburuk gagal jantung akibat kardiomiopati atau penyakit jantung kongenital. Anak- anak bisa “didorong” keluar kurva Starling jika dikelola terlalu agresif. Volume 10 mL/kg direkomendasikan dengan pemantauan CVP/tekanan atrium kiri/ tekanan oklusi arteri pulmonalis pada pasien-pasien ini. Darah Pada pasien dengan syok anemik dibutuhkan darah. Mitokondria tidak bisa menarik 20% terakhir dari oksigen yang berikatan dengan hemoglobin. Pada kondisi normal, mitokondria menarik 25% oksigen yang berikatan dengan hemoglobin. Di klinis ini terlihat dengan saturasi oksigen vena campur 75% pada orang sehat dengan saturasi oksigen darah arteri 100%. Pada anak dengan hemoglobin 10 g/dL, hanya 8 g/dL tersedia untuk ekstraksi (20% tidak bisa ditarik), dan 2,5 g/dL digunakan untuk ekstraksi oksigen, sehingga tinggal kelebihan 5,5 g/dL hemoglobin. Pada keadaan hemolisis, syok hemolitik bisa terjadi bila surplus ini hilang atau kadar hemoglobin turun di bawah 5 g/dL. Angka kematian
  • 43.
    38 meningkat bila kadarHb turun di bawah 6 g/dL. Ini juga berlaku untuk syok hemoragik. Transfusi darah menyelamatkan jiwa dalam hal ini. Whole blood tersedia di banyak tempat dan begitupula konsentrat eritrosit (packed red blood cells). Konsentrasi lazim dari hemoglobin pada konsentrat eritrosit adalah 20 g/dL. Karena volume darah anak berkisar antara 85 mL/kg pada neonarus sampai 65 mL/kg pada anak, 10 mL/kg konsentrat eritrosit akan menaikkan kadar hemoglobin sekitar 2 g/dL. Obat Inotropik Obat inotropik digunakan untuk meningkatkan kontraktilitas dan CO. Dobutamin adalah agonis β1- adrenergik dengan aksi kronotropik dan inotropik. Dobutamin dianggap sebagai agonis parsial. Pada dewasa dobutamin efektif; tetapi, ada ketidakpekaan obat ini pada anak yang bersifat spesifik-usia. Perkin dkk13 memperlihatkan bahwa anak di bawah usia 2 tahun kurang responsif terhadap dobutamin. Pada dosis lebih dari 10 μg/kg/menit, dobutamine bisa mengurangi afterload secara bermakna, dan kadang-kadang hipotensi. Ini diduga terjadi karena dobutamin pada dosis ini memiliki efek reseptor α2 yang menghambat pelepasan norepinefrin dari terminal presinaptik. Pada gilirannya ini menurunkan tonus pembuluh darah.
  • 44.
    Epinefrin merupakan inotroppilihan pasien yang gagal dengan terapi dobutamin (lihat Gambar 3). Dewasa dan anak yang resisten terhadap terapi dobutamin umumnya merespon epinefrin 14 . Epinefrin adalah neurohormon alamiah, yang dihasilkan untuk meningkatkan kontraktilitas selama stres dan syok. Epinefrin merupakan agonis β1-, β2-, α1-, dan α2-adrenergik. Pada dosis lebih rendah (0,05 μg/kg/menit) efek β- adrenergik meniadakan efek α1-adrenergik, sehingga menghasilkan kualitas inotropik yang hampir murni. Efek α1-adrenergik menjadi lebih menonjol saat dosis epinefrin mencapai dan melebihi 0,3 μg/kg/menit. Pasien gagal jantung dengan peningkatan tahanan tepi (SVR) mungkin dirugikan dengan dosis epinefrin yang lebih tinggi, kecuali jika diberikan berbarengan dengan vasodilator atau inodilator. 39
  • 45.
    40 Gambar 3. Inotropseperti epinefrin merangsang reseptor β- adrenergik, yang meningkatkan kalsium intrasel selama sistole dan mengurangi kalsium intrasel selama diastole. Ini diselesaikan melalui sistem pembawa pesan kedua, cAMP. Penghambat fosfodiesterase tipe III bisa memprotensiasi efek-efek ini dengan mencegah pemecahan cAMP. Vasodilator Vasodilator digunakan untuk menurunkan tahanan tepi pulmoner dan sistemik serta memperbaiki CO (lihat Gambar 4). Vasodilator golongan nitrat bergantung pada pelepasan nitrosothiol, yaitu donor nitric oxide, untuk mengaktifkan soluble guanylate cyclase dan melepas cGMP (cyclic guanosine monophosphate). Nitroprusid merupakan vasodilator sistemik dan pulmoner. Dosis awal adalah 1 μg/kg/menit. Nitrogliserin memiliki efek yang agak selektif dan bergantung dosis. Nitrogliserin merupakan vasodilator koroner pada dosis di bawah 1 μg/kg/menit, vasodilator pulmoner pada dosis 1 μg/kg/menit, dan vasodilator sistemik pada 3 μg/kg/menit. Nitric oxide inhalasi merupakan vasodilator pulmoner selektif, yang bisa dimulai 5 ppm. Prostaglandin merupakan vasodilator yang meningkatkan kadar cyclic adenosine monophosphate (cAMP). Prostasiklin bisa dimulai 3 ng/kg/menit. Prostaglandin E1 bisa dimulai pada 0,1 μg/kg/menit dan efektif mempertahankan duktus arteriosus yang terbuka pada neonatus dengan penyakit jantung bawaan yang bergantung duktus .
  • 46.
    Gambar 4. Vasokonstriktordan vasodilator merangsang sistem-sistem pembawa pesan kedua yang berlawanan. Agonis α-adrenergik, angiotensin, dan vasopresin merangsang reseptor-reseptor yang berbeda, yang merangsang produksi inositol 1,4,4-triphosphate (IP3) dan diasilgliserol (DAG), sehingga menyebabkan peningkatan kadar ionized calcium (Ca ++ )dan kontraksi. Agonis β2-adrenergik dan vasodilator prostanoid merangsang produksi cAMP dan nitrovasodilator dan inhaled nitric oxide (iNO) merangsang produksi cGMP(guanosine monophosphate). Pembawa pesan ini menurunkan Ca ++ dan menginduksi vasodilatasi. Inhibitor Fosfodiesterase Tipe III dan V bisa mempotensiasi efek vasodilator. PKC = protein kinase C. Inodilator 41 Inhibitor fosfodiesterase (PDEI) merupakan kelompok obat penting, yang memediasi inotropi dan vasodilatasi dengan mencegah hidrolisis cAMP (PDEI tipe III, milrinon, amrinon, enoximon, atau pentoksifilin). Pada monoterapi,
  • 47.
    42 peningkatan cAMP inimemperbaiki kontraktilitas dan relaksasi diastolik dan juga menyebabkan vasodilatasi arteri pulmoner dan sistemik. Interaksi PDEI dengan obat inotropik, vasodilator dan bahkan vasopresor bisa digunakan pada pasien syok (lihat Gambar 3). Sebagai contoh, epinefrin bisa tetap sebagai inotrop poten dan relatif murni pada dosis lebih tinggi. Untuk setiap dosis epinefrin, PDEI tipe III mencegah pemecahan cAMP yang dihasilkan oleh stimulasi β1- dan β2-adrenergik. Peningkatan cAMP intrasel ini menghambat efek-efek stimulasi α1-adrenergik. Jadi, vasokonstriksi tidak mudah terjadi pada dosis epinefrin yang lebih tinggi. Norepinefrin juga bisa menjadi inotrop yang lebih efektif sementara mempertahankan efek vasopresornya bila diberikan bersama dengan PDEI tipe III. Produksi cAMP di reseptor β1 tidak dihidrolisis. Peningkatan cAMP di otot jantung memperbaiki kontraktilitas dan relaksasi. Efek-efek α1- dan α2-adrenergik tetap sama karena tanpa stimulasi β2 , milrinon memiliki efek minimal terhadap vasodilatasi dibandingkan dengan vasokonstriksi α-adrenergik yang dimediasi norepinefrfin. Masalah utama dengan obat fosfodiesterase yang digunakan dewasa ini adalah waktu paruhnya relatif panjang dibandingkan dengan katekolamin dan nitrovasodilator. Katekolamin dan nitrovasodilator dieliminasi dalam beberapa menit, sedangkan PDEI tidak
  • 48.
    43 dieliminasi setelah berjam-jam.Waktu-paruh eliminasi ini lebih penting bila ada gagal organ. Contohnya, eliminasi milrinon lebih dominan melalui ginjal dan amrinon melalui hati. Bila toksisitas seperti hipotensi atau takiaritmia terlihat, obat-obat ini harus dihentikan. Yang menarik, norepinefrin telah dilaporkan efektif sebagai antidotum dari toksisitas ini. Seperti telah disebutkan, norepinefrin merupakan agonis α1-adrenergik tetapi dengan aktivitas agonis β1 dan bukan β2. Norpinefrin meningkatkan tekanan darah (efek α1-adrenergik) dan CO (efek β1- adrenergik) namun tidak menyebabkan eksaserbasi efek vasodilatasi PDEI (tidak ada efek β2-adrenergik). Isoproterenol merupakan inodilator penting dengan aktivitas β1- dan β2-adrenergik. Obat ini penting dalam tatalaksana blok jantung, status asmatikus refrakter, dan krisis hipertensi pulmoner dengan gagal ventrikel kanan. Levosimendan mewakili kelompok inodilator baru yang mensensitisasi pengikatan kalsium pada kompleks aktin- tropomiosin. Efek lainnya adalah memperbaiki kontraktilitas dan juga hiperpolarisasi saluran kalium, sehingga menyebabkan vasodilatasi. Vasopresor Fenilefrin adalah agonis murni reseptor α-adrenergik. Peran utamanya pada anak adalah untuk memulihkan sianosis (spell) pada tetralogi Fallot. Bayi dan anak
  • 49.
    44 dengan tetralogi Fallotmengalami penebalan infundibulum yang cenderung spasme dan menyebabkan aliran darah kanan-ke-kiri melalui defek septum ventrikel. Spasme bisa hebat sehingga mencegah aliran darah melalui paru. Terapi meliputi oksigen dan morfin untuk merelaksasi infundibulum dan posisi knee-to-chest untuk meningkatkan afterload dan membantu menghasilkan aliran kiri-ke-kanan melalui defek septum ventrikel. Bila perasat-perasat ini gagal, obat pilihannya adalah fenilefrin. Peningkatan vasokonstriksi arteri sistemik mengakibatkan pintasan kiri-ke-kanan dan perfusi paru. Karena fenilefrin tidak memiliki efek β-adrenergik, obat ini tidak meningkatkan detak jantung. Jadi pengisian jantung lebih baik. Juga penyempitan infundibulum tidak diperburuk oleh kontraktilitas yang meningkat. Baru-baru ini telah muncul kembali minat untuk memanfaatkan 2 vasopresor kuno: angiotensin dan vasopresin (lihat Gambar 4). Angiotensin berinteraksi dengan reseptor angiotensin dan memediasi vasokonstriksi melalui sistem pembawa pesan kedua fosfolipase C. Waktu-paruhnya relatif panjang dibandingkan katekolamin . Angiotensin juga memediasi tekanan darah melalui peningkatan sekresi aldosteron. Patut diperiksa apakah pemakaian angiotensin menurunkan CO pada anak dengan hipotensi karena angiotensin tidak memiliki efek inotropik. Vasopresin juga
  • 50.
    45 telah “ditemukan” kembali.Berbeda dengan angiotensin, vasopresin diberikan hanya dalam dosis fisiologis dan diduga memperbaiki tekanan darah. Mekanismenya bukan saja melalui interaksi dengan reseptor angiotensin sistem fosfolipase C, melainkan juga dengan meningkatkan pelepasan hormon adrenokortikotropik dan selanjutnya pelepasan kortisol. Vasopresor ini juga harus digunakan dengan hati-hati karena bisa menurunkan CO pada anak dengan fungsi jantung yang kurang baik. Inovasopresor Dopamin adalah inotropik/vasopresor yang paling banyak digunakan. Efeknya bergantung dosis. Pada kisaran dosis 3 sampai 10 μg/kg/menit, reseptor β1-adrenergik dirangsang. Pada dosis lebih dari 10 μg/kg/menit, efek terhadap reseptor α1-adrenergik menjadi lebih mencolok. Seperti halnya dobutamin, ada ketidakpekaan terhadap obat yang dipengaruhi usia. Dopamin memediasi kebanyakan efek-efek β1- dan α1-adrenergik nya melalui pelepasan norepinefrin dari vesikel simpatis Hewan muda dan bayi di bawah usia 6 bulan tidak memiliki jumlah vesikel simpatis lengkap. Ini dikemukakan sebagai penyebab dari berkurangnya efektivitas dopamin pada kelompok usia ini. Anak yang lebih besar dan dewasa ada juga yang tidak peka terhadap dopamin, khususnya mereka yang kehabisan cadangan katekolamin endogen.
  • 51.
    46 Norepinefrin efektif untuksyok yang resisten dengan dopamin. Efeknya dimediasi melalui reseptor β1-, α1-, dan α2-adrenergik. Norepinefrin selalu bersifat inotropik, tetapi kualitas vasopresornya lebih mencolok bahkan pada dosis rendah 0,01 μg/kg/menit. Dopamin dan norepinefrin memiliki peran terbesar dalam memelihara perfusi yang adekuat pada anak dengan syok. Fungsi ginjal bisa membaik dengan menggunakan inovasopresor ini sampai ke titik di mana tekanan perfusi ginjal adekuat. Hidrokortison Hidrokortison juga “ditemukan kembali”. Insufisiensi adrenal di tingkat pusat dan perifer semakin banyak dijumpai di ICU anak. Banyak anak yang mendapat terapi untuk penyakit kronis dengan steroid mengalami supresi aksis hipofisis-adrenal. Banyak anak memiliki anomali sistem saraf pusat dan penyakit dapatan. Ada anak yang mengidap purpura fulminans dan sindrom Waterhouse- Friderichsen. Lainnya memiliki penurunan dalam aktivitas sitokrom P450, produksi kortisol dan aldosteron. Yang menarik, insufisiensi adrenal bisa tampil dengan CO rendah dan SVR tinggi, atau dengan CO tinggi dan SVR rendah. Diagnosis harus dipikirkan pada setiap anak dengan syok yang resisten terhadap epinefrin atau norepindefrin. Dosis hidrokortison yang dianjurkan di kepustakaan adalah 50 mg/kg hidrokortison suksinat,
  • 52.
    47 disusul oleh dosissama selama 24 jam16 . Dosis yang dianjurkan untuk stres adalah 2 mg/kg disusul oleh dosis sama yang diberikan dalam 24 jam. Insufisiensi adrenal sentral dan perifer mungkin didiagnosis pada bayi atau anak yang membutuhkan epinefrin atau norepinefrin untuk syok dan memiliki kadar kortisol kurang dari 18 mg/dL 15 . Sebelum memberikan hidrokortison untuk pasien syok, penting dipahami 2 konsep. Pertama, dosis hidrokortison terlihat lebih tinggi karena ada potensi glukokortikoid relatif. Hidrokortison harus dikalikan 6 untuk memiliki glukokortikoid setara dengan metilprednisolon, dan dikalikan 30 untuk memiliki glukokortikoid setara dosis deksametason; kendati demikian, hidrokortison memiliki efek glukokortikoid dan mineralokortikoid. Oleh karena alasan inilah digunakan hidrokortison, bukan metilprednisolon ataupun deksametason. Kedua, kadar kortisol berbeda selama stres dan syok, sehingga upaya untuk mengatasi pasien dengan insufisiensi adrenal harus ditujukan untuk mencapai kadar-kadar ini. Selama stres pembedahan, kadar kortisol bisa mencapai kisaran 30 μg/dL. Namun, selama syok akut, kadar kortisol bisa mencapai 150 sampai 300 μg/dL. Pemberian infus hidrokortison 2 mg/kg/hari (50 mg/m2 /hari) menghasilkan kadar kortisol 20 sampai 30 μg/dL. Infus hidrokortison
  • 53.
    48 pada dosis 50mg/kg/hari menghasilkan kadar kortisol 150 μg/dL. Glukosa dan Insulin Glukosa dan insulin sama-sama berfungsi sebagai inotropik, meningkatkan produksi cAMP serta ATP di jantung. Jumlah glukosa yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hantaran glukosa adalah dekstrosa 10% dengan kecepatan rumatan. Jumlah insulin yang dibutuhkan bisa bervariasi dari 0 sampai lebih dari 1 U/kg/jam, dengan konsentrasi insulin lebih tinggi dibutuhkan pada resistensi inulin yang lebih besar. Laju infus insulin yang tinggi bisa diikuti oleh gangguan elektrolit. Pemantauan fosfor, kalsium,magnesium, dan kalium dianjurkan bila menggunakan terapi ini. 16 . Atropin dan Ketamin Sedasi untuk prosedur IV invasif atau intubasi mungkin dibutuhkan oleh pasien syok. Ketamin bukan saja obat pilihan untuk indikasi ini, namun juga bersifat inovasopresor yang memadamkan produksi interleukin-6. Ketamin menginduksi pelepasan norepinefrin endogen. Pada kajian eksperimental, ketamin meningkatkan survival dari syok septik karena bersifat antagonis terhadap reseptor asam N-metil-d-aspartat. Ini menekan radang sistemik dan memulihkan supresi miokard. Pada
  • 54.
    49 pasien dewasa yangmenjalani bedah pintas kardiopulmoner, infus ketamin dengan laju 0,25 mg/kg/jam mengurangi peradangan sistemik dan memperbaiki fungsi jantung 17 . Ketamin memungkinkan pembiusan yang aman pada syok septik dewasa. Atropin harus diberikan bersama ketamin untuk mengurangi sekresi bronkus (bronchorrhea). Penambahan benzodiazepin bisa diperlukan atau tidak untuk menjaga pasien tidak terbangun selama pemberian sedasi. Hipothermia Hipothermia telah lama digunakan pada bedah jantung anak dan neonatus. Rasionale nya adalah penurunan suhu menghemat kebutuhan energi. Kadar ATP yang lebih sedikit dibutuhkan untuk menyediakan tingkat suhu yang lebih rendah untuk fungsi sel vital. Dengan setiap kenaikan satu derajat celsius di atas 37°C, metabolisme energi bertambah sebesar kira-kira 10%. Dengan setiap penurunan suhu, hubungannya berbeda. Pada 35°C sampai 36°C, kebutuhan energi sebenarnya meningkat karena terjadi menggigil. Suhu ini dipenuhi dengan respon kardiovaskular, yang meliputi vasokonstriksi dan peningkatan tekanan darah. Pada 34°C, kebutuhan energi menjadi normal, tetapi aliran darah meningkat di dalam otak. Di bawah 33°C, kebutuhan energi berkurang; tetapi, di bawah 30°C, aritmia ventrikel dan asistole menjadi faktor risiko. Selama pintas kardiopulmoner,
  • 55.
    50 hipothermia dalam, dibawah 18°C, diperlukan untuk mengurangi kebutuhan ATP sampai ke tingkat yang memungkinkan pembedahan. Kadar hemoglobin dan saturasi oksigen yang adekuat dibutuhkan untuk memelihara kadar oksigen lebih tinggi. Di samping itu, pH normal yang dikoreksi suhu dibutuhkan untuk aliran darah otak yang optimal. Glukosa juga harus dihantarkan untuk memenuhi kebutuhan produksi ATP. Pada sebagian pasien dengan syok refrakter, hipothermia ringan/moderat mungkin berguna sebagai jembatan untuk dukungan mekanis ekstrakardiak. Jika pasien berada dalam syok refrakter, dan setiap keputusan dibuat untuk melakukan dukungan ekstrakardiak, sebaiknya menghangatkan badan pasien di atas 34°C sebelum memulai. Segera setelah pasien berada pada dukungan mekanis ekstrakardiak, pasien boleh dihangatkan dengan pemahaman bahwa vasodilatasi akan membutuhkan pengisian volume kepada pasien. Kesimpulan Syok pada anak harus dikenali sejak mereka datang di ruang gawat darurat. Deteksi dini dan tatalaksana seksama dari syok bisa memperbaiki prognosis pada pasien ini. Sasaran resusitasi meliputi pemulihan dari
  • 56.
    51 capillary refill yangmemanjang (yakni capillary refill <2 detik) dan hipotensi (tekanan darah normal sesuai usia) dan perbaikan indeks syok (yaitu, rasio HR/SBP normal sesuai usia). Antisipasi dalam bentuk pelatihan staf harus meliputi kemampuan deteksi dini, intervensi efektif dan mengurangi morbiditas serta mortalitas. Manajemen dini dari dukungan hemodinamik pada syok. Table 1. 1 Kenali syok saat triase a. Hanya Hipotensi dengan nadi kuat pada syok hangat b. Hanya perfusi perifer yang berkurang (nadi perifer lebih lemah dari nadi sentral dan capillary refill > 2 detik) pada syok dingin kompensata c. Kombinasi hipotensi dengan perfusi perifer yang berkurang pada syok dingin dekompensata 2 Segera pindahkan pasien ke ruang syok/trauma dan kumpulkan tim resusitasi 3 Pasang oksigen dan infus jaga, gunakan 90 detik untuk coba cari vena 4 Jika belum berhasil setelah 2 kali usaha, pikirkan akses intraosea 5 Palpasi untuk hepatomegali; auskultasi untuk deteksi ronkhi 6 a. Jika tidak ada hepatomegali dan ronkhi, bolus 20 ml/kg ringer laktat/NS atau albumin 5% sampai 60 ml/kg dalam 15 menit sampai perfusi membaik atau hati turun atau terdengar ronkhi. Berikan 20 ml/kg pRBC jika syok hemoragik tidak responsif[18] b. Jika hepatomegali, awas ada syok kardiogenik, dan berikan hanya 10 ml/kg bolus kristaloid isotonik.
  • 57.
    52 Berikan PGE1 untukmenjaga duktus arteriosus tetap terbuka pada semua neonatus. 7 Jika capillary refill > 2 detik dan/atau hipotensi menetap selama resusitasi cairan, mulai berikan epinefrin IO/perifer 0,05 μg/kg/menit 8 Jika ada risiko insufisiensi adrenal (misal paparan steroid sebelumnya, Waterhouse Friderichsen atau anomali hipofisis) berikan hidrokortison sebagai bolus (50 ml/kg) dan kemudian drip titrasi antara 2 dan 50 mg/kg/hari 9 Jika syok berlanjut, gunakan atropin (0,2 mg/kg) plus ketamin (2 mg/kg) untuk sedasi pemasangan vena sentral. Jika butuh ventilasi mekanis, gunakan atropin plus ketamin plus penyekat neuromuskular untuk induksi intubasi 10 Arahkan sasaran terapi: a. capillary refill < 3 detik (misal < 2 detik) b. Tekanan darah normal sesuai usia c. Indeks syok membaik. Keterangan: pRBC, packed red blood cells; PGE1, prostaglandin E1; IO, intraosseous.
  • 58.
    Referensi 1. G.V. Parr,E.H. Blackstone and J.W. Kirklin, Cardiac performance and mortality early after intracardiac surgery in infants and young children, Circulation 51 (1975), pp. 867–874. View Record in Scopus | Cited By in Scopus (30) 53
  • 59.
    54 2. A. Appelbaum,E.H. Blackstone and N.T. Kouchoukos et al., Afterload reduction cardiac output in infants after intracardiac surgery, Am J Cardiology 39 (1977), pp. 445–451. Abstract | PDF (733 K) | View Record in Scopus | Cited By in Scopus (8) 3. M.M. Pollack, A.I. Fields and U.E. Ruttimann, Distributions of cardiopulmonary variables in pediatric survivors and nonsurvivors of septic shock, Crit Care Med 13 (1985), pp. 454–459. View Record in Scopus | Cited By in Scopus (30) 4. G. Ceneviva, J.A. Paschall and F. Maffei et al., Hemodynamic support in fluid refractory pediatric septic shock, Pediatrics 102 (1998), p. e19. Full Text via CrossRef | View Record in Scopus | Cited By in Scopus (87) 5. E. Rivers, B. Nguyen and Havstad et al., Early goal directed therapy in the treatment of severe sepsis and septic shock, N Engl J Med 346 (2001), pp. 1368–1377. Full Text via CrossRef | View Record in Scopus | Cited By in Scopus (2018) 6. Y.Y. Han, J.A. Carcillo and M.A. Dragotta et al., Early reversal of pediatric-neonatal septic shock by community physicians is associated with improved outcome, Pediatrics 112 (2003), pp. 793–799. Full Text via CrossRef | View Record in Scopus | Cited By in Scopus (86) 7. R.A. Orr, B. Kuch and J. Carcillo et al., Shock is under- reported in children transported for respiratory distress: a multi-center study, Crit Care Med 31 (2003), p. A18.
  • 60.
    55 8. G. vanden Berghe, P. Wouters and F. Weekers et al., Intensive insulin therapy in the critically ill patients, N Engl J Med 345 (2001), pp. 1359–1367. Full Text via CrossRef | View Record in Scopus | Cited By in Scopus (3290) 9. J.C. Lin, B. Karapinar and D.N. Finegold et al., Increased glucose/glucose infusion rate ratio predicts anion gap acidosis in pediatric shock, Crit Care Med 32 (2004), p. A5. 10. S. Finfer, R. Bellomo and SAFE Study Investigators, A comparison of albumin and saline for fluid resuscitation in the intensive care unit, N Engl J Med 350 (2004), pp. 2247–2256. View Record in Scopus | Cited By in Scopus (463) 11. N.T. Ngo, X.T. Cao and R. Kneen et al., Acute management of dengue shock syndrome: a randomized double-blind comparison of 4 intravenous fluid regimens in the first hour, Clin Infect Dis 32 (2001), pp. 204–212. 12. J.A. Carcillo, A.I. Davis and A. Zaritsky, Role of early fluid resuscitation in pediatric septic shock, JAMA 255 (1991), pp. 1242–1245. View Record in Scopus | Cited By in Scopus (102) 13. R.M. Perkin, D.L. Levin and R. Webb et al., Dobutamine: a hemodynamic evaluation in children with shock, J Pediatr 100 (1982), pp. 977–983. View Record in Scopus | Cited By in Scopus (16) 14. P.E. Bollaert, P. Bauer and G. Audibert et al., Effects of epinephrine on hemodynamics and oxygen metabolism in dopamine-resistant septic shock, Chest 98 (1990),
  • 61.
    56 pp. 949–953. FullText via CrossRef | View Record in Scopus | Cited By in Scopus (63) 15. J.A. Carcillo and A.I. Fields, American College of Critical Care Medicine Task Force Committee Members. Clinical practice parameters for hemodynamic support of pediatric and neonatal patients in septic shock, Crit Care Med 30 (2002), pp. 1365–1378. Full Text via CrossRef | View Record in Scopus | Cited By in Scopus (208) 16. M. Bettendorf, K.G. Schmitt and J. Grulich Henn et al., Tri-iodothyronine treatment in children after cardiac surgery a double blind, randomized placebo controlled study, Lancet 356 (2000), pp. 529–534. Article | PDF (100 K) | View Record in Scopus | Cited By in Scopus (85) 17. L. Roytblat, D. Talmor and M. Rachinsky et al., Ketamine attenuates the interleukin 6 response after cardiopulmonary bypass, Anesth Analg 87 (1998), pp. 266–271. Full Text via CrossRef | View Record in Scopus | Cited By in Scopus (55) 18. N.J. Thomas and J.A. Carcillo, Hypovolemic shock in the pediatric patient, New Horizons 6 (1998), pp. 120– 129. View Record in Scopus | Cited By in Scopus (11)
  • 62.
    57 BAGIAN IV Resusitasi Volume:Kontroversi Kristaloid vs Koloid Pemilihan koloid vs kristaloid untuk resusitasi volume telah lama menjadi bahan perdebatan di kalangan praktisi rawat kritis, disebabkan kedua bentuk terapi memiliki data-data pendukung. Pada tahun 1998, British Medical Journal mempublikasi suatu meta-analisis pemakaian albumin pada pasien-pasien sakit kritis; 30 uji klinik acak dg kontrol (RCT) yang melibatkan 1419 pasien dianalisis. Kesimpulannya adalah sebenarnya albumin meningkatkan mortalitas (Timothy Evans,MD)1 . Tinjauan ini berdampak terhadap praktik kedokteran, mempengaruhi klinisi mengurangi penggunaan albumin, tetapi kemudian dikritik karena tinjauan-tinjauan berikutnya tidak bisa menjelaskan kesimpulan para penulis2 . Belum lama berselang, kajian SAFE (Saline versus Albumin Evaluation) telah membuka wacana baru tentang isu ini3,4 Dengan tersedianya berbagai koloid dengan sifat fisikokimia yang berbeda, kontroversi koloid vs koloid menjadi isu tambahan. Sifat-Sifat Anti-Radang dan Antioksidan dari Albumin Tiol memiliki berbagai fungsi antioksidan yang penting, dan pasien sepsis sering mengalami deplesi tiol. Pada kajian Quinlan dkk,5 albumin ditunjukkan meningkatkan
  • 63.
    58 kadar tiol plasmapada pasien sepsis. Albumin juga telah ditunjukkan meningkatkan glutation pada sel epitel paru dan menghambat NF-kappaB. Pada pasien hipo- proteinemia dengan acute lung injury (ALI) yang diberikan albumin, kenaikan tiol plasma dan kapasitas antioksidan diperlihatkan baru-baru ini oleh Quinlan dkk.6 . Pemberian albumin memperbaiki status antioksidan plasma yang tergantung tiol, serta kadar kerusakan oksidasi protein. Jadi, tampaknya albumin memiliki beberapa efek fisiologis, termasuk memperkuat potensial antioksidan dan modulasi imbang redoks, sehingga mengurangi proses radang. Albumin dan Ruang Intravaskuler Mungkin ada kaitan antara kadar albumin dan keparahan penyakit pada pasien sakit kritis. Namun tidak ada korelasi jelas antara skor APACHE II dan kadar albumin pada hari masuk ICU, sebagaimana diperhatikan oleh Neil Soni,MD7 . Namun 72 jam setelah pasien masuk ICU, pasien yang bertahan hidup memiliki kadar albumin lebih tinggi dibanding yang meninggal. Di samping itu, walaupun ada korelasi antara COP (colloid osmotic pressure) dan protein total, tidak ada korelasi antara albumin dan COP. Lebih dari itu, bila pasien sepsis diberi infus albumin, diamati kenaikan COP yang tidak bertahan lama, dan jumlah albumin di kompartemen intravaskuler cepat menurun. Di samping itu, suplementasi albumin
  • 64.
    59 tidak memiliki efekbermakna dalam mengurangi permeabilitas mikrovaskuler pada pasien sepsis dengan hipoalbuminemia berat.8 Permeabilitas paru telah dipelajari pada pasien ALI dan ARDS (adult respiratory distress syndrome). Ditunjukkan bahwa permeabilitas berkorelasi positif dengan keparahan penyakit dasar dan berkorelasi negatif dengan survival (makin parah penyakit, makin tinggi permeabilitas, dan makin tinggi permeabilitas, makin rendah survival) pada populasi pasien ini. Ini bisa membantu menjelaskan apakah ARDS bersifat eksudatif atau noneksudatif.9 Dengan kemampuan menentukan permeabilitas secara kuantitatif, marker prognostik menjadi tersedia bagi klinisi. Albumin berfungsi sebagai plasma expander hiperonkotik dan bila digabung dengan furosemid, bisa memperkuat perpindahan cairan. Pada studi yang tidak dipublikasi terhadap 24 pasien sepsis, bolus 200 ml albumin 20% secara bermakna meningkatkan cardiac index dalam 1 menit. Namun peningkatan ini tidak menetap, melainkan turun secara progresif dalam 30 menit berikutnya (Dr Soni).7 Efek-efek yang sama terlihat dengan perubahan tekanan arteri pulmonalis dan pO2. Pada suatu telaah lain dari 37 pasien ALI, furosemid dan albumin yang diberikan sekaligus, menghasilkan penurunan berat
  • 65.
    60 badan dan meningkatkanrasio pO2/FIO2.10 Namun tidak diamati perbedaan dalam mortalitas. Mengukur efek ekspansi volume: Hematokrit pembuluh darah besar vs Hematokrit sistemik Markus Rehm, MD,11 membahas efek-efek 2 metode pemberian koloid terhadap volume darah total: acute normovolemic hemodilution (ANH) dan volume loading (VL). ANH memerlukan pengambilan darah dan diganti sekaligus dengan sejumlah setara volume kristaloid atau koloid untuk mempertahankan volume sirkulasi. Acute hypovolemic hemodilution atau VL adalah pemberian infus kristaloid atau koloid tanpa pengambilan darah. Dalam praktek, efek pemberian infus diukur secara tidak langsung dengan hematokrit pembuluh darah besar. Namun, taksiran akurat dari volume darah harus memperhitungkan dua volume lain (volume sel dan volume plasma). Oleh karena itu dengan menggunakan pengukuran volume darah berlabel ganda untuk menaksir hematokrit sistemik, suatu cara yang lebih akurat untuk menaksir volume darah, efek-efek koloid dan kristaloid terhadap volume darah dinilai selama VL dan ANH oleh Rhem dkk.12 . Dua puluh pasien yang menjalani histerektomi total diberikan koloid 20 ml/kg sebelum pembedahan; kelompok 1 mendapat larutan albumin 5% (n=10) dan kelompok 2 mendapat larutan
  • 66.
    61 hetastarch 6% (n=10).Volume plasma (teknik pengenceran indocyanine green), volume eritrosit (eritrosit ditandai dengan fluorescein), hematokrit, protein total, dan kadar hetastarch plasma (kelompok 2) diukur sebelum dan 30 menit setelah akhir infusi. Secara keseluruhan, lebih dari 1350 koloid (kira-kira 50% dari volume plasma semula) diinfus dalam 15 menit. Tigapuluh menit setelah infus selesai, volume darah hanya bertambah sebesar 524 ml (38%) dari baseline pada kelompok 1 dan 603 ml (26%) pada kelompok 2. Hematokrit pembuluh darah besar (diukur dengan sentrifuge) berkurang lebih dari pada hematokrit sistemik. Hasil-hasil ini berbeda dengan kajian-kajian yang menilai ANH, di mana sebagian besar volume koloid terlihat bertahan di ruang intravaskuler. Kemungkinan penyebab dari perbedaan hasil ini adalah glikokaliks endotel (endothelial surface layer atau ESL), yang berisi elemen non-seluler dari darah dan tanpa sel- sel darah merah. ESL merupakan struktur dinamis yang menyelubungi sel endotel yang melapisi enzim-enzim dan reseptor di permukaan endotel. ESL yang mengandung plasma dan protein non-sirkulasi berfungsi sebagai zona eksklusif untuk eritrosit. Selama VL, ESL dapat berkurang, sehingga memobilisasi plasma dan me- ningkatkan volume plasma intravaskuler. Ini menyebabkan perbedaan antara hematokrit pembuluh
  • 67.
    62 darah besar danhematokrit sistemik. Di samping itu, volume efek rendah selama VL dapat dijelaskan oleh aksi ANP (atrial natriuretic peptide), yang menambah filtrasi cairan dan permeabilitas pembuluh darah terhadap makromolekul. Sebagai kesimpulan, tampaknya ada 3 kompartemen volume darah: volume eritrosit, volume plasma sirkulasi, dan volume plasma non-sirkulasi di dalam lapisan permukaan endotel. Efek volume dari koloid bervariasi menurut metode pemberian infus (misal ANH vs VL), namun albumin 5% dan HES 6% memiliki efek ekspansi volume serupa. Penurunan hematokrit pembuluh darah besar tidak mencerminkan penambahan volume darah intravaskuler total yang disebabkan pemberian infus koloid. Pengukuran volume darah label ganda untuk pengukuran hematokrit sistemik merupakan standar emas untuk menentukan efek berbagai produk untuk ekspansi volume. Ekspansi Volume pada Pasien ALI (Acute Lung Injury) ALI merupakan komplikasi lazim setelah kehilangan darah atau sepsis, sebagaimana dicatat oleh Arthur Slutsky, MD.13 ALI berhubungan dengan peningkatan produksi sitokin peradangan dan pelepasan radikal- bebas oksigen. Sepsis berat dan kehilangan darah
  • 68.
    63 massif bisa menyebabkanhipotensi dan pasien membutuhkan intubasi endotrakea, namun tidak jelas cairan apa yang optimal untuk resusitasi volume pada pasien ALI. Kristaloid bocor ke ruang ekstravaskuler. Di samping mencegah kebocoran ke rongga ketiga, albumin memiliki efek anti-radang dan anti-radikal bebas. Pada kajian tikus oleh Zhang dkk, 14 Larutan Ringer laktat dibandingkan dengan albumin 5% dan albumin 25%. Tikus diinduksi perdarahan atau endotoksemia, kemudian diresusitasi dengan ketiga cairan. Setelah resusitasi kadar sitokin darah (tumor necrosis factor [TNF]-alfa, interleukin [IL]-6 dan macrophage inflammatory protein[MIP]-2 ) diukur. Kemudian paru dieksisi dan diventilasi selama 2 jam. Perbedaan mencolok diamati di antara 2 model. Resusitasi dengan albumin setelah syok hemoragik menurunkan kadar sitokin pro-inflamatorik (TNF-alfa,IL-6 dan MIP-2 dan radikal-bebas oksigen) serta meningkatkan sitokin anti- inflamatorik IL-10. Di paru, TNF-alfa dan MIP-2 juga berkurang dan IL-10 meningkat (dianggap memiliki efek protektif). Edema paru setelah ventilasi mekanik juga berkurang. Kendati demikian, resusitasi dengan albumin setelah syok endotoksik tidak memberikan efek proteksi yang sama. Tidak ada perbedaan antara albumin 5% dan 25%. Manfaat albumin yang terlihat pada model syok hemoragik tidak terlihat pada model syok endotoksik.
  • 69.
    64 Tampaknya resusitasi denganalbumin memiliki peran penting mengurangi ALI yang diinduksi oleh ventilator setelah syok hemoragik, namun tidak setelah syok endotoksik. Pada suatu RCT prospektif,tersamar ganda dan terkontrol plasebo oleh Martin dkk,10 efek-efek albumin dan furosemide dinilai pada 37 pasien ALI dg ventilasi mekanik yang hipoproteinemik (kadar protein total serum < 5 g/dl). Pasien diberikan 25 g albumin setiap 8 jam dengan furosemid kontinyu atau plasebo. Tidak ada perbedaan mortalitas antara kedua kelompok, tetapi ada perbedaan bermakna dalam parameter-parameter imbang cairan, oksigenasi dan hemodinamik pada kelompok albumin/ furosemid. Data kolektif memberi kesan bahwa albumin mungkin bermanfaat pada ALI yang diinduksi ventilator setelah model syok hemoragik dan pada pasien ALI dg hipoproteinemia. RCT yang lebih besar dibutuhkan untuk konfirmasi. SAFE Study Dalam suatu metaanalisis baru-baru ini, terlihat peningkatan mortalitas 6% pada pasien yang diberi albumin.15 Temuan ini menimbulkan perdebatan hebat yang akhirnya menuntun ke pembuatan desain dan
  • 70.
    65 implementasi SAFE study,yang disajikan oleh Simon Finfer,MD.4 Uji acak tersamar ganda ini merekrut 7000 pasien dari 16 ICU di Australia dan Selandia Baru selama kurun waktu 18 bulan. Pasien diacak mendapat albumin 4% atau normal saline sejak saat masuk ICU sampai meninggal atau pulang. Dalam 4 hari pertama, rasio albumin: saline adalah 1:1,4 yang berarti bahwa volume (koloid vs kristaloid) tidak berbeda bermakna. Tidak ada perbedaan antara kedua kelompok dalam mortalitas 28 hari oleh semua sebab. MAP, tekanan vena sentral, denyut jantung dan insiden gagal organ baru juga serupa pada kedua kelompok. Pada analisis sub-kelompok diamati perbedaan antara pasien trauma dan sepsis. RR (relative risk) kematian pada pasien dengan sepsis berat yang menerima albumin vs saline adalah 0,87. RR kematian pada pasien yang mendapat albumin tanpa sepsis berat adalah 1,05 (P=.059). Hasil ini berlawanan pada pasien trauma. Angka kematian pada pasien trauma lebih tinggi bila albumin vs saline digunakan untuk resusitasi volume (13,5% vs 10%, P =.055) Bila pasien dengan Traumatic brain injury (TBI) dikaji secara terpisah, angka kematian adalah 24,6% pada pasien yang mendapat albumin, dibandingkan 15% pada pasien saline (RR 1,62, 95% confidence interval, -1,12 sampai 2,34, P=0,009). Lebih
  • 71.
    66 dari itu, bilapasien TBI dikeluarkan, tidak ada perbedaan angka kematian pada pasien-pasien trauma. Berdasarkan hasil-hasil ini, pemberian albumin tampaknya aman selama 28 hari pada populasi pasien sakit kritis yang heterogen dan mungkin bermanfaat pada pasien sepsis berat. Akan tetapi, keamanan pemberian albumin belum jelas pada pasien trauma, termasuk traumatic brain injury(TBI). Walaupun diamati perbedaan mortalitas pada trauma dan TBI pada analisis sub- kelompok, dan dianggap memiliki validitas terbatas, ini merupakan signal kuat khususnya pada pasien TBI. Suatu kajian baru SAFE Brains sudah dirancang untuk memeriksa perbedaan-perbedaan ini. Ekspansi Volume pada Pasien Hipoalbuminemia Studi SOAP (Sepsis Occurence in Acutely Ill Patients) mencatat variasi bermakna dalam jumlah albumin yang diberikan pada beberapa ICU di Eropa, menurut Louis Vincent,MD.16 Lebih dari itu, pasien-pasien yang mendapat albumin memiliki angka kematian lebih tinggi, yang bisa dijelaskan oleh fakta bahwa penyakit mereka lebih berat ketika memulai pengobatan. Alasan-alasan yang mungkin untuk keparahan penyakit lebih besar meliputi kelebihan beban cairan, kontraktilitas miokard yang
  • 72.
    67 berubah, perburukan edema,gangguan ekskresi natrium dan air, serta respon imun yang berubah. Walaupun albumin mahal, manfaatnya harus diperiksa pada pasien hipoalbuminemia. Biasanya diajarkan bahwa resusitasi dengan kristaloid menyebabkan pembentukan edema pada pasien sepsis dan kemudian mengganggu pertukaran gas, penyembuhan jaringan, fungsi usus dan penyembuhan kulit, serta memacu pembentukan ulkus dekubitus. Koloid bisa mencapai tujuan resusitasi yang sama seperti kristaloid dengan volume yang dibutuhkan lebih sedikit. Koloid sintetik tidak semahal albumin manusia tetapi memiliki efek-efek yang lebih merugikan seperti koagulopati dan gagal ginjal. Pasien sakit kritis lazim mengalami hipoalbuminemia yang sekunder terhadap peradangan, disfungsi hati, malnutrisi, kebocoran kapiler dan produksi reaktan fase akut. Hipoalbuminemia merupakan masalah klinis yang penting karena terkait dengan anergi, diare, masa rawat ICU lebih lama dan mortalitas lebih tinggi. Pada suatu meta-analisis dari 90 kajian cohort yang melibatkan 291433 pasien, disimpulkan bahwa hipoalbuminemia diikuti dengan prognosis jelek, sehingga albumin sebaiknya digunakan bila ada indikasi klinis.17 Pada meta-analisis yang sama, juga ditinjau 9 kajian prospektif dengan kontrol terhadap 535 pasien. Pada kajian-kajian
  • 73.
    68 ini hipoalbuminemia dikoreksidan ada kesan bahwa angka komplikasi bisa diturunkan bila kadar albumin serum dipertahankan di atas 30 g/L selama pemberian albumin. Pada suatu kajian retrospektif terhadap 19.578 pasien CABG, sedikit penurunan (bermakna statistik) dalam mortalitas didapatkan pada pasien yang mendapat albumin vs koloid sintetik (2,5% vs 3%, P =0.02) sebagai plasma expander.[18] Menurut penulis, keunggulan albumin ini disebabkan lebih sedikitnya koagulopati dan perdarahan yang terkait. Pada pasien sirosis dan peritonitis bakterial spontan, penambahan albumin ke regimen terapi mengurangi mortalitas.19 dan albumin diperlihatkan memperkuat efek terlipressin pada pasien dengan sindrom hepatorenal.20 Sebuah RCT kecil dan prospektif (albumin vs plasebo) yang memeriksa efek albumin pada 100 pasien sakit kritis dengan hipoalbuminemia memperlihatkan tidak ada perbedaan bermakna pada kedua kelompok. Pasien yang mendapat albumin memiliki kadar albumin serum lebih tinggi, skor SOFA (Sequential Organ Failure Assessment) lebih rendah dan rasio pO2/FIO2 lebih tinggi. Pasien yang diberi albumin juga membutuhkan lebih sedikit diuretik, peningkatan berat badan lebih sedikit dan mereka lebih sanggup menyerap kalori (sehingga
  • 74.
    69 menghindari imbang nitrogennegatif) dibandingkan kelompok plasebo. Kesimpulan Albumin vs kristaloid Apakah kontroversi koloid vs kristaloid pada pasien sakit kritis sudah berakhir? Sebelum menjawab pertanyaan ini, penting diperhatikan bagaimana permasalahan berevolusi. Koloid menghasilkan efek hemodinamik sama dengan volume infus lebih sedikit dan menyebabkan lebih sedikit edema. Dan walaupun koloid lebih mahal, profil keamanannya tidak ditanyakan dengan serius, sebelum meta-analisis Cochrane15 menimbulkan gejolak di kalangan praktisi rawat kritis. Setelah memeriksa 30 RCT yang melibatkan 1419 pasien, RR kematian dengan pemberian albumin dilaporkan setinggi 1,68 (1,26 sampai 2,23).[15]. Berdasarkan data-data ini, ada kesan bahwa untuk setiap 17 pasien sakit kritis yang mendapat albumin, terjadi penambahan kematian 1 pasien. Ini merupakan data yang mengkhawatirkan mengingat jumlah pasien sepsis yang perlu diterapi untuk menyelamatkan jiwa dalam kisaran 5-30 %. Jadi 1 dari 17 pasien yang diterapi albumin meninggal, ini bisa membatalkan manfaat- manfaat dari intervensi lain. Bisa dibayangkan dampak dari pernyataan ini terhadap penggunaan albumin di ICU seluruh dunia.
  • 75.
    70 Wilkes dkk[2] mengikutimeta-analisis lainnya terhadap 55 uji klinis yang melibatkan 3504 pasien. Mereka mengkritik analisis Cochrane15 sebagai desain salah dan setelah menganalisis data mereka sendiri berkesimpulan secara umum tidak ada efek albumin terhadap mortalitas. Temuan ini mendukung keamanan albumin. Berkaitan dengan keraguan yang ditimbulkan oleh hasil- hasil yang berlawanan dari kedua meta-analisis di atas, penyelesaian SAFE study ditunggu dengan harapan besar. Dan sekarang kita tahu bahwa albumin memiliki keamanan sama dengan saline pada pasien nontrauma. Namun ini bukan pembenaran atas pemakaian albumin secara rutin. Debat kristaloid vs koloid merupakan peninggalan dari debat ARDS sebelumnya. Pada kedua kasus, kajian-kajian dengan masalah metodologi menghasilkan ketidakpastian di komunitas intensivist, yang ketika itu evidence-base medicine belum ber- kembang. Walaupun ada subkelompok pasien yang mendapat manfaat dari albumin (yaitu pasien dengan sirosis dan peritonitis bakterial spontan) serta alasan-alasan mempertimbangkan albumin dalam terapi pasien ALI dengan sepsis hipoalbuminemia, belakangan ini belum ada data yang meyakinkan untuk penggunaan albumin
  • 76.
    secara rutin karenaharganya lebih mahal dari kristaloid saline. Koloid Sintetik Tabel . Karakteristik dari berbagai koloid diberikan di bawah 71
  • 77.
    72 Efek berbagai koloiddan larutan hipertonik pada mikrosirkulasi21 Perubahan-perubahan permeabilitas kapiler bisa mengubah volume plasma dan mempengaruhi derajat edema. Kinetika kristaloid dan koloid yang dibahas sebelumnya mengacu pada pembuluh darah yang utuh. Pada penyakit-penyakit dengan permeabilitas kapiler yang meningkat, terapi cairan yang adekuat sangat penting untuk mencegah hipovolemia. Mekanisme perbedaan-perbedaan dalam efektivitas berbagai plasma expander untuk memulihkan volume plasma yang rendah dan gangguan mikrosirkulasi masih belum dipahami dengan jelas. Hollbeck Staffan dari Lund University Hospital melakukan eksperimen pada tahun 2001 yang menganalisis koloid dan plasma expander hipertonik, mengenai efek-efek cairan-cairan tersebut terhadap pertukaran cairan transvaskular dan permeabilitas otot rangka selama dan setelah pemberian infus. Di samping itu, efek terhadap permeabilitas dianalisis pada otot rangka menyusul infus endotoksin. Pengukuran koefisien filtrasi kapiler memperlihatkan bahwa permeabilitas cairan dikurangi oleh albumin dan dextran, tidak berubah dengan HES (hetastarch) dan bertambah dengan gelatin. Pengukuran terhadap koefisien refleksi untuk albumin memperlihatkan dextran, gelatin dan HES tidak mempengaruhi permeabilitas kapiler terhadap albumin. NaCl hipertonik meningkatkan permeabilitas cairan,
  • 78.
    sedangkan manitol danurea tidak. Volume otot berkurang 20% albumin; tidak berubah dengan 6% dextran 70 dan 6% HES 200/0.5, serta meningkat dengan 3.5% gelatin. Gelatin dan HES, (tetapi tidak dextran dan albumin) menginduksi rebound filtration. Ini menunjukkan akumulasi molekul gelatin dan HES di interstisial. NaCl hipertonik memiliki kapasitas osmotik lebih kuat dibandingkan manitol dan urea. Manitol dan urea (tetapi tidak NaCl hipertonik) memperlihatkan rebound filtration yang menunjukkan akumulasi manitol dan urea di dalam intraselular. Selama endotoksemia, baik permeabilitas cairan dan albumin meningkat pada otot rangka, dan hipovolemia terlihat mencolok. Tidak ada perbedaan terlihat antara albumin, dextran, dan hydroxyethyl starch dalam efektivitasnya memulihkan perfusi usus selama endotoksemia. 73
  • 79.
    74 Pengaruh Berbagai KoloidTerhadap Fungsi Ginjal Semua koloid, termasuk albumin manusia hiperonkotik (HA 20% atau 25%) dapat menginduksi gagal ginjal akut (ARF)22 dengan cara meningkatkan tekanan osmotik koloid plasma. Kondisi ini sudah diberi nama ”hyperoncotic ARF”. Pasien dehidrasi yang mendapat koloid hiperonkotik dalam jumlah bermakna tanpa penambahan kristaloid sangat rentan untuk mengalami hyperoncotic ARF. Suatu kajian pada pasien non-bedah dan non-ICU, efek renal dari albumin 20% dibandingkan dengan dextran 70 dan poligeline pada pasien sirosis yang menjalani parasentesis. Enam hari setelah parasentesis, kadar kreatinin serum tidak berubah pada kelompok albumin dan sedikit meninggi pada kelompok dextran (kenaikan rata-rata 0,06 mg/dl) dan kelompok gelatin (kenaikan rata-rata 0,11 mg/dl), Namun perbedaan antara kelompok tidak bermakna statistik. Beberapa kajian histologis telah memperlihatkan pembengkakan sel tubulus ginjal setelah pemberian beberapa sediaan HES, yang kemungkinan disebabkan reabsorpsi makromolekul. Pembengkakan sel tubulus menyebabkan obstruksi tubulus dan iskemia medula. Pada pasien dengan kreatinin serum > 2-3 mg/dl HES harus digunakan dengan hati-hati. HES generasi ketiga (BM 130 kd; DS 0,4) memiliki profil berbeda dengan generasi-generasi
  • 80.
    75 sebelumnya. Namun, walaupunada publikasi bahwa HES 130 tidak memperburuk fungsi ginjal, tidak ditemukan kajian prospektif besar dan terkontrol pada pasien sakit kritis Catatan 1. RCT = randomized clinical trial 2. OR (Odds Ratio) No of patients in the treatment group who experienced event/ No who did not No of patients in the control group who experienced event/ No who did not 3. RR (Relative Risk) No of patients in the treatment group who experienced event/ No of all patients No of patients in the control group who experienced event/ No of all patients •A relative risk of 1 means there is no difference in risk between the two groups. •A RR of < 1 means the event is less likely to occur in the experimental group than in the control group. •A RR of > 1 means the event is more likely to occur in the experimental group than in the control group. 4. Terlipressin adalah analog vasopressin yang digunakan sebagai obat vasoaktif dalam manajemen hipotensi. Diketahui efektif bila norepinefrin tidak menolong Indikasi adalah syok septik yang resisten terhadap noreepinferin dan sindrom hepatorenal. Di samping itu digunakan juga pada perdarahan varises esofagus. Referensi 1. Evans T. Biochemical properties of albumin. Program and abstracts of the 24th International Symposium on Intensive Care and Emergency Medicine; March 30- April 2, 2004; Brussels, Belgium. 2. Wilkes MM, Navickis RJ. Patient survival after human albumin administration. A meta-analysis of randomized,
  • 81.
    76 controlled trials. AnnIntern Med. 2001;135:149-164. Abstract 3. Finfer S. Lessons from the SAFE Study. Program and abstracts of the 24th International Symposium on Intensive Care and Emergency Medicine; March 30- April 2, 2004; Brussels, Belgium. 4. Finfer S. Is albumin SAFE? Program and abstracts of the 24th International Symposium on Intensive Care and Emergency Medicine; March 30-April 2, 2004; Brussels, Belgium. 5. Quinlan GJ, Margarson MP, Mumby S, et al. Administration of albumin to patients with sepsis syndrome: a possible beneficial role in plasma thiol repletion. Clin Sci. 1998;95:459-465. Abstract 6. Quinlan GJ, Mumby S, Martin GS, Bernard GR, Gutteridge JM, Evans TW. Albumin influences total plasma antioxidant capacity favorably in patients with acute lung injury. Crit Care Med. 2004;32:755-759. Abstract 7. Soni N. Albumin may help lung function. Program and abstracts of the 24th International Symposium on Intensive Care and Emergency Medicine; March 30- April 2, 2004; Brussels, Belgium. 8. Margarson MP, Soni NC. Effects of albumin supplementation on microvascular permeability in septic patients. J Appl Physiol. 2002;92:2139-2145. Abstract 9. Hoegerle S, Benzing A, Nitzsche EU, et al. Radioisotope albumin flux measurement of microvascular lung permeability: an independent
  • 82.
    77 10. Martin GS.Fluid balance and colloid osmotic pressure in acute respiratory failure: emerging clinical evidence. Crit Care. 2000;4(suppl 2):S21-25. Abstract 11. Rehm M. Colloid administration during hemodilution. Program and abstracts of the 24th International Symposium on Intensive Care and Emergency Medicine; March 30-April 2, 2004; Brussels, Belgium. 12. Rehm M, Haller M, Orth V, et al. Changes in blood volume and hematocrit during acute preoperative volume loading with 5% albumin or 6% hetastarch solutions in patients before radical hysterectomy. Anesthesiology. 2001;95:849-856. Abstract 13. Slutsky A. Albumin may protect the lungs. Program and abstracts of the 24th International Symposium on Intensive Care and Emergency Medicine; March 30- April 2, 2004; Brussels, Belgium. 14. Zhang H, Voglis S, Kim CH, et al. Effects of albumin and Ringer's lactate on production of lung cytokines and hydrogen peroxide after resuscitated hemorrhage and endotoxemia in rats. Crit Care Med. 2003;31:1515-1522. Abstract 15. The SAFE Study Investigators. A comparison of albumin and saline for fluid resuscitation in the intensive care unit. N Engl J Med. 2004;350:2247- 2256. Abstract 16. Vincent J-L. Still a place for albumin? Program and abstracts of the 24th International Symposium on
  • 83.
    78 Intensive Care andEmergency Medicine; March 30- April 2, 2004; Brussels, Belgium. 17. Vincent JL, Dubois MJ, Navickis RJ, et al. Hypoalbuminemia in acute illness: is there a rationale for intervention? A meta-analysis of cohort studies and controlled trials. Ann Surg. 2003;237:319-334. Abstract 18. Sedrakyan A, Gondek K, Paltiel D, et al. Volume expansion with albumin decreases mortality after coronary artery bypass graft surgery. Chest. 2003;123:1853-1857. Abstract 19. Sort P, Navasa M, Arroyo V, et al. Effect of intravenous albumin on renal impairment and mortality in patients with cirrhosis and spontaneous bacterial peritonitis. N Engl J Med. 1999;341:403-409. Abstract 20. Ortega R, Gines P, Uriz J, et al. Terlipressin therapy with and without albumin for patients with hepatorenal syndrome: results of a prospective, nonrandomized study. Hepatology. 2002;36:941-948. Abstract 21. Holbeck S, Grände P-O: Effects on capillary fluid permeability and fluid exchange of albumin, dextran, gelatin, and hydroxyethyl starch in cat skeletal muscle. Critical Care Medicine 2000; 28: 1089-1095. 22. Boldt, J, Joachim H Priebe, Intravascular Volume Replacement Therapy with Synthetic Colloids: Is There an Influence on Renal Function? Anesth Analg 2003;96:376-382
  • 84.
    79 BAGIAN V RANGKUMAN MANAJEMEN SYOKPADA ANAK Tabel V.1 Jenis-jenis syok pada pasien anak. CO = cardiac output, SVR= systemic vascular resistance, JVD = jugular venous distention. Dari McKiernan CA, Lieberman SA. Pediatr Rev. 2005;26(12):451-60. Jenis Syok Mekanisme gagal sirkulasi Tanda dan gejala Intervensi Hipovolemik Deplesi volume absolut atau relatif, CO ↓, SVR ↑ Takikardia, nadi lemah, mata dan fontanela cekung, oliguria, capillary refill memanjang Bolus kristaloid 20 ml/kg sampai hemodinamik membaik, nilai lagi setelah setiap bolus, produk darah pada syok hemoragik Kardiogenik CO ↓, SVR ↑ Takikardia, nadi lemah, hepatomegali, JVD Obat inotropik dopamin, dobutamin, epinefrin, milrinon Bolus kecil 5-10 ml/kg dapat diberikan dengan hati-hati sambil memantau respon. Periksa ekokardiogram dini CO ↑, then ↓, SVR ↓↓ Angioedema, distres pernapasan, stridor, wheezing, hipotensi dini Beri dukungan adrenergik sambil berikan cairan, cepat pasang infus jaga, mungkin dibutuhkan dosis tinggi inotropik Distributif Anafilaktik Neurogenik CO normal, SVR ↓ Hipotensi tanpa ada takikardia Naikkan SVR dengan vasopresor, fenilefrin mungkin dibutuhkan, beri
  • 85.
    80 cairan seperlunya Septik “Syok hangat”CO ↑, SVR↓, 0% kasus pediatrik) Takikardia, nadi kuat, ekstremitas hangat dengan hipotensi,hiperpnea, perubahan status mental Bolus kristaloid 20 ml/kg ulang sampai hemodinamik stabil, vasopresor pilihan pertama (dopamin atau norepinefrin) “Syok dingin” CO ↓, SVR ↑(60% kasus pediatrik) Takikardia,perfusi perifer buruk, nadi lemah, hiperpnea, perubahan status mental Bolus kristaloid 20 ml/kg ulang sampai hemodinamik stabil, dukungan inotropik dini dengan dopamin atau epinefrin mungkin dibutuhkan, ekokardiografi mungkin membantu memandu terapi CO ↓, SVR ↓ Takikardia,perfusi perifer buruk, nadi lemah, hiperpnea, perubahan status mental Bolus kristaloid 20 ml/kg ulang sampai hemodinamik stabil, dukungan inotropik dini dengan dopamin atau epinefrin mungkin dibutuhkan, ekokardiografi mungkin membantu memandu terapi Obstruktif Preload ↓, CO ↓, SVR normal sampai ↑ Takikardia, hipotensi, JVD, deviasi trakea jika pnemotoraks, penyamaan tekanan dengan CVP yang meninggi jika dipasang pemantauan invasif Cepat fatal jika proses dasar tidak terdeteksi atau dipulihkan, bolus cairan harus diberikan sementara mempersiapkan drainase darurat
  • 86.
    81 Table V. 2Tanda klinis syok hemoragik pada anak dengan berbagai derajat kehilangan darah Tanda klinis% darah hilang HR TD Capillary refill Frekuensi napas Jumlah urin Status mental < 15 Normal normal Atau sedikit naik Normal Atau meningkat Normal Normal Normal Cemas 15-25 Sedikit naik Mungkin berkurang > 2 detik Takipnea ringan Normal sampai sedikit berkurang Cemas, Mungkin gaduh 25-40 naik Turun > 2 detik Takipnea sedang sedikit (<0,5 ml/kg/jam) Cemas, bingung > 40 Naik Turun >2 detik Takipnea berat Absen Bingung, letargi, tidak responsif Table V. 3. Obat-obat kardiovaskular Obat Reseptor Kerja Dosis Dopamin Dopamin, ß,α Kronotropi, inotropi,vasokonstriksi 3-20 mcg/kg/menit Dobutamin ß Kronotropi, inotropi, vasodilatasi 5-20 mcg/kg/menit Epinefrin ß,α Kronotropi, inotropi,vasokonstriksi 0,05-0,2 mcg/kg/menit Norepinefrin α,ß Vasokonstriksi, kronotropi, inotropi 0,01-2 mcg/kg/menit Milrinon PDE inhibitor Inotropi, lusitropi, vasodilatasi 0,25-4 mcg/kg/menit Nitroprusid Donor NO, relaksasi otot polos Vasodilatasi 0,5-10 mcg/kg/menit Vasopresin Reseptor V1 di pembuluh darah vasokonstriksi 0,3-4 mU/kg/menit
  • 87.
    Gambar 1. Rekomendasiuntuk manajemen syok septik pada bayi dan anak 82
  • 88.
    Gambar 2. Rekomendasiuntuk manajemen syok septik pada neonatus PPHN =persistent pulmonary hypertension ECMO = extracorporeal membrane oxygenation 83
  • 89.
    84 Gambar 3. Tatalaksanasyok pada anak dengan dehidrasi berat Usia Pertama beri 30 ml/kg dalam : Selanjutnya beri 70 ml/kg dalam : Bayi (<1 tahun) 1 jam * 5 jam Anak (>1 tahun) ½ jam * 2 ½ jam Catatan: - Ringer laktat/ Ringer asetat diberikan pada 1 jam tahap pertama, sedangkan pada tahap selanjutnya dapat diberikan KAEN 3B atau Half strength Darrow (HSD) untuk mengatasi hipokalemia. - KAEN 3B mengandung: Na+ 50,K+ 20,Cl- 50 dan Laktat 20 mEq/L, glukosa 27 g/L; HSD : Na+ 60,K+ 17,Cl- 52 dan Laktat 25 mEq/L, glukosa 25 g/L . - Setelah 6 jam (Bayi) atau 3 jam (anak), pasien dievaluasi dengan menggunakan tabel penilaian dehidrasi dan tentukan rencana terapi selanjutnya sesuai status dehidrasi (A,B, C). - *Ulangi 1 kali lagi bila pulsasi nadi masih sangat lemah atau tidak teraba
  • 90.
    85 BAGIAN VI ILUSTRASI KASUS Seoranganak laki-laki 3 tahun tertabrak mobil ketika berlari ke jalan mengambil bola. Ketika paramedik sampai di tempat kejadian, si anak tidak sadar dan banyak luka lecet di wajah, dada, abdomen dan ekstremitas. Paha kanan deformitas dan bengkak. Karena napas sangat dangkal, segera dilakukan intubasi dan imobilisasi vertebra servikal. Dua kanula besar dipasang dan korban dibawa ke IGD. PF: Tanda Vital: Suhu 37.0, Nadi 160, Frekuensi napas melalui pipa trakea 20, TD 100/80, saturasi oksigen 97%. Anak masih tidak responsif dan diventilasi melalui pipa trakea. Reaksi pupil baik. Ekspansi dada baik.Banyak lecet pada wajah,dada,abdomen dan ekstremitas bawah. Abdomen distensi dengan bunyi usus berkurang. Panggul stabil, tetapi paha kanan jelas bengkak dan tegang. Perfusi distal ke semua anggota gerak tampak adekuat. Pemeriksaan fisik lainnya tidak mencolok. CT scan kepala mengungkap kontusio kecil di lobus oksipital, tetapi tidak ada edema serebral atau perdarahan. CT scan abdomen memperlihatkan laserasi kecil dari limpa dan kontusio ringan dari ginjal kiri. X-foto
  • 91.
    86 toraks dan ekstremitasmengungkap pergeseran fraktur midfemur kanan dan kontusio kecil dari paru kiri. X- Radiologi vertebra servikal dan panggul normal. Setelah stabilisasi, pasien di bawa ke PICU. Trauma intrakranial, paru dan limpa dikelola dengan perawatan suportif dan fraktur kanan diatasi dengan reduksi terbuka dan fiksasi internal. Akhirnya pasien dipulangkan dari Rumah Sakit kira-kira tiga minggu kemudian, dengan neurologi normal. Si anak bisa kembali main bola setahun berikutnya. Walaupun anak rentan terhadap mekanisme trauma yang sama seperti dewasa, respons fisiologik dan psikologik terhadap trauma sangat unik. Jadi pemahaman seksama tentang beberapa perbedaan anatomi dan patofisiologi yang unik dari anak akan meningkatkan kualitas perawatan selama evaluasi, stabilisasi dan manajemen pasien trauma anak. Satu dari perbedaan fisiologis pertama yang sangat jelas antara anak dan dewasa adalah variasi tanda vital anak yang normal menurut usia. Pemahaman seksama terhadap tanda vital mutlak diperlukan untuk bisa mendeteksi kelainan “halus” dalam detak jantung dan nepas anak. Contohnya, takikardia mungkin merupakan satu-satunya petunjuk adanya syok hemoragik dini pada anak yang kelihatannya stabil. Takipnea yang tidak mencolok mungkin merupakan petunjuk paling dini dari
  • 92.
    87 kemungkinan trauma intratorakalpada anak dengan saturasi oksigen normal. Jadi siapapun yang terlibat dalam perawatan darurat anak harus mengetahui tanda- tanda vital normal pada anak menurut usia. Metode sederhana untuk mengingat dengan mudah dan cepat tanda-tanda vital sebagai berikut: Detak jantung Frekuensi napas Neonatus sampai usia 1 tahun 140 40 1 sampai 4 tahun 120 30 4 sampai 12 tahun 100 20 >12 tahun 80 15 Kesimpulan dari berbagai perbedaan anatomi penting pada anak sebagai berikut: a) Ukuran tubuh lebih kecil. b) Rasio kepala:badan lebih besar. c) Rasio permukaan tubuh lebih besar. d) Trakea lebih pendek dan ukuran lidah relatif lebih besar. e) Muara glotis lebih ke anterior dan superior. f) Lebih sedikit otot pelindung dan lemak tubuh. g) Alat-alat perut lebih ke anterior. h) Lempeng epifisis lebih rentan terhadap trauma.
  • 93.
    88 Karena ukuran tubuhanak lebih kecil, daya trauma bisa terdistribusi ke luas permukaan tubuh yang lebih besar, sehingga membuat lebih cenderung trauma mengenai lebih dari satu sistem. Anak sering mendapat cidera organ dalam dengan sedikit atau tanpa bukti trauma pada permukaan eksternal tubuh. Organ dalam anak lebih rentan terhadap gaya trauma karena jumlah otot pelindung dan jaringan subkutan sekitarnya lebih sedikit. Limpa merupakan organ yang paling sering cidera dengan trauma tumpul abdomen. Kelenturan rangka anak dan jaringan lunak sekitar juga memungkinkan gaya trauma ditransmisikan lebih dalam ke struktur interna. Jadi, sebagai kaidah umum, trauma alat dalam tidak bisa disingkirkan pada anak semata-mata berdasarkan tidak- adanya tanda-tanda eksternal dari trauma. Rasio kepala:badan bayi dan anak yang lebih besar membuat mereka lebih rentan terhadap trauma kepala ketika jatuh. Cidera vertebra servikal atas juga lebih banyak pada bayi dan anak kecil dibanding dewasa. (dewasa lebih sering mengalami cidera pada servikal bawah). Ukuran kepala yang lebih besar dan luas permukaan tubuh yang lebih besar pada anak, membuatnya lebih rentan dari kehilangan panas dan hipotermia bila terpapar selama resusitasi.
  • 94.
    89 Perbedaan anatomi yangunik dari jalan napas anak sangat penting diingat ketika menilai dan mengelola jalan napas, pernapasan dan ventilasi. Trakea yang lebih pendek, ukuran lidah yang relatif lebih besar dan muara glotis yang lebih anterior/superior merupakan poin penting diingat dalam melakukan intubasi pada anak. Karena epiglotis anak kurang kartilago, pemakaian bilah (blade) laringoskop lurus mungkin memudahkan intubasi dibanding bilah lengkung. Trauma kepala pada anak diikuti dengan angka morbiditas dan mortalitas tinggi. Trauma ke dada dan abdomen juga mengakibatkan cukup banyak cacat dan kematian. Hipoksia dan syok hemoragik adalah lintasan akhir bersama dari kematian akibat trauma pada anak. Jadi, perhatian ketat terhadap penilaian jalan napas, pernapasan dan sirkulasi (ABC resusitasi) akan menurunkan morbiditas dan mortalitas dari trauma anak. Penilaian dan manajemen pasien trauma dibagi menjadi survei primer dan survei sekunder. "ABCDE" survei primer meliputi penilaian komponen-komponen berikut: A=Airway (imobilisasi vertebra servikal). B=Breathing. C=Circulation (dengan kontrol perdarahan).
  • 95.
    90 D=Disability (pemeriksaan neurologissingkat untuk menilai tingkat kesadaran dan ukuran/reaktivitas pupil). E=Exposure (paparan total pasien untuk bisa menilai seluruh tubuh akan kemungkinan terkena trauma). Jadi, komponen utama dari survei primer meliputi penilaian, stabilisasi dan manajemen semua kondisi akut yang mengancam jiwa, seperti gangguan jalan napas, distres pernapasan dan syok hemoragik. Porsi ABC dari resusitasi trauma pada dasarnya sama dengan resusitasi lain dengan dua peringatan (caveat). Kedua caveat ini melibatkan kemungkinan cidera vertebra servikal dan syok hemoragik. “Jembatan keledai” untuk mengingat resusitasi adalah "A-I-R" : A=Assessment (Penilaian) I=Interventions (Intervensi) R=Reassessment (Penilaian kembali) setelah setiap intervensi) Selama penilaian dan manajemen jalan napas pasien trauma, perlu dipikirkan kemungkinan cidera leher dan mempertahankan imobilisasi vertebra servikal. Ini sangat penting jika dipertimbangkan intubasi endotrakea, di saat mana jalan napas tidak boleh kali dibuka dengan
  • 96.
    91 menggunakan perasat angkatkepala (head-tilt maneuver). Buka rahang bawah (jaw-thrust maneuver) untuk membuka jalan napas dengan imobilisasi vertebra servikal merupakan cara paling aman untuk intubasi anak dengan kemungkinan cidera vertebra servikal. Dalam menilai pernapasan dan ventilasi, pikirkan selalu etiologi trauma yang berpotensi mengganggu ventilasi dan pernapasan, seperti luka dada terbuka, pnemotoraks, hemotoraks, patah iga, flail chest dan kontusio paru. Sebagian dari etiologi traumatik ini mungkin membutuhkan intervensi segera, seperti torakosentesis jarum dan/atau pemasangan pipa toraks selama survei primer. Distensi lambung yang juga sangat sering pada pasien trauma, bisa menghambat upaya ventilasi sampai kepergeseran diafragma ke atas. Jadi, pipa orograstrik bisa membantu untuk dekompresi lambung dan memudahkan ventilasi. Etiologi Syok tersering pada trauma anak adalah syok hemoragik, walaupun bisa diikuti oleh syok kardiogenik (misal, tamponade jantung), obstruktif (misal, tension pneumothorax) atau neurogenik (misal, syok spinal). Peningkatan cadangan sistem kardiovaskular memungkinkan anak mengkompensasi dan memelihara tekanan darah sekalipun syok hemoragik sampai ke tingkat sedang. Anak akan mempertahankan tekanan
  • 97.
    92 darah sistolik yangnormal sebelum mereka kehilangan sampai 30% volume darah sirkulasi. Volume darah sirkulasi seorang anak adalah 70-80 ml/kg (sedangkan volume darah sirkulasi dewasa 60 ml/kg). Tekanan sistolik normal pada anak bisa dihitung dengan rumus: (Usia X 2) + 90 mmHg. Tekanan diastolik yang diharapkan adalah 2/3 X (TD sistolik). Mekanisme kompensasi awal yang harus dicari selama stadium dini syok hemoragik adalah takikardia. Mekanisme kompensasi lain yang terjadi untuk mempertahankan perfusi dan tekanan darah normal adalah meningkatkan tahanan tepi, yang bermanifestasi sebagai ekstremitas dingin dan bercak, nadi lemah dan putus-putus, capilary refill time (CRT) memanjang dan tekanan nadi menyempit. Jika tanda klinis dini dari syok hemoragik tidak terindentifikasi dan terkoreksi, anak bisa memburuk ke stadium preterminal dari syok dekompensata, yang didefinisikan sebagai hipotensi menurut usia. Hipotensi (sistolik) pada anak didefinisikan melalui rumus: (Usia X 2) + 70 mmHg. Jadi, anak usia 5 tahun yang diperiksa dengan TD sistolik awal kurang atau sama dengan 80 mmHg berada dalam fase dekompensata dan sudah kehilangan paling sedikit 30% dari volume sirkulasi.
  • 98.
    93 TD sistolik minimummenurut usia adalah: a) Neonatus sampai usia 1 bulan: >60 mmHg b) usia 1 bulan-1 tahun: >70 mmHg c) usia > 1 tahun: (Usia X 2) + 70 mmHg Kunci tatalaksana syok hemoragik pada trauma anak meliputi deteksi tanda dini syok, mengendalikan tempat/sumber eksternal dari perdarahan, resusitasi cairan, pertimbangkan terapi pengganti darah dan keterlibatan tim bedah. Bolus cairan diberikan kristaloid yang telah dihangatkan 20 ml/kg (misal, normal saline atau ringer laktat). Harus dinilai kembali parameter perfusi anak setelah setiap bolus untuk menentukan apakah diperlukan bolus tambahan. Jika dibutuhkan lebih dari 40-60 ml/kg larutan kristaloid untuk memulihkan perfusi yang adekuat, maka harus dipikirkan penggantian darah. Transfusi bisa berupa 10 ml/kg pRBC yang telah dihangatkan (bisa tipe spesifik setelah reaksi silang atau O-negatif pRBC, tergantung pada waktu yang tersedia) atau sebagai 20 ml/kg whole blood (sekarang tidak rutin tersedia). Anak yang membutuhkan terapi penggantian darah mungkin membutuhkan intervensi bedah untuk mengendalikan perdarahan yang terus berlangsung. Trauma yang berpotensi perdarahan hebat mencakup trauma intra-abdomen dan intratorakal, fraktur panggul
  • 99.
    94 dan fraktur femur.Sebagai kaidah umum, dianggap bahwa perdarahan intrakranial tidak menyebabkan syok hipovolemik/hemoragik. Pengecualian dari kaidah ini adalah trauma kepala pada bayi. Karena sutura tengkorak bayi belum menyatu, tengkorak memiliki kapasitas untuk mengembang dan mengakomodasi sejumlah besar darah selama perdarahan intrakranial akut. Jika ada kesulitan mendapat akses vena untuk resusitasi cairan dan produk darah, line intraosea (IO) harus dipakai. Pemasangan line IO bisa dimasukkan langsung dengan cepat atau bahkan lebih cepat dari pemasangan akses vena sentral. Walaupun pedoman Pediatric Advanced Life Support sebelumnya hanya mengizinkan pemasangan IO luntuk anak berusia di bawah 6 tahun, pedoman dewasa ini tidak memiliki batasan usia untuk pemakaian IO pada anak. Walaupun tempat ideal untuk penempatan IO adalah aspek proksimal dan media dari tibia (2-3 cm di bawah tuberositas tibia), titik alternatif adalah aspek anterior distal dari femur (2-3 cm proksimal terhadap pinggir superior patela). Titik alternatif lain pada anak yang lebih besar dan dewasa adalah distal tibia (2-3 cm proksimal dari meleolus medialis). Satu-satunya kontraindikasi klinis untuk pemasangan IO pada tungkai anak selama resusitasi trauma adalah: a) kecurigaan fraktur tulang dibawah kulit di mana IO dipasang,
  • 100.
    95 dan/atau b) kecurigaanterputusnya alir balik vena di proksimal dari titik masuk IO. Survei sekunder mulai dengan evaluasi ulang masalah yang diatasi selama survei primer dan disusul pemeriksaan fisik lengkap dari kepala sampai jari kaki untuk menilai cidera-cidera yang tidak mengancam jiwa yang tidak teridentifikasi selama survei primer. Penilaian dan manajemen trauma spesifik dari kepala,leher,toraks, abdomen,panggul dan ekstremitas berada di luar lingkup bab ini. Namun indeks kecurigaan yang tinggi harus selalu memandu penilaian dan manajemen. Kemungkinan trauma yang bukan kecelakaan( penganiayaan anak) harus dipikirkan pada keadaan- keadaan khusus: a) Ketidaksesuaian antara anamnesis yang diberikan pengasuh dengan temuan pemeriksaan fisik aktual. b) Trauma yang tidak kompatibel dengan kemampuan perkembangan neurologis bayi. c) Kelambatan dalam mencari bantuan medis untuk cidera serius d) Temuan cidera ganda pada waktu yang tidak bersamaan. e) Gigitan, tanda, luka rokok atau sabetan tali. f) luka bakar dengan batas tegas. g) Trauma kemaluan dan perianal (termasuk luka bakar di kawasan ini). h) Hematoma subdural ganda. i) Perdarahan retina. j) Fraktur iga yang melibatkan banyak iga dan/atau pada waktu yang tidak sama.
  • 101.
    96 Resusitasi trauma anakyang berhasil memerlukan lebih dari sekedar pendekatan sistematik terhadap survei primer dan survei sekunder. Juga bergantung pada pemahaman tentang perbedaan anatomi dan patofisiologi pada anak. Pertanyaan 1. Prioritas utama dalam fase resusitasi trauma pada anak adalah: . . . . . a. Pasang infus jaga. . . . . . b. Menetapkan dan memelihara terbukanya jalan napas sambil melakukan imobilisasi vertebra servikal. . . . . . c. Ambil X-foto dan lab cito untuk memastikan status pasien secara keseluruhan. . . . . . d. Meredakan nyeri dengan analgesik intravena agar lebih mudah melakukan pemeriksaan fisik. 2. Sebab kematian terbanyak pada anak usia >1 tahun: . . . . . a. Sudden infant death syndrome. . . . . . b. Aritmia jantung. . . . . . c. Meningitis. . . . . . d. Trauma. . . . . . e. Leukemia. 3. Etiologi syok tersering pada anak dengan trauma: . . . . . a. Syok neurogenik. . . . . . b. Syok kardiogenik.
  • 102.
    97 . . .. . c. Syok anafilaktik. . . . . . d. Syok hipovolemik. . . . . . e. Tension pneumothorax. 4. Tujuan utama survei primer pada resusitasi trauma meliputi: . . . . . a. Memperoleh portable radiograph cito dari leher, dada dan abdomen. . . . . . b. Penilaian dan stabilisasi jalan napas, pernapasan dan sirkulasi. . . . . . c. Mendapatkan akses vena sentral segera. . . . . . d. Pemasangan segera intubasi endotrakea untuk mencegah aspirasi. . . . . . e. Ahli bedah trauma harus ada untuk melaksanakan survei primer. 5. Semua pernyataan berikut benar kecuali: . . . . . a. Mayoritas kematian yang terkait dengan trauma anak adalah disebabkan kecelakaan lalu lintas. . . . . . b. Mayoritas trauma yang terjadi pada anak adalah trauma tumpul bukan trauma tembus.. . . . . . c. Trauma vertebra servikal lebih lazim dari trauma abdomen. . . . . . d. Trauma multisistem lazim pada anak yang mengalami kecelakaan lalu lintas.
  • 103.
    98 6. Organ abdomenyang paling sering cidera pada anak adalah:: . . . . . a. Duodenum. . . . . . b. Pankreas. . . . . . c. Hati. . . . . . d. Ginjal. . . . . . e. Limpa. 7. Kawasan tubuh yang mana tersering mengalami trauma serius? . . . . . a. Kepala. . . . . . b. Leher. . . . . . c. Dada. . . . . . d. Abdomen. 8. Mana dari skenario berikut paling mencurigakan adanya penganiayaan anak? . . . . . a. Anak usia 2 th dengan fraktur tibia setelah dilaporkan jatuh ketika turun beberapa langkah anak tangga. . . . . . b. Anak usia 1 th dengan hematoma pada kening setelah dilaporkan jatuh dari kereta bayi. . . . . . c. Bayi usia 3 bulan dengan fraktur femur tanpa dislokasi setelah dilaporkan jatuh dari meja. . . . . . d. Anak usia 3 th dengan fraktur spiral dari tibia setelah dilaporkan tungkainya terkilir ketika jatuh dari sepeda roda tiga.
  • 104.
    99 Dikutip dari: YamamotoLG. Multiple Trauma in a 2-Year Old. In: Yamamoto LG, Inaba AS, DiMauro R (eds). Radiology Cases In Pediatric Emergency Medicine, 2002, volume 7, case 8. Referensi 1. Inaba AS, Seward PN. An approach to pediatric trauma: Unique anatomic and pathophysiologic aspects of the pediatric patient. Emerg Med Clin North Am 1991;9(3):523-548. 2. Pediatric Trauma. In: American College of Emergency Physicians and American Academy of Pediatrics. Advanced Pediatric Life Support Instructor Manual. 1998, Dallas: ACEP, pp. 75-87. 3. Inaba AS. A simple way to remember pediatric vital signs. Contemp Pediatr 2002;19(1):16. 4. American College of Surgeons. Chapter 10-Pediatric Trauma. In: Advanced Trauma Life Support Instructor Course Manual, Sixth Edition. 1997, Chicago: First Impression, pp. 353-375. Jawsaban pertanyaan 1.b, 2.d, 3.d, 4.b, 5.c, 6.e, 7.a, 8.c
  • 105.
    100 BAGIAN VII DENGUE SHOCKSYNDROME (DSS) Tanda peringatan adanya ancaman syok: (1) nyeri abdomen hebat dan terus menerus (2) perubahan dari demam ke hipothermia, dengan keringatan dan lelah (3) muntah-muntah persisten (4) gelisah atau letargi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mempublikasi pedoman untuk diagnosis DSS. Diagnosis DSS ditegakkan jika ada: demam 2-7 hari, tes turniket positif dan atau perdarahan spontan, trombositopenia (<100.000 m3 ), bukti kebocoran kapiler (hematokrit >20% di atas rata-rata yang diharapkan, penurunan hematokrit sebesar < 20% dari nilai semula setelah resusitasi cairan, bukti klinis efusi pleura atau asites), dan gagal sirkulasi dengan tekanan nadi < 20 mmHg atau hipotensi (DHF III DSS). Syok dalam bisa terjadi (DHF IV DSS) dan didefinisikan sebagai nadi dan tekanan darah tak terdeteksi. Perubahan-perubahan penting dalam tekanan darah terjadi saat DSS memburuk, termasuk tahanan tepi yang
  • 106.
    101 meningkat dan curahjantung yang berkurang dengan tekanan vena sentral normal atau rendah. Syok tidak disebabkan oleh gagal jantung bendungan, melainkan karena pengumpulan darah di vena. Dengan meningkatnya gangguan kardiovaskular, tekanan diastolik naik ke arah sistolik dan tekanan nadi menyempit. Akhirnya, dekompensasi terjadi dan kedua tekanan (sistolik dan diastolik) tiba-tiba hilang. Pasien DSS terbaik dipantau di ICU, diberikan oksigen dan dipasang CVP jika memungkinkan, serta kateter urin untuk memandu penggantian cairan. Status asupan dan pengeluaran diamati ketat. Gas darah, EKG, X-foto toraks, elektrolit serum, albumin serum dan hitung darah harus dipantau. Keberhasilan penanganan dengue berat bergantung pada pengaturan yang seksama terhadap pemberian cairan parenteral dan koloid selama fase kebocoran kapiler yang meningkat, bersama dengan manajemen proaktif dari perdarahan mayor jika terjadi. Dokter harus ingat bahwa semua cairan yang diberikan akan diserap kembali dan bisa mengakibatkan kelebihan beban. Kristaloid vs koloid Temuan uji banding tersamar ganda dan acak untuk resusitasi awal 383 anak Vietnam dengan DSS memperlihatkan bahwa Ringer laktat cukup untuk
  • 107.
    102 meresusitasi bayi denganpenyakit cukup berat. Tetapi, jika penyakit berlanjut menjadi syok berat, pemberian dextran 40 atau HES 6% akan menstabilkan volume pembuluh darah dan tekanan darah pada sebagian besar kasus. Koagulopati yang menyertai infeksi dengue banyak dijelaskan, tetapi sayangnya mekanisme yang mendasari masih belum jelas. Perdarahan hebat jarang terjadi pada anak (hampir selalu diikuti syok mencolok) dan komplikasi trombosis tidak dijumpai. Peningkatan APTT (activated partial thromboplastin time) dan penurunan kadar fibrinogen merupakan temuan yang agak konstan. Kelainan-kelainan ini bersama dengan trombositopenia berkorelasi dengan keparahan penyakit secara umum. Namun, bukti adanya KID (koagulasi intravaskular diseminata) klasik pada kebanyakan pasien tidak meyakinkan. Kadar prokoagulan meningkat sampai ke tingkat tertentu (biasanya ringan), dengan penurunan bermakna dalam jumlah protein antikoagulan. Tetapi temuan-temuan dalam hal lintasan fibrinolitik saling bertentangan. Umumnya, data menunjukkan peningkatan aktivitas fibrinolitik, dan kejadian ini bisa mengesankan interaksi langsung antara virus dan plasminogen, satu dari protein-protein kunci dalam lintasan ini. Beberapa kelompok ahli telah mengamati adanya antibodi reaksi silang plasminogen selama dan setelah infeksi dengue.
  • 108.
    103 Pada kebanyakan pasiendengan demam dengue, koagulopati relatif ringan dan membaik sendiri dalam beberapa hari setelah virus menghilang. Namun pada sebagian anak, biasanya dengan syok berat, gangguan minor ini dipersulit oleh efek-efek: a) hipotensi yang memanjang dan hipoksia jaringan, b) perdarahan mayor. Biasa perdarahan terjadi di saluran cerna. Pada pasien- pasien ini, KID sejati mungkin terjadi. Sama seperti pada dewasa sedikit informasi tersedia mengenai koagulopati, namun perdarahan tampaknya lebih banyak pada anak. Referensi: 1. Katharine Smart , Ida Safitri. What treatments are effective for the management of shock in severe dengue? International Child Health Review Collaboration 2. Scott B Halstead. Dengue. Lancet 2007; 370: 1644–52 3. Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. WHO regional publication. Searo No 29. 4. Wills B. Volume Replacement in Dengue Shock Syndrome Dengue Bulletin Vol 25 Ch 9.2001 5. Rigau-Perez JG, Lauger MK. Dengue-related deaths in Puerto Rico, 1992-1996: Diagnosis and clinical alarm signals. Clin Infect Dis (CID). 2006; 42: 1241-1246.
  • 109.
    ALGORITME DSS Ket: Jmltetesan harus dibulatkan 104
  • 110.
    105 BAGIAN VIII SINGKATAN DANTERMINOLOGI Singkatan  Kepanjangan  AG  Anion gap ([Na+  + K+ ]‐ [Cl‐  + HCO3 ‐ ]  ALI  Acute Lung Injury  ANH  Acute normovolemic hemodilution  ANP  Atrial natriuretic peptide  APACHE   Acute Physiology and Chronic Health evaluation  ARDS  Acute respiratory distress syndrome  ARF  Acute renal failure  ATP  Adenosine triphosphate  AVDO2  arteriovenous oxygen difference  CABG  Coronary artery bypass graft  cAMP  cyclic adenosine monophosphate  CaO2  arterial oxygen concentration  cGMP  cyclic guanosine monophosphate  CI  Cardiac index  CO  cardiac output  COP  Colloid osmotic pressure  CRT  Capillary refill time  CVP  Central venous pressure  DAG  Diacyl glycerol  DBP  Diastolic blood pressure  DIC  Disseminated intravascular coagulation  DO2  oxygen delivery  DSS  Dengue Shock Syndrome  ECMO  Extracorporeal membrane oxygenation  ESL  Endothelial surface layer  FiO2  Fractional concentration  of Inspired oxygen  HES  Hydroxyethyl starch  HR  Heart rate  IGD  Instalasi Gawat Darurat 
  • 111.
    106 IL  Interleukin  INR  Internation normalized ratio  IO Intraosea  IP3  inositol 1,4,4‐triphosphate   JVD  Jugular venous distension  KAD  Ketoasidosis diabetik  KID  Koagulasi intravaskular diseminata  LVEDP  Left ventricular end‐diastolic pressure  LVEDV  Left ventricular end‐diastolic volume  MAP  Mean arterial pressure  O2ER  oxygen extraction ratio  OR  odds ratio  PDEI  Phosphodiesterase inhibitor  PELOD  Pediatric logistic organ dysfunction score  PO2  Partial oxygen pressure  PPHN  Persistent pulmonary hypertension  pRBC  packed red blood cells  PRISM  pediatric risk illness severity and mortality  score  RCT  Randomized controlled trial  RR  relative risk; respiratory rate  SAFE  Saline versus albumin evaluation  SaO2  arterial oxygen saturation  SBP  Systolic blood pressure  SOAP  Sepsis occurrence in acutely ill patients  SOFA  Sequential Organ Failure Assessment  SVCO2  Superior vena cava oxygen saturation  SVR  Systemic venous resistance  TBI  Traumatic Brain Injury  TD  Tekanan darah  TNF  Tumor necrosis factor  VL  Volume loading  VO2  Total body oxygen consumption 
  • 112.
    BAGIAN IX NILAINORMAL HEMATOLOGI - Eritrosit Pria 4.2 jt- 5.6 jt/ µL Wanita 3.8 - 5.1 jt / µL Anak 3.5 - 5.0 jt / µL HEMATOLOGY - Leukosit Pria 3.8 - 11 rb / mm3 Wanita 3.8 - 11.0 rb / mm3 Anak 5.0 - 10.0 rb / mm3 HEMOGLOBIN Hb (Pria) 14 - 18 g/dL Hb (Wanita) 11 - 16 g/dL Hb (Anak) 10 - 14 g/dL Hb (Neonatus) 15 - 25 g/dL HEMATOKRIT Hct (Pria) 39 - 54% Hct (Wanita) 34 - 47% Hct (Anak) 30 - 42% MCV 78 - 98 fL MCH 27 - 35 pg MCHC 31 - 37% Neutrofil 50 - 81% Batang 1 - 5% Limfosit 14 - 44% Monosit 2 - 6% Eosinofil 1 - 5% basofil 0 - 1% 107
  • 113.
    108 Tanda vital normalpada anak: Usia (th) HR RR SBP/DBP < 1 120 - 160 30 - 60 60 - 95 / 35 - 69 1 - 3 90 - 140 24 - 40 95 - 105 / 50 - 65 3 - 5 75 - 110 18 - 30 95 - 110 / 50 - 65 6 - 12 75 - 100 18 - 30 90 - 110 / 57 - 71 12 - 16 60 - 90 12 - 16 112 - 130 / 60 - 80 TD sistolik minimum menurut usia adalah: a) Neonatus sampai usia 1 bulan: >60 mmHg b) usia 1 bulan-1 tahun: >70 mmHg c) usia > 1 tahun: (Usia X 2) + 70 mmHg Nilai Gas Darah normal: pH: 7.35 - 7.45 PaCO2: 35 - 45 PaO2: 80 - 100 ( pada bayi PaO2 normal: 60 - 80 ) HCO3: 20 - 24 Base excess: -/+ 2 Anion Gap (corrected) < 16
  • 114.
    109 BAGIAN X RUMUS-RUMUS 1. TDsistolik normal pada anak =(Usia X 2)+ 90 mmHg. 2. DO2 (mL O2/min) = CaO2 (mL O2/L blood) X CO (L/min) CaO2 = (1,36 x Hb x SaO2) + (0,003 x PaO2) CaCO2= Kandungan oksigen darah arteri (ml/100 ml darah) 1,36 = Mililiter oksigen yang berikatan dengan 1 g Hb pada saturasi 100% Hb = Konsentrasi hemoglobin (g/dl) SaO2 = Persen hemoglobin yang berikatan dengan oksigen (%) 0,003= Faktor kelarutan oksigen dalam plasma (ml/mm Hg) PaO2 = Tekanan parsial oksigen dalam darah arteri (mm Hg) 3. MAP = 1 SBP + 2 DBP 3 4. VO2 = DO2 × ERO2 5. Tekanan Perfusi = MAP – CVP 6. CO = MAP − CVP/SVR ket. CO = cardiac output; MAP:mean arterial pressure; CVP =central venous pressure; SVR = systemic venous resistance. 7. Shock Index = HR/SBP normal SI: 0.5 sampai 0.7 8. Anion gap (AG) = (Na+ + K+ ) - (Cl- + HCO3 - ) dan perlu dikoreksi dengan kadar albumin (g/L), yakni Corrected AG = AG + [0,25 x (44 - albumin)] 9. HCO3 - (mEq) = Base deficit X BB (kg) X 0,30
  • 115.
    110 LAMPIRAN TEKNIK PEMBERIAN INFUSINTRAOSEA • Infus intraosea merupakan langkah darurat sementara • Diindikasikan dalam situasi yang mengancam jiwa bila akses intravena gagal (3 kali coba atau> 90 detik) • Gunakan aspek anteromedial tibia • Suntik dengan arah caudal untuk menghindari diskus pertumbuhan epifisis • Gunakan teknik aseptik • Kristaloid, koloid, produk darah dan obat-obatan dapat diberikan • Lepas segera setelah anak telah diresusitasi dan akses intravena berhasil dipasang Pendahuluan Teknik infus intraosea pertama kali diuraikan pada manusia pada tahun 1934 dan menjadi semakin populer di tahun 1940-an. Dalam beberapa tahun terakhir ini telah kembali popular terutama pada resusitasi anak. Sayangnya banyak dokter tidak tahu teknik ini atau tidak menggunakannya. Infus IO adalah salah satu cara tercepat untuk membuka akses untuk infus cairan, obat- obatan dan produk darah dalam situasi darurat dan juga
  • 116.
    111 untuk resusitasi. Dibanyak negara anak-anak menjadi korban trauma perang, kecelakaan lalu lintas atau dehidrasi berat. Mereka membutuhkan akses intravena yang baik, agar dapat menyelamatkan nyawa. Dalam situasi ini akses vena perifer bisa sulit untuk didapatkan dan alternatif seperti akses vena sentral dapat menjadi sulit dan / atau berbahaya. Pengenalan teknik Rongga sumsum berkesinambungan dengan sirkulasi vena dan oleh karena itu dapat digunakan untuk memasukkan cairan dan obat-obatan, dan untuk mengambil sampel darah untuk crossmatch. Prosedur harus dilakukan dalam kondisi steril agar tidak terjadi osteomielitis. Dianjurkan juga untuk membatasi durasi penggunaan infus intraosea sampai beberapa jam sampai akses intravena tercapai. Dengan demikian ini merupakan langkah darurat sementara. Di tangan yang berpengalaman akses IO dapat dikerjakan dalam waktu 1 menit. Telah terbukti bahwa mula kerja (onset) dan kadar obat selama resusitasi kardiopulmoner secara IO serupa dengan IV
  • 117.
    112 Indikasi Penempatan dari jarumintraosea diindikasikan bila akses vaskular dibutuhkan dalam situasi yang membahayakan jiwa pada bayi dan anak-anak di bawah usia enam tahun. IO diindikasikan bila akses vena gagal diusahakan (tiga usaha atau 90 detik) atau dalam kasus di mana kemungkinan besar gagal dan kecepatan sangat penting. Meskipun dianjurkan untuk digunakan terutama pada anak kecil, ia telah berhasil digunakan pada anak yang lebih tua di mana krista iliaka juga dapat digunakan. Kontraindikasi • Fraktur femur pada sisi ipsilateral • Jangan gunakan tulang yang patah • Jangan menggunakan tulang dengan osteomielitis Perlengkapan 1. Disinfektan kulit 2. Anestetik lokal 3. Spuit 5 ml 4. Spuit 50ml 5. Jarum Intraosea atau jarum sumsum tulang Jamshidi. Ada berbagai ukuran jarum; 14, 16. Ukuran 14 dan 16G biasanya digunakan untuk
  • 118.
    113 anak-anak yang lebihtua dari 18 bulan. Namun ukuran apapun dapat digunakan untuk segala usia. Dimungkinkan tetapi tidak ideal untuk menggunakan 16 - 20G jarum kupu-kupu, jarum spinal atau bahkan jarum suntik hipodermik biasa. Namun ada kemungkinan lebih besar bahwa jarum akan tersumbat dengan sumsum tulang bila tidak menggunakan jarum dengan trokar. Lokasi Titik terbaik untuk digunakan adalah aspek anteromedial aspek dari tibia. Aspek anterior femur dan krista iliaka superior juga dapat digunakan. Tibia lebih disukai karena aspek anteromedial tulang terletak tepat di bawah kulit dan dapat dengan mudah diidentifikasi. Hindari tulang dengan osteomielitis atau patah tulang dan tidak menggunakan tibia jika tulang paha retak pada sisi yang sama. Teknik Pilihan alat IO Dewasa ini ada beberapa alat berbeda untuk IO line. Alat ini bervariasi mulai dari jarum spinal yang dimasukkan
  • 119.
    secara manual sampaialat dengan alat dorong atau bor. Sebelum diciptakan produk-produk khusus untuk akses IO, dulu digunakan jarum spinal dan jarum “kupu-kupu” Dalam menggunakan jarum spinal, mutlak perlu digunakan suatu stylet atau trokar yang bisa dilepas dan mencegah jarum tersumbat oleh jaringan selama penempatan awal. Dulu jarum IO yang paling terkenal untuk pasien anak (dan pada kasus jarang untuk pasien dewasa) adalah tipe-tipe Jamshidi/Illinois (Gambar 1 & 2, Cardinal Health, McGaw Park, IL) atau Sur-Fast (Gambar 3, Cook Critical Care, Bloomington, IN). Gambar 1 (kiri) & Gambar 2 (kanan): Jarum IO Jamshidi Gambar 3: Jarum IO Sur-Fast 114
  • 120.
    115 Alat-alat ini dimasukkandengan menggunakan gerak memutar atau sekrup dengan tekanan cukup untuk memungkinkan jarum menembus tulang. Baru-baru ini, telah dikenalkan akses IO generasi baru, di mana tempat IO bukan hanya di tibia (misal, bisa juga di sternum) Apa yang baru? Populasi pasien: Walaupun biasa diaanggap bahwa akses IO hanya untuk anak di bawah usia 6 tahun, sekrang sudah direkomendasikan untuk semua kelompok usia, dan buku ajar Pediatric Advanced Life Support (PALS) yang dikeluarkan AHA(The American Heart Association) menyatakan bahwa indikasi teknik IO harus diperluas untuk korban di atas usia 6 tahun Buku ajar ACLS melukiskan infus IO sebagai "a promising technique to establish emergency access in adult patients." Di samping itu, alat IO terus digunakan pada pelatihan situasi pasien yang “luar biasa” seperti luka bakar, trauma dan bencana. Bone Injection Gun: Ini adalah alat IO yang bermuatan per dan memiliki daya dorong (Gambar 4 dan 5) dari WaisMed, Yokneam, Israel. Tersedia untuk ukuran anak dan dewasa. Cukup dengan menarik pelatuk dan jarum menancap sesuai dengan kedalaman yang telah diatur. Walaupun tersering digunakan pada tibia anak dan
  • 121.
    dewasa, para penelitimelukiskan penggunaannya juga pada radius, ulna dan humerus. Gambar 4 (kiri) & Gambar 5 (kanan)): Injection Gun anak dan dewasa EZ-IO: Desain untuk alat IO ini (Gambar 6 dan 7, VidaCare, San Antonio, TX) berangkat dari pengalaman dokter bedah tulang yang menggunakan bor untuk memasuki tulang dengan aman. EZ-IO merupakan bor dengan pegangan dan digerakkan baterai dengan jarum IO menempel. Alat ini memungkinkan operator mengatur tekanan dan kekuatan yang digunakan selama insersi, sehingga bisa menentukan kedalaman yang tepat dari jarum 116
  • 122.
    Gambar 6 (kiri)dan Gambar 7 (kanan): Penempatan sistem EZ-IO pada tibia Prosedur 1. Palpasi tuberositas tibia. Titik suntikan (kanulasi) terletak 1 - 3cm di bawah tuberositas ini pada permukaan anteromedial tibia. 2. Gunakan sarung tangan steril dan teknik aseptik dan jarum yang steril. 3. Bersihkan kulit. Tempatkan jarum sumsum tulang tanpa teknik steril jelas meningkatkan kemungkinan osteomielitis dan selulitis. 4. Suntikkan sejumlah kecil anestesi lokal pada kulit dan terus infilitrasi ke periostium. Bila anak tidak sadar tidak perlu menggunakan infiltrasi lokal. 117
  • 123.
    118 5. Tekuk lututdan letakkan karung pasir sebagai bantalan di belakang lutut. 6. Pegang ekstremitas dengan kuat di atas tempat insersi, biasanya di tingkat lutut. Jangan letakkan tangan Anda di belakang tempat suntikan agar tidak melukai tangan Anda sendiri. 7. Masukkan jarum IO pada 90 derajat ke kulit (tegak lurus) dan sedikit caudal (ke arah kaki) untuk menghindari plat epifisis. 8. Majukan jarum menggunakan gerakan pengeboran sampai terasa 'kendur ' adalah merasa - ini terjadi ketika jarum menembus korteks tulang. Berhenti memasukkan lebih lanjut. 9. Lepaskan trokar. Konfirmasi posisi yang tepat dengan mengaspirasi darah menggunakan spuit 5 ml. Jika tidak ada darah dapat disedot jarum mungkin terhalang dengan sumsum. Untuk melepas sumbatan jarum, bilas perlahan-lahan dengan 10 ml normal saline. Periksa bahwa ekstremitas tidak membengkak dan tidak ada peningkatan tahanan. 10. Jika tidak berhasil cabut jarum dan coba kaki yang lain.
  • 124.
    119 11. Fiksasi jarumdengan kasa steril dan bebat. Penempatan yang benar dikonfirmasi lebih lanjut dengan: • Tiba-tiba kehilangan resistensi memasuki rongga sumsum (kurang jelas pada bayi yang memiliki tulang lunak). • Jarum tetap tegak tanpa dukungan (karena bayi memiliki tulang lebih lembut, jarum tidak akan tegak berdiri sekuat pada anak yang lebih tua). • Cairan mengalir secara bebas melalui jarum tanpa pembengkakan pada jaringan subkutan. Komplikasi Komplikasi penting mencakup: fraktur tibia terutama pada neonatus, sindrom kompartemen, osteomielitis dan nekrosis kulit. Bila teknik aseptik digunakan, insiden osteomielitis kurang dari 1%. Emboli paru mikroskopik dari lemak dan sumsum tampaknya tidak menjadi masalah klinis. Asalkan teknik yang benar digunakan sepertinya tidak akan ada efek jangka panjang pada pertumbuhan tulang.
  • 125.
    120 Infus Cairan dapat diinfusdi bawah tekanan lembut, secara manual dengan menggunakan spuit 50ml atau dengan memompa manset tensimeter mengitari kantong infus. Kristaloid, produk darah dan obat-obatan dapat ditanamkan dengan menggunakan teknik ini. Rute IO yang harus diganti segera setelah vena yang normal dapat diakses dan tentu saja dalam beberapa jam. Semakin lama penggunaan makin tinggi risiko komplikasi. Kesimpulan Dalam keadaan darurat, akses intravena akses cepat pada anak-anak mungkin akan sulit untuk dicapai. Sebagai alternatif, akses IO mudah, aman dan menyelamatkan pasien. Referensi 1. Chameides L, Hazinski MF, Eds. Chameides L, Hazinski MF, Eds. Textbook of Pediatric Advanced Life Support. Textbook of Pediatric Advanced Life Support. 1994; 5-5 to 5-7 1994; 5-5 ke 5-7 2. Brickman KR, Krupp K, Rega P, Alexander J, Guinness M. Typing and screening of blood from intraosseous access. Brickman KR, Krupp K, Rega P,
  • 126.
    121 Alexander J, GuinnessM. Mengetik dan penyaringan darah dari intraosseous akses. Annals of Emergency Medicine 1992;21:414-7 Annals of Emergency Medicine 1992; 21:414-7 3. Sawyer RW, Bodai BI, Blaisdell FW, McCourt MM. Sawyer RW, Bodai BI, Blaisdell FW, McCourt MM. The current status of intraosseous infusion. Status intraosseous infus. Journal of American College of Surgeons 1994;179:353-60 Journal of American College of Surgeons 1994; 179:353-60 4. Claudet I, Fries F, Bloom MC, Lelong-Tissier MC. Claudet Aku, Fries M, Bloom MC, Lelong-Tissier MC. Etude retrospective de 32 cas de perfusion intraosseus. Etude retrospektif de 32 cas de perfusi intraosseus. Archives of Paediatrics 1999;6:566-9 Archives of Pediatri 1999; 6:566-9 5. Nafiu OO, Olumese PE, Gbadegesin RA, Osinusi K. Intraosseous infusion in an emergency situation: a case report. Nafiu OO, Olumese PE, Gbadegesin RA, Osinusi K. Intraosseous infus dalam situasi darurat: laporan kasus. Annals of Tropical Paediatrics 1997;17:175-7 Annals of Tropical Pediatri 1997; 17:175-7
  • 127.
    122 INDEKS AG Anion gap16,17,23 35 Albumin 35,36,51,55,57,58,59,60,62-68,72-78 ALI Acute Lung Injury 62,63,64 ANH Acute normovolemic hemodilution 60,61,62,10 ANP Atrial natriuretic peptide 62 APACHE Acute Physiology and Chronic Health evaluation 58 ARDS Acute respiratory distress syndrome 59,70 ARF Acute renal failure 74 ATP Adenosine triphosphate 14,15,16,18,25,31,48,49,50 AVDO2 arteriovenous oxygen difference 18,33,,34 CABG Coronary artery bypass graft 68 cAMP cyclic adnosine monophosphate 40,41,42,48 CaO2 arterial oxygen concentration 7,14 cGMP cyclic guanosine monophosphate 40,41 CI Cardiac index 18,19,32,34 CO cardiac output 11,14,15,18,19,20,22,24,25,26,27,36,38,40 COP Colloid osmotic pressure 58 CRT Capillary refill time 2,3,10,11,13,16,17,18,22,27,32,51,52,79,81,92 CVP Central venous pressure 21,25,26,32,33,37,80,101 DAG Diacyl glycerol 41 Dextran 72,73,74,78,102 DO2 oxygen delivery5,6,7,8,14,109 Dobutamin 38,39,45,55,79,81 Dopamin 45,46,55,79,80,81 DSS Dengue Shock Syndrome 36,100,101,104 ECMO Extracorporeal membrane oxygenation 83 Epinefrin 13,23,24,29,38,39,40,42,43,45,46,47,48,52,75,79,80,81 ESL Endotherlial surface layer 61 FiO2 Fractional concentration of Inspired oxygen 17,60,68 HES Hydroxyethyl starch 62,72,73,74,75 HR Heart rate 10,15,27,33,51,81,108,109
  • 128.
    123 IGD Instalasi GawatDarurat 13,19,21,22,85 IL Interleukin 48,56,63 INR Internation normalized ratio 18 IO Intraosea 113,114,115,116,117 IP3 inositol 1,4,4-triphosphate 41 JVD Jugular venous distension 79,80 KAD Ketoasidosis diabetik 4 KID Koagulasi intravaskular diseminata 102,103,106 LVEDP Left ventricular end-diastolic pressure 29 LVEDV Left ventricular end-diastolic volume 29 MAP Mean arterial pressure 21,25,26,27,32,33,65,109, Milrinon 13,23,24,29,38,39,40,42,43,45,46,47,48,52,75,79,80,81 ERO2 oxygen extraction ratio 6,8, OR odds ratio 22,75 PDEI Phosphodiesterase inhibitor 41,42,43 PELOD Pediatric logistic organ dysfunction score 17 PO2 Partial oxygen pressure 7,59,60,68 PPHN Persistent pulmonary hypertension 83 pRBC packed red blood cells 51,52,93, PRISM pediatric risk illness severity and mortality score 17 RCT Randomized controlled trial 57,64,68,69,75, RR relative risk 65,69,75, SAFE Saline versus albumin evaluation 55,57,64,,65,66,70,76,77, SaO2 arterial oxygen saturation 6,7,14 SBP Systolic blood pressure 17,33,51,109 SOAP Sepsis occurrence in acutely ill patients 66 SOFA Sequential Organ Failure Assessment 68,75 SVCO2 Superior vena cava oxygen saturation 20,21,22 SVR Systemic venous resistance 10,11,19,21,25,39,46,79,109 TBI Traumatic Brain Injury 65,66 TD Tekanan darah 11,81,85,92,93 TNF Tumor necrosis factor 63, VL Volume loading 60,61,62, VO2 Total body oxygen consumption 8,
  • 129.